TAFSIR SURAT AN-NISA`
( Wanita )
TAFSIR SURAT AN-NISA`
( Wanita )
Madaniyah
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)}.
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah mem-perkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
(An-Nisa`: 1).
#
{1} افتتحَ تعالى هذه السورةَ بالأمر بتقواه والحثِّ على عبادتِهِ والأمرِ بصلةِ الأرحام والحثِّ على ذلك، وبيَّن السبب الداعيَ الموجبَ لكلٍّ من ذلك، وأن الموجب لتقواه: لأنه ربُّكم {الذي خلقكم} ورزقكم وربَّاكم بنعمِهِ العظيمة التي من جملتها خَلْقُكم {من نفس واحدة} وجعل {منها زوجها} ليناسِبَها فيسكنَ إليها وتتمَّ بذلك النعمة ويحصل به السرور؛ وكذلك من الموجب الداعي لتقواه تساؤلُكم به وتعظيمكم، حتى إنكم إذا أردتم قضاء حاجاتكم ومآربكم؛ توسَّلتم بها بالسؤال [باللهِ]، فيقول من يريد ذلك لغيره: أسألك بالله أن تفعل الأمر الفلاني؛ لعلمه بما قام في قلبه من تعظيم الله الداعي أن لا يردَّ من سأله بالله؛ فكما عظَّمتموه بذلك؛ فلتعظِّموه بعبادتِهِ وتقواه. وكذلك الإخبار بأنه رقيبٌ؛ أي: مطَّلع على العباد في حال حركاتهم وسكونهم وسرِّهم وعلنهم وجميع الأحوال مراقباً لهم فيها، مما يوجب مراقبتَهُ وشدةَ الحياء منه بلزوم تقواه؛ وفي الإخبار بأنه خلقهم من نفس واحدة، وأنه بثَّهم في أقطار الأرض مع رجوعهم إلى أصل واحدٍ ليعطِّفَ بعضَهم على بعض، ويرقِّقَ بعضَهم على بعض.
وقرن الأمر بتقواه بالأمر ببرِّ الأرحام والنهي عن قطيعتها ليؤكد هذا الحق، وأنه كما يلزم القيام بحق الله كذلك يجب القيام بحقوق الخلق، خصوصاً الأقربين منهم، بل القيام بحقوقهم هو من حقِّ الله الذي أمر الله به. وتأمل كيف افتتح هذه السورةَ بالأمر بالتقوى، وصلة الأرحام، والأزواج عموماً، ثم بعد ذلك فصَّل هذه الأمور أتمَّ تفصيل من أول السورة إلى آخرها؛ فكأنها مبنيَّةٌ على هذه الأمور المذكورة، مفصِّلةٌ لما أُجْمِلَ منها، موضِّحةٌ لما أُبْهِمَ.
وفي قوله: {وخلق منها زوجها}: تنبيه على مراعاة حقِّ الأزواج والزوجات والقيام به؛ لكون الزوجات مخلوقاتٍ من الأزواج؛ فبينهم وبينهنَّ أقربُ نسب وأشدُّ اتصال وأوثق علاقة.
(1) Allah سبحانه وتعالى memulai surat ini dengan perintah untuk ber-takwa kepadaNya dan anjuran untuk beribadah kepadaNya, perintah untuk menyambung silaturahim dan anjuran untuk hal itu. Allah juga menjelaskan tentang sebab-sebab yang mendorong harusnya melakukan setiap dari hal tersebut, dan bahwa hal yang mengharuskan untuk bertakwa kepadaNya adalah karena Allah itu Rabb kalian, ﴾ ٱلَّذِي خَلَقَكُم
﴿ "yang telah menciptakan kalian," memberi rizki kepada kalian, memelihara kalian dengan nikmat-nikmatNya yang besar, dan di antaranya adalah penciptaan diri kalian itu, ﴾ مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ
﴿ "dari diri yang satu," dan menjadikan ﴾ مِنۡهَا زَوۡجَهَا
﴿ "dari padanya istrinya," agar sesuai dengannya, lalu ia merasa tenang kepadanya, dan dengan hal itu lengkaplah nikmat dan terwujudlah kebaha-giaan.
Demikian juga, di antara pendorong yang mengharuskan dan menuntut untuk bertakwa kepadaNya adalah (bahwa) kalian saling meminta dengan (menyebut) NamaNya dan pengagungan kalian atasNya, hingga bila kalian ingin mendapatkan hajat dan kebutuhan kalian, maka kalian bertawassul dengannya, di mana Anda meminta dengan "demi Allah." Karena itu, barangsiapa yang menghendaki hal itu kepada orang lain, ia berkata, "Saya memo-hon kepadamu dengan Nama Allah untuk melakukan pekerjaan..."; karena dia mengetahui apa yang ada dalam hatinya berupa peng-agungan kepada Allah, yang mendorong agar orang yang diminta-nya dengan "Nama Allah" itu tidak menolak. Maka sebagaimana kalian mengagungkanNya dengan hal itu, agungkanlah juga Allah dengan beribadah dan bertakwa kepadaNya.
Demikian juga kabar bahwa Allah Maha Mengawasi, artinya, Allah melihat hamba-hambaNya pada saat mereka diam maupun bergerak, yang dirahasiakan maupun yang ditampakkan, dan Allah mengawasi seluruh kondisi mereka, yang mengharuskan adanya rasa pengawasan Allah dan malu yang mendalam terha-dapNya dengan cara konsisten dalam takwa kepadaNya, dan pada pemberitaan bahwa Allah menciptakan mereka dari diri yang satu dan bahwa Allah mengembang biakkan mereka di seluruh bagian bumi, padahal mereka berasal dari jiwa yang satu, adalah agar se-bagian mereka mengasihi sebagian yang lain dan sebagian mereka berlaku lemah lembut kepada sebagian lainnya.
Allah menyandingkan antara takwa kepadaNya dengan perintah untuk berbuat baik kepada keluarga dan melarang dari memutuskan hubungan silaturahim agar menegaskan akan kebe-naran hal tersebut, dan bahwa sebagaimana wajibnya menunaikan hak-hak Allah, maka wajib pula untuk menegakkan hak-hak makh-lukNya, khususnya yang termasuk kerabat keluarga di antara mereka, bahkan menunaikan hak-hak mereka adalah di antara hak-hak Allah yang telah diperintahkan olehNya.
Perhatikanlah bagaimana Allah memulai surat ini dengan perintah secara umum untuk bertakwa, menyambung silaturahim, dan interaksi antara suami dan istri, kemudian setelah itu Allah merinci perkara-perkara tersebut dengan perincian yang sempurna dari awal surat hingga akhirnya, di mana seolah-olah penjelasan surat ini didasari oleh perkara-perkara tersebut, merinci hal-hal yang disebut yaitu secara umum darinya dan menjelaskan hal-hal yang samar.
Dalam Firman Allah, ﴾ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا ﴿ "Dan dari padanya Allah menciptakan istrinya," terdapat sebuah peringatan untuk senantiasa menjaga
(memperhatikan) hak-hak para suami dan para istri dan pemenuhannya, karena para istri itu tercipta dari para suami, se-hingga antara para suami dan para istri terdapat hubungan nasab yang paling dekat, hubungan yang paling kuat, dan ikatan yang paling kokoh.
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى,
{وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا (2)}.
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar."
(An-Nisa`: 2).
#
{2} هذا أول ما أوصى به من حقوق الخلق في هذه السورة، وهم اليتامى الذين فقدوا آباءهم الكافلين لهم، وهم صغارٌ ضعافٌ، لا يقومون بمصالحهم، فأمر الرءوف الرحيم عباده أن يحسِنوا إليهم، وأن لا يَقْرَبوا أموالهم إلا بالتي هي أحسن، وأن يؤتوهم أموالهم ـ إذا بلغوا ورَشَدوا ـ كاملةً موفرةً، وأن لا يتبدلوا الخبيث الذي هو أكلُ مال اليتيم بغير حقٍّ {بالطيب} وهو الحلال الذي ما فيه حرجٌ ولا تَبِعة {ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم}؛ أي: مع أموالكم، ففيه تنبيهٌ لقبح أكل مالِهم بهذه الحالة، التي هي قد استغنى بها الإنسان بما جعل الله له من الرزق في ماله؛ فمَنْ تجرَّأ على هذه الحالة؛ فقد أتى {حوباً كبيراً}؛ أي: إثماً عظيماً ووزراً جسيماً.
ومن استبدال الخبيث بالطيِّب أن يأخذ الوليُّ من مال اليتيم النفيسِ ويجعلَ بدلَه من ماله الخسيسَ.
وفيه الولايةُ على اليتيم؛ لأنَّ من لازم إيتاء اليتيم ماله ثبوتَ ولاية المؤتي على ماله. وفيه الأمرُ بإصلاح مال اليتيم؛ لأنَّ تمام إيتائِهِ مالَه حفظُه والقيامُ به بما يصلحه ويُنَمِّيه وعدم تعريضه للمخاوف والأخطار.
(2) Ini merupakan wasiat pertama dari hak-hak makhluk dalam surat ini, mereka itu adalah anak-anak yatim yang telah ditinggal mati oleh ayah yang menafkahi mereka, sedang mereka masih kecil dan lemah, mereka tidak mampu memenuhi kemasla-hatan mereka sendiri. Karena itu Allah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih memerintahkan hamba-hambaNya agar berbuat baik kepada mereka dan agar tidak mendekati harta-harta mereka kecuali dengan cara yang baik. Dan agar memberikan kepada me-reka harta-harta mereka –apabila mereka telah baligh dan dewasa– secara sempurna dan penuh, dan agar tidak menukar dengan yang buruk, di mana itu termasuk memakan harta anak yatim tanpa hak, ﴾ بِٱلطَّيِّبِۖ
﴿ "yang baik," yaitu, yang halal yang tidak ada dosa padanya dan tidak pula tanggung jawab.
﴾ وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ
﴿ "Dan jangan kamu makan harta mereka ber-sama hartamu," maksudnya, bersama harta kalian. Di sini terdapat suatu peringatan akan buruknya memakan harta mereka dengan cara seperti itu, yang kemungkinan seseorang mampu untuk tidak melakukannya, (dan cukup) dengan apa yang telah Allah rizkikan untuknya dari hartanya sendiri. Maka barangsiapa yang berani melakukan hal itu, sesungguhnya ia telah melakukan, ﴾ حُوبٗا كَبِيرٗا ﴿ "dosa yang besar," yaitu, dosa dan kesalahan yang besar.
Dan termasuk menukar yang buruk dengan yang baik, ada-lah, seorang wali mengambil harta anak yatim yang berharga dan menukarnya dengan hartanya yang paling jelek.
Ayat ini juga menunjukkan adanya perwalian terhadap seorang yatim, karena di antara wajibnya memberikan harta anak yatim, adalah ketetapan perwalian orang yang mengelola hartanya.
Demikian juga ayat ini menunjukkan perintah untuk meng-urus harta anak yatim secara baik, karena kesempurnaan pembe-rian hartanya kepadanya adalah penjagaan dan pemenuhannya dengan cara yang baik untuknya, mengembangkannya, serta tidak menempatkannya pada hal-hal yang dikhawatirkan dan berbahaya.
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3) وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (4)}.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terha-dap
(hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
(An-Nisa`: 3-4).
#
{3} أي: وإن خفتم ألا تعدلوا في يتامى النساء [اللاتي] تحت حُجوركم وولايتكم، وخفتم أن لا تقوموا بحقِّهن لعدم محبتكم إياهنَّ، فاعدلوا إلى غيرهنَّ وانكحوا {ما طاب لكم من النساء}؛ أي: ما وقع عليهن اختياركم من ذوات الدين والمال والجمال والحَسَب والنَّسَب وغير ذلك من الصفات الداعية لنكاحهنَّ؛ فاختاروا على نظركم، ومن أحسن ما يُختار من ذلك صفة الدين؛ كما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «تُنْكَحُ المرأةُ لأربع: لمالِها ولِجمالِها ولحسبِها ولدينِها؛ فاظفرْ بذاتِ الدينِ تَرِبَتْ يمينُك». وفي هذه الآية أنه ينبغي للإنسان أن يختار قبل النكاح، بل قد أباح له الشارعُ النظرَ إلى مَنْ يريد تزوجها؛ ليكون على بصيرة من أمره.
ثم ذكر العدد الذي أباحه من النساء، فقال: {مثنى وثلاث ورباع}، أي: من أحب أن يأخذ ثنتين؛ فليفعل، أو ثلاثاً؛ فليفعل، أو أربعاً؛ فليفعل، ولا يزيد عليها؛ لأن الآية سيقت لبيان الامتنان؛ فلا يجوز الزيادة على غير ما سمى الله تعالى إجماعاً، وذلك لأن الرجل قد لا تندفع شهوتُه بالواحدة، فأبيح له واحدة بعد واحدة، حتى تبلغ أربعاً؛ لأن في الأربع غُنيةً لكل أحد إلا ما ندر، ومع هذا؛ فإنما يباح له ذلك إذا أمن على نفسه الجَوْر والظلم ووثق بالقيام بحقوقهن؛ فإن خاف شيئاً من هذا؛ فليقتصر على واحدة أو على ملك يمينه؛ فإنه لا يجب عليه القَسْم في ملك اليمين، {ذلك}؛ أي: الاقتصار على واحدة أو ما ملكتِ اليمينُ {أدنى ألاَّ تعولوا}؛ أي: تظلموا، وفي هذا أنَّ تعرَّضَ العبد للأمر الذي يُخافُ منه الجورُ والظلم وعدم القيام بالواجب ولو كان مباحاً؛ أنه لا ينبغي له أن يتعرَّضَ له، بل يلزم السعةُ والعافيةُ؛ فإنَّ العافية خير ما أعطي العبد.
(3) Maksudnya, apabila kalian takut tidak berlaku adil terhadap wanita-wanita yatim yang ada di dalam pengasuhan dan perwalian kalian, dan kalian takut tidak mampu menunaikan hak-hak mereka yang disebabkan kalian tidak mencintai mereka, maka carilah wanita-wanita selain mereka, lalu nikahilah, ﴾ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "wanita-wanita (lain) yang kamu senangi," maksudnya, wanita-wanita yang kalian pilih yang memiliki agama, harta, kecantikan, dan keturunan yang baik dan lain sebagainya di antara sifat-sifat yang mendorong untuk menikahi mereka. Pilihlah mereka menurut pendapat kalian, dan sebaik-baik sifat yang menjadi patokan dalam memilih adalah agama, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَمِيْنُكَ.
"Wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan agamanya, dan pilihlah yang memiliki agama, niscaya beruntunglah kamu."[1]
Ayat ini menunjukkan bahwa seyogyanya seseorang itu me-milih wanita sebelum menikahinya, bahkan syariat telah membo-lehkan baginya untuk memandang wanita yang hendak dinikahi-nya itu agar ia benar-benar mengetahui segala hal secara pasti tentang wanita tersebut.
Kemudian Allah menyebutkan jumlah wanita yang boleh dinikahinya seraya berfirman, ﴾ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ
﴿ "dua, tiga atau empat," maksudnya, barangsiapa yang hendak menikahi dua wanita, maka boleh ia lakukan, atau tiga, maka boleh ia lakukan, atau empat, maka boleh ia lakukan; dan tidaklah boleh baginya melebihi dari jumlah tersebut, karena ayat ini disebutkan dalam rangka menje-laskan jumlah yang paling banyak (yang dibolehkan), maka tidaklah boleh melebihi apa yang telah Allah sebutkan berdasarkan ijma'.
Yang demikian itu karena seorang laki-laki terkadang tidak mampu menahan syahwatnya hanya dengan seorang istri, karena itu dibolehkan baginya seorang istri lagi setelah seorang istri (per-tama) hingga mencapai empat orang istri. Karena dengan jumlah empat wanita itu telah mencukupi bagi kaum laki-laki kecuali bagi segelintir laki-laki. Walaupun demikian, hal tersebut dibolehkan baginya apabila ia merasa mampu untuk tidak berlaku zhalim dan aniaya dan yakin dapat memenuhi hak-hak mereka semua, namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau dengan hanya budak wanita-nya, karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut.
﴾ ذَٰلِكَ
﴿ "Yang demikian itu," yaitu, mencukupkan hanya dengan seorang istri atau dengan budak wanita, ﴾ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ﴿ "adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya," yaitu, berbuat zhalim.
Ini menunjukkan bahwa seorang hamba yang menghadap-kan dirinya kepada suatu perkara yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezhaliman, aniaya, dan tidak menunaikan kewajiban, walaupun perkara itu adalah suatu yang mubah, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. Akan tetapi ia harus konsisten terhadap hal yang baik dan selamat, karena sesungguhnya sebaik-baik per-kara yang diberikan kepada seorang hamba itu adalah selamat.
#
{4} ولما كان كثير من الناس يظلمون النساء ويهضمونهنَّ حقوقَهنَّ، خصوصاً الصداق الذي يكون شيئاً كثيراً ودفعةً واحدةً يشقُّ دفعُه للزوجةِ؛ أمرهم وحثَّهم على إيتاء النساء {صَدُقاتهنَّ}، أي: مهورهنَّ {نِحْلَةً}؛ أي: عن طيب نفس وحال طمأنينة؛ فلا تمطلوهنَّ أو تبخسوا منه شيئاً؛ وفيه أن المهر يُدْفَع إلى المرأة إذا كانت مكلفةً، وأنها تملكه بالعقد؛ لأنه أضافه إليها، والإضافة تقتضي التمليك؛ {فإن طبن لكم عن شيء منه}؛ أي: من الصداق {نفساً}؛ بأن سَمَحْنَ لكم عن رضا واختيار بإسقاط شيء منه أو تأخيره أو المعاوضة عنه؛ {فكلوه هنيئاً مريئاً}؛ أي: لا حرج عليكم في ذلك ولا تَبِعَة. وفيه دليل على أن للمرأة التصرف في مالها ولو بالتبرع إذا كانت رشيدةً؛ فإن لم تكن كذلك؛ فليس لعطيَّتِها حكم، وأنه ليس لوليها من الصداق شيء غير ما طابت به. وفي قوله: {فانكحوا ما طاب لكم من النساء}: دليلٌ على أن نكاح الخبيثة غير مأمور به، بل منهيٌّ عنه كالمشركة وكالفاجرة؛ كما قال تعالى: {ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنَّ}، وقال: {الزانية لا ينكحها إلا زانٍ أو مشركٌ}.
(4) Dan karena banyak orang-orang
(laki-laki) menzhalimi para wanita dan menindas hak-hak mereka, khususnya mahar yang berjumlah banyak yang diberikan dalam satu pemberian saja hingga memberatkan suami untuk menyerahkannya kepada istri, maka Allah memerintahkan dan menganjurkan kepada para suami untuk memberikan kepada istri-istri, ﴾ صَدُقَٰتِهِنَّ
﴿ "maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi)," yaitu, mahar-mahar mereka, ﴾ نِحۡلَةٗۚ
﴿ "se-bagai pemberian dengan penuh kerelaan," maksudnya, dari kelapangan dada dan ketenangan jiwa. Janganlah kalian menzhalimi mereka dan berlaku curang sedikit pun pada mahar tersebut.
Ayat ini menunjukkan bahwa mahar itu diberikan kepada istri apabila ia telah menjadi wanita yang mukallaf dan bahwa mahar tersebut telah menjadi hak miliknya dengan adanya akad nikah, karena suami telah memberikannya kepada istrinya, dan pemberian itu menunjukkan kepemilikan.
﴾ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ
﴿ "Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu," yaitu, dari mahar tersebut, ﴾ نَفۡسٗا
﴿ "dengan senang hati," maksudnya dengan membiarkan untuk kalian atas dasar kerelaan dan pilihan sendiri untuk menggugurkan sedikit darinya atau menunda membayar atau menggantinya, ﴾ فَكُلُوهُ هَنِيٓـٔٗا مَّرِيٓـٔٗا
﴿ "maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." Artinya tidak ada dosa atas kalian dalam hal itu dan tidak pula tanggung jawab.
Ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa seorang istri boleh membelanjakan hartanya sendiri hingga untuk sumbangan sekalipun, apabila ia telah dewasa. Namun bila ia belum dewasa, maka pemberiannya itu tidaklah memiliki hukum apa-apa, dan wali wanita tersebut juga tidak memiliki hak apa-apa dari mahar tersebut kecuali apa yang diberikan secara sukarela oleh wanita tersebut.
Dan ayat, ﴾ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi" adalah dalil yang menunjukkan bahwa menikahi wanita-wanita yang buruk, tidaklah dianjurkan bahkan dilarang, seperti wanita musyrik, atau wanita pezina; sebagaimana Firman Allah تعالى,
﴾ وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ
﴿
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman." (Al-Baqarah: 221).
Dan FirmanNya,
﴾ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ ﴿
"Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik."
(An-Nur: 3).
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى,
{وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)}.
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik."
(An-Nisa`: 5).
#
{5} السفهاء: جمع سفيه، وهو من لا يحسن التصرف في المال: إما لعدم عقله كالمجنون والمعتوه ونحوهما، وإما لعدم رشده؛ كالصغير وغير الرشيد، فنهى الله الأولياء أن يؤتوا هؤلاء أموالَهم خشيةَ إفسادها وإتلافها؛ لأنَّ الله جعل الأموال قياماً لعباده في مصالح دينهم ودنياهم، وهؤلاء لا يُحْسِنُون القيام عليها وحفظَها، فأمر الله الولي أن لا يؤتيهم إياها، بل يرزقهم منها ويكسوهم ويبذل منها ما يتعلَّق بضروراتهم وحاجاتهم الدينيَّة والدنيويَّة، وأن يقولوا لهم قولاً معروفاً؛ بأن يعدوهم إذا طلبوها أنهم سيدفعونها لهم بعد رُشْدِهم ونحوِ ذلك، ويلطفوا لهم في الأقوال جبراً لخواطرهم.
وفي إضافته تعالى الأموال إلى الأولياء إشارة إلى أنه يجب عليهم أن يعملوا في أموال السفهاء ما يفعلونه في أموالهم من الحفظ والتصرف وعدم التعريض للأخطار.
وفي الآية دليل على أن نفقة المجنون والصغير والسفيه في مالهم إذا كان لهم مال، لقوله: {وارزقوهم فيها واكسوهم}.
وفيه دليلٌ على أنَّ قول الوليِّ مقبول فيما يدعيه من النفقة الممكنة والكسوة؛ لأن الله جعله مؤتَمَناً على مالهم، فلزم قبول قول الأمين.
(5) السُّفَهَاءُ adalah kata jamak dari سَفِيْهٌ
(orang yang tidak sem-purna akalnya) yang artinya adalah orang yang tidak becus dalam membelanjakan hartanya; baik karena tidak ada akalnya seperti orang gila atau idiot atau semacamnya, atau karena belum sempurna akalnya seperti anak kecil dan orang yang belum dewasa. Allah melarang para wali untuk menyerahkan kepada mereka harta-harta mereka karena takut disia-siakan dan dihabiskan. Karena Allah menjadikan harta itu untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya dalam kemaslahatan agama maupun dunia mereka. Dan mereka itu tidaklah pandai dalam mengurus
(dan membelanjakan) harta tersebut dan memeliharanya, oleh karena itu Allah meme-rintahkan kepada wali
(nya) agar tidak menyerahkan harta mereka kepada mereka. Akan tetapi ia harus menafkahi mereka dari harta itu, memberikan pakaian dengannya, serta membelanjakan harta itu kepada hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, dunia maupun akhirat mereka, dan agar para wali berkata kepada mereka dengan perkataan yang baik, yaitu, dengan berjanji kepada mereka apabila mereka meminta harta mereka itu bahwa para wali itu akan memberikannya setelah mereka dewasa nanti, atau semacamnya. Dan agar berlaku lemah lembut dalam berbicara kepada mereka sebagai suatu keharusan untuk menghibur perasaan hati mereka.
Allah menyandarkan
(permasalahan) harta
(orang yang belum sempurna akalnya) kepada para wali itu berindikasi bahwa mereka wajib memperlakukan harta orang yang bodoh tersebut sebagai-mana mereka melakukannya pada harta mereka sendiri berupa penjagaan, pembelanjaan, dan tidak menghadapkannya kepada hal-hal yang memusnahkannya.
Ayat ini menunjukkan bahwa memberikan nafkah kepada orang gila, anak kecil, dan idiot itu adalah dari harta mereka sendiri, bila mereka memiliki harta, sebagaimana Firman Allah سبحانه وتعالى,﴾ وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ ﴿ "Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu)."
Ayat ini juga menunjukkan bahwa pernyataan wali dapat diterima tentang apa yang ia nyatakan mengenai nafkah yang me-mungkinkan atau pakaian, karena Allah telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang dapat dipercaya atas harta anak yatim itu, oleh karena itu pernyataan orang-orang yang terpercaya harus diterima.
{وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (6)}.
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa
(di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas
(atas persaksian itu)."
(An-Nisa`: 6).
#
{6} الابتلاء هو: الاختبار والامتحان، وذلك بأن يُدْفَعَ لليتيم المقارب للرشد الممكن رشده شيء من ماله، ويتصرف فيه التصرف اللائق بحاله، فيتبين بذلك رشده من سفهه؛ فإن استمر غير محسن للتصرف؛ لم يدفع إليه ماله، بل هو باق على سفهه، ولو بلغ عمراً كثيراً؛ فإن تبيَّن رشدُه وصلاحُه في ماله وبلغ النكاح؛ {فادفعوا إليهم أموالهم} كاملة موفرة، {ولا تأكلوها إسرافاً}؛ أي: مجاوزة للحدِّ الحلال الذي أباحه الله لكم من أموالكم إلى الحرام الذي حرمه الله عليكم من أموالهم؛ {وبِداراً أن يكبروا}، أي: ولا تأكلوها في حال صغرهم التي لا يمكنهم فيها أخذها منكم، ولا منعكم من أكلها تبادرون بذلك أن يكبروا فيأخذوها منكم ويمنعوكم منها، وهذا من الأمور الواقعة من كثير من الأولياء الذين ليس عندهم خوف من الله ولا رحمة ومحبة للمولَّى عليهم، يرون هذه الحالَ حالَ فرصةٍ، فيغتنمونها ويتعجلون ما حرم الله عليهم، فنهى الله تعالى عن هذه الحالة بخصوصها.
(6) اَلْإِبْتِلَاءُ
(ujian) adalah cobaan dan latihan. Yang demikian itu adalah dengan menyerahkan sesuatu dari hartanya kepada anak yatim yang telah mendekati kedewasaan, lalu ia membelanjakan uang itu untuk kebutuhannya dengan sepatutnya menurut kondi-sinya saat itu, hingga jelaslah saat itu antara kedewasaannya atau-pun ketidakmampuannya membelanjakan menurut yang sepatut-nya. Bila ia masih belum mampu dalam membelanjakan harta, maka hartanya tidak diberikan kepadanya, dan ia masih dinyatakan tetap dalam kondisi tidak mampu membelanjakan hartanya dengan baik, walaupun ia telah mencapai umur yang cukup dewasa. Apabila telah terbukti kedewasaan dan kemampuannya dalam membelan-jakan harta dengan sepatutnya serta telah mencapai cukup usia untuk menikah, ﴾ فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ
﴿ "maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya," secara sempurna dan seluruhnya.
﴾ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا
﴿ "Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan," yakni, melampaui batas yang halal yang dibolehkan oleh Allah untuk kalian dari harta mereka, kepada yang haram yang telah diharamkan oleh Allah atas kalian dari harta mereka.
﴾ وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ ﴿ "Dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanja-kannya) sebelum mereka dewasa," maksudnya, janganlah kalian makan harta mereka saat mereka masih kecil, di mana mereka saat itu belum mampu mengambilnya dari kalian dan mereka juga tidak mampu melarang kalian memakannya, secara tergesa-gesa sebelum mereka menjadi dewasa, di mana mereka mengambil harta mereka dari kalian dan melarang kalian dari memakannya.
Yang seperti ini adalah perkara nyata yang terjadi pada seba-gian besar para wali yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah dan tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap orang-orang yang ia lindungi tersebut. Para wali itu melihat bahwa hal tersebut adalah suatu kesempatan bagi mereka hingga mereka memanfaatkannya sebaik mungkin, dan dengan tergesa-gesa mereka mengambil apa yang diharamkan oleh Allah atas mereka. Itulah sebabnya Allah سبحانه وتعالى melarang dari perbuatan seperti itu secara khusus.
{لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (7)}.
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."
(An-Nisa`: 7).
#
{7} كان العرب في الجاهلية من جبريَّتِهم وقسوتهم لا يورِّثون الضعفاء كالنساء والصبيان، ويجعلون الميراث للرجال الأقوياء؛ لأنهم بزعمهم أهل الحرب والقتال والنهب والسلب، فأراد الرب الرحيم الحكيم أن يشرع لعباده شرعاً يستوي فيه رجالهم ونساؤهم وأقوياؤهم وضعفاؤهم، وقدم بين يدي ذلك أمراً مجملاً لتتوطَّن على ذلك النفوس فيأتي التفصيل بعد الإجمال قد تشوقت له النفوس وزالت الوحشة التي منشؤها العادات القبيحة، فقال: {للرجال نصيب}؛ أي: قسط وحصة، {مما ترك}؛ أي: خلَّفَ، {الوالدان}؛ أي: الأب والأم، {والأقربون}؛ عموماً بعد خصوص، {وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون}، فكأنه قيلَ: هل ذلك النصيب راجعٌ إلى العُرف والعادة وأن يرضخوا لهم ما يشاؤون أو شيئاً مقدَّراً؟ فقال تعالى: {نصيباً مفروضاً}؛ أي: قد قدَّره العليم الحكيم. وسيأتي إن شاء الله تقدير ذلك. وأيضاً؛ فهنا توهُّم آخر: لعل أحداً يتوهَّم أن النساء والولدان ليس لهم نصيب إلا من المال الكثير، فأزال ذلك بقوله: {مما قلَّ منه أو كَثُر}؛ فتبارك الله أحسن الحاكمين.
(7) Dahulu orang-orang Arab pada zaman jahiliyah disebab-kan karena kesewenang-wenangan dan kekejaman mereka, mereka tidak mewariskan harta mereka kepada orang-orang yang lemah, dari kaum wanita dan anak-anak, namun mereka menetapkan warisan hanya untuk kaum laki-laki yang kuat. Hal tersebut me-nurut mereka adalah karena laki-laki yang kuat itu adalah pelaku peperangan, pembunuhan, perampasan, dan pengambilan. Maka Allah, Rabb Yang Maha Penyayang lagi Mahabijaksana berkehen-dak membuat suatu syariat di mana dalam syariat itu kaum laki-laki maupun kaum wanitanya adalah sama dan kaum yang lemah sama dengan kaum yang kuat. Dan Allah memulai dengan pen-dahuluan dalam masalah itu secara global, agar jiwa-jiwa manusia mampu menerimanya kemudian akhirnya perinciannya hadir setelah disebutkan secara global, yang telah dirindukan kedatangan-nya oleh jiwa-jiwa tersebut, hingga lenyaplah kondisi yang liar ter-sebut, yang bersumber dari adat istiadat yang buruk.
Lalu Allah berfirman, ﴾ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ
﴿ "Bagi laki-laki ada hak bagian," yaitu, kadar dan jumlah, ﴾ مِّمَّا تَرَكَ
﴿ "dari harta peninggalan," yaitu, apa yang ditinggalkan, ﴾ ٱلۡوَٰلِدَانِ
﴿ "kedua orangtua," yaitu, ibu dan ayah, ﴾ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ
﴿ "dan kerabatnya," ini adalah bentuk redaksi penyebutan umum setelah khusus.
﴾ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ
﴿ "Dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya." Seolah-olah dikatakan, apakah hal tersebut menurut adat istiadat, dan mereka tunduk pada apa yang mereka kehendaki ataukah itu adalah per-kara yang telah ditentukan?
Lalu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
﴿ "Menurut bagian yang telah ditetapkan," yaitu, yang telah ditentukan oleh Yang Maha Me-ngetahui lagi Mahabijaksana. Ketentuan-ketentuan tersebut akan hadir insya Allah.
Dan dalam hal ini ada dugaan yang lain, yaitu, bahwa ke-mungkinan saja ada seseorang yang mengira bahwa wanita dan anak-anak tidak memiliki bagian kecuali bila harta yang ditinggal-kan itu berjumlah besar. Maka Allah menghapus dugaan tersebut dengan FirmanNya, ﴾ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ ﴿ "baik sedikit atau banyak." Maka Mahaluhur Allah, Dia-lah sebaik-baik Pembuat ketentuan.
{وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (8)}.
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(se-kedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."
(An-Nisa`: 8).
#
{8} وهذا من أحكام الله الحسنة الجليلة الجابرة للقلوب، فقال: {وإذا حضر القسمة}؛ أي: قسمة المواريث، {أولو القربى}؛ أي: الأقارب غير الوارثين بقرينة قوله: {القسمة}؛ لأن الوارثين من المقسوم عليهم، {واليتامى والمساكين}؛ أي: المستحقون من الفقراء؛ {فارزقوهم منه}؛ أي: أعطوهم ما تيسَّر من هذا المال الذي جاءكم بغير كدٍّ ولا تعب ولا عَناءٍ ولا نَصَبٍ؛ فإنَّ نفوسَهم متشوفةٌ إليه وقلوبَهم متطلعةٌ؛ فاجبُروا خواطرهم بما لا يضركم وهو نافعهم. ويؤخذ من المعنى أنَّ كل مَنْ له تطلُّع وتشوُّف إلى ما حضر بين يدي الإنسان ينبغي له أن يعطِيَهُ منه ما تيسَّر؛ كما كان النبي - صلى الله عليه وسلم - يقول: «إذا جاء أحدكم خادمه بطعامه؛ فليُجْلِسْه معه؛ فإن لم يُجْلِسْه معه؛ فليناوله لقمة أو لقمتين» ، أو كما قال. وكان الصحابة رضي الله عنهم إذا بدأت باكورة أشجارهم؛ أتوا بها رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فَبَرَّكَ عليها، ونظر إلى أصغر وليد عنده، فأعطاه ذلك؛ علماً منه بشدة تشوفه لذلك، وهذا كله مع إمكان الإعطاء؛ فإن لم يمكن ذلك لكونه حقَّ سفهاء أو ثَمَّ أهمُّ من ذلك؛ فليقولوا لهم {قولاً معروفاً}؛ يردُّونهم ردًّا جميلا بقول حسن غير فاحش ولا قبيح.
(8) Ini adalah di antara ketentuan-ketentuan Allah yang baik lagi luhur dan menghibur hati, di mana Dia berfirman,﴾ وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ
﴿ "Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir," yaitu, pembagian harta warisan ﴾ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "kerabat," yaitu, sanak famili yang tidak termasuk ahli waris, dengan landasan Firman Allah, ﴾ ٱلۡقِسۡمَةَ
﴿ "se-waktu pembagian"; karena para ahli waris adalah orang-orang yang mendapat bagian, ﴾ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ
﴿ "anak yatim dan orang miskin," yaitu, orang-orang yang berhak (menerima sedekah) dari orang-orang fakir, ﴾ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ
﴿ "maka berilah mereka dari harta itu (sekedar-nya)," maksudnya, berikanlah mereka ala kadarnya dari harta ter-sebut yang kalian dapatkan tanpa usaha, tanpa lelah, tanpa susah, dan tanpa perjuangan, karena sesungguhnya jiwa mereka menatap kepadanya dan hati mereka memandangnya. Karena itu, hiburlah hati mereka dengan sesuatu yang tidak memudharatkan kalian dan bermanfaat bagi mereka. Dengan demikian dapat diambil suatu hal dari makna tersebut, bahwa setiap orang yang memandang dan menyaksikan apa yang ada di tangan manusia, seyogyanya diberi-kan kepadanya sekedarnya dari hal tersebut, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ، فَلْيُجْلِسْهُ مَعَهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ.
"Apabila datang kepada salah seorang di antara kalian pembantu-nya membawa makanannya, maka persilahkanlah ia turut duduk bersa-manya, namun bila ia tidak mempersilahkannya ikut duduk bersamanya, maka berikanlah kepadanya satu atau dua suap,"[2] atau seperti yang beliau ﷺ sabdakan.
"Dan dahulu para sahabat رضي الله عنهم apabila telah tampak pohon mereka mulai berbuah, mereka menghadirkannya kepada Rasulullah ﷺ lalu beliau mendoakan agar mendapat berkah lalu beliau melihat kepada anak-anak yang paling kecil di hadapannya dan memberikan buah tersebut kepada-nya."[3], [4]
Hal itu karena beliau sangat mengetahui kalau anak kecil itu sangat menginginkan buah tersebut. Kondisi ini adalah bila keada-annya memungkinkan untuk diberikan, namun bila hal tersebut tidak mungkin diberikan, karena merupakan hak dari orang-orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dengan baik atau suatu hal yang lebih penting dari itu, maka harus dikatakan kepada mereka ﴾ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ﴿ "perkataan yang baik," menolak mereka dengan penolakan yang baik, perkataan yang lembut tanpa kata yang keji dan kotor.
{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (9) إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (10)}.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sean-dainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka)."
(An-Nisa`: 9-10).
#
{9} قيل: إن هذا خطاب لمن يحضُرُ من حَضَرَهُ الموت، وأجنف في وصيته أن يأمره بالعدل في وصيته والمساواة فيها؛ بدليل قوله: {وليقولوا قولاً سديداً}؛ أي: سداداً موافقاً للقسط والمعروف، وأنهم يأمرون من يريد الوصية على أولاده بما يحبُّون معاملةَ أولادهم بعدهم. وقيل: إن المراد بذلك أولياء السفهاء من المجانين والصغار والضعاف أن يعاملوهم في مصالحهم الدينية والدنيوية بما يحبون أن يعامل به مَنْ بعدهم مِنْ ذُرِّيَّتهم الضعاف؛ {فليتقوا الله}: في ولايتهم لغيرهم؛ أي: يعاملونهم بما فيه تقوى الله من عدم إهانتهم والقيام عليهم وإلزامهم لتقوى الله.
(9) Sebuah pendapat berkata, dialog ini ditujukan kepada orang yang menjenguk seseorang yang sedang sekarat dan ia ber-laku berat sebelah dalam wasiatnya agar orang yang menjenguk itu memerintahkan kepadanya untuk adil dalam wasiatnya ter-sebut dan berlaku sama rata. Dengan dalil Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا
﴿ "Dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar," yaitu, yang lurus dan sesuai dengan keadilan dan kebaikan, dan bahwasanya mereka memerintahkan orang yang hendak memberi-kan wasiat terhadap anak-anaknya dengan perkara seperti yang mereka sukai dalam bermuamalah terhadap anak-anak mereka setelah kematian mereka sendiri.
Pendapat lain berkata, yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah para wali orang-orang yang tidak mampu membelanjakan harta dengan baik dari orang gila, anak kecil, dan orang-orang lemah; agar para wali itu bermuamalah terhadap mereka dalam hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, baik agama maupun dunia mereka sebagaimana mereka menginginkan mereka bermuamalah terhadap orang-orang yang lemah yang datang setelah mereka dari keturunan mereka.
﴾ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ ﴿ "Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah," dalam status mereka sebagai wali bagi orang lain, artinya yang memperlakukan mereka dalam suasana takwa kepada Allah tanpa menghina mereka, mengurus mereka dengan baik, dan mengharuskan mereka agar bertakwa kepada Allah.
#
{10} ولما أمرهم بذلك زجرهم عن أكل أموال اليتامى وتوعَّد على ذلك أشد العذاب، فقال: {إنَّ الذين يأكلون أموال اليتامى ظلماً}؛ أي: بغير حق، وهذا القيد يخرُجُ به ما تقدَّم من جواز الأكل للفقير بالمعروف، ومن جواز خلط طعامهم بطعام اليتامى؛ فمن أكلها ظُلماً؛ فإنما {يأكلون في بطونهم ناراً}؛ أي: فإن الذي أكلوه نار تتأجَّج في أجوافهم، وهم الذين أدخلوه في بطونهم، {وسيصلون سعيراً}؛ أي: ناراً محرقة متوقدة. وهذا أعظم وعيد ورد في الذنوب يدل على شناعة أكل أموال اليتامى وقُبحها وأنها موجبة لدخول النار، فدلَّ ذلك أنها من أكبر الكبائر، نسأل الله العافية.
(10) Dan ketika Allah memerintahkan para wali kepada hal tersebut, Allah mengingatkan mereka agar tidak memakan harta anak yatim, dan mengancam orang yang memakannya dengan se-keras-keras siksaan, seraya berfirman, ﴾ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim" maksudnya, tanpa hak. Ketentuan ini (yaitu memakan harta anak yatim dengan zhalim), tidak termasuk di dalamnya apa yang telah lewat sebelumnya, yaitu bolehnya seorang yang fakir untuk memakannya secara ma'ruf, dan bolehnya makanan pribadinya bercampur dengan makanan anak yatim. Barangsiapa yang me-makannya dengan zhalim, sesungguhnya ﴾ يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ
﴿ "mereka itu menelan api sepenuh perutnya," yaitu sesungguhnya apa yang mereka makan itu adalah api yang menyala-nyala dalam perut mereka, dan mereka sendirilah yang memasukkan api itu dalam perut-perut mereka.
﴾ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ﴿ "Dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka)," yaitu, api yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang paling besar yang ditetapkan terhadap suatu dosa, yang menunjukkan akan keji dan jeleknya memakan harta anak yatim dan bahwa perbuatan itu mengakibat-kan pelakunya masuk ke dalam api neraka. Dan itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam dosa-dosa yang besar. Kita memohon keselamatan kepada Allah.
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11) وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)}.
"Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu se-muanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang me-ninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah di-penuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang diting-galkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seper-delapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempu-nyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun." (An-Nisa`: 11-12).
Ayat-ayat ini dan ayat pada akhir surat ini adalah ayat-ayat tentang warisan yang mengandung penjelasannya, ditambah hadits Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما yang termaktub dalam Shahih al-Bukhari,
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
"Serahkan warisan yang telah ditetapkan itu kepada orangnya yang berhak, dan bila tersisa, maka untuk para kerabat laki-laki."[5]
Semua dalil di atas mengandung sebagian besar hukum-hukum warisan, bahkan seluruhnya sebagaimana yang akan Anda lihat nantinya, kecuali warisan untuk nenek, (ibunya ibu atau ibu-nya bapak), karena tidak tersebutkan dalam dalil-dalil di atas. Akan tetapi terdapat riwayat shahih dalam as-Sunan[6] dari al-Mughirah bin Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah bahwasanya Nabi ﷺ memberikan kepada nenek seperenam ditambah dengan adanya ijma' para ulama atas hal tersebut.
#
{11} فقوله تعالى: {يوصيكم الله في أولادكم}؛ أي: أولادكم يا معشر الوالدين عندكم ودائع قد وصاكم الله عليهم لتقوموا بمصالحهم الدينيَّة والدنيويَّة، فتعلِّمونهم وتؤدِّبونهم وتكفُّونهم عن المفاسد وتأمرونَهم بطاعة الله وملازمة التقوى على الدوام؛ كما قال تعالى: {يا أيُّها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم ناراً وَقودها الناس والحجارةُ}؛ فالأولاد عند والِديهم موصىً بهم؛ فإمَّا أن يقوموا بتلك الوصية؛ فلهم جزيل الثواب، وإمَّا أن يضيِّعوها؛ فيستحقوا بذلك الوعيد والعقاب. وهذا مما يدلُّ على أن الله تعالى أرحم بعباده من الوالِدينِ، حيث أوصى الوالِدينِ مع كمال شفقتهم عليهم.
ثم ذكر كيفية إرثهم، فقال: {للذكر مثل حظ الأنثيين}؛ أي: الأولاد للصلب والأولاد للابن، للذكر مثل حظِّ الأنثيين إن لم يكن معهم صاحبُ فرض، أو ما أبقت الفروض يقتسمونه كذلك، وقد أجمع العلماء على ذلك، وأنه مع وجود أولاد الصلب؛ فالميراث لهم، وليس لأولاد الابن شيء؛ حيث كان أولاد الصلب ذكوراً وإناثاً. هذا مع اجتماع الذكور والإناث. وهنا حالتان: انفراد الذكور. وسيأتي حكمها، وانفراد الإناث. وقد ذكره بقوله: {فإن كنَّ نساءً فوق اثنتين}؛ أي: بنات صلب أو بنات ابن ثلاثاً فأكثر؛ {فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة}؛ أي: بنتاً أو بنت ابن؛ {فلها النصف}. وهذا إجماع.
بقي أن يُقال: من أين يُستفاد أنَّ للابنتين الثِّنْتَيْنِ الثلثين بعد الإجماع على ذلك؟ فالجواب: أنه يستفاد من قوله: {إن كانت واحدةً فلها النصف}؛ فمفهوم ذلك أنه إن زادت على الواحدة؛ انتقل الفرض عن النصف، ولا ثَمَّ بعده إلا الثلثان. وأيضاً؛ فقوله: {للذكر مثل حظ الأنثيين}: إذا خلَّفَ ابناً وبنتاً؛ فإن الابن له الثلثان، وقد أخبر الله أنه مثل حظ الأنثيين، فدلَّ ذلك على أن للبنتين الثلثين. وأيضاً؛ فإن البنت إذا أخذت الثلث مع أخيها وهو أزيد ضرراً عليها من أختها، فأخْذُها له مع أختها من باب أولى وأحرى. وأيضاً؛ فإن قوله تعالى في الأختين: {فإن كانتا اثنتينِ فلهما الثلثانِ مما ترك}: نصٌّ في الأختين الثنتين؛ فإذا كان الأختان الثنتان مع بعدهما يأخذان الثلثين؛ فالابنتان مع قربهما من باب أولى وأحرى. وقد أعطى النبيُّ - صلى الله عليه وسلم - ابنتي سعد الثلثين؛ كما في «الصحيح».
بقي أن يُقال: فما الفائدة في قوله: {فوق اثنتين}؟ قيل: الفائدة في ذلك والله أعلم: أنه لِيُعْلَمَ أن الفرض الذي هو الثلثان لا يزيد بزيادتهن على الثنتين، بل من الثنتين فصاعداً.
ودلت الآية الكريمة أنه إذا وُجِدَ بنتُ صلبٍ واحدة وبنتُ ابن أو بناتُ ابن؛ فإن لبنت الصلب النصف، ويبقى من الثلثين اللذين فرضهما الله للبنات أو بنات الابن السدس، فيعطى بنت الابن أو بنات الابن، ولهذا يسمى هذا السدس تكملةَ الثلثين. ومثل ذلك بنت الابن مع بنات الابن اللاتي أَنْزَلُ منها. وتدلُّ الآية أنه متى استغرقَ البناتُ أو بناتُ الابن الثلثين: أنه يسقُطُ من دونهنَّ من بنات الابن؛ لأن الله لم يفرض لهن إلا الثلثين، وقد تم؛ فلو لم يسقطن؛ لزم من ذلك أن يفرضَ لهنَّ أزيدُ من الثلثين، وهو خلاف النص. وكل هذه الأحكام مجمع عليها بين العلماء، ولله الحمد.
ودل قوله: {مما ترك}: أن الوارثين يرثون كل ما خلف الميت من عقار وأثاث وذهب وفضة وغير ذلك، حتى الدية التي لم تجب إلا بعد موته، وحتى الديون التي في الذمة.
ثم ذكر ميراث الأبوين، فقال: {ولأبويه}؛ أي: أبوه وأمه، {لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد}؛ أي: ولد صلب أو ولد ابن ذكراً كان أو أنثى واحداً أو متعدداً: فأما الأم؛ فلا تزيد على السدس مع أحد من الأولاد، وأما الأب؛ فمع الذكور منهم لا يستحق أزيد من السدس؛ فإن كان الولد أنثى أو إناثاً، ولم يبق بعد الفرض شيء؛ كأبوين وابنتين؛ لم يبق له تعصيب، وإن بقي بعد فرض البنت أو البنات شيء؛ أخذ الأب السدس فرضاً والباقي تعصيباً؛ لأننا ألحقنا الفروض بأهلها؛ فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر، وهو أولى من الأخ والعم وغيرهما. {فإن لم يكن له ولدٌ وورثه أبواه فلأمه الثلث}؛ أي: والباقي للأب؛ لأنه أضاف المال إلى الأب والأم إضافة واحدة، ثم قدر نصيب الأم، فدل ذلك على أن الباقي للأب، وعُلم من ذلك أن الأب مع عدم الأولاد لا فرضَ له، بل يرث تعصيباً المالَ كلَّه، أو ما أبقت الفروض.
لكن لو وُجِدَ مع الأبوين أحدُ الزوجين ـ ويعبَّر عنهما بالعمريَّتين ـ؛ فإن الزوج أو الزوجة يأخذ فرضه، ثم تأخذ الأم ثلث الباقي والأب الباقي، وقد دل على ذلك قوله: {وورثه أبواه فلأمه الثلث}؛ أي: ثلث ما ورثه الأبوان، وهو في هاتين الصورتين: إما سدس في زوج وأم وأب، وإما ربع في زوجة وأم وأب، فلم تدل الآية على إرث الأم ثلث المال كاملاً مع عدم الأولاد حتى يقالَ: إنَّ هاتين الصورتين قد اسْتُثنِيتا من هذا. ويوضح ذلك أن الذي يأخذه الزوج أو الزوجة بمنزلة ما يأخذه الغرماء، فيكون من رأس المال، والباقي بين الأبوين. ولأنَّا لو أعطينا الأم ثلث المال؛ لزم زيادتها على الأب في مسألة الزوج أو أخذ الأب في مسألة الزوجة زيادة عنها نصف السدس، وهذا لا نظير له؛ فإن المعهود مساواتها للأب أو أخذه ضعف ما تأخذه الأم.
{فإن كان له إخوة فلأمه السدس}: أشقاء أو لأب أو لأم ذكوراً كانوا أو إناثاً وارثين أو محجوبين بالأب أو الجد. لكن قد يُقال: ليس ظاهر قوله: {فإن كان له إخوة}: شاملاً لغير الوارثين، بدليل عدم تناولها للمحجوب بالنصف؛ فعلى هذا لا يحجبها عن الثلث من الإخوة إلا الإخوة الوارثون. ويؤيده أن الحكمة في حجبهم لها عن الثلث لأجل أن يتوفَّر لهم شيء من المال، وهو معدوم. والله أعلم. ولكن بشرط كونهم اثنين فأكثر.
ويشكل على ذلك إتيان لفظ الإخوة بلفظ الجمع. وأجيب عن ذلك بأن المقصود مجرد التعدد لا الجمع، ويصدق ذلك باثنين، وقد يطلق الجمع ويراد به الاثنان؛ كما في قوله تعالى عن داود وسليمان: {وكُنَّا لِحُكْمِهم شاهدين}. وقال في الإخوة للأم: {وإن كان رجل يورَث كَلالةً أو امرأةٌ وله أخ أو أختٌ فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث}: فأطلق لفظ الجمع، والمراد به اثنان فأكثر بالإجماع. فعلى هذا؛ لو خلَّف أمًّا وأباً وإخوةً؛ كان للأم السدس والباقي للأب، فحجبوها عن الثلث مع حجب الأب إياهم؛ إلا على الاحتمال الآخر؛ فإن للأم الثلث والباقي للأب.
ثم قال تعالى: {من بعد وصية يوصى بها أو دين}؛ أي: هذه الفروض والأنصباء والمواريث، إنما ترد وتستحق بعد نزع الديون التي على الميت لله أو للآدميين، وبعد الوصايا التي قد أوصى الميت بها بعد موته؛ فالباقي عن ذلك هو التركة الذي يستحقه الورثة. وقدم الوصية مع أنها مؤخرة عن الدين للاهتمام بشأنها لكون إخراجها شاقًّا على الورثة، وإلاَّ؛ فالديون مقدَّمة عليها، وتكون من رأس المال، وأما الوصية؛ فإنها تصح من الثلث فأقل للأجنبي الذي هو غير وارث، وأما غير ذلك؛ فلا ينفذ إلا بإجازة الورثة.
قال تعالى: {آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعاً}؛ فلو رُدَّ تقدير الإرث إلى عقولكم واختياركم؛ لحصل من الضرر ما الله به عليم؛ لِنَقْصِ العقولِ وعدم معرفتها بما هو اللائق الأحسن في كل زمان ومكان، فلا يدرون أي الأولاد أو الوالدين أنفع لهم وأقرب لحصول مقاصدهم الدينية والدنيوية.
{فريضة من الله إنَّ الله كان عليماً حكيماً}؛ أي: فرضها الله الذي قد أحاط بكل شيء علماً وأحكم ما شرعه وقدَّر ما قدَّره على أحسن تقدير، لا تستطيع العقول أن تقترح مثل أحكامه الصالحة الموافقة لكل زمان ومكان وحال.
(11) Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ
﴿ "Allah mensya-riatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." Mak-sudnya, anak-anak kalian wahai para kedua orang tua, di mana mereka itu adalah amanah bagi kalian dan sesungguhnya Allah telah mewasiatkan mereka kepada kalian agar kalian mengurus kemaslahatan mereka, baik agama maupun dunia mereka, maka kalian harus mengajar mereka, mendidik mereka, dan menghalangi mereka dari kerusakan, memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan konsisten dalam ketakwaan secara terus menerus, seba-gaimana Allah berfirman,
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
﴿
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluarga-mu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (At-Tahrim: 6).
Sebenarnya anak-anak telah diwasiatkan kepada orang tua mereka, bila para orang tua menunaikan wasiat tersebut, maka mereka mendapat balasan yang berlimpah, dan bila mereka mela-laikannya, maka mereka berhak menerima ancaman dan siksaan. Ini di antara yang menunjukkan bahwa Allah سبحانه وتعالى adalah lebih Pe-nyayang terhadap hamba-hambaNya daripada kedua orang tua, di mana Allah telah mewasiatkan kepada kedua orang tua padahal mereka telah memiliki kasih sayang yang begitu besar terhadap anak-anak mereka.
Kemudian Allah menyebutkan tentang tata cara pewarisan mereka. Allah berfirman, ﴾ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan," yaitu, anak-anak atau anak dari anak laki-laki (cucu), bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan bila tidak ada seorang ahli waris yang memiliki hak tertentu, demikian juga apa yang tersisa dari pembagian hak-hak tertentu. Para ulama telah berijma' atas hal tersebut. Dan bahwasanya dengan adanya anak-anak, maka harta warisan adalah milik mereka dan tidak ada bagian sama sekali bagi anak-anak dari anak laki-laki (cucu), di mana anak-anak tersebut adalah laki-laki dan perempuan. Ini dengan bersatunya laki-laki dan perempuan.
Dalam hal ini ada dua kondisi; hanya laki-laki saja, dan akan datang ketentuannya dan hanya perempuan saja. Allah telah me-nyebutkan hal itu dalam FirmanNya, ﴾ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ
﴿ "Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua," yaitu, anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) tiga orang atau lebih, ﴾ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ
﴿ "maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja," yaitu, seorang anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, (cucu perempuan), ﴾ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ
﴿ "maka ia memperoleh separuh harta," ini merupakan ijma'.
Penting ditanyakan, dari mana diambil dasar hukum bagi dua orang anak perempuan mendapatkan duapertiga setelah adanya ijma' akan hal tersebut? Maka jawabannya adalah; bahwasanya itu diambil dari Firman Allah, ﴾ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ
﴿ "Jika anak pe-rempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta." Itu artinya, jika lebih dari satu maka hak tertentu itu beralih dari setengah dan urutan persentase setelah (setengah) tersebut adalah dua pertiga. Demikian juga Firman Allah, ﴾ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan," apabila seseorang meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka anak laki-laki itu mendapatkan dua pertiga. Dan Allah سبحانه وتعالى telah mengabarkan bahwa bagian anak laki-laki itu seperti bagian dua anak perempuan, dengan demikian itu menunjukkan bahwa dua anak perempuan mendapatkan dua pertiga. Begitu juga seorang anak perempuan apabila mendapatkan bagian sepertiga bersama saudara laki-lakinya padahal ia lebih besar kemudharat-annya daripada saudara lainnya yang perempuan, maka bagian sepertiga itu bersama saudara lain yang perempuan adalah lebih utama dan lebih patut. Demikian juga Firman Allah تعالى tentang dua saudara perempuan,
﴾ فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ
﴿
"Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal." (An-Nisa`: 176).
Itu adalah sebuah nash yang jelas tentang dua saudara perem-puan. Maka apabila dua orang saudara perempuan itu dengan jauhnya jarak mereka mendapatkan dua pertiga, maka dua anak perempuan dengan dekatnya jarak adalah lebih utama dan lebih patut. Nabi ﷺ telah memberikan kedua orang anak perempuan Sa'd dua pertiga, sebagaimana yang termaktub dalam kitab ash-Shahih[7].
Lalu apa faidah dari Firman Allah, ﴾ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ
﴿ "Lebih dari dua?"
Faidah Firman Allah itu -dan hanya Allah yang lebih Me-ngetahuinya- adalah agar diketahui bahwa hak tertentu yaitu dua pertiga tersebut tidaklah bertambah dengan bertambahnya jumlah mereka lebih dari dua orang, akan tetapi jumlah tersebut untuk dua orang atau lebih.
Ayat ini menunjukkan bahwa apabila didapatkan seorang anak perempuan dan satu atau beberapa anak perempuan dari anak laki-laki (cucu), maka anak perempuan itu mendapatkan setengah dan tersisa dari dua pertiga yang telah ditetapkan oleh Allah bagi anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) seperenam, lalu diberikanlah bagian itu kepada seorang anak atau beberapa anak perempuan dari anak laki-laki (cucu).
Oleh karena itu bagian seperenam tersebut dinamakan pe-lengkap bagi dua pertiga. Kondisi seperti itu terjadi juga bagi anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) bersama anak-anak perem-puan dari anak laki-laki (anaknya cucu) yang lebih bawah darinya.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa ketika anak-anak perem-puan itu atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki itu telah mengambil seluruh bagian dua pertiga itu, maka hilanglah bagian selain mereka (di bawah mereka) dari anak-anak perempuan dari anak laki-laki, karena Allah سبحانه وتعالى tidak menetapkan bagian mereka kecuali dua pertiga saja dan bagian itu telah habis mereka ambil. Sekiranya mereka tidak gugur haknya, niscaya hal itu mengakibat-kan ditetapkannya bagi mereka lebih banyak lagi dari dua pertiga, dan hal itu bertentangan dengan nash yang ada. Ketentuan hukum-hukum tersebut telah disepakati oleh para ulama, dan segala pujian hanya bagi Allah.
Firman Allah, ﴾ مِمَّا تَرَكَ
﴿ "Dari harta yang ditinggalkan" menun-jukkan bahwa seluruh ahli waris mewarisi apa yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal, berupa rumah, perabot, emas, perak, ataupun lainnya, hingga diyat (denda) yang belum terlaksana kecuali setelah ia meninggal, juga hutang-hutang yang dipikulnya.
Kemudian Allah menyebutkan warisan kedua orang tua, dalam FirmanNya, ﴾ وَلِأَبَوَيۡهِ
﴿ "Dan untuk dua orang ibu-bapak," yaitu ayah orang yang meninggal atau ibunya, ﴾ لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٞۚ
﴿ "bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggal-kan, jika yang meninggal itu mempunyai anak," yaitu, anak-anak si mayit atau cucu-cucunya dari anak laki-lakinya, yang laki-laki maupun perempuan, seorang ataupun banyak. Adapun ibu, ia mendapat tidak lebih dari seperenam bersama dengan adanya salah seorang dari anak-anak si mayit, sedang ayah, dengan adanya be-berapa anak laki-laki tidak berhak mendapat lebih dari seperenam. Apabila anak tersebut seorang perempuan atau beberapa perem-puan dan tidak ada lagi warisan yang tersisa setelah pembagian hak-hak yang tertentu, seperti kedua orang tua dan dua orang anak perempuan, maka mereka tidak mempunyai bagiannya lagi dari 'Ashabah (sisa pembagian), dan apabila masih tersisa setelah pem-bagian hak seorang anak perempuan atau beberapa anak perem-puan, maka ayah mendapatkan seperenam karena hak tertentu dan sisa pembagian karena 'Ashabah. Hal itu karena kita telah membe-rikan hak-hak tertentu kepada pemiliknya, dan apa yang tersisa darinya maka yang lebih berhak adalah yang laki-laki, dan ayah lebih berhak lebih dahulu daripada saudara si mayit, pamannya, atau yang lainnya.
﴾ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ
﴿ "Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga." Maksudnya, yang tersisa adalah ayah; karena Allah menyandarkan harta kepada ayah, sedang ibu hanya dengan satu kali sandaran saja. Kemudian Allah menentukan hak bagian ibu. Itu menunjukkan bahwa sisanya adalah hak ayah. Dengan demikian diketahui bahwa ayah dalam kondisi tidak adanya anak-anak dari si mayit tidak memiliki hak tertentu, akan tetapi ia me-warisi dengan cara 'Ashabah seluruh harta atau apa-apa yang tersisa dari pembagian hak-hak yang tertentu.
Akan tetapi apabila didapatkan bersama kedua orang tua salah seorang dari suami atau istrinya dari si mayit -yang diistilah-kan dengan sebutan Umariyatain- maka suami atau istri mengambil haknya yang tertentu, kemudian ibu mengambil sepertiga dari sisa pembagian itu dan ayah mendapat sisanya. Ini berlandaskan Firman Allah, ﴾ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ
﴿ "Dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga," yaitu, sepertiga dari apa yang akan diwarisi oleh kedua orang tua tersebut. Dan itu terwujud dalam kedua kondisi berikut: Seperenam pada kondisi (yang men-jadi ahli waris adalah) suami, ayah dan ibu atau seperempat pada kondisi (yang mewarisi adalah) istri, ayah dan ibu.
Ayat itu tidak menunjukkan bahwa ibu mewarisi sepertiga dari harta secara penuh dengan tidak adanya anak-anak si mayit, hingga dikatakan, sesungguhnya kedua kondisi itu telah dikecuali-kan dari hal tersebut.
Dan penjelasan dari hal itu adalah bahwa apa yang diambil oleh suami atau istri seperti apa yang diambil oleh orang-orang yang memiliki hutang atas si mayit, yaitu diambil dari jumlah harta si mayit secara keseluruhan, dan sisa dari itu adalah hak kedua orang tua. Dan didasari pula oleh karena bila kita memberikan ke-pada ibu sepertiga harta warisan, pastilah bagian ibu lebih banyak dari ayah pada kondisi adanya suami, atau ayah akan mengambil pada kondisi adanya istri lebih banyak dari ibu setengah dari se-perenam. Ini tidak ada kesamaannya, dan yang seharusnya adalah persamaannya dengan ayah atau ayah mengambil dua kali lipat dari apa yang diambil oleh ibu.
﴾ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ
﴿ "Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam," baik saudara kandung atau seayah atau seibu, laki-laki maupun perempuan, yang mendapat warisan atau terhalang mendapat warisan dengan adanya ayah atau kakek. Akan tetapi mungkin akan dikatakan oleh sebagian orang, bahwa Firman Allah, ﴾ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ
﴿ "Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara" tidak secara zahir men-cakup orang-orang yang tidak mendapat warisan, dengan dalil bahwa dalam ayat itu tidak terkandung orang yang terhalang oleh orang yang berhak mendapat setengah. Dengan demikian saudara tidaklah terhalang dari sepertiga kecuali saudara yang mendapat warisan saja. Ini didukung oleh kenyataan bahwa hikmah terha-langnya mereka dari sepertiga adalah agar saudara yang mewarisi itu mendapatkan sejumlah harta yang cukup dan hal itu tidak ada. Wallahu a'lam, akan tetapi dengan syarat jumlah mereka dua atau lebih.
Hal itu menjadi lebih rumit, karena lafazh "saudara" dalam ayat tersebut dengan lafazh jamak. Itu dapat dijawab dengan ke-nyataan bahwa maksud dari lafazh itu adalah hanya untuk menun-jukkan jumlah bukan jamak, dan hal ini ditegaskan dengan lafazh "dua," dan terkadang lafazh jamak itu dimaksudkan dan diartikan dengan dua, sebagaimana dalam Firman Allah سبحانه وتعالى tentang Dawud dan Sulaiman عليهما السلام,
﴾ وَكُنَّا لِحُكۡمِهِمۡ شَٰهِدِينَ 78
﴿
"Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu." (Al-Anbiya`: 78).
Dan Allah berfirman tentang saudara seibu,﴾ وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai se-orang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapatkan seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu." Allah menggunakan lafazh jamak, dan yang dimaksudkan adalah dua atau lebih menu-rut ijma'.
Dengan dasar ini, maka apabila seorang mayit meninggalkan ibu, ayah dan beberapa saudara, maka hak ibu adalah seperenam, dan sisanya adalah hak ayah. Beberapa saudara itu menghalangi ibu mendapatkan sepertiga dan ayah menghalangi mereka men-dapat bagian, kecuali dengan adanya kemungkinan lain, yaitu hak ibu adalah sepertiga dan sisanya adalah hak ayah.[8]
Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ
﴿ "Se-sudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutang-nya," maksudnya, hak-hak tertentu tersebut, bagian-bagiannya dan warisan-warisan itu sesungguhnya dapat berlaku dan terjadi setelah dipotong oleh hutang yang ditanggung oleh mayit; hak milik Allah atau milik manusia lain. Dan juga setelah pelaksanaan wasiat yang telah diwasiatkan oleh mayit setelah meninggalnya. Sisa dari itu semualah yang menjadi harta peninggalan yang berhak diwarisi oleh para ahli waris.
Dan wasiat didahulukan dalam ayat ini padahal pelaksana-annya diakhirkan setelah hutang agar diperhatikan dengan baik, karena merealisasikan wasiat itu sangatlah berat bagi para ahli waris, dan bila tidak demikian, maka hutang-hutang adalah dida-hulukan dari wasiat, dan diambil dari harta yang ada. Sedangkan wasiat adalah sah dengan hanya sepertiga saja atau kurang dari itu, bagi orang di luar keluarga yang tidak menjadi ahli waris. Selain dari itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin dari para ahli waris.
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ
﴿ "(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu."
Sekiranya ketentuan pembagian warisan itu dikembalikan kepada akal pikiran dan pilihan kalian, niscaya akan terjadi kemu-dharatan di mana hanya Allah saja yang mengetahuinya, karena tidak sempurnanya akal pikiran dan tidak adanya pengetahuan-nya tentang hal-hal yang patut dan baik dalam segala waktu dan tempat. Mereka tidak mengetahui anak yang mana atau orang tua yang mana yang lebih berguna bagi mereka dan lebih dekat kepada tercapainya tujuan-tujuan mereka, baik agama maupun dunia.
﴾ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." Maksud-nya, telah ditentukan oleh Allah yang meliputi segala sesuatu de-ngan ilmuNya, dan berlaku bijaksana dalam segala syariatNya, dan menentukan apa yang telah ditetapkanNya dengan sebaik-baik ketentuan. Akal manusia tidaklah mampu untuk menghadirkan seperti hukum-hukumNya yang baik dan sesuai bagi setiap zaman dan tempat, serta kondisi.
#
{12} ثم قال تعالى: {ولكم} أيها الأزواج {نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بها أو دين ولهن الربع مما تركتم إن لم يكن لكم ولد، فإن كان لكم ولد فلهن الثمن مما تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين}، ويدخل في مسمى الولد المشروط وجوده أو عدمه ولد الصلب، أو ولد الابن، الذكر والأنثى، الواحد، والمتعدد الذي من الزوج أو من غيره، ويخرج عنه ولد البنات إجماعاً.
ثم قال تعالى: {وإن كان رجل يورث كلالة أو امرأة وله أخ أو أخت}؛ أي: من أم؛ كما هي في بعض القراءات، وأجمع العلماء على أن المراد بالإخوة هنا الإخوة للأم؛ فإذا كان يورث كلالة؛ أي: ليس للميت والد ولا ولد؛ أي: لا أب ولا جد ولا ابن ولا ابن ابن ولا بنت ولا بنت ابن وإن نزلوا، وهذه هي الكلالة كما فسرها بذلك أبو بكر الصديق رضي الله عنه، وقد حصل على ذلك الاتفاق ولله الحمد، {فلكل واحد منهما}؛ أي؛ من الأخ والأخت {السدس، فإن كانوا أكثر من ذلك}؛ أي: من واحد؛ {فهم شركاء في الثلث}؛ أي: لا يزيدون على الثلث ولو زادوا عن اثنين. ودل قوله: {فهم شركاء في الثلث}: أن ذكرهم وأنثاهم سواء؛ لأن لفظ الشريك يقتضي التسوية. ودل لفظ {الكلالة} على أن الفروع وإن نزلوا، والأصول الذكور وإن علوا، يسقطون أولاد الأم؛ لأن الله لم يورثهم إلا في الكلالة؛ فلو لم يكن يورث كلالة؛ لم يرثوا منه شيئاً اتفاقاً. ودل قوله: {فهم شركاء في الثلث}: أن الإخوة الأشقاء يسقطون في المسألة المسماة بالحمارية، وهي زوج وأم وإخوة لأم وإخوة أشقاء: للزوج النصف، وللأم السدس، وللإخوة للأم الثلث، ويسقط الأشقاء لأن الله أضاف الثلث للإخوة من الأم؛ فلو شاركهم الأشقاء؛ لكان جمعاً لما فرق الله حكمه. وأيضاً؛ فإن الإخوة للأم أصحاب فروض والأشقاء عصبات، وقد قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «ألحقوا الفرائض بأهلها؛ فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر».
وأهل الفروض هم الذين قدر الله أنصباءهم؛ ففي هذه المسألة لا يبقى بعدهم شيء، فيسقط الأشقاء، وهذا هو الصواب في ذلك. وأما ميراث الإخوة والأخوات الأشقاء أو لأب؛ فمذكور في قوله: {يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة ... } الآية؛ فالأخت الواحدة شقيقة أو لأب لها النصف، والثنتان لهما الثلثان، والشقيقة الواحدة مع الأخت للأب أو الأخوات تأخذ النصف والباقي من الثلثين للأخت أو أخوات الأب وهوالسدس تكملة الثلثين، وإذا استغرقت الشقيقات الثلثين؛ تسقط الأخوات للأب؛ كما تقدم في البنات وبنات الابن، وإن كان الإخوة رجالاً ونساء؛ فللذكر مثل حظ الأنثيين.
فإن قيل: فهل يستفاد حكم ميراث القاتل والرقيق والمخالف في الدين والمُبَعَّضُ والخنثى والجد مع الإخوة لغير أُمٍّ والعَوْل والردِّ وذوي الأرحام وبقية العَصَبة والأخوات لغير أم مع البنات أو بنات الابن من القرآن أم لا؟ قيل: نعم فيه تنبيهات وإشارات دقيقة يَعْسُرُ فهمُها على غير المتأمل تدلُّ على جميع المذكورات:
فأما القاتل والمخالف في الدين؛ فيُعْرَفُ أنهما غير وارثين من بيان الحكمة الإلهية في توزيع المال على الورثة بحسَبِ قربهم ونفعهم الديني والدنيوي، وقد أشار تعالى إلى هذه الحكمة بقوله: {لا تدرونَ أيُّهم أقربُ لكم نفعاً}، وقد عُلِمَ أن القاتلَ قد سعى لموروثه بأعظم الضَّرر، فلا ينتهضُ ما فيه من موجب الإرث أن يقاوم ضرر القتل الذي هو ضد النفع الذي رُتِّبَ عليه الإرثُ، فُعِلمَ من ذلك أن القتل أكبر مانع يمنع الميراث ويقطع الرحم الذي قال الله فيه: {وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعضٍ في كتاب الله}، مع أنه قد استقرَّتِ القاعدة الشرعية: أن من استعجل شيئاً قبل أوانه؛ عوقب بحرمانه.
وبهذا ونحوه يُعْرَفُ أن المخالف لدين الموروث لا إرثَ له، وذلك أنه قد تعارض الموجبُ الذي هو اتصال النسب الموجب للإرث والمانعُ الذي هو المخالفة في الدين الموجبةُ للمباينة من كلِّ وجه، فقوي المانع، ومنع موجِبَ الإرث الذي هو النسب، فلم يعمل الموجِبُ لقيام المانع. يوضِّحُ ذلك أن الله تعالى قد جعل حقوق المسلمين أولى من حقوق الأقارب الكفار الدنيوية؛ فإذا مات المسلم؛ انتقلَ مالُهُ إلى من هو أولى وأحق به، فيكون قوله تعالى: {وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعض في كتاب الله}: إذا اتَّفقت أديانُهم، وأما مع تبايُنِهِم؛ فالأخوَّةُ الدينيةُ مقدَّمة على الأخوَّة النسبيَّة المجرَّدة.
قال ابن القيم في «جلاء الأفهام»: «وتأمَّل هذا المعنى في آية المواريث وتعليقه سبحانه التوارثَ فيها بلفظِ الزوجة دون المرأةِ؛ كما في قوله تعالى: {وَلكم نصفُ ما تَرَكَ أزواجكم}: إيذانٌ بأن هذا التوارثَ إنَّما وقع بالزوجيةِ المقتضيةِ للتشاكل والتناسب، والمؤمِنُ والكافر لا تشاكلَ بينهما ولا تناسبَ، فلا يقع بينهما التوارثُ، وأسرار مفردات القرآن ومركباته فوق عقول العالمين». انتهى.
وأما الرقيق؛ فإنه لا يَرِثُ ولا يورث: أما كونه لا يورث؛ فواضحٌ؛ لأنه ليس له مال يورث عنه، بل كل ما معه فهو لسيده. وأما كونه لا يرث؛ فلأنه لا يملك؛ فإنه لو ملك لكان لسيده، وهو أجنبيٌّ من الميت، فيكون مثل قوله تعالى: {للذكر مثل حظ الأنثيين} {ولكم نصف ما ترك أزواجكم} {فلكل واحد منهما السدس} .... ونحوها لمن يتأتَّى منه التملُّك، وأما الرقيق؛ فلا يتأتَّى منه ذلك، فعُلِمَ أنه لا ميراث له.
وأما من بعضُهُ حرٌّ وبعضُهُ رقيقٌ؛ فإنَّه تتبعَّض أحكامُه؛ فما فيه من الحرية يستحقُّ بها ما رتبه الله في المواريث؛ لكون ما فيه من الحرية قابلاً للتملُّك وما فيه من الرقِّ؛ فليس بقابل لذلك؛ فإذاً يكون المبَعَّض يرث ويورِّث ويحجب بقدر ما فيه من الحرية، وإذا كان العبد يكون محموداً ومذموماً مثاباً ومعاقباً بقدر ما فيه من موجبات ذلك؛ فهذا كذلك.
وأمَّا الخنثى؛ فلا يخلو إما أن يكون واضحاً ذكوريَّته أو أنوثيَّته أو مشكلاً؛ فإن كان واضحاً؛ فالأمر فيه واضحٌ: إن كان ذكراً؛ فله حكم الذكور، ويشمله النص الوارد فيهم، وإن كانت أنثى؛ فلها حكم الإناث، ويشملها النص الوارد فيهن. وإن كان مشكلاً؛ فإن كان الذكر والأنثى لا يختلف إرثهما ـ كالإخوة للأم ـ؛ فالأمر فيه واضح، وإن كان يختلف إرثه بتقدير ذكوريَّته وبتقدير أنوثيَّته، ولم يبق لنا طريق إلى العلم بذلك؛ لم نعطه أكثر التقديرين لاحتمال ظلم من معه من الورثة، ولم نعطه الأقل لاحتمال ظلمنا له، فوجب التوسُّط بين الأمرين وسلوك أعدل الطريقين، قال تعالى: {اعْدِلوا هو أقربُ للتقوى}؛ فليس لنا طريق إلى العدل في مثل هذا أكثر من هذا الطريق المذكور، ولا يكلفُ الله نفساً إلا وسعها؛ فاتقوا الله ما استطعتم.
وأما ميراث الجد مع الإخوة الأشقاء أو لأب، وهل يرثون معه أم لا؟ فقد دلَّ كتاب الله على قول أبي بكر الصديق رضي الله عنه ، وأن الجد يحجب الإخوة أشقاء أو لأب أو لأم كما يحجبهم الأبُ، وبيان ذلك أن الجد أبٌ في غير موضع من القرآن؛ كقوله تعالى: {إذ حَضَرَ يعقوبَ الموتُ إذ قال لبنيه ما تعبدون من بعدي قالوا نعبد إلهك وإله آبائك إبراهيم وإسماعيل وإسحق ... } الآية، وقال يوسف عليه السلام: {واتبعتُ ملة آبائي إبراهيم وإسحق ويعقوب}، فسمى الله الجدَّ وجدَّ الأب أباً، فدل ذلك على أن الجد بمنزلة الأب، يرث ما يرثه الأب، ويحجب من يحجبه، وإذا كان العلماء قد أجمعوا على أن الجدَّ حكمُهُ حكم الأب عند عدمه في ميراثه مع الأولاد وغيرهم من بين الإخوة والأعمام وبنيهم وسائر أحكام المواريث؛ فينبغي أيضاً أن يكون حكمُهُ حكمَهُ في حجب الإخوة لغير أم، وإذا كان ابن الأب بمنزلة ابن الصلب؛ فلم لا يكون الجد بمنزلة الأب؟ وإذا كان جد الأب مع ابن الأخ قد اتفق العلماء على أنه يحجبه؛ فلم لا يحجب جد الميت أخاه؟ فليس مع من يورِّث الإخوة مع الجدِّ نصٌّ ولا إشارة ولا تنبيه ولا قياس صحيح.
وأمَّا مسائل العَوْل؛ فإنه يُستفاد حكمها من القرآن، وذلك أن الله تعالى قد فرض وقدر لأهل المواريث أنصباء، وهم بين حالتين: إما أن يحجب بعضهم بعضاً، أو لا؛ فإن حجب بعضهم بعضاً؛ فالمحجوب ساقط لا يزاحم ولا يستحق شيئاً، وإن لم يحجب بعضهم بعضاً؛ فلا يخلو: إما أن لا تستغرق الفروض التركة، أو تستغرقها من غير زيادة ولا نقص، أو تزيد الفروض على التركة؛ ففي الحالتين الأوليين كلٌّ يأخذ فرضَه كاملاً، وفي الحالة الأخيرة، وهي ما إذا زادت الفروض على التركة؛ فلا يخلو من حالين:
إما أن ننقص بعض الورثة عن فرضه الذي فرضه الله له ونكمل للباقين منهم فروضهم، وهذا ترجيحٌ بغير مرجح، وليس نقصان أحدهم بأولى من الآخر، فتعينت الحال الثانية، وهو أننا نعطي كل واحد منهم نصيبه بقدر الإمكان، ونحاصص بينهم؛ كديون الغرماء الزائدة على مال الغريم، ولا طريق موصل إلى ذلك إلا بالعول، فعلم من هذا أن العول في الفرائض قد بينه الله في كتابه.
وبعكس هذه الطريقة بعينها يُعْلَمُ الردُّ؛ فإن أهل الفروض إذا لم تستغرق فروضُهم التركة، وبقي شيءٌ ليس له مستحقٌّ من عاصبٍ قريب ولا بعيد؛ فإن ردَّه على أحدهم ترجيح بغير مرجِّح، وإعطاءه غيرهم ممن ليس بقريب للميت جَنَفٌ وميل ومعارضة لقوله: {وأولو الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب الله}، فتعيَّن أن يُرَدَّ على أهل الفروض بقدر فروضهم، ولما كان الزوجان ليسا من القرابة؛ لم يستحق الزيادة على فرضهم المقدَّر [عند القائلين بعدم الرد عليهم، وأما على القول الصحيح أن حكم الزوجين حكم باقي الورثة في الرد؛ فالدليل المذكور شامل للجميع كما شملهم دليل العول].
وبهذا يُعْلَمُ أيضاً ميراث ذوي الأرحام؛ فإنَّ الميت إذا لم يخلِّف صاحب فرض ولا عاصباً، وبقي الأمر دائراً بين كون ماله يكون لبيت المال لمنافع الأجانب وبين كون ماله يرجع إلى أقربائه المُدْلين بالورثة المجمع عليهم؛ تعين الثاني، ويدل على ذلك قوله تعالى: {وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعضٍ في كتاب الله}، فصرفه لغيرهم تركٌ لمن هو أولى من غيره، فتعيَّن توريثُ ذوي الأرحام، وإذا تعيَّن توريثُهم؛ فقد علم أنه ليس لهم نصيب مقدر بأعيانهم في كتاب الله، وأن بينهم وبين الميت وسائط صاروا بسببها من الأقارب، فينزَّلُون منزلة من أدْلَوا به من تلك الوسائط. والله أعلم.
وأمّا ميراث بقية العَصَبَة؛ كالبنوة والأخوة وبنيهم والأعمام وبنيهم ... إلخ؛ فإن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «ألحقوا الفرائض بأهلها، فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر» ، وقال تعالى: {ولكلٍّ جعلنا موالي مما ترك الوالدان والأقربون}؛ فإذا ألحقنا الفروض بأهلها ولم يبق شيءٌ؛ لم يستحق العاصب شيئاً، وإن بقي شيءٌ؛ أخذه أولي العَصَبة بحسب جهاتهم ودرجاتهم؛ فإنَّ جهات العصوبة خَمْسٌ: البنوة، ثمَّ الأبوة، ثمَّ الأخوة وبنوهم، ثمَّ العمومة وبنوهم، ثمَّ الولاء، ويقدم منهم الأقرب جهة؛ فإن كانوا في جهة واحدة؛ فالأقرب منزلة؛ فإن كانوا بمنزلة واحدة؛ فالأقوى، وهو الشقيق؛ فإن تساووا من كل وجه؛ اشتركوا؛ والله أعلم.
وأمَّا كون الأخوات لغير أم مع البنات أو بنات الابن عصبات يأخذن ما فضل عن فروضهنَّ؛ فلأنه ليس في القرآن ما يدل على أن الأخوات يَسْقُطْن بالبنات؛ فإذا كان الأمر كذلك، وبقي شيء بعد أخذ البنات فرضهنَّ؛ فإنه يُعطى للأخوات ولا يُعْدَلُ عنهنَّ إلى عَصَبَةٍ أبعد منهن كابن الأخ والعم ومن هو أبعد منهم. والله أعلم.
(12) Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَلَكُمۡ
﴿ "dan bagimu" wahai para suami, ﴾ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ
﴿ "seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Sebaliknya) para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempu-nyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu." Termasuk dalam konteks anak yang di-syaratkan adanya atau tidak adanya adalah anak mayit atau anak dari anak laki-laki mayit (cucu), laki-laki maupun perempuan, satu maupun banyak, yang ada dari suami maupun dari selainnya. Dan tidak termasuk dalam hal ini anak dari anak perempuan mayit menurut ijma' ulama.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ
﴿ "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja)," maksudnya, dari satu ibu, sebagaimana dalam seba-gian qira'at. Para ulama telah bersepakat bahwa maksud dari sau-dara Di sini adalah saudara seibu. Apabila seorang mayit dalam kondisi kalalah, artinya, tidak meninggalkan anak dan tidak pula ayah, maksudnya, tidak ayah, tidak kakek, tidak anak laki-laki, tidak cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak pula anak perempuan, tidak pula cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah. Inilah maksud kalalah sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه, dan para ulama telah sepakat atas hal tersebut dan segala puji hanya milik Allah.
﴾ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا
﴿ "Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu," yaitu, dari saudara laki-laki atau saudara perempuan,﴾ ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ
﴿ "seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari itu" yaitu lebih dari satu orang, ﴾ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu." Maksudnya mereka mendapatkan tidak lebih dari sepertiga walaupun mereka lebih dari dua orang.
Dan Firman Allah, ﴾ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu," menunjukkan bahwa, laki-laki (di antara) mereka sama dengan perempuan (di antara) mereka, karena lafazh bersekutu itu menunjukkan persamaan. Lafazh, ﴾ كَلَٰلَةً
﴿ "Kalalah" menunjukkan bahwa cabang (keturunan) dan seterusnya ke bawah, dan (keluarga) pokok, yang laki-laki dan seterusnya ke atas meng-halangi anak-anak ibu, karena Allah tidaklah menjadikan mereka ahli waris kecuali dalam kondisi kalalah, dan bila mereka tidak me-warisi secara kalalah, maka mereka tidaklah mendapatkan warisan sama sekali menurut kesepakatan ulama.
Firman Allah, ﴾ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Maka mereka bersekutu da-lam yang sepertiga itu" menunjukkan bahwa saudara kandung laki-laki akan terhalang dalam kondisi yang bernama al-Hamariyah, yaitu suami, ibu, saudara seibu dan saudara sekandung; suami mendapatkan setengah, ibu seperenam, saudara seibu sepertiga; maka saudara sekandung gugur, karena Allah سبحانه وتعالى telah menyan-darkan bagian sepertiga kepada saudara seibu. Sekiranya saudara sekandung bersekutu dengan mereka, niscaya itu merupakan penyatuan yang telah dipisahkan ketentuannya oleh Allah. Dan juga karena sesungguhnya saudara seibu adalah di antara pemilik hak-hak yang ditentukan sedang saudara sekandung adalah Asha-bah (pemilik sisa warisan), dan sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda,
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
"Serahkan hak-hak warisan yang ditentukan kepada orang yang berhak, dan yang tersisa adalah milik kerabat laki-laki yang paling dekat."[9]
Pemilik hak-hak yang tertentu adalah mereka yang telah Allah tetapkan bagian-bagian mereka, dalam kondisi seperti ini tidak ada yang tersisa setelah mereka hingga saudara kandung gugur, dan inilah yang benar dalam hal ini.
Adapun warisan untuk saudara laki-laki dan saudara perem-puan kandung atau seayah adalah tersebutkan dalam FirmanNya,
﴾ يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِي ٱلۡكَلَٰلَةِۚ . . . .
﴿
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah...'." (An-Nisa`: 176).
Seorang saudara kandung perempuan atau seayah berhak mendapat setengah, dan dua orang berhak mendapat dua pertiga. Seorang saudara perempuan kandung bersama seorang saudara perempuan seayah atau lebih, mereka berhak mendapat setengah dan sisa dari dua pertiga adalah hak seorang saudara perempuan seayah atau lebih, bagian itu adalah seperenam yang menyempur-nakan (sisa dari) dua pertiga, apabila beberapa saudara perempuan sekandung menyempurnakan bagian dua pertiga, maka saudara perempuan seayah menjadi gugur, sebagaimana yang telah berlalu pada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, dan apabila saudara itu laki-laki dan perempuan, maka ketentuannya adalah bagian laki-laki seperti bagian dua orang perempuan.
Bila dikatakan; apakah landasan hukum warisan seorang pembunuh, budak, lain agama, setengah budak, banci, kakek ber-sama saudara-saudara selain seibu, al-'Aul, ar-Rad, sanak famili, 'Ashabah yang tersisa, saudara-saudara perempuan selain seibu bersama beberapa anak perempuan atau cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki diambil dari al-Qur`an atau tidak? Menurut suatu pendapat: Ya, di dalamnya terdapat peringatan-peringatan dan indikasi-indikasi yang terperinci yang sangat sulit dipahami oleh orang yang tidak merenung tentangnya yang menunjukkan tentang segala yang disebutkan di atas.
Tentang seorang pembunuh atau yang berlainan agama, diketahui (secara umum) bahwa mereka tidak termasuk ahli waris, hal itu dari penjelasan hikmah Allah dalam pembagian harta wa-risan terhadap para ahli waris menurut kedekatan mereka, manfaat mereka secara agama maupun dunia. Allah سبحانه وتعالى telah mengisyaratkan akan hikmah tersebut dengan FirmanNya, ﴾ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ
﴿ "Kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Dan telah diketahui bahwa pelaku pembunuh-an telah berusaha menjerumuskan orang yang akan diwarisinya kepada kemudharatan yang paling besar. Apa yang menjadi dasar hak warisan itu tidaklah dapat dikuatkan untuk menolak bahaya-nya pembunuhan yang merupakan kebalikan dari manfaat yang merupakan akibat dari warisan itu. Maka dari hal itu dapat di-ketahui bahwa pembunuhan itu adalah penghalang terbesar yang menghalangi dari mendapatkan warisan dan memotong tali sila-turahim di mana Allah berfirman tentangnya,
﴾ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿
"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah." (Al-Anfal: 75).
Padahal telah ada kaidah syariat yang telah baku yang ber-bunyi; bahwa barangsiapa yang tergesa-gesa terhadap sesuatu se-belum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak mendapatkannya.
Karena itulah dan karena yang semacamnya dapat diketahui bahwa orang yang berlainan agama dengan orang yang akan diwarisi maka dia tidak mendapat warisan. Yang demikian itu dikarenakan ia telah bertentangan dengan perkara yang harus ada yaitu bersambungnya garis keturunan yang mengharuskannya memperoleh warisan, dan penghalang yang berupa pertentangan pada agama yang mengakibatkan pemisahan yang jelas dari segala sisi. Penghalang yang begitu besar telah menghalangi perkara yang mengharuskannya memperoleh warisan yaitu keturunan. Maka perkara yang mengakibatkan warisan itu tidaklah dapat diberlaku-kan karena adanya penghalang tadi. Hal itu dapat dijelaskan, bahwa Allah سبحانه وتعالى telah membuat hak-hak kaum Muslimin lebih utama daripada hak-hak kekerabatan yang kafir di dunia, maka apabila seorang Muslim meninggal, niscaya hartanya akan berpindah kepada seseorang yang lebih utama dan lebih berhak, sehingga Firman Allah سبحانه وتعالى menjadi,
﴾ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿
"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah." (Al-Anfal: 75), apabila agama mereka sama. Adapun bila saling berbeda maka persaudaraan seagama adalah didahulu-kan daripada persaudaraan sedarah semata.
Ibnu al-Qayyim berkata dalam Jala` al-Afham[10], "Renungkanlah makna ini dalam ayat warisan ini di mana Allah mengikat hubung-an waris mewarisi ini dengan lafazh "istri" dan bukan perempuan sebagaimana dalam FirmanNya, ﴾ وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ
﴿ "dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu," sebuah indikasi bahwa waris mewarisi ini sesungguhnya terlaksana dengan perkawinan yang mengharuskan adanya saling berbaur dan saling berhubungan nasab, sedang seorang Mukmin dan seorang kafir tidak ada persaudaraan (iman) di antara kedua-nya dan tidak pula saling bernasab, maka tidak ada saling mewa-risi di antara keduanya, dan rahasia kata-kata al-Qur`an dan tata kalimatnya jauh melampaui akal seluruh alam."
Mengenai budak, ia tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi, bahwa ia tidak diwarisi, itu sudah sangat jelas, karena ia tidak mempunyai harta yang dapat diwarisi, bahkan apa yang ada ber-samanya itu adalah milik tuannya. Sedangkan mengenai ia tidak mewarisi, karena ia tidak memiliki dan bila saja ia memiliki, maka semuanya milik tuannya, maka dia adalah seorang yang ajnabi (bukan mahram) bagi mayit, maka ia seperti Firman Allah, ﴾ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" dan, ﴾ وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ
﴿ "dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu" dan, ﴾ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
﴿ "maka bagi masing-masing dari kedua jenis sau-dara itu seperenam harta" ... dan semacamnya, terhadap orang-orang yang berpeluang memiliki. Sedangkan budak tidak berpeluang untuk itu, karena itu jelaslah bahwa ia tidak mendapatkan warisan.
Mengenai seseorang yang setengah merdeka dan setengah budak, ia memiliki hukum yang terbagi-bagi. Adapun yang pada dirinya ada kebebasan, maka dengan hal itu ia berhak mendapat-kan apa yang telah Allah tetapkan dalam warisan, karena ada kemerdekaan pada dirinya yang berpeluang untuk memiliki. Dan apa yang ada padanya dari perbudakan, maka ia tidak berpeluang untuk itu. Oleh karena itu seseorang yang setengah budak dan setengah merdeka, mereka mewarisi, diwarisi, dan menghalangi lainnya sesuai dengan kadar kemerdekaan yang ada padanya, dan apabila seorang hamba dapat terpuji dan tercela, diberi pahala dan dihukum menurut apa yang ada padanya dari hal-hal yang mengakibatkan perkara tersebut, maka ini pun demikian adanya.
Tentang orang banci, tidak terlepas kondisinya itu dari tiga kemungkinan, yaitu, sangat nyata kelelakiannya, atau kewanitaan-nya, atau tidak jelas yang dominan. Apabila nyata, perkaranya adalah sudah jelas; apabila jantan, maka ia termasuk dalam hukum laki-laki, dan akan tercakup dalam nash-nash yang menerangkan tentang mereka, namun apabila perempuan, maka baginya hukum pihak perempuan dan terkait dengan nash-nash yang menerang-kan tentang mereka. Apabila dia Musykil (tidak ada yang dominan antara kedua jenis kelamin), tetapi antara pihak laki-laki dan pe-rempuan tidak berbeda warisannya -seperti saudara seibu-, maka perkaranya juga jelas. Adapun apabila warisannya berbeda dengan kadar kelaki-lakiannya dan kadar keperempuan-annya, sedangkan kita belum punya cara untuk mengetahui hal itu, maka kita tidak memberikan kepadanya kadar yang paling terbesar dari keduanya, karena adanya kemungkinan berbuat zhalim terhadap ahli waris lain, dan juga kita tidak memberikannya kadar terkecil karena takut menzhalimi dirinya, sehingga wajib ditegakkan pertengahan antara kedua perkara itu dan menempuh salah satu di antara dua jalan yang paling adil, Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ
﴿
"Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (Al-Ma`idah: 8).
Maka kita tidak memiliki jalan kepada keadilan dalam masa-lah seperti ini yang lebih baik dari jalan tersebut, dan Allah tidak membebankan kepada suatu jiwa kecuali yang mampu diemban-nya, maka bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.
Adapun warisan kakek bersama saudara laki-laki sekan-dung atau seayah, apakah kakek ikut menjadi ahli waris bersama mereka ataukah tidak? Sesungguhnya kitabullah telah menunjuk-kan pada apa yang dikatakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه,[11] bahwasanya kakek menghalangi (bagian harta warisan) saudara laki-laki sekandung atau seayah atau seibu sebagaimana ayah menghalangi mereka, dan penjelasan akan hal itu adalah bahwa kakek itu merupakan ayah seperti disebutkan dalam beberapa tempat dalam al-Qur`an, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِـۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ
﴿
"Ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq'." (Al-Baqarah: 133).
Dan Yusuf عليه السلام berkata,
﴾ وَٱتَّبَعۡتُ مِلَّةَ ءَابَآءِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَۚ
﴿
"Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub." (Yusuf: 38).
Allah telah menamakan kakek dan kakeknya ayah dengan ayah, hal itu menunjukkan bahwa kakek adalah dalam posisi ayah, ia mewarisi apa yang diwarisi oleh ayah dan menghalangi orang yang dihalangi oleh ayah.
Dan apabila para ulama telah bersepakat bahwa hukum kakek adalah hukum ayah ketika ayah tidak ada dalam harta peninggalan bersama anak-anaknya dan selain mereka dari beberapa saudara, paman-paman dan anak-anak laki-laki mereka serta seluruh hukum-hukum warisan, maka seyogyanya hukum kakek juga adalah hu-kum ayah dalam menghalangi saudara-saudara selain seibu. Dan apabila anaknya ayah adalah sederajat dengan anaknya yang kandung, maka kenapa kakek tidak sederajat dengan posisi ayah? Dan apabila kakeknya ayah dengan anak laki-lakinya saudara laki-laki telah disepakati oleh para ulama bahwa ia menghalanginya, lalu kenapa kakeknya mayit tidak menghalangi saudara si mayit? Dan orang-orang yang berpendapat bahwa saudara mendapatkan harta waris bersama kakek tidak memiliki nash, tidak juga isyarat, ataupun indikasi, apalagi qiyas yang shahih.
Adapun masalah al-'Aul, hukumnya diambil dari al-Qur`an, yang demikian itu adalah bahwa Allah سبحانه وتعالى telah mewajibkan dan menentukan bagian-bagian bagi seluruh ahli waris, dan mereka itu terbagi dalam dua kondisi; kondisi sebagian mereka menghalangi sebagian yang lain atau tidak, apabila sebagian mereka mengha-langi sebagian lain, maka orang yang terhalang itu gugur, tidak ikut menunggu bagian dan tidak berhak atas apa pun, namun bila sebagian mereka tidak menghalangi sebagian yang lain, maka kondisi ini dalam beberapa bentuk; pertama: Hak-hak tertentu itu tidak menghabiskan seluruh harta warisan, kedua: Menghabiskan-nya dengan tanpa ada kekurangan dan kelebihan, ketiga: Hak-hak tertentu itu melebihi harta warisan.
Maka pada kondisi yang pertama dan kedua, setiap ahli waris mendapatkan hak bagiannya secara sempurna, namun pada bentuk yang ketiga yaitu apabila hak-hak tertentu itu melebihi harta warisan, maka hal ini tidak lepas dari dua kondisi; pertama, mengurangi hak sebagian ahli waris dari hak-hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah bagi mereka dan menyempurnakan hak bagi sebagian yang lain, hal ini adalah sebuah tindakan keber-pihakan yang tidak ada dalil yang menguatkannya, dan bukanlah kekurangan salah seorang ahli waris dari hak-haknya adalah lebih baik dari sebagian lainnya, karena itu wajiblah tertuju kepada kondisi yang kedua, yaitu bahwa kita memberikan setiap ahli waris dari mereka menurut keadaan yang memungkinkan dan kita bagi-bagikan harta tersebut kepada seluruh ahli waris, seperti hutang bagi pemilik-pemiliknya yang melebihi dari harta orang yang berhutang, dan tidak ada jalan lain untuk mencapai kepada hal itu kecuali dengan cara al-'Aul, dengan demikian diketahuilah bahwa al'Aul[12] dalam ilmu Fara'idh telah dijelaskan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam kitabNya.
Dan dengan kebalikan dari cara di atas, maka diketahui cara ar-Radd[13], sesungguhnya pemilik-pemilik hak-hak tertentu itu apa-bila tidak menghabiskan seluruh harta warisan menurut bagian-bagian masing-masing, lalu tersisa dari harta warisan itu beberapa harta yang tidak ada pemiliknya berupa 'Ashabah yang dekat mau-pun yang jauh, dan mengembalikan harta sisa itu kepada salah seorang ahli waris saja adalah suatu tindakan keberpihakan yang tidak memiliki dalil, dan sebagaimana memberikan sisa harta itu kepada seseorang yang bukan sanak famili adalah suatu tindakan kesewenang-wenangan, keberpihakan, dan bertentangan dengan Firman Allah,
﴾ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿
"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah." (Al-Anfal: 75),
maka pastilah sisa harta itu harus dikembalikan lagi kepada ahli-ahli waris menurut hak-hak tertentu mereka, dan karena suami atau istri adalah bukan dari sanak famili, maka mereka tidak berhak atas tambahan dari sisa harta itu menurut hak tertentu mereka, (menurut kelompok yang berpendapat bahwa tidak ada ar-Radd bagi mereka berdua), adapun menurut pendapat yang shahih bahwa hukum suami dan istri adalah sama dengan hukum ahli waris yang lain dalam perkara ar-Radd, maka dalil yang disebutkan tadi mencakup seluruh ahli waris sebagaimana dalil al'Aul menca-kup mereka semua.[14]
Dengan hal ini dapat diketahui juga bagian dari Dzawu al-Arham (setiap kerabat mayit yang tidak mendapatkan hak tertentu ataupun Ashabah), yaitu bila seorang mayit tidak meninggalkan ahli waris yang memiliki hak tertentu dan tidak juga Ashabah, dan perkara hartanya berputar antara ditujukan kepada Baitul Mal untuk manfaat orang lain atau ditujukan kepada sanak familinya yang telah disepakati yang lebih condong mendapat harta tersebut, maka yang terakhir ini adalah yang wajib dan hal tersebut dapat dimengerti dari Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿
"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah." (Al-Anfal: 75).
Memberikan harta tersebut kepada selain mereka adalah sebuah tindakan meninggalkan orang-orang yang lebih berhak dari selainnya, maka dari itu telah jelas wajibnya harta warisan tersebut diberikan untuk Dzawu al-Arham, lalu apabila telah pasti pewarisan mereka, padahal telah diketahui bahwa mereka tidak memiliki bagian tertentu dalam Kitabullah, dan bahwa antara me-reka dengan mayit ada penghubung hingga menjadikan mereka termasuk dalam sanak familinya, maka mereka itu diposisikan seperti orang-orang yang menjadi penghubung antara mereka dengan mayit. Wallahu a'lam.
Adapun warisan bagi sisa Ashabah yang tersisa seperti anak, saudara dan anak-anak mereka, paman-paman dan anak-anak mereka... dst, sesungguhnya Nabi ﷺ telah bersabda,
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
"Serahkan hak-hak tertentu itu kepada pemiliknya, dan apa yang tersisa maka milik kerabat laki-laki."[15]
Dan Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ وَلِكُلّٖ جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ ﴿
"Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya."
(An-Nisa`: 33).
Bila kita telah menyerahkan hak-hak tertentu itu kepada pemilik-pemiliknya dan tidak terdapat sisa sedikit pun, maka ahli Ashabah tidak berhak atas sesuatu pun, namun bila terdapat sisa, maka menjadi hak Ashabah menurut posisi dan derajat mereka, karena sesungguhnya posisi Ashabah itu ada lima; anak kemudian ayah lalu saudara dan anak-anak mereka, kemudian paman dan anak-anak mereka, lalu perwalian. Dan yang didahulukan adalah yang paling terdekat posisinya, dan bila mereka pada satu posisi, maka yang paling dekat derajatnya, dan apabila mereka dalam satu derajat, maka yang paling kuat yaitu sekandung, dan apabila mereka sama dari setiap hal, maka mereka bersekutu padanya. Wallahu a'lam.
Sedangkan kondisi beberapa saudara perempuan selain seibu bersama anak-anak perempuan atau beberapa cucu perempuan dari anak laki-laki termasuk dalam Ashabah, di mana saudara-sau-dara perempuan selain seibu tersebut berhak atas apa yang lebih dari hak-hak tertentu mereka, karena tidak ada satu pun dalil dalam al-Qur`an yang menunjukkan bahwa saudara perempuan itu gugur karena adanya anak perempuan, namun bila perkaranya memang demikian, lalu harta warisan setelah anak-anak perem-puan itu mendapatkan hak tertentu mereka tersisa sedikit, maka sisa tersebut diberikan kepada saudara-saudara perempuan dan tidak berpindah dari mereka kepada Ashabah yang lebih jauh dari mereka seperti anak laki-laki dari saudara laki-laki atau paman dan orang-orang yang lebih jauh lagi dari mereka. Wallahu a'lam.
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ (14)}.
"
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawah-nya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di da-lamnya; dan baginya siksa yang menghinakan."
(An-Nisa`: 13-14).
#
{13} أي: تلك التفاصيل التي ذكرها في المواريث حدود الله التي يجب الوقوف معها، وعدم مجاوزتها ولا القصور عنها، وفي ذلك دليل على أن الوصية للوارث منسوخة بتقديره تعالى أنصباء الوارثين. ثم قوله تعالى: {تلك حدود الله فلا تعتدوها}؛ فالوصية للوارث بزيادة على حقه يدخل في هذا التعدي مع قوله - صلى الله عليه وسلم -: «لا وصيةَ لوارث». ثم ذكر طاعة الله ورسوله ومعصيتهما عموماً؛ ليدخل في العموم لزوم حدوده في الفرائض أو ترك ذلك، فقال: {ومن يطع الله ورسوله}: بامتثال أمرهما الذي أعظمه طاعتهما في التوحيد ثم الأوامر على اختلاف درجاتها، واجتناب نهيهما الذي أعظمه الشرك بالله ثم المعاصي على اختلاف طبقاتها. {يُدْخِلْهُ جناتٍ تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها}: فمن أدَّى الأوامر واجتنب النواهي؛ فلا بد له من دخول الجنة والنجاة من النار. {وذلك الفوز العظيم}: الذي حصل به النجاة من سخطه وعذابه والفوز بثوابه ورضوانه بالنعيم المقيم الذي لا يصفه الواصفون.
(13) Perincian tersebut yang disebutkan dalam masalah warisan merupakan hukum-hukum Allah yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan atau dilalaikan, hal ini adalah dalil bahwa wasiat untuk ahli waris telah dimansukh dengan penentuan dari Allah تعالى tentang bagian-bagian tertentu mereka, kemudian Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ
﴿ "(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah," maka wasiat untuk ahli waris de-ngan melebihi dari haknya telah termasuk sebagai suatu tindakan melampaui batas terhadap sabda beliau ﷺ;
لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
"Tidak ada wasiat untuk ahli waris."[16]
Kemudian Allah menyebutkan tentang ketaatan kepadaNya dan kepada RasulNya serta bermaksiat kepada keduanya secara umum, agar termasuk dalam perkara umum itu pelaksanaan akan hukum-hukum tersebut dalam perkara warisan atau meninggalkan hal tersebut, Allah berfirman, ﴾ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
﴿ "Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya" dengan menunaikan perintah keduanya yang mana ketaatan terbesar kepada keduanya adalah dalam per-kara tauhid, kemudian perintah-perintah mereka berdua dengan perbedaan tingkatan-tingkatannya, dan meninggalkan larangan keduanya yang mana kemaksiatan terbesar kepada keduanya ada-lah kesyirikan kepada Allah kemudian kemaksiatan-kemaksiatan dalam segala perbedaan tingkatannya, ﴾ يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ
﴿ "niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya." Barangsiapa yang menunaikan segala perintah dan meninggalkan segala larangan, maka pastilah ia masuk dalam surga dan selamat dari neraka, ﴾ وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ﴿ "dan itulah kemenangan yang besar" dengan memperoleh keselamatan dari murka Allah dan siksaanNya serta kemenangan dengan pahalaNya dan keridhaanNya dengan kenikmatan abadi yang tidak dapat diungkapkan oleh lisan manusia.
#
{14} {ومن يعص الله ورسوله ... } إلخ، ويدخل في اسم المعصية الكفر فما دونه من المعاصي؛ فلا يكون فيها شبهة للخوارج القائلين بكفر أهل المعاصي؛ فإنَّ الله تعالى رتَّب دخول الجنة على طاعته وطاعة رسوله، ورتب دخول النار على معصيته ومعصية رسوله؛ فمن أطاعه طاعة تامة؛ دخل الجنة بلا عذاب، ومن عصى الله ورسوله معصية تامة يدخل فيها الشرك فما دونه؛ دخل النار وخُلِّد فيها، ومن اجتمع فيه معصية وطاعة؛ كان فيه من موجب الثواب والعقاب بحسب ما فيه من الطاعة والمعصية.
وقد دلت النصوص المتواترة على أن الموحِّدين الذين معهم طاعةُ التوحيد غيرُ مخلَّدين في النار؛ فما معهم من التوحيد مانع لهم من الخلود فيها.
(14) ﴾ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ ﴿ "Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya ... dst) dan termasuk dalam kategori maksiat adalah kekufuran dan kemaksiatan lain yang lebih ringan darinya, sehingga tidak ada suatu syubhat pun dalam ayat itu bagi Khawarij yang berpendapat bahwa pelaku-pelaku maksiat adalah kafir, karena Allah سبحانه وتعالى telah menyiapkan surga bagi orang yang taat kepa-daNya dan kepada RasulNya, dan menyiapkan neraka bagi yang durhaka kepadaNya dan kepada RasulNya, maka barangsiapa yang menaati Allah dengan ketaatan yang sempurna, ia akan masuk surga tanpa siksaan, dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dengan kedurhakaan yang sempurna dan termasuk dalam hal itu adalah kesyirikan ataupun selainnya, ia akan masuk neraka dan ia kekal di dalamnya, sedangkan barangsiapa yang bercampur pada-nya kemaksiatan dan ketaatan, maka ia memiliki penyebab pahala dan siksaan menurut apa yang ada padanya dari ketaatan dan kemaksiatan tersebut.
Dan sesungguhnya telah banyak nash-nash mutawatir yang menunjukkan bahwa
(ahli maksiat dari kalangan) orang-orang yang bertauhid yang melakukan ketaatan tauhid tidaklah kekal dalam neraka, dan siapa pun yang memiliki ketauhidan, maka ia menjadi penghalang baginya dari kekekalan dalam neraka.
{وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا (15) وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا (16)}.
"Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang me-nyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persak-sian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 15-16).
#
{15} أي: النساء {اللاتي يأتين الفاحشة}؛ أي: الزنا، فوصفها بالفاحشة لشناعتها وقبحها. {فاستشهدوا عليهن أربعة منكم}؛ أي: من رجالكم المؤمنين العدول. {فإن شهدوا فأمسكوهنَّ في البيوت}؛ أي: احبسوهن عن الخروج الموجب للريبة، وأيضاً؛ فإن الحبس من جملة العقوبات. {حتَّى يتوفاهنَّ الموت}؛ أي: هذا منتهى الحبس. {أو يجعلَ الله لهن سبيلاً}؛ أي: طريقاً غير الحبس في البيوت.
فهذه الآية ليست منسوخة؛ فإنَّما هي مُغَيَّاة إلى ذلك الوقت، فكان الأمر في أول الإسلام كذلك، حتى جعل الله لهن سبيلاً، وهو رجم المحصن وجلد غير المحصن.
(15) Maksudnya adalah para wanita, ﴾ وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ
﴿ "yang mengerjakan perbuatan keji," yaitu zina, dan menyebutnya se-bagai suatu yang keji akibat dari keberadaannya yang menjijikkan dan keburukannya, ﴾ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ
﴿ "maka hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya)," yaitu dari kaum laki-laki kalian yang beriman dan adil, ﴾ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ
﴿ "kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah," yaitu tahanlah mereka agar tidak keluar yang menyebabkan keraguan, dan juga bahwa penahanan itu termasuk di antara hukuman untuk mereka, ﴾ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ
﴿ "sampai mereka menemui ajalnya" maksudnya, hal itu adalah akhir dari penahanan tersebut, ﴾ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ﴿ "atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya," yaitu cara lain menghu-kum mereka selain penahanan dalam rumah.
Ayat ini tidaklah dimansukh, namun sesungguhnya ayat itu terpulang kepada masa saat itu, di mana pada masa awal-awal Islam, perkara hukuman itu adalah seperti dalam ayat tersebut hingga Allah memberi jalan lain bagi mereka, yaitu hukum rajam bagi yang telah berkeluarga dan cambuk bagi yang belum menikah.
#
{16} {و} كذلك {اللذان يأتيانها}؛ أي: الفاحشة {منكم}: من الرجال والنساء. {فآذوهما}: بالقول والتوبيخ والتعيير والضرب الرادع عن هذه الفاحشة. فعلى هذا يكون الرجال إذا فعلوا الفاحشة يؤذَوْن والنساء يُحْبَسْن ويؤذين؛ فالحبس غايته للموت ، والأذية نهايتها إلى التوبة والإصلاح. ولهذا قال: {فإن تابا}؛ أي: رجعا عن الذنب الذي فعلاه وندما عليه وعزما أن لا يعودا، {وأصلحا}: العمل الدالَّ على صدق التوبة. {فأعرضوا عنهما}؛ أي: عن أذاهما. {إن الله كان تواباً رحيماً}؛ أي: كثير التوبة على المذنبين الخطائين، عظيم الرحمة والإحسان الذي من إحسانه، وفَّقهم للتوبة، وقبلها منهم، وسامحهم عن ما صدر منهم.
ويؤخذ من هاتين الآيتين أن بَيِّنة الزنا [لابُدَّ] أن تكون أربعة رجال مؤمنين، ومن باب أولى وأحرى اشتراط عدالتهم؛ لأن الله تعالى شدَّد في أمر هذه الفاحشة ستراً لعباده، حتى إنه لا يقبل فيها النساء منفردات ولا مع الرجل ولا مع دون أربعة، ولا بد من التصريح بالشهادة كما دلت على ذلك الأحاديث الصحيحة وتومئ إليه هذه الآية: لِمَا قال: {فاستشهدوا عليهن أربعة منكم}؛ لم يكتف بذلك، حتى قال: {فإن شهدوا}؛ أي: لا بدَّ من شهادة صريحة عن أمر يشاهد عِياناً من غير تعريض ولا كناية.
ويؤخذ منهما أن الأذَّية بالقول والفعل والحبس قد شرعه الله تعزيراً لجنس المعصية التي يحصل به الزجر.
(16) ﴾ و ó
﴿ "Dan" demikian juga, ﴾ ا ل ّ َ ذ َ ا ن ِ يَأۡتِيَٰنِهَا
﴿ "terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji" yaitu zina, ﴾ مِنكُمۡ
﴿ "di antara kalian" dari kaum laki-laki maupun wanita, ﴾ فَـَٔاذُوهُمَاۖ
﴿ "maka berilah hukuman kepada keduanya" dengan perkataan, ejekan, penghinaan, dan pemukulan yang mendidik untuk menjauhi kekejian tersebut, dengan dasar ini, maka laki-laki yang melakukan kekejian tersebut dihukum (dengan hal-hal tersebut di atas) sedangkan wanita di-tahan dan dihukum, dan penahanan itu ujungnya adalah kematian sedangkan hukuman ujungnya adalah taubat dan memperbaiki diri, karena itulah Allah berfirman, ﴾ فَإِن تَابَا
﴿ "Kemudian jika kedua-nya bertaubat" yaitu kembali dari dosa yang telah mereka lakukan dan mereka menyesali perbuatan itu lalu mereka bertekad untuk tidak mengulanginya kembali, ﴾ وَأَصۡلَحَا
﴿ "dan memperbaiki" perbuatan yang menunjukkan akan kebenaran taubat mereka, ﴾ فَأَعۡرِضُواْ عَنۡهُمَآۗ
﴿ "maka biarkanlah mereka" yaitu dari menghukum mereka.﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ تَوَّابٗا رَّحِيمًا
﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" yaitu banyak sekali menerima taubat yang dilakukan orang-orang yang berdosa dan bersalah, sangat besar kasih sayang dan perbuatan baikNya, di mana di antara perbuatan baikNya itu adalah menganugerahkan kepada mereka untuk bertaubat, lalu Allah menerima taubat mereka dan memaafkan apa yang telah mereka lakukan.
Faidah yang dapat diambil dari kedua ayat tersebut adalah bahwa saksi perzinaan itu harus terdiri dari empat orang laki-laki Mukmin, dan yang lebih utama dan lebih patut adalah mensyarat-kan pada mereka adanya sifat adil, karena Allah سبحانه وتعالى telah mengetat-kan perkara kekejian ini demi menutup aib hamba-hambaNya, sehingga Allah tidak akan menerima dalam perkara itu saksi dari empat wanita saja, tidak pula bersama seorang laki-laki, dan tidak juga kurang dari empat orang. Dan dalam bersaksi harus jelas dan terang-terangan sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih dan diisyaratkan juga oleh ayat ini ketika Allah ber-firman, ﴾ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ
﴿ "Hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya)" dan tidaklah Allah mencukup-kan hanya sampai di situ hingga berfirman, ﴾ فَإِن شَهِدُواْ ﴿ "Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian" yaitu harus ada kesaksian yang pasti tentang suatu perkara yang disaksikannya dengan mata kepala tanpa ada kesamaran dan ketidakjelasan.
Dan dapat diambil dari kedua ayat itu juga bahwa hukuman dengan perkataan dan perbuatan serta penahanan telah disyariat-kan oleh Allah sebagai suatu hukuman bagi suatu bentuk kemak-siatan yang mengandung pelajaran padanya.
{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (17) وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (18)}.
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka,
(barulah) ia me-ngatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.' Dan tidak
(pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih."
(An-Nisa`: 17-18).
#
{17 ـ 18} توبة الله على عباده نوعان: توفيقٌ منه للتوبة، وقبول لها بعد وجودها من العبد. فأخبر هنا أن التوبة المستحقَّة على الله حقًّا أَحقَّه على نفسه كرماً منه وجوداً لمن عمل السوء؛ أي: المعاصي {بجهالة}؛ أي: جهالة منه لعاقبتها وإيجابها لسخط الله وعقابه، وجهل منه لنظر الله ومراقبته له، وجهل منه بما تؤول إليه من نقص الإيمان أو إعدامه؛ فكل عاصٍ لله فهو جاهل بهذا الاعتبار وإن كان عالماً بالتحريم، بل العلم بالتحريم شرطٌ لكونها معصيةً معاقَب عليها. {ثم يتوبون من قريبٍ}: يُحتمل أن يكونَ المعنى: ثمَّ يتوبون قبل معاينة الموت؛ فإن الله يقبل توبة العبد إذا تاب قبل معاينة الموت والعذاب قطعاً، وأما بعد حضور الموت؛ فلا يُقْبَلُ من العاصين توبةٌ ولا من الكفار رجوعٌ؛ كما قال تعالى عن فرعون: {فلمَّا أدركَه الغرقُ قال آمنتُ أنه لا إله إلا الذي آمنت به بنو إسرائيل وأنا من المسلمين ... } الآية، وقال تعالى: {فلما رأوا بأسنا قالوا آمنّا بالله وحده وكفرنا بما كنّا به مشركين. فلم يكن ينفعُهم إيمانُهم لمَّا رأوا بأسنا سنةَ الله التي قد خلتْ في عبادِهِ}، وقال هنا: {وليست التوبة للذين يعملون السيئات}؛ أي: المعاصي فيما دون الكفر. {حتى إذا حضر أحدهم الموت قال إني تبت الآن ولا الذين يموتون وهم كفار فأولئك أعتدنا لهم عذاباً أليماً}، وذلك أن التوبة في هذه الحال توبةُ اضطرارٍ لا تنفع صاحِبَها، إنما تنفع توبةُ الاختيار.
ويُحتمل أن يكون معنى قوله: {من قريبٍ}؛ أي: قريب من فعلهم للذنب الموجب للتوبة، فيكون المعنى: أنَّ مَن بادر إلى الإقلاع من حين صدور الذنب وأناب إلى الله وندم عليه؛ فإنَّ الله يتوبُ عليه؛ بخلاف من استمرَّ على ذنبه وأصرَّ على عيوبه حتى صارت فيه صفات راسخة؛ فإنه يَعْسُرُ عليه إيجاد التوبة التامة، والغالب أنه لا يوفَّق للتوبة ولا ييسَّر لأسبابها؛ كالذي يعمل السوء على علم قائم ويقين متهاون بنظر الله إليه؛ فإنه يسدُّ على نفسه باب الرحمة. نعم؛ قد يوفِّق اللهُ عبده المصرَّ على الذنوب عن عمد ويقينٍ للتوبة النافعة التي يمحو بها ما سَلَفَ من سيئاته وما تقدَّم من جناياتِهِ، ولكنَّ الرحمة والتوفيق للأول أقرب، ولهذا ختم الآية الأولى بقوله: {وكان الله عليماً حكيماً}؛ فمن علمِهِ أنه يعلم صادقَ التوبة وكاذبَها، فيجازي كلاًّ منهما بحسب ما استحقَّ بحكمتِهِ، ومن حكمته أن يوفِّق من اقتضت حكمتُهُ ورحمتُهُ توفيقَه للتوبة، ويخذلَ من اقتضت حكمتُهُ وعدلُهُ عدم توفيقه. والله أعلم.
(17) Taubat dari Allah terhadap hamba-hambaNya ada dua macam; pertama, taufik dariNya untuk melakukan taubat itu sendiri, dan kedua, penerimaanNya akan taubat tersebut setelah dilakukan oleh sang hamba. Di sini, Allah mengabarkan bahwa taubat yang hanya berhak dialamatkan kepada Allah adalah haq yang hanya Allah peruntukkan bagi DiriNya, sebagai kebaikan dan anugerah dariNya bagi orang yang melakukan perbuatan dosa, yaitu kemaksiatan ﴾ بِجَهَٰلَةٖ
﴿ "lantaran kejahilan" yaitu kebodohan darinya akan akibat perbuatan itu dan konsekuensi kemurkaan dan siksaan Allah terhadapnya, kebodohannya akan pengawasan dan pengamatan Allah terhadap dirinya, kebodohannya akan hasil dari perbuatannya itu berupa berkurangnya atau hilangnya iman darinya, maka setiap pelaku kemaksiatan terhadap Allah adalah jahil dengan kondisi seperti itu walaupun ia mengetahui akan keharamannya, bahkan mengetahui keharaman sesuatu adalah syarat suatu kemaksiatan yang mendapat hukuman karenanya, ﴾ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٖ
﴿ "yang kemudian mereka bertaubat dengan segera" kemungkinan maknanya adalah; kemudian mereka bertaubat sebelum menyaksikan kematian, karena Allah menerima taubat seorang hamba apabila ia bertaubat sebelum ada kepastian bahwa ia akan mati dan sebelum ada siksaan secara pasti, sedangkan se-telah hadirnya kematian, maka tidaklah akan diterima dari pelaku kemaksiatan suatu taubat pun dan tidak akan diterima pula ke-imanan dari orang kafir, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang Fir'aun,
﴾ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَدۡرَكَهُ ٱلۡغَرَقُ قَالَ ءَامَنتُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱلَّذِيٓ ءَامَنَتۡ بِهِۦ بَنُوٓاْ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَأَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ 90
﴿
"Hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam, berkatalah dia, 'Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Rabb yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (ke-pada Allah)'." (Yunus: 90).
Dan Allah تعالى berfirman
﴾ فَلَمَّا رَأَوۡاْ بَأۡسَنَا قَالُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥ وَكَفَرۡنَا بِمَا كُنَّا بِهِۦ مُشۡرِكِينَ 84 فَلَمۡ يَكُ يَنفَعُهُمۡ إِيمَٰنُهُمۡ لَمَّا رَأَوۡاْ بَأۡسَنَاۖ سُنَّتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي قَدۡ خَلَتۡ فِي عِبَادِهِۦۖ
﴿
"Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, 'Kami ber-iman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.' Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sun-nah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hambaNya." (Al-Mu`min: 84-85).
Dan Allah berfirman di sini, ﴾ وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ
﴿ "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang menger-jakan kejahatan," yaitu kemaksiatan-kemaksiatan selain kekufuran, ﴾ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ ٱلۡـَٰٔنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمۡ كُفَّارٌۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
﴿ "hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.' Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih," yang demikian itu karena taubat dalam kondisi seperti itu adalah taubat yang terpaksa yang tidak berguna bagi pelakunya, padahal sesungguhnya yang bermanfaat itu hanyalah taubat pilihan atau kesadaran.
Dan kemungkinan[17] juga makna FirmanNya, ﴾ مِن قَرِيبٖ
﴿ "Dengan segera" yaitu segera setelah perbuatan dosa tersebut yang meng-haruskan adanya taubat, maka maknanya adalah, bahwa barang-siapa yang bersegera dalam menarik diri sejak timbulnya dosa dan berserah diri kepada Allah serta menyesali perbuatan itu, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosanya, berbeda halnya dengan orang yang terus menerus dengan dosanya dan berkelan-jutan dalam aib-aibnya itu hingga menjadi sebuah sifat yang me-nempel pada dirinya, maka sesungguhnya akan sulit baginya untuk bertaubat secara total, bahkan biasanya ia tidak mendapatkan taufik taubat dan tidak dimudahkan kepada sebab-sebabnya, seperti seseorang yang melakukan perbuatan dosa atas dasar ilmu yang jelas dan keyakinan yang dibarengi dengan sikap meremehkan pengawasan Allah terhadapnya, maka sesungguhnya ia telah me-nutup pintu rahmat bagi dirinya sendiri.
Memang benar, bahwa Allah terkadang memberikan taufik kepada hambaNya yang selalu melakukan dosa dan maksiat dengan kesengajaan dan keyakinan menuju taubat yang berguna di mana Allah akan menghapus dengan taubat itu apa-apa yang telah lalu berupa dosa-dosa dan kejahatan-kejahatannya, akan tetapi rahmat dan taufik itu lebih dekat kepada orang yang pertama, oleh karena itulah Allah menutup ayat pertama tersebut dengan FirmanNya, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana" dan di antara ilmu Allah adalah bahwa Dia mengetahui orang yang benar dalam bertaubat dan orang yang berdusta, dan akan membalas setiap dari kedua orang tersebut sesuai dengan hak keduanya menurut hikmahNya, dan di antara hikmahNya adalah Allah akan memberikan taufik kepada orang yang hikmah dan rahmatNya menghendaki orang tersebut kepada taubat, dan Allah akan menghinakan orang yang hikmah dan keadilanNya meng-hendaki tidak memberi taufik kepadanya, Wallahu a'lam.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (19) وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (20) وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (21)}.
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mem-pusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyu-sahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai se-suatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, se-dang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menang-gung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri? Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat."
(An-Nisa`: 19-21).
#
{19} كانوا في الجاهلية إذا مات أحدهم عن زوجته؛ رأى قريبُهُ كأخيه وابن عمه ونحوهما ـ أنه أحقُّ بزوجته من كل أحدٍ، وحماها عن غيره، أحبت أو كرهت؛ فإن أحبَّها؛ تزوجها على صداق يحبُّه دونها، وإن لم يرضها؛ عَضَلَها فلا يزوِّجها إلاَّ مَن يختاره هو، وربما امتنع من تزويجها حتى تبذل له شيئاً من ميراث قريبه أو من صداقها. وكان الرجل أيضاً يعضُلُ زوجته التي يكون يكرهُها ليذهبَ ببعض ما آتاها. فنهى الله المؤمنين عن جميع هذه الأحوال إلا حالتين: إذا رضيت واختارت نكاح قريب زوجها الأول كما هو مفهومُ قولِهِ: {كَرْهاً}. وإذا أتَيْنَ بفاحشة مبيِّنةٍ كالزنا والكلام الفاحش وأذيتها لزوجها؛ فإنه في هذه الحال يجوز له أن يعضُلَها عقوبةً لها على فعلها، لتفتدي منه إذا كان عضلاً بالعدل.
ثم قال: {وعاشروهنَّ بالمعروف}: وهذا يشمل المعاشرةَ القوليَّة والفعليَّة، فعلى الزوج أن يعاشر زوجته بالمعروف من الصحبة الجميلة وكفِّ الأذى وبذل الإحسان وحسن المعاملة، ويدخل في ذلك النفقة والكسوة ونحوهما، فيجب على الزوج لزوجته المعروف من مثلِهِ لمثلها في ذلك الزمان والمكان، وهذا يتفاوت بتفاوت الأحوال. {فإن كرهتموهنَّ فعسى أن تكرهوا شيئاً ويجعلَ الله فيه خيراً كثيراً}؛ أي: ينبغي لكم أيها الأزواج أن تُمْسِكوا زوجاتِكم مع الكراهة لهنَّ؛ فإنَّ في ذلك خيراً كثيراً: من ذلك امتثالُ أمر الله وقَبولُ وصيَّته التي فيها سعادة الدنيا والآخرة. ومنها: أن إجباره نفسه مع عدم محبَّته لها فيه مجاهدةُ النفس والتخلُّق بالأخلاق الجميلة، وربما أن الكراهة تزول وتخلُفُها المحبةُ كما هو الواقع في ذلك، وربما رُزِقَ منها ولداً صالحاً، نفع والديه في الدنيا والآخرة.
(19) Pada zaman jahiliyah, bila salah seorang di antara mereka meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri, nis-caya karib-kerabatnya seperti saudara laki-lakinya, anak laki-laki pamannya atau semisalnya memandang bahwa dialah yang paling berhak atas diri istri mayit tersebut dari siapa pun, dan melindu-nginya dari selain dirinya, baik ia suka maupun tidak, dan bila ia menyukai istri mayit tersebut, maka akan dinikahinya dengan mahar yang dikehendakinya tanpa persetujuan wanita tersebut, namun bila ia tidak menyukainya, ia akan menjauhinya dan tidak akan ia kawinkan kecuali dengan seseorang yang menjadi pilihan-nya sendiri, atau bahkan ia tidak akan mengawinkannya hingga ia diberi oleh wanita itu beberapa harta dari warisan karibnya yang meninggal tadi atau dari maharnya, dan seorang laki-laki juga akan menjauhi istrinya yang ia benci agar ia dapat pergi dengan sebagian harta yang telah ia berikan kepada istrinya tersebut.
Allah سبحانه وتعالى kemudian melarang kaum Muslimin dari melakukan hal-hal seperti itu kecuali dalam dua kondisi; apabila ia rela dan memilih untuk menikah dengan kerabat suaminya yang pertama sebagaimana pemahaman terbalik,
(Mafhum Mukhalafah) dari Fir-manNya, ﴾ كَرۡهٗاۖ
﴿ "Dengan jalan paksa." Dan bila mereka melakukan kekejian yang nyata seperti perzinaan, perkataan yang keji dan perlakuan buruk terhadap suaminya, maka dalam kondisi seperti ini boleh baginya menyusahkan wanita tersebut sebagai suatu hukuman baginya karena perbuatannya tersebut, dan agar ia me-nebus kesalahan dirinya, tetapi dengan syarat tindakan menyusah-kan istri tersebut dilakukan secara adil.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
﴿ "Dan bergaullah dengan mereka secara patut," hal ini mencakup pergaulan dengan perkataan maupun perbuatan, karena itu suami wajib menggauli istrinya dengan baik, berupa hubungan yang baik, mencegah ada-nya gangguan, memberikan kebaikan, dan ramah dalam bermua-malah, dan termasuk dalam hal itu juga adalah memberi nafkah serta pakaian dan semacamnya. Suami wajib memberikan kebu-tuhan istri sesuai standar (istri semisalnya) yang disesuaikan dengan kemampuan suami pada masa dan tempat tersebut, dan hal ini tentunya akan berbeda sesuai dengan perbedaan kondisinya.
﴾ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ﴿ "Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak," maksudnya, seyogyanya bagi kalian wahai para suami untuk tetap bersama istri-istri kalian walaupun kalian membenci mereka, karena dalam hal tersebut tersimpan kebaikan yang banyak, dan di antara kebaikan itu adalah pelaksanaan perintah Allah dan menerima wasiatNya, di mana dalam hal itu menjadi penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Di samping itu pemaksaan dirinya untuk bertahan padahal ia membencinya adalah sebuah perjuangan melawan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan akhlak yang luhur, dan mungkin saja kebencian itu akan lenyap dan akan diganti dengan kecintaan sebagaimana yang nyata terjadi, dan mungkin juga darinya ia akan diberikan rizki yaitu anak yang shalih yang berguna bagi kedua orang tuanya di dunia dan akhirat.
#
{20} وهذا كله مع الإمكان في الإمساك وعدم المحذور، فإنْ كان لا بدَّ من الفراق وليس للإمساك محلٌّ؛ فليس الإمساك بلازم، بل متى {أردتم استبدال زوج مكان زوج}؛ أي: تطليق زوجة وتزوُّج أخرى؛ أي: فلا جُناح عليكم في ذلك ولا حرج، ولكن إذا {آتيتم إحداهن}؛ أي: المفارِقة أو التي تزوجها {قنطاراً}؛ أي: مالاً كثيراً. {فلا تأخذوا منه شيئاً}، بل وفِّروه لهن ولا تَمْطُلوا بهنَّ.
وفي هذه الآية دلالة على عدم تحريم كثرة المهر، مع أن الأفضل واللائق الاقتداء بالنبي - صلى الله عليه وسلم - في تخفيف المهر، ووجه الدلالة أنَّ الله أخبر عن أمر يقعُ منهم ولم ينكِرْه عليهم، فدل على عدم تحريمه.
لكن قد ينهى عن كثرة الصداق إذا تضمن مفسدة دينية وعدم مصلحةٍ تقاوم. ثم قال: {أتأخذونه بهتاناً وإثماً مبيناً}؛ فإنَّ هذا لا يحلُّ، ولو تحيَّلتم عليه بأنواع الحيل؛ فإن إثمه واضح.
(20) Ini semua dengan kondisi yang memungkinkan bagi-nya untuk tetap bersama dan tidak adanya perkara yang diharam-kan, namun bila harus berpisah dan tidak mungkin untuk bersama lagi, maka tidaklah wajib untuk bertahan bersama, akan tetapi ketika ﴾ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٖ مَّكَانَ زَوۡجٖ
﴿ "kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain," yaitu mentalak seorang istri dan menikahi wanita yang lain, artinya tidak ada dosa bagi kalian dalam hal ter-sebut dan tidak ada salahnya, akan tetapi bila ﴾ وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ
﴿ "telah memberikan kepada seseorang di antara mereka," yaitu yang kalian talak atau yang kalian nikahi, ﴾ قِنطَارٗا
﴿ "harta yang banyak," yaitu harta yang banyak, ﴾ فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡـًٔاۚ
﴿ "maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun," akan tetapi kalian harus membiarkan itu semua untuknya dan janganlah kalian mengung-kit-ungkitnya.
Ayat ini menunjukkan bahwa tidaklah haram memberikan mahar yang besar, walaupun sesungguhnya lebih baik dan lebih utama adalah mencontoh Nabi ﷺ dalam meringankan mahar. Dan hal itu dapat dipahami dari ayat ini bahwa Allah mengabarkan tentang suatu perkara yang terjadi pada mereka namun tidak mengingkari mereka akan hal tersebut, dengan demikian hal itu menunjukkan bahwa perkara tersebut tidaklah haram hukumnya.
Akan tetapi mahar yang besar dapat saja dilarang apabila mengandung kemudharatan dalam agama dan tidak ada maslahat yang sepadan, kemudian Allah berfirman, ﴾ أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ﴿ "Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata?" Karena sesung-guhnya hal tersebut tidaklah halal, walaupun kalian melakukan tipu daya dengan berbagai trik; sesungguhnya dosanya telah jelas.
#
{21} وقد بيَّن تعالى حكمة ذلك بقوله: {وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم ميثاقاً غليظاً}، وبيان ذلك أن الزوجة قبل عقد النكاح محرمةٌ على الزوج، ولم ترضَ بحلِّها له إلا بذلك المهر الذي يدفعُهُ لها؛ فإذا دخل بها وأفضى إليها وباشرها المباشرة التي كانت حراماً قبل ذلك والتي لم ترض ببذلها إلاَّ بذلك العوض؛ فإنَّه قد استوفى المعوَّض، فثبت عليه العِوَض؛ فكيف يَسْتَوفي المعوَّض ثم بعد ذلك يرجع على العوض؟ هذا من أعظم الظلم والجور، وكذلك أخذ الله على الأزواج ميثاقاً غليظاً بالعقد والقيام بحقوقها. ثم قال تعالى:
(21) Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah menjelaskan hikmah akan hal tersebut dengan FirmanNya,﴾ وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ﴿ "Bagaimana kamu akan mengambilnya kem-bali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." Penjelasannya adalah bahwa istri sebelum akad nikah adalah haram bagi suami, dan tidaklah ia merelakan dirinya agar halal baginya kecuali dengan mahar tersebut yang telah diberikan suami kepadanya, dan bila ia telah bercampur dengannya, menggaulinya dan menyentuhnya dengan sentuhan yang awalnya adalah haram sebelum itu dan tidaklah ia mau menyerahkannya kecuali dengan kompensasi, sesungguhnya ia telah merenggut hal yang harus diberi kompensasi, maka wajiblah atasnya memberikan kompensasi tersebut, lalu bagaimana mungkin ia mengambil hal yang harus diberikan kompensasi kemudian setelah itu ia mau menarik kembali kompensasi itu darinya? Inilah kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang paling besar, Allah juga telah mengambil perjanjian yang kuat dari para suami dengan adanya akad dan
(perintah untuk) memenuhi hak-hak istrinya, kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman,
{وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22)}.
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan se-buruk-buruk jalan
(yang ditempuh)."
(An-Nisa`: 22).
#
{22} أي: لا تتزوَّجوا من النساء ما تزوَّجهنَّ آباؤكم؛ أي: الأب وإن علا. {إنه كان فاحشة}؛ أي: أمراً قبيحاً يفحُشُ ويعظُمُ قبحُهُ. {ومَقْتاً}: من الله لكم، ومن الخلق، بل يَمْقُتُ بسبب ذلك الابن أباه والأب ابنه مع الأمر ببرِّه. {وساء سبيلاً}؛ أي: بئس الطريق طريقاً لمن سلكه؛ لأنَّ هذا من عوائد الجاهلية التي جاء الإسلام بالتنزُّه عنها والبراءة منها.
(22) Maksudnya, janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian, artinya ayah dan se-terusnya ke atas, ﴾ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ
﴿ "sesungguhnya perbuatan itu amat keji" yaitu perkara yang buruk, di mana hal itu adalah keji dan keburukannya pun sangat besar, ﴾ وَمَقۡتٗا
﴿ "dan dibenci" oleh Allah dan makhluk, bahkan karena hal itu seorang anak akan membenci ayahnya, dan seorang bapak akan membenci anaknya padahal ada perintah untuk berbakti kepadanya, ﴾ وَسَآءَ سَبِيلًا ﴿ "dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh)" yaitu jalan terjelek bagi orang yang menempuh jalan tersebut, karena hal tersebut di antara kebiasaan-kebiasaan jahiliyah di mana Islam datang untuk membersihkannya dan melepaskan diri darinya.
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)}.
"Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menga-wininya;
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perem-puan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lam-pau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 23-24). "Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang ber-suami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah mene-tapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan diha-lalkan bagi kamu selain yang demikian
(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikan-lah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 24).
#
{23} فأما المحرمات في النسب؛ فهنَّ السبعُ اللاتي ذكرهنَّ الله: الأمُّ: يدخل فيها كلُّ من لها عليك ولادةٌ وإن بَعُدَتْ. ويدخل في البنت كلُّ من لك عليها ولادة. والأخوات الشقيقات أو لأبٍ أو لأمٍ. والعمة: كلُّ أختٍ لأبيك أو لجدِّك وإن علا. والخالة: كلُّ أخت لأمِّك أو جدَّتك وإن علت وارثة أم لا. وبناتُ الأخ وبناتُ الأخت؛ أي: وإن نزلت. فهولاء هنَّ المحرَّمات من النسب بإجماع العلماء؛ كما هو نصُّ الآية الكريمة، وما عداهنَّ؛ فيدخُلُ في قولِهِ: {وأحِلَّ لكم ما وراء ذلكم}، وذلك كبنت العمَّة والعمِّ وبنت الخال والخالة.
وأما المحرَّمات بالرَّضاع؛ فقد ذكر الله منهنَّ الأمَّ والأخت، وفي ذلك تحريم الأم، مع أنَّ اللبن ليس لها، إنَّما هو لصاحب اللبن، دلَّ بتنبيهه على أن صاحب اللبن يكون أباً للمرتضع؛ فإذا ثبتت الأبوة والأمومة؛ ثبت ما هو فرعٌ عنهما؛ كأخوتهما وأصولهما وفروعهما ، وقال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «يحرُمُ من الرَّضاع ما يحرُمُ من النسب» ، فينتشر التحريم من جهة المرضعة ومَن له اللبن كما ينتشر في الأقارب وفي الطفل المرتضع إلى ذريَّته فقط، لكن بشرط أن يكون الرضاعُ خمسَ رَضَعات في الحولين؛ كما بيَّنت السنة.
وأما المحرمات بالصهر؛ فهنَّ أربع: حلائل الآباء وإن علوا، وحلائل الأبناء وإن نزلوا وارثين أو محجوبين، وأمهات الزوجة وإن علون؛ فهؤلاء الثلاث يَحْرُمْنَ بمجرَّد العقد، والرابعة الربيبة، وهي بنت زوجته وإن نزلت؛ فهذه لا تحرُمُ حتى يدخلَ بزوجتِهِ؛ كما قال هنا: {وربائبُكُمُ اللاَّتي في حجورِكُم من نسائِكُمُ اللاتي دخلتم بهن ... } الآية. وقد قال الجمهور: إن قوله: {اللاتي في حجوركم}: قيدٌ خَرَجَ بمخرَج الغالب لا مفهوم له؛ فإن الربيبة تحرُمُ ولو لم تكن في حجره، ولكن للتقييد بذلك فائدتان: إحداهما: [فيه] التنبيه على الحكمة في تحريم الربيبة، وأنها كانت بمنزلة البنت؛ فمن المستقبح إباحتها. والثانية: فيه دلالة على جواز الخَلْوة بالربيبة، وأنها بمنزلة من هي في حجره من بناته ونحوهن. والله أعلم.
وأمّا المحرمات بالجمع؛ فقد ذكر الله الجمع بين الأختين وحرَّمه، وحرَّم النبي - صلى الله عليه وسلم - الجمع بين المرأة وعمتها أو خالتها ؛ فكل امرأتين بينهما رحمٌ محرَّم، لو قُدِّرَ إحداهُما ذكراً والأخرى أنثى حَرُمَتْ عليه؛ فإنه يحرُمُ الجمع بينهما، وذلك لما في ذلك من أسباب التقاطع بين الأرحام.
(23) Ayat-ayat yang mulia ini mengandung penjelasan tentang wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah, dan wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan dan wanita-wanita yang diharamkan karena perkawinan dan wanita-wanita yang diharamkan karena penyatuan dan juga wanita-wanita yang dihalalkan.
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah, mereka ada tujuh kelompok sebagaimana yang disebutkan oleh Allah,
yaitu: Ibu, dan termasuk dalam makna ibu adalah setiap orang yang menjadi sebab kelahiran dirimu walaupun jauh. Kemudian anak perempuan, dan termasuk dalam makna anak perempuan adalah setiap orang yang engkau menjadi penyebab kelahirannya. Saudara perempuan kandung atau seayah atau seibu. Saudara perempuan ayah yaitu seluruh saudara perempuan ayah Anda atau kakek Anda dan seterusnya ke atas. Saudara perempuan ibu, yaitu setiap saudara perempuan ibu Anda atau nenek Anda dan seterusnya ke atas yang menjadi ahli waris ataupun tidak. Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan keponakan perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. Mereka semua itu adalah wanita-wanita yang diharamkan karena pertalian darah menurut ijma' para ulama, sebagaimana juga nash ayat yang mulia di atas, sedangkan selain dari mereka, maka ter-masuk dalam Firman Allah, ﴾ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
﴿ "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian" yang demikian itu seperti anak perem-puan bibi atau paman dari ayah atau anak perempuan bibi atau paman dari ibu.
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan, maka sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah menyebutkan pada ayat di atas yaitu di antara mereka adalah ibu dan saudara perempuan, hal itu adalah sebuah dalil tentang haramnya menikahi ibu, padahal hak air susunya bukanlah miliknya, sesungguhnya air susu itu adalah hak yang memiliki susu, indikasi ayat tersebut menunjukkan bahwa pemilik dari air susu itu adalah ayah bagi anak susuan tersebut, lalu bila telah terbukti dalam hal tersebut penamaan ayah dan ibu, maka harus terbukti pula hal-hal yang menjadi cabang dari kedua label tersebut, seperti saudara-saudara perempuan keduanya, kakek nenek keduanya, dan keturunan keduanya, dan Nabi ﷺ telah bersabda,
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ.
"Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari keturunan."[18]
Dengan demikian tersebarlah pengharaman itu dari pihak ibu yang menyusui dan pemilik air susu tersebut, sebagaimana juga tersebar pada sanak famili pada anak tersebut hingga kepada anak keturunannya saja, akan tetapi dengan syarat persusuan tersebut adalah sebanyak lima kali susuan dalam usia dua tahun, sebagai-mana yang telah dijelaskan oleh sunnah."[19]
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pernikahan adalah empat kelompok, yaitu istri-istri bapak dan seterusnya ke atas, istri-istri anak dan seterusnya ke bawah, baik yang menjadi ahli waris maupun yang terhalang, ibu dari istri dan seterusnya ke atas, dan mereka yang disebut tadi adalah diharamkan dengan sempurnanya akad nikah, sedangkan yang keempat adalah anak perempuan tiri, yaitu anak perempuan istrinya dan seterusnya ke bawah, kelompok yang satu ini tidaklah haram kecuali bila suami telah menggauli istrinya, sebagaimana Allah berfirman dalam ayat ini, ﴾ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ
﴿ "Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri" dan jumhur ulama juga telah berkata, "Sesungguhnya Firman Allah, ﴾ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم ﴿ "Yang dalam pemeliharaanmu" sebuah pengikatan yang keluar dari perkara yang sering terjadi hingga tidak memiliki arti dan makna, karena sesungguhnya anak perempuan tiri itu tetap haram
(dinikahi) walaupun tidak berada dalam pemeliharaan. Namun ikatan tersebut memiliki dua faidah; pertama, menyimpan sebuah indikasi tentang hikmah dari pengharaman anak perem-puan tiri dan bahwa ia adalah dalam posisi anak kandung, maka sangatlah jelek menjadikannya halal untuk dinikahi, kedua; ikatan itu menyimpan sebuah isyarat tentang bolehnya berkhalwat dengan anak perempuan tiri, karena ia adalah dalam posisi orang-orang yang ada dalam pemeliharaannya seperti anak-anak perempuan-nya sendiri dan semisalnya, Wallahu a'lam.
Sedangkan wanita-wanita yang diharamkan karena peng-himpunan, maka Allah telah menyebutkan tentang penyatuan dua saudara perempuan kemudian Allah mengharamkannya, dan Nabi ﷺ juga telah mengharamkan penyatuan antara seorang perempuan dengan ammah
(bibi dari pihak ayah atau khalah (bibi dari pihak ibu)[20], maka setiap dua perempuan yang disatukan yang memiliki ikatan pertalian darah adalah diharamkan, seandainya diumpama-kan salah seorangnya adalah laki-laki dan lainnya adalah perem-
puan, maka yang perempuan haram bagi yang laki-laki, karena itu diharamkan menyatukan antara keduanya, yang demikian itu karena akan menjadi salah satu sebab di antara sebab-sebab putus-nya tali kekeluargaan.
#
{24} ومن المحرَّمات في النكاح {المحصناتُ من النساء}؛ أي: ذوات الأزواج؛ فإنَّه يَحْرُمُ نكاحهنَّ ما دمنَ في ذمة الزوج حتى تَطْلُقَ وتنقضيَ عِدَّتُها؛ {إلا ما ملكت أيمانكُم}؛ أي: بالسبي؛ فإذا سُبِيَتِ الكافرةُ ذات الزوج؛ حلَّت للمسلمين بعد أن تُسْتَبْرأ، وأما إذا بيعت الأمة المزوَّجةَ أو وُهِبَتْ؛ فإنَّه لا ينفسخُ نكاحُها؛ لأنَّ المالك الثاني نزل منزلة الأول، ولقصة بَريرة حين خيَّرها النبيُّ - صلى الله عليه وسلم -.
وقوله: {كتاب الله عليكم}؛ أي: الزموه واهتدوا به؛ فإن فيه الشفاء والنور، وفيه تفصيل الحلال من الحرام.
ودخل في قوله: {وأحِلَّ لكم ما وراء ذلكم}: كلُّ ما لم يُذْكَرْ في هذه الآية؛ فإنه حلال طيب؛ فالحرام محصورٌ، والحلال ليس له حدٌّ ولا حصرٌ؛ لطفاً من الله ورحمة وتيسيراً للعباد. وقوله: {أن تبتغوا بأموالكم}؛ أي: تطلُبوا مَن وَقَعَ عليه نظرُكُم واختيارُكُم من اللاتي أباحهنَّ الله لكم حالة كونكم {محصنينَ}؛ أي: مستعفين عن الزنا ومعفين نساءكم. {غير مسافحين}: والسفحُ سفحُ الماء في الحلال والحرام؛ فإنَّ الفاعل لذلك لا يحصن زوجته؛ لكونه وضع شهوته في الحرام، فتضعف داعيته للحلال، فلا يبقى محصناً لزوجته. وفيها دلالة على أنه لا يزوَّج غيرُ العفيف؛ لقوله تعالى: {الزاني لا ينكح إلا زانيةً أو مشركةً والزانيةُ لا ينكِحُها إلا زانٍ أو مشركٌ}.
{فما استمتعتم به منهن}؛ أي: من تزوَّجْتُموها. {فآتوهنَّ أجورهنَّ}؛ أي: الأجور في مقابلة الاستمتاع، ولهذا إذا دخل الزوج بزوجته؛ تقرَّر عليه صداقها {فريضةً}؛ أي: إتيانكم إياهنَّ أجورهنَّ فرضٌ فرضه الله عليكم، ليس بمنزلة التبرُّع الذي إن شاء أمضاه وإن شاء ردَّه، أو معنى قوله: {فريضةً}؛ أي: مقدَّرة، قد قدَّرتموها، فوجبت عليكم؛ فلا تنقصوا منها شيئاً. {ولا جُناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة}؛ أي: بزيادةٍ من الزوج أو إسقاطٍ من الزوجة عن رضا وطيب نفس. هذا قولُ كثيرٍ من المفسِّرين. وقال كثيرٌ منهم: إنها نزلت في متعة النساء التي كانت حلالاً في أول الإسلام، ثم حرَّمها النبي - صلى الله عليه وسلم -، وأنه يؤمر بتوقيتها وأجرها، ثم إذا انقضى الأمد الذي بينهما، فتراضيا بعد الفريضة؛ فلا حرج عليهما. والله أعلم. {إنَّ الله كان عليماً حكيماً}؛ أي: كامل العلم واسعه، كامل الحكمة؛ فمن علمه وحكمته شرع لكم هذه الشرائع، وحدَّ لكم هذه الحدود الفاصلة بين الحلال والحرام. ثم قال تعالى:
(24) Dan di antara wanita-wanita yang diharamkan dinikahi adalah, ﴾ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami" yaitu wanita-wanita yang telah memiliki suami, sesungguhnya diharamkan untuk menikahi mereka selama masih dalam pengayoman suami mereka hingga mereka diceraikan dan selesai masa iddahnya, ﴾ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ
﴿ "kecuali budak-budak yang kamu miliki" yaitu (yang didapatkan) dari bagian tawanan pe-rang, artinya bila seorang perempuan kafir yang bersuami tertawan, maka halal bagi kaum Muslimin setelah perempuan itu dinyatakan terlepas dari kehamilan, adapun bila seorang budak perempuan yang telah menikah dijual atau dihibahkan, maka status pernikah-annya tidaklah batal, karena pemilik yang kedua (yang membeli-nya atau menerimanya) berposisi seperti posisi pemilik pertama (yaitu hanya pemilik). Ini berdasarkan kisah budak perempuan Barirah ketika Nabi ﷺ memberikannya pilihan[21].
FirmanNya, ﴾ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ
﴿ "(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu" yaitu, konsistenlah padanya dan tetapilah ia sebagai petunjuk, karena hal itu mengandung penyem-buhan dan cahaya, dan juga mengandung penjelasan secara rinci antara yang halal dan yang haram.
Dan termasuk dalam FirmanNya, ﴾ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
﴿ "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian," setiap perempuan yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut adalah halal lagi baik, jadi yang haram itu terbatas, sedangkan yang halal tidaklah memiliki batas, sebagai sebuah kasih sayang dari Allah dan rahmat serta ke-mudahan bagi hamba. Firmannya, ﴾ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم
﴿ "(Yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu" yaitu kalian memilih perempuan yang menjadi pilihan dan kesukaan kalian dari perempuan-perempuan yang telah dihalalkan oleh Allah bagi kalian ketika kalian dalam keadaan ﴾ مُّحۡصِنِينَ
﴿ "ingin mengawini mereka" yakni menjaga diri dari perzinaan dan menjaga diri istri-istri kalian, ﴾ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ
﴿ "bukan untuk berzina" as-Safhu adalah menumpahkan air sperma pada yang halal maupun yang haram, sesungguhnya pelaku hal tersebut (perzinaan) tidaklah dikatakan menjaga istrinya, karena ia telah melampiaskan syahwatnya pada yang haram, hingga lemahlah hasratnya kepada yang halal, akhirnya tidaklah ia mampu menjaga dirinya untuk istrinya. Di dalam ayat ini juga terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menjaga dirinya janganlah dinikahi, atas dasar Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ
﴿
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang ber-zina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik." (An-Nur: 3).
﴾ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ
﴿ "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (cam-puri) di antara mereka" yaitu perempuan-perempuan yang telah kalian nikahi, ﴾ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
﴿ "berikanlah kepada mereka maharnya, (dengan sempurna)" yaitu imbalan sebagai suatu timbal-balik (boleh-nya) menikmati, oleh karena itu apabila seorang suami telah men-campuri istrinya, maka wajiblah atasnya memberikan mahar ke-padanya, ﴾ فَرِيضَةٗۚ
﴿ "sebagai suatu kewajiban," maksudnya pemberian mahar yang dilakukan oleh kalian kepada mereka adalah sebuah kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas kalian, dan bukan bentuk penghibahan di mana bila mau ia membayarkannya dan bila menghendaki ia menahannya, atau arti dari Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ فَرِيضَةٗۚ
﴿ "Sebagai suatu kewajiban," yaitu yang telah ditentukan, di mana kalian telah menentukannya, maka wajiblah atas kalian (untuk membayarnya) dan janganlah kalian kurangi darinya sedikit pun.
﴾ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ
﴿ "Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya," yaitu dengan tambahan oleh pihak suami atau pengguguran dari pihak istri atas dasar keridhaan dan kerelaan jiwa, inilah pendapat dari sebagian besar para ulama ahli tafsir. Dan sebagian besar dari me-reka berkata bahwa sesungguhnya ayat ini turun untuk menerang-kan tentang Nikah Mut'ah terhadap perempuan di mana pada awal-awal Islam hukumnya adalah halal, kemudian Nabi ﷺ mengharam-kannya, bahwa beliau ﷺ memerintahkan agar menentukan waktu dan maharnya, kemudian bila telah berlalu masa yang ada di antara keduanya dan mereka berdua saling ridha setelah menentukan mahar tersebut, maka itu tidaklah haram bagi mereka berdua, Wallahu a'lam.
﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana" yaitu ilmu yang sempurna dan luas serta hikmah yang sempurna, dan di antara ilmu dan hikmahNya adalah Allah mensyariatkan bagi kalian syariat-syariat ini, dan menentukan hukum-hukum yang menjelaskan secara terperinci antara halal dan haram, kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman,
{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (25)}.
"Dan barangsiapa di antara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain, karena itu kawini-lah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji
(zina), maka mereka mendapatkan separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 25).
#
{25} أي: ومن لم يستطع الطَّول ـ الذي هو المهر ـ لنكاح المحصنات؛ أي: الحرائر المؤمنات، وخاف على نفسه العنت؛ أي: الزنا والمشقة الكثيرة؛ فيجوز له نكاح الإماء المملوكات المؤمنات، وهذا بحسب ما يظهر، وإلاَّ؛ فالله أعلم بالمؤمن الصادق من غيره؛ فأمور الدنيا مبنيَّة على ظواهر الأمور، وأحكام الآخرة مبنيَّة على ما في البواطن. {فانكِحوهنَّ}؛ أي: المملوكات {بإذن أهلهنَّ}؛ أي: سيِّدهن واحداً أو متعدداً. {وآتوهنَّ أجورهنَّ بالمعروف}؛ أي: ولو كنَّ إماءً؛ فإنه كما يجب المهر للحرة؛ فكذلك يجب للأمة، ولكن لا يجوز نكاح الإماء إلاَّ إذا كنَّ {محصنات}؛ أي: عفيفات عن الزنا، {غير مسافِحاتٍ}؛ أي: زانيات علانية، {ولا متَّخذاتِ أخدانٍ}؛ أي: أخلاء في السرِّ.
فالحاصل أنه لا يجوز للحرِّ المسلم نكاح أمةٍ إلاَّ بأربعة شروط ذكرها الله: الإيمان بهنّ، والعفة ظاهراً وباطناً، وعدم استطاعة طَوْل الحرة، وخوف العنت؛ فإذا تمت هذه الشروط؛ جاز له نكاحهنَّ، ومع هذا؛ فالصبر عن نكاحهنَّ أفضلُ؛ لما فيه من تعريض الأولاد للرقِّ، ولما فيه من الدناءة والعيب، وهذا إذا أمكن الصبر؛ فإن لم يمكن الصبر عن الحرام إلاَّ بنكاحهنَّ؛ وجب ذلك، ولهذا قال: {وأن تصبروا خير لكم والله غفور رحيم}.
وقوله: {فإذا أحْصِنَّ}؛ أي: تزوَّجن أو أسلمن؛ أي: الإماء. فعليهن نصف ما على المحصنات؛ أي: الحرائر {من العذاب}. وذلك الذي يمكن تنصيفُهُ وهو الجلد، فيكون عليهن خمسون جلدةً، وأما الرجم؛ فليس على الإماء رجمٌ؛ لأنه لا يتنصَّف؛ فعلى القول الأول: إذا لم يتزوَّجن؛ فليس عليهن حدٌّ، إنما عليهن تعزيرٌ يردعهنَّ عن فعل الفاحشة. وعلى القول الثاني: إن الإماء غير المسلمات إذا فعلن فاحشةً أيضاً عزِّرْن.
وختم هذه الآية بهذين الاسمين الكريمين: الغفور، والرحيم؛ لكون هذه الأحكام رحمة بالعباد وكرماً وإحساناً إليهم، فلم يضيِّق عليهم، بل وسَّع غاية السعة. ولعل في ذكر المغفرة بعد ذكر الحدِّ إشارة إلى أن الحدود كفاراتٌ يغفرُ الله بها ذنوبَ عباده كما وردَ بذلك الحديث.
وحُكم العبد الذَّكر في الحد المذكور حُكم الأمة لعدم الفارق بينهما.
(25) Yaitu barangsiapa yang tidak mampu memberikan belanja -maksudnya adalah mahar- untuk menikahi wanita-wanita merdeka, artinya wanita-wanita Mukminat yang merdeka, dan ia khawatir dirinya terjerumus ke dalam kebinasaan yaitu perbuatan zina dan kesulitan yang banyak, maka boleh baginya menikahi budak wanita yang beriman, hal ini menurut apa yang nampak secara lahiriyah, dan bila tidak demikian, maka Allah adalah lebih mengetahui tentang seorang Mukmin yang benar dari selainnya, karena perkara-perkara dunia dibangun atas dasar apa yang nam-pak, sedangkan perkara-perkara akhirat dibangun atas dasar apa yang ada dalam batin, ﴾ فَٱنكِحُوهُنَّ
﴿ "karena itu kawinilah mereka" yaitu budak-budak wanita yang beriman, ﴾ بِإِذۡنِ أَهۡلِهِنَّ
﴿ "dengan seizin tuan mereka" yaitu tuan mereka, baik satu orang atau lebih, ﴾ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
﴿ "dan berilah maskawin mereka menurut yang patut" maksudnya, walaupun mereka itu adalah budak-budak wanita, sebagaimana mahar itu wajib bagi wanita merdeka, demikian pula mahar wajib bagi wanita budak, akan tetapi tidak dibolehkan menikahi budak wanita kecuali bila mereka, ﴾ مُحۡصَنَٰتٍ
﴿ "memelihara diri" yaitu men-jaga diri mereka dari perbuatan zina, ﴾ غَيۡرَ مُسَٰفِحَٰتٖ
﴿ "bukan pezina" yaitu pelacur secara terang-terangan, ﴾ وَلَا مُتَّخِذَٰتِ أَخۡدَانٖۚ
﴿ "dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya," yaitu kekasih rahasia.
Pada intinya, seorang Muslim yang merdeka tidak boleh me-nikahi seorang budak wanita kecuali dengan empat syarat yang telah disebutkan oleh Allah سبحانه وتعالى yaitu: Keimanan mereka, pemeliha-raan diri, baik secara lahir maupun batin, ketidakmampuan dalam memberikan mahar kepada wanita merdeka dan khawatir akan perzinaan. Bila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka boleh bagi-nya menikahi budak wanita, walaupun demikian kesabaran untuk tidak menikahi mereka adalah lebih utama, karena pernikahan itu akan menjatuhkan anak-anaknya ke dalam perbudakan, sebagai-mana juga pernikahan itu mengandung kehinaan dan aib. Akan tetapi yang demikian itu bila ia mampu bersabar, namun bila ia tidak mampu bersabar dari hal yang haram kecuali harus menikahi budak wanita, maka harus ia lakukan, karena itulah Allah berfir-man, ﴾ وَأَن تَصۡبِرُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
﴿ "Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dan FirmanNya, ﴾ فَإِذَآ أُحۡصِنَّ
﴿ "Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin," maksudnya, apabila para budak wanita itu telah menikah atau masuk Islam, maka mereka mendapatkan setengah dari apa yang ditanggung oleh wanita-wanita merdeka yang telah bersuami, ﴾ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ ﴿ "dari hukuman." Yang demikian itu adalah perkara yang mungkin dibagi dua yaitu cambuk, karena itu hu-kuman mereka adalah lima puluh kali cambukan, sedangkan hukum rajam tidak berlaku untuk budak wanita, karena rajam tidak dapat dibagi dua, maka atas dasar pandangan pertama; apabila mereka belum menikah, maka tidak ada had atas mereka, hanya saja me-reka harus diberikan hukuman yang membuat mereka jera agar tidak kembali pada perbuatan keji tersebut, sedangkan atas dasar pandangan kedua; sesungguhnya budak wanita selain Muslimah apabila melakukan perbuatan keji harus diberikan hukuman juga.
Ayat ini ditutup dengan dua Nama Allah yang mulia yaitu Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, hal itu karena ke-tetapan-ketetapan tersebut di atas merupakan rahmat bagi seluruh manusia, sebuah karunia, dan kebaikan untuk mereka, karena Allah tidak akan mempersulit mereka, akan tetapi Allah memberikan kelapangan kepada mereka dengan seluas-luasnya. Dan kemung-kinan dalam penyebutan ampunan setelah penyebutan had meru-pakan suatu indikasi bahwa had-had tersebut merupakan penggu-gur dosa, di mana Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-hambaNya dengan had-had tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits tentang hal tersebut.
[22]
Dan hukum seorang budak laki-laki dalam perkara had ter-sebut adalah sama seperti hukum budak wanita, karena tidak ada perbedaan antara kedua jenis tersebut.
{يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (26) وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا (27) يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا (28)}.
"Allah hendak menerangkan
(hukum syariatNya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu
(para nabi dan shalihin) dan
(hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah."
(An-Nisa`: 26-28).
#
{26} يخبر تعالى بمنَّته العظيمة ومنحته الجسيمة وحسن تربيته لعباده المؤمنين وسهولة دينه، فقال: {يريد الله لِيبيِّنَ لكم}؛ أي: جميع ما تحتاجون إلى بيانه من الحق والباطل والحلال والحرام. {ويهدِيَكم سنن الذين من قبلكم}؛ أي: الذين أنعم الله عليهم من النبيِّين وأتباعهم في سِيَرِهم الحميدة وأفعالهم السديدة وشمائلهم الكاملة وتوفيقهم التام؛ فلذلك نفَّذ ما أراده، ووضَّح لكم، وبيَّن بياناً كما بين لمن قبلكم، وهداكم هدايةً عظيمة في العلم والعمل.
{ويتوبَ عليكم}؛ أي: يلطف [بكم] في أحوالكم وما شَرَعَه لكم، حتى تتمكَّنوا من الوقوف على ما حدَّه الله والاكتفاء بما أحلَّه، فتقلَّ ذنوبُكم بسبب ما يسَّر الله عليكم؛ فهذا من توبته على عباده، ومن توبته عليهم أنهم إذا أذنبوا فتح لهم أبواب الرحمة، وأوزع قلوبَهم الإنابة إليه والتذلُّل بين يديه، ثم يتوب عليهم بقبول ما وفَّقهم له؛ فله الحمد والشكر على ذلك. وقوله: {والله عليم حكيم}؛ أي: [كامل العلم]، كامل الحكمة؛ فمن علمه أن عَلَّمكم ما لم تكونوا تعلمون، ومنها هذه الأشياء والحدود. ومن حكمته أنه يتوبُ على من اقتضت حكمته ورحمته التوبة عليه، ويخذلُ من اقتضت حكمته وعدلُه أن لا يصلُحَ للتوبة.
(26) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan tentang karuniaNya yang besar, pemberianNya yang agung, pemeliharaanNya yang terbaik terha-dap kaum Mukminin dan kemudahan agamaNya seraya berfirman, ﴾ يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمۡ
﴿ "Allah hendak menerangkan (hukum syariatNya) ke-padamu" yaitu seluruh perkara yang kalian butuhkan penjelasan-nya berupa kebenaran dan kebatilan, halal dan haram, ﴾ وَيَهۡدِيَكُمۡ سُنَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
﴿ "dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin)," maksudnya adalah orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah, yaitu para Nabi, beserta para pengikut mereka dalam sejarah hidup mereka yang terpuji, perbuatan-perbuatan mereka yang lurus, akhlak-akhlak mereka yang sempurna, dan taufik mereka yang menyeluruh, karena itulah Allah merealisasikan apa yang dikehendakiNya lalu menjelaskannya kepada kalian dan menerangkan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana Allah telah menjelaskannya kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian Allah memberi hidayah kepada kalian dengan hidayah yang agung dalam ilmu dan perbuatan.
﴾ وَيَتُوبَ عَلَيۡكُمۡۗ
﴿ "Dan (hendak) menerima taubatmu" yaitu berlaku lemah lembut (terhadap kalian)[23] pada keadaan kalian dan perkara yang disyariatkanNya bagi kalian, hingga kalian mampu melak-sanakan apa yang telah Allah tetapkan dan merasa cukup dengan apa yang telah Allah halalkan, hingga dosa-dosa kalian menjadi sedikit karena apa yang telah Allah mudahkan atas kalian, inilah di antara penerimaan taubat oleh Allah atas hamba-hambaNya. Dan juga di antara penerimaan taubat Allah atas mereka adalah bahwa bila mereka berbuat dosa, niscaya Allah akan membuka pintu-pintu rahmat bagi mereka, dan menurunkan kepada jiwa-jiwa mereka akan penyerahan diri dan sikap merendahkan diri di hadapanNya, kemudian Allah mengampuni mereka dengan menerima perkara yang Dia bimbing kepadanya, karena itu hanya bagiNya segala puji dan syukur atas semua itu. Dan FirmanNya, ﴾ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana" yaitu ilmu yang sempurna, kebijaksanaan yang sempurna, dan di antara ilmuNya adalah Allah mengajarkan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui, di antaranya adalah hal-hal yang seperti tersebut di atas dan juga had-had. Dan di antara hikmahNya adalah bahwa Allah mengampuni orang yang hikmah dan rahmatNya mene-tapkan adanya ampunan baginya, dan menghinakan orang yang hikmah dan keadilanNya menetapkan bahwa ia tidak pantas me-nerima ampunan.
#
{27} وقوله: {والله يريدُ أن يتوبَ عليكم}؛ أي: توبةً تلمُّ شَعَثَكُم وتجمع متفرِّقكم وتقرِّب بعيدكم. {ويريد الذين يتَّبِعون الشهواتِ}؛ أي: يميلون معها حيث مالت، ويقدِّمونها على ما فيه رضا محبوبهم ويعبُدون أهواءَهم من أصناف الكَفَرَةِ والعاصينَ المقدِّمين لأهوائهم على طاعة ربهم؛ فهؤلاء يريدون {أن تميلوا ميلاً عظيماً}؛ أي: أن تنحرِفوا عن الصراط المستقيم إلى صراط المغضوب عليهم والضالين، يريدون أن يصرفوكم عن طاعة الرحمن إلى طاعة الشيطان، وعن التزام حدود مَن السعادةُ كلُّها في امتثال أوامره إلى مَن الشقاوة كلُّها في اتباعه؛ فإذا عرفتم أنَّ الله تعالى يأمرُكم بما فيه صلاحُكم وفلاحُكم وسعادتكم، وأنَّ هؤلاء المتبعين شهواتهم يأمرونكم بما فيه غايةُ الخَسَارِ والشقاء؛ فاختاروا لأنفسكم أَوْلَى الداعيين وتخيَّروا أحسن الطريقتين.
(27) Dan FirmanNya, ﴾ وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ
﴿ "Dan Allah hen-dak menerima taubatmu," yaitu ampunan yang menghimpun keter-cerai-beraian kalian, menyatukan perbedaan kalian, dan mendekat-kan yang jauh dari kalian, ﴾ وَيُرِيدُ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلشَّهَوَٰتِ
﴿ "sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya" yaitu mereka condong bersama nafsunya ke manapun ia condong, dan mereka mendahulukan nafsunya di atas perkara yang mengandung keridhaan Allah, serta menyembah hawa nafsu mereka. Mereka adalah orang-orang kafir dan orang-orang ahli maksiat dari berbagai macam jenisnya yang mementingkan hawa nafsu mereka saja daripada ketaatan kepada Rabb mereka, mereka itu menghendaki ﴾ أَن تَمِيلُواْ مَيۡلًا عَظِيمٗا ﴿ "supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya
(dari kebenaran)," yaitu agar kalian menyimpang dari jalan yang lurus kepada jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat, mereka menghendaki agar kalian menyimpang dari ketaatan kepada Allah menuju ketaatan kepada setan, dan dari hukum-hukum Dzat yang seluruh kebaha-giaan itu berada pada pelaksanaan perintah dan laranganNya menuju kepada setan yang seluruh kesengsaraan berada ketika mengikutinya.
Apabila kalian telah mengetahui bahwa Allah سبحانه وتعالى memerintah-kan kalian kepada perkara yang terdapat padanya kemaslahatan, keberhasilan, dan kebahagiaan buat kalian, dan bahwasanya orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka memerintahkan kalian kepada perkara yang terdapat padanya kerugian dan kesengsa-raan, maka pilihlah yang paling utama untuk diri kalian di antara dua pendorong tersebut dan carilah yang terbaik dari dua jalan tersebut.
#
{28} {يريدُ الله أن يخفِّفَ عنكم}؛ أي: بسهولة ما أمركم به وما نهاكم عنه، ثم مع حصول المشقة في بعض الشرائع أباح لكم ما تقتضيه حاجتكم كالميتة والدم ونحوهما للمضطر وكتزوج الأمة للحر بتلك الشروط السابقة وذلك لرحمته التامة وإحسانه الشامل وعلمه وحكمته بضعف الإنسان من جميع الوجوه، ضعف البنية وضعف الإرادة وضعف العزيمة وضعف الإيمان وضعف الصبر فناسب ذلك أن يخفف الله عنه ما يضعف عنه، وما لا يطيقه إيمانه وصبره وقوته.
(28) ﴾ يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ ﴿ "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu" yaitu dengan mudahnya perkara yang Allah perintah-kan kalian kepadanya dan perkara yang kalian dilarang darinya, kemudian bersamaan dengan adanya kesulitan pada beberapa syariat, Allah membolehkan juga bagi kalian apa yang sangat dibutuhkan oleh keterdesakan kebutuhan kalian, seperti bangkai, darah, dan semacamnya bagi orang yang terpaksa, atau seperti menikahi budak wanita bagi seorang laki-laki merdeka dengan syarat-syarat yang telah disebutkan terdahulu, semua itu karena rahmat Allah yang sempurna, kebaikanNya yang menyeluruh dan ilmu serta hikmahNya akan kelemahan manusia dari berbagai segi, lemah dari segi postur tubuhnya, lemah dalam kehendak, lemah dalam bertekad, lemah dalam keimanan, lemah dalam kesabaran, lalu untuk menyesuaikan hal itu, Allah meringankan apa yang mereka lemah padanya, dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh keimanan, kesabaran, dan kekuatannya.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30)}.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan mema-sukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(An-Nisa`: 29-30).
#
{29} ينهى تعالى عباده المؤمنين أن يأكلوا أموالهم بينهم بالباطل، وهذا يشمل أكلَها بالغصوب والسرقات وأخذَها بالقمار والمكاسب الرديئة، بل لعله يدخل في ذلك أكل مال نفسِك على وجه البطر والإسراف؛ لأن هذا من الباطل، وليس من الحق. ثم إنه لما حرَّم أكلها بالباطل؛ أباح لهم أكلها بالتجارات والمكاسب الخالية من الموانع المشتملة على الشروط من التراضي وغيره.
{ولا تقتلوا أنفسكم}؛ أي: لا يقتل بعضكم بعضاً، ولا يقتل الإنسان نفسه، ويدخل في ذلك الإلقاء بالنفس إلى التهلكة وفعل الأخطار المفضية إلى التلف والهلاك {إنَّ الله كان بكم رحيماً}: ومن رحمته أن صان نفوسَكم وأموالكم ونهاكم عن إضاعتها وإتلافها ورتَّب على ذلك ما رتَّبه من الحدود. وتأمل هذا الإيجاز والجمع في قوله {لا تأكلوا أموالكم} {ولا تقتلوا أنفسكم}؛ كيف شمل أموال غيرك ومال نفسك وقتل نفسك وقتل غيرك بعبارة أخصر من قوله: لا يأكل بعضكم مال بعض ولا يقتل بعضكم بعضاً؛ مع قصور هذه العبارة على مال الغير ونفس الغير، مع أن إضافة الأموال والأنفس إلى عموم المؤمنين فيه دلالة على أنَّ المؤمنين في توادِّهم وتراحمهم وتعاطفهم ومصالحهم كالجسد الواحد؛ حيث كان الإيمان يجمعهم على مصالحهم الدينية والدنيوية.
ولما نهى عن أكل الأموال بالباطل التي فيها غاية الضرر عليهم، على الآكل ومن أخذ ماله؛ أباح لهم ما فيه مصلحتهم من أنواع المكاسب والتجارات وأنواع الحرف والإجارات، فقال: {إلا أن تكون تجارةً عن تراضٍ منكم}؛ أي: فإنها مباحة لكم. وشَرَطَ التراضي مع كونها تجارةً لدلالة أنه يشترط أن يكون العقد غير عقد رباً، لأنَّ الربا ليس من التجارة، بل مخالفٌ لمقصودها، وأنه لا بدَّ أن يرضى كلٌّ من المتعاقدين ويأتي به اختياراً، ومن تمام الرِّضا أن يكون المعقودُ عليه معلوماً؛ لأنه إذا لم يكن كذلك؛ لا يتصوَّرُ الرِّضا، مقدوراً على تسليمه؛ لأنَّ غير المقدور عليه شبيهٌ ببيع القمار؛ فبيع الغرر بجميع أنواعه خالٍ من الرِّضا فلا ينفذ عقده. وفيها أنه تنعقد العقودُ بما دلَّ عليها من قول أو فعل؛ لأن الله شرط الرِّضا، فبأيِّ طريق حصل الرِّضا؛ انعقد به العقد.
ثم ختم الآية بقوله: {إن الله كان بكم رحيماً}: ومن رحمتِهِ أن عصم دماءكم وأموالَكم، وصانَها، ونهاكُم عن انتهاكِها.
(29) Allah سبحانه وتعالى melarang para hambaNya yang beriman dari memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil, hal ini mencakup memakan harta dengan cara pemaksaan, pencurian, mengambil harta dengan cara perjudian dan pencaharian yang hina, bahkan bisa jadi termasuk juga dalam hal ini adalah memakan harta sendiri dengan sombong dan berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah termasuk kebatilan dan bukan dari kebenaran. Kemudian setelah Allah mengharamkan memakan harta dengan cara yang batil, Allah membolehkan bagi mereka memakan harta dengan cara perniagaan dan pencaharian yang tidak terdapat padanya penghalang-penghalang dan yang mengandung syarat-syarat seperti saling ridha dan sebagainya.
﴾ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ
﴿ "Dan janganlah kamu membunuh dirimu," mak-sudnya, janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain, dan janganlah seseorang membunuh dirinya, dan termasuk dalam hal itu adalah menjerumuskan diri ke dalam kehancuran dan melakukan perbuatan-perbuatan berbahaya yang mengakibatkan kematian dan kebinasaan, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu," dan di antara rahmatNya adalah di mana Allah memelihara diri, dan harta kalian, serta melarang kalian dari menyia-nyiakan dan membinasakannya, dan Allah menjadi-kan adanya hukuman atas hal tersebut berupa had-had.
Perhatikanlah suatu ringkasan dan penyatuan dalam Firman Allah, ﴾ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم
﴿ "Janganlah kamu saling memakan harta sesa-mamu," dan ﴾ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ
﴿ "dan janganlah kamu membunuh dirimu" bagaimana FirmanNya itu mencakup harta-harta selain dirimu, harta dirimu sendiri, membunuh dirimu dan membunuh selain dirimu dengan ungkapan yang begitu pendek daripada perkataan, "Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian lain dan janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain," dengan tidak mencakupnya ungkapan tersebut akan harta orang lain dan membunuh orang lain, padahal menggabungkan kata harta dan jiwa kepada seluruh kaum Mukminin merupakan dalil bahwa kaum Mukminin dalam kasih sayang mereka, mencintai dan me-ngasihi di antara mereka dan maslahat-maslahat mereka adalah seperti satu tubuh, di mana keimanan itulah yang menyatukan mereka pada maslahat-maslahat mereka, dunia maupun akhirat.
Dan tatkala Allah melarang mereka dari memakan harta dengan cara yang batil yaitu suatu cara yang mengandung mara bahaya atas diri mereka, terhadap orang yang memakannya dan orang yang mengambil hartanya, lalu Allah membolehkan bagi mereka perkara yang mengandung kemaslahatan untuk mereka berupa beberapa bentuk mata pencaharian dan perniagaan, serta beberapa bentuk profesi dan persewaan dengan berfirman, ﴾ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ
﴿ "Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu" yaitu bahwasanya hal ter-sebut adalah boleh bagi kalian. Dan Allah mensyaratkan adanya keridhaan dari kedua pihak padahal perkara itu adalah sebuah perniagaan, hal itu menjadi suatu indikasi bahwasanya akad per-niagaan itu disyaratkan bukan dari akad riba, karena riba bukan-lah dari perniagaan, bahkan riba itu adalah perkara yang berten-tangan dengan maksud dari perniagaan. Di dalam perniagaan harus ada keridhaan dari kedua belah pihak dan masing-masing pihak melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan pilihannya, dan merupakan kesempurnaan dari saling merelakan adalah agar apa yang menjadi akad atasnya itu adalah suatu barang yang diketahui, karena bila tidak diketahui, maka tidaklah akan ada yang namanya suka sama suka, dan agar barang tersebut mampu diserahkan, karena barang yang tidak mampu diserahkan adalah sejenis dengan tindakan perniagaan perjudian. Dari perniagaan gharar (yang memiliki unsur penipuan) dengan segala bentuknya yang tidak mengandung saling suka sama suka, maka akadnya tidaklah sah. Ayat ini menunjukkan juga bahwa akad itu akan ter-laksana (sah) dengan hal apa pun yang menunjukkan kepadanya berupa perkataan maupun perbuatan, karena Allah telah mensya-ratkan suka sama suka padanya, maka dengan jalan apa pun ter-capainya suka sama suka niscaya tercapai pula akadnya dengan hal tersebut.
Kemudian Allah menutup ayat ini dengan FirmanNya,﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu" dan di antara bentuk rahmatNya adalah Allah melindungi darah dan harta-harta kalian, memeliharanya, dan melarang kalian dari me-numpahkannya.
#
{30} ثم قال: {ومَن يفعل ذلك}؛ أي: أكل الأموال بالباطل وقتل النفوس. {عدواناً وظلماً}؛ أي: لا جهلاً ونسياناً {فسوف نصليه ناراً}؛ أي: عظيمة كما يفيده التنكير. {وكان ذلك على الله يسيراً}.
(30) Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ
﴿ "Dan ba-rangsiapa berbuat demikian" yaitu memakan harta dengan cara yang batil dan membunuh jiwa, ﴾ عُدۡوَٰنٗا وَظُلۡمٗا
﴿ "dengan melanggar hak dan aniaya" yaitu bukan karena tidak tahu dan lupa, ﴾ فَسَوۡفَ نُصۡلِيهِ نَارٗاۚ
﴿ "maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka"; yaitu yang dahsyat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata yang tak ter-batas, ﴾ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا ﴿ "yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
{إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا (31)}.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesa-lahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia
(surga)."
(An-Nisa`: 31).
#
{31} وهذا من فضل الله وإحسانه على عباده المؤمنين، وَعَدَهم أنهم إذا اجتنبوا كبائر المنهيَّات؛ غفر لهم جميع الذنوب والسيئات، وأدخلهم مُدخلاً كريماً كثير الخير، وهو الجنة، المشتملة على ما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت ولا خطر على قلب بشر.
ويدخُلُ في اجتناب الكبائِر فعلُ الفرائض التي يكون تاركُها مرتكباً كبيرةً؛ كالصَّلوات الخمس والجمعة ورمضانَ؛ كما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان؛ مكفراتٌ لما بينهن، ما اجتُنِبَتِ الكبائر».
وأحسنُ ما حُدَّتْ به الكبائر: أنَّ الكبيرةَ ما فيه حدٌّ في الدُّنيا أو وعيدٌ في الآخرة أو نفيُ إيمان أو ترتيبُ لعنةٍ أو غضبٍ عليه.
(31) Ini merupakan karunia Allah dan kebaikanNya kepada hamba-hambaNya yang beriman, Allah menjanjikan kepada mereka bahwa bila mereka meninggalkan dosa-dosa besar, niscaya Allah akan mengampuni seluruh dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka, dan memasukkan mereka kepada suatu tempat yang mulia lagi banyak kenikmatannya, yaitu surga yang meliputi hal-hal yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas sama sekali di benak manusia.
Dan termasuk dalam perkara meninggalkan dosa-dosa besar adalah menunaikan kewajiban-kewajiban, di mana orang yang me-ninggalkannya berarti telah melakukan dosa besar, seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at, dan puasa Ramadhan, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.
"Shalat lima waktu, Jum'at menuju Jum'at berikutnya, dan puasa Ramadhan menuju Ramadhan berikutnya, adalah menggugurkan dosa yang terjadi di antaranya selama dosa-dosa besar ditinggalkan."
[24]
Dan definisi bagi dosa-dosa besar yang paling baik adalah perkara yang mengakibatkan adanya had di dunia atau adanya ancaman di akhirat atau peniadaan iman atau adanya kata laknat atau kemurkaan atasnya.
{وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (32)}.
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikarunia-kan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang me-reka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(An-Nisa`: 32).
#
{32} ينهى تعالى المؤمنين عن أن يتمنَّى بعضُهم ما فضَّل الله به غيره من الأمور الممكنة وغير الممكنة؛ فلا تتمنَّى النساءُ خصائص الرجال التي بها فضَّلهم على النساء، ولا صاحب الفقر والنقص حالة الغنيِّ والكامل تمنياً مجرداً؛ لأنَّ هذا هو الحسد بعينه؛ تمني نعمة الله على غيرك أن تكونَ لك ويُسْلَبَ إياها، ولأنه يقتضي السَّخَطَ على قدر الله، والإخلاد إلى الكسل، والأماني الباطلة التي لا يقترن بها عمل ولا كسب، وإنما المحمود أمران: أن يسعى العبدُ على حسب قدرته بما ينفعه من مصالحه الدينيَّة والدنيويَّة، ويسألَ الله تعالى من فضلِهِ؛ فلا يتَّكل على نفسه ولا على غير ربِّه، ولهذا قال تعالى: {للرجال نصيبٌ مما اكتسبوا}؛ أي: من أعمالهم المنتجة للمطلوب. {وللنساء نصيبٌ مما اكتسبنَ}؛ فكل منهم لا يناله غير ما كسبه وتعب فيه. {واسألوا الله من فضله}؛ أي: من جميع مصالحكم في الدين والدنيا؛ فهذا كمال العبد وعنوانُ سعادته، لا من يترك العمل أو يتَّكِلُ على نفسه غير مفتقرٍ لربِّه أو يجمع بين الأمرين؛ فإنَّ هذا مخذولٌ خاسرٌ. وقوله: {إنَّ الله كان بكل شيءٍ عليماً}: فيعطي من يعلمُهُ أهلاً لذلك، ويمنعُ من يعلَمُهُ غير مستحقٍّ.
(32) Allah سبحانه وتعالى melarang kaum Mukminin mengharapkan apa yang telah Allah karuniakan kepada sebagian yang lain berupa hal-hal yang mungkin dan hal-hal yang tidak mungkin, maka wanita tidak boleh berangan-angan mendapatkan kelebihan-kele-bihan laki-laki di mana dengannya Allah memuliakan mereka atas wanita, demikian juga orang yang miskin dan papa tidak boleh berangan-angan menjadi kaya dan berpunya dengan sebatas angan-angan belaka, karena sesungguhnya itulah yang disebut hasad, yaitu berharap agar nikmat Allah atas orang lain tersebut menjadi miliknya dan nikmat itu dihilangkan dari orang tersebut, dan ka-rena tindakan itu menimbulkan rasa benci kepada ketentuan Allah, dan menjerumuskan kepada kemalasan yang berkepanjangan, dan angan-angan kosong yang tidak dibarengi dengan kerja dan usaha.
Sesungguhnya hal yang terpuji adalah dua perkara: Seorang hamba berusaha menurut kemampuannya dengan hal yang ber-guna baginya dalam mewujudkan kemaslahatannya, dunia mau-pun akhirat, lalu ia memohon kepada Allah سبحانه وتعالى untuk memberikan karuniaNya atasnya dan tidak bersandar hanya pada dirinya se-mata dan tidak juga pada selain Tuhannya, oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ
﴿ "Bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan" yaitu dari perbuatan-perbuatan me-reka yang mewujudkan apa yang dikehendaki, ﴾ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ
﴿ "dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan." Setiap dari mereka tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah ia usahakan dan lelah karenanya. ﴾ وَسۡـَٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ
﴿ "Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya" yaitu dari seluruh kemaslahatan kalian dalam agama maupun dunia kalian, kondisi seperti ini merupakan kesempurnaan seorang hamba dan tanda bagi kebahagiaannya, bukan orang yang meninggalkan kerja atau bersandar pada dirinya semata dan tidak membutuhkan Rabbnya atau menyatukan dua perkara tersebut, maka orang yang seperti ini akan terhina dan merugi, dan FirmanNya, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu," mak-sudnya Allah akan memberikan kepada orang yang Dia ketahui memang berhak untuk diberikan, dan menahan dari orang yang Dia ketahui memang tidak berhak diberikan.
{وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (33)}.
"Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggal-kan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewaris-nya. Dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesung-guhnya Allah menyaksikan segala sesuatu."
(An-Nisa`: 33).
#
{33} أي: {ولكلٍّ}: من الناس {جعلنا مواليَ}؛ أي: يتولَّوْنَهُ ويتولاَّهم بالتعزُّز والنُّصرة والمعاونة على الأمور، {ممَّا ترك الوالدن والأقربون}: وهذا يشملُ سائر الأقارب من الأصول والفروع والحواشي، هؤلاء الموالي من القرابة. ثم ذكر نوعاً آخر من الموالي، فقال: {والذين عَقدَت أيمانُكم}؛ أي: حالفتُموهم بما عَقَدْتُم معهم من عقد المحالفة على النُّصرة والمساعدة والاشتراك بالأموال وغير ذلك، وكل هذا من نعم الله على عباده؛ حيث كان الموالي يتعاونون بما لا يقدِرُ عليه بعضُهم مفرداً. قال تعالى: {فآتوهم نصيبَهم}؛ أي: آتوا الموالي نصيبهم الذي يجب القيام به من النُّصرة والمعاونة والمساعدة على غير معصيةِ الله والميراث للأقارب الأدْنَيْنَ من الموالي. {إنَّ الله كان على كلِّ شيءٍ شهيداً}؛ أي: مطَّلعاً على كلِّ شيءٍ بعلمه لجميع الأمور وبصرِهِ لحركات عبادِهِ وسمعه لجميع أصواتهم.
(33) FirmanNya, ﴾ وَلِكُلّٖ
﴿ "Dan bagi tiap-tiap" yaitu dari manusia, ﴾ جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ
﴿ "Kami jadikan pewaris-pewarisnya" maksud-nya, mereka membantunya dan ia membantu mereka dengan cara saling menghargai, membela, dan saling menolong terhadap per-kara-perkara, ﴾ مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ
﴿ "dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat," hal ini mencakup seluruh karib kerabat berupa Ushul (garis keturunan ke atas/leluhur), Furu' (garis ketu-runan ke bawah) maupun Hawasyi (kerabat), mereka itu adalah pewaris-pewaris karena kekerabatan. Kemudian Allah menyebut-kan sebuah jenis yang lain dari pewaris-pewaris tersebut dalam FirmanNya, ﴾ وَٱلَّذِينَ عَقَدَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ
﴿ "Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka," yaitu kalian berjanji kepada mereka dengan perkara yang telah kalian setujui akadnya bersama berupa akad sumpah setia untuk saling membela, mem-bantu, dan bersekutu dalam harta dan sebagainya. Semua itu adalah di antara nikmat-nikmat Allah kepada hamba-hambaNya, di mana para pewaris-pewaris tersebut saling membantu dalam suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh sebagian dari mereka secara sendirian, Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ فَـَٔاتُوهُمۡ نَصِيبَهُمۡۚ
﴿ "Maka berilah kepada mereka bagiannya" yaitu berikanlah kepada pewaris-pewaris tersebut bagian-bagian mereka yang memang seharusnya ditunai-kan berupa pembelaan, saling membantu, dan menolong dalam perkara di luar kemaksiatan kepada Allah, dan harta warisan itu milik karib kerabat dari pewaris-pewaris tersebut yang terdekat. ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدًا ﴿ "Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu" yaitu menyaksikan segala sesuatu, dengan ilmuNya akan segala perkara, dan pandanganNya terhadap segala gerakan-ge-rakan hambaNya, serta pendengaranNya terhadap segala suara-suara mereka.
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)}.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara
(me-reka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar."
(An-Nisa`: 34).
#
{34} يخبر تعالى أنَّ {الرجال قوامون على النساء}؛ أي: قوَّامون عليهنَّ بإلزامهنَّ بحقوق الله تعالى من المحافظة على فرائضه وكفِّهِنَّ عن المفاسد، والرجال عليهم أن يُلْزِموهنَّ بذلك، وقوَّامون عليهنَّ أيضاً بالإنفاق عليهنَّ والكسوة والمسكن. ثم ذكر السبب الموجب لقيام الرجال على النساء، فقال: {بما فضَّل الله بعضَهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم}؛ أي: بسبب فضل الرجال على النساء وإفضالهم عليهنَّ؛ فتفضيل الرجال على النساء من وجوهٍ متعدِّدة: من كون الولايات مختصَّة بالرجال، والنبوَّة، والرسالة، واختصاصهم بكثيرٍ من العبادات كالجهاد والأعياد والجمع، وبما خصَّهم الله به من العقل والرَّزانة والصَّبر والجَلَد الذي ليس للنساء مثله، وكذلك خصَّهم بالنفقات على الزوجات، بل وكثير من النفقات يختصُّ بها الرجال ويتميَّزون عن النساء، ولعل هذا سرُّ قوله: {بما أنفقوا}، وحذف المفعول؛ ليدلَّ على عموم النفقة، فعُلِمَ من هذا كلِّه أنَّ الرجل كالوالي والسيِّد لامرأتِهِ، وهي عنده عانية أسيرةٌ خادمةٌ، فوظيفتُهُ أن يقومَ بما استرعاه الله به، ووظيفتُها القيام بطاعة ربِّها وطاعة زوجها؛ فلهذا قال: {فالصالحاتُ قانتاتٌ}؛ أي: مطيعات لله تعالى، {حافظاتٌ للغيب}؛ أي: مطيعات لأزواجهنَّ حتى في الغيب، تحفظُ بعلَها بنفسها ومالِهِ، وذلك بحفظ الله لهنَّ وتوفيقه لهنَّ لا من أنفسهنَّ؛ فإنَّ النفس أمارةٌ بالسوء، ولكن من توكَّل على الله؛ كفاه ما أهمَّه من أمر دينه ودنياه.
ثم قال: {واللاَّتي تخافونَ نُشوزهنَّ}؛ أي: ارتفاعهن عن طاعة أزواجهنَّ؛ بأن تعصيه بالقول أو الفعل؛ فإنه يؤدِّبها بالأسهل فالأسهل. {فعظوهنَّ}؛ أي: ببيان حكم الله في طاعة الزوج ومعصيته، والترغيب في الطاعة، والترهيب من المعصية؛ فإن انتهت؛ فذلك المطلوب، وإلاَّ؛ فيهجُرُها الزوجُ في المضجع؛ بأن لا يضاجِعَها ولا يجامِعَها بمقدار ما يحصُلُ به المقصود، وإلاَّ؛ ضربها ضرباً غير مبرِّح؛ فإن حصل المقصود بواحد من هذه الأمور وأطعنكم؛ {فلا تبغوا عليهنَّ سبيلاً}؛ أي: فقد حصل لكم ما تحبُّون؛ فاتركوا معاتبتها على الأمور الماضية والتنقيب عن العيوب التي يضرُّ ذكرُها، ويَحْدُثُ بسببه الشرُّ.
{إنَّ الله كان عليًّا كبيراً}؛ أي: له العلوُّ المطلق بجميع الوجوه والاعتبارات؛ علوُّ الذات وعلوُّ القدر، وعلوُّ القهر. الكبير: الذي لا أكبر منه ولا أجلَّ ولا أعظم، كبير الذات والصفات.
(34) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwasanya ﴾ ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
﴿ "kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita," maksudnya, dengan cara mengharuskan mereka untuk menunaikan hak-hak Allah سبحانه وتعالى berupa pemeliharaan akan kewajiban-kewajiban dariNya dan melarang mereka dari berbuat kerusakan, laki-laki wajib untuk menekankan hal tersebut kepada mereka, dan laki-laki juga adalah pemimpin mereka dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian dan tempat tinggal. Kemudian Allah menyebutkan sebab yang mengharuskan fungsi laki-laki tersebut sebagai pemimpin atas wanita dalam FirmanNya, ﴾ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
﴿ "Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka," yaitu disebab-kan karena keutamaan laki-laki atas wanita dan kelebihan yang diberikan (Allah) kepada mereka atas wanita.
Pengutamaan laki-laki atas wanita disebabkan dari berbagai segi; dari segi kekuasaan adalah dikhususkan bagi laki-laki, ke-nabian, kerasulan, pengkhususan mereka dalam berbagai macam ibadah seperti jihad, shalat Hari Raya dan Shalat Jum'at, dan apa yang telah Allah berikan secara khusus buat mereka berupa akal pikiran yang matang, kesabaran, dan ketegaran yang tidak dimiliki oleh wanita, demikian juga Allah mengkhususkan mereka dengan (kewajiban memberi) nafkah kepada istri, bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki dikhususkan untuknya dan diistimewakan dengannya daripada wanita, dan mungkin hal ini adalah rahasia dari Firman Allah, ﴾ وَبِمَآ أَنفَقُواْ
﴿ "Karena mereka telah menafkahkan," dan menghilangkan obyek dalam kalimat tersebut menunjukkan kepada nafkah secara umum, maka dapat diketahui dari itu semua bahwa laki-laki itu adalah seperti wali dan tuan bagi istrinya, sedang istrinya itu adalah sebagai pendamping, tawanan, dan pelayan, maka tugas laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah pe-rintahkan untuk dilindungi, dan tugas wanita adalah melakukan ketaatan kepada Rabbnya dan ketaatan kepada suaminya, oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ
﴿ "Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat" yaitu ia taat kepada Allah سبحانه وتعالى, ﴾ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ
﴿ "lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada," yaitu ia taat kepada suaminya hingga saat suami sedang tidak ada, dengan menjaga dirinya untuk suaminya dan juga hartanya, yang demikian itu dengan penjagaan Allah bagi mereka dan bimbingan-Nya terhadap mereka dan bukannya dari diri mereka sendiri, karena sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada kejahatan, akan tetapi barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya cukuplah baginya hal itu dari perkara yang merisaukannya berupa perkara dunia maupun agamanya.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
﴿ "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya" yaitu tindakan tidak taat mereka kepada para suami mereka, berupa kedurhakaan terhadap suami, baik dengan perkataan maupun perbuatan, maka sang suami boleh menghukumnya dengan yang paling mudah lalu yang mudah. ﴾ فَعِظُوهُنَّ
﴿ "Maka nasihatilah mereka" yaitu dengan menjelaskan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah dalam perkara ke-taatan dan kedurhakaan kepada suami, menganjurkannya untuk taat, dan mengancamnya dari berbuat durhaka, bila ia kembali taat, maka itulah yang diharapkan, namun bila tidak, maka suami boleh memisahkan istri di tempat tidurnya, yaitu suami tidak menggaulinya dengan tujuan sampai perkara yang diinginkan tercapai, namun bila tidak tercapai, maka suami boleh memukul-nya dengan pukulan yang tidak membahayakan (tidak meninggal-kan luka), dan bila perkara yang diinginkan tercapai dengan salah satu dari cara-cara tersebut di atas kemudian mereka kembali taat kepada kalian, ﴾ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ
﴿ "maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya," maksudnya, karena telah tercapai apa yang kalian kehendaki, maka janganlah kalian mencelanya atas perkara-perkara yang telah berlalu tersebut dan mencari-cari kekurangan yang sangat berbahaya bila disebutkan, di mana hal itu akan menimbulkan keburukan.
﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar," yaitu milikNya ketinggian yang mutlak dari berbagai segi dan pandangan, ketinggian Dzat, ketinggian kuasa dan keting-gian kemampuan, dan Yang Mahabesar di mana tidak ada yang lebih besar, lebih mulia dan lebih agung, daripada Allah سبحانه وتعالى,, Dia memiliki keagungan Dzat dan Sifat.
{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)}.
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara ke-duanya, maka kirimlah seorang hakam
(juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
(An-Nisa`: 35).
#
{35} أي: وإن خفتم الشقاق بين الزوجين والمباعدة والمجانبة حتى يكون كل منهما في شقٍّ؛ {فابعثوا حكماً من أهله وحكماً من أهلها}؛ أي: رجلينِ مكلَّفينِ مسلمينِ عدلينِ عاقلينِ، يعرفان ما بين الزوجين، ويعرفان الجمع والتفريق، وهذا مستفادٌ من لفظ الحكم؛ لأنه لا يصلح حَكماً إلاَّ من اتَّصف بتلك الصفات، فينظران ما يَنْقُمُ كلٌّ منهما على صاحبه، ثم يُلْزِمان كلاًّ منهما ما يجب؛ فإن لم يستطع أحدهما ذلك؛ قنَّعا الزوج الآخر بالرِّضا بما تيسَّر من الرزق والخلق، ومهما أمكنهما الجمع والإصلاح؛ فلا يعدِلا عنه؛ فإن وصلت الحال إلى أنه لا يمكنُ اجتماعهما وإصلاحهما إلا على وجه المعاداة والمقاطعة ومعصية الله، ورأيا أنَّ التفريق بينهما أصلح؛ فرَّقا بينهما، ولا يُشْتَرَطُ رضا الزوج كما يدلُّ عليه أن الله سماهما الحكمين، والحكمُ يَحْكُمُ، وإن لم يرضَ المحكوم عليه، ولهذا قال: {إن يُريدا إصلاحاً يُوفِّقِ اللهُ بينَهما}؛ أي: بسبب الرأي الميمون والكلام الذي يجذِبُ القلوبَ ويؤلِّف بين القرينين. {إنَّ الله كان عليماً خبيراً}؛ أي: عالماً بجميع الظواهر والبواطن، مطلعاً على خفايا الأمور وأسرارها؛ فمن علمِهِ وخبرِهِ أن شرع لكم هذه الأحكام الجليلة والشرائع الجميلة.
(35) Maksudnya, bila kalian mengkhawatirkan terjadinya saling sengketa antara kedua suami istri, saling menjauh dan saling menghindar hingga setiap pihak dari kedua belah pihak tersebut berada pada posisi yang berbeda, ﴾ فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ
﴿ "maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan" yaitu dua orang laki-laki Muslim yang baligh, adil, dan sehat akal, serta mengetahui tentang apa yang terjadi antara kedua suami istri tersebut, juga mengetahui penyatuan dan perceraian, ini semua disarikan dari kata al-Hakam, karena sesungguhnya tidaklah pantas seorang hakam itu kecuali orang yang memiliki ciri-ciri tersebut, mereka berdua (hakam) meneliti apa yang menjadi permasalahan dari setiap pihak dari kedua suami istri itu terhadap pihak lainnya, kemudian kedua hakam itu mengharuskan setiap dari kedua belah pihak tersebut untuk menunaikan apa yang wajib dilakukan, namun bila salah satu pihak tidak dapat melakukannya, maka kedua hakam itu membujuk pihak lainnya agar ridha terha-dap apa yang mungkin dilakukan berupa nafkah dan perilaku yang baik.
Dan selama kedua hakam itu mampu menyatukan kedua belah pihak tersebut maka tidak boleh bagi mereka berdua untuk mencari jalan lain, namun bila kondisi kedua belah pihak menuju kepada posisi yang tidak mungkin lagi untuk disatukan dan diper-baiki kecuali akan mengakibatkan permusuhan, pemutusan tali kekeluargaan, dan maksiat kepada Allah, dan kedua hakam tersebut memandang bahwa jalan terbaik adalah perceraian, maka kedua hakam tersebut memisahkan antara kedua pihak suami-istri terse-but, dalam hal itu tidaklah disyaratkan ridha suami sebagaimana yang diindikasikan dalam ayat ini bahwa Allah telah menamakan mereka sebagai hakam, dan hakam itu tugasnya adalah memutus-kan hukum hingga walaupun orang yang terhukum tidak ridha dengan keputusan tersebut, oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ إِن يُرِيدَآ إِصۡلَٰحٗا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيۡنَهُمَآۗ
﴿ "Jika kedua orang hakam itu bermaksud menga-dakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu," yaitu karena disebabkan oleh pandangan yang mengandung keber-kahan dan pembicaraan yang memikat hati dan menenteramkan antara kedua suami istri. ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal," yaitu mengetahui segala yang lahir maupun yang batin, mengawasi perkara-perkara yang tersembunyi dan rahasia. Dan di antara ilmu dan pengetahuanNya adalah bahwa Allah mensyariatkan hukum-hukum yang mulia dan syariat-syariat yang indah tersebut.
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (37) وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا (38)}.
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan apa-apa yang kamu miliki
(hamba sahaya). Sesung-guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikanNya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan
(juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Hari Kemudian. Barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai temannya, maka setan itu adalah seburuk-buruknya teman."
(An-Nisa`: 36-38).
#
{36 ـ 37} يأمر تعالى عباده بعبادتِهِ وحدَه لا شريك له، وهو الدخول تحت رقِّ عبوديَّتِهِ والانقياد لأوامره ونواهيه محبةً وذلًّا وإخلاصاً له في جميع العبادات الظاهرة والباطنة، وينهى عن الشرك به شيئاً، لا شركاً أصغر، ولا أكبر، لا مَلَكاً، ولا نبيًّا، ولا وليًّا، ولا غيرهم من المخلوقين الذين لا يملِكون لأنفسهم نفعاً ولا ضرًّا ولا موتاً ولا حياة ولا نشوراً، بل الواجبُ المتعيِّن إخلاصُ العبادة لمن له الكمالُ المطلق من جميع الوجوه، وله التدبير الكامل الذي لا يَشْرَكُه ولا يعينُهُ عليه أحدٌ.
ثم بعد ما أمر بعبادتِهِ والقيام بحقِّه أمر بالقيام بحقوق العبادِ الأقرب فالأقرب، فقال: {وبالوالدين إحساناً}؛ أي: أحسنوا إليهم بالقول الكريم والخطاب اللطيف والفعل الجميل، بطاعةِ أمرِهما واجتنابِ نهيِهِما، والإنفاق عليهما، وإكرام من له تعلُّق بهما، وصلة الرحم التي لا رحمَ لك إلاَّ بهما. وللإحسان ضدَّانِ الإساءةُ وعدمُ الإحسان، وكلاهما منهيٌّ عنه. {وبذي القربى} أيضاً إحساناً، ويشمل ذلك جميع الأقارب، قَرُبوا أو بَعُدوا، بأن يُحْسِنَ إليهم بالقول والفعل، وأنْ لا يقطعَ برحمه بقولِهِ أو فعلِهِ. {واليتامى}؛ أي: الذين فُقِدَ آباؤهم وهم صغارٌ، فلهم حقٌّ على المسلمين، سواءٌ كانوا أقارب أو غيرهم، بكفالتهم وبِرِّهم وجبرِ خواطرِهم وتأديبِهم وتربيتهم أحسن تربية في مصالح دينهم ودنياهم. {والمساكين}: وهم الذين أسكنتهم الحاجةُ والفقرُ، فلم يحصُلوا على كفايتهم ولا كفاية من يمونون، فأمر الله تعالى بالإحسان إليهم بسدِّ خلَّتهم وبدفع فاقتهم والحضِّ على ذلك والقيام بما يمكن منه. {والجار ذي القربى}؛ أي: الجار القريب الذي له حقَّان؛ حقُّ الجوار وحقُّ القرابة؛ فله على جارِهِ حقٌّ وإحسانٌ راجعٌ إلى العرف. وكذلك {الجار الجُنُب}؛ أي: الذي ليس له قرابةٌ، وكلَّما كان الجارُ أقربَ باباً؛ كان آكد حقًّا، فينبغي للجار أن يتعاهدَ جارَه بالهدية والصدقة والدعوة واللطافة بالأقوال والأفعال وعدم أذيَّتِهِ بقول أو فعل. {والصاحب بالجنب}: قيل: الرفيقُ في السفر، وقيل: الزوجة، وقيل: الصاحب مطلقاً، ولعله أولى؛ فإنه يَشْمَلُ الصاحبَ في الحضر والسفر ويَشْمَلُ الزوجةَ؛ فعلى الصاحب لصاحبه حقٌّ زائد على مجرَّد إسلامه، من مساعدته على أمور دينه ودنياه، والنصح له، والوفاء معه في اليسر والعسر والمنشط والمكره، وأن يحبَّ له ما يحبُّ لنفسه، ويكره له مايكره لنفسه، وكلَّما زادت الصحبة؛ تأكد الحق وزاد. {وابن السبيل}: وهو الغريب الذي احتاج في بلد الغربة أو لم يحتج؛ فله حقٌّ على المسلمين لشدَّة حاجتِهِ وكونِهِ في غير وطنه بتبليغه إلى مقصوده أو بعض مقصوده وبإكرامه وتأنيسه. {وما ملكت أيمانكم}؛ أي: من الآدميين والبهائم، بالقيام بكفايتهم وعدم تحميلهم ما يشقُّ عليهم، وإعانتُهم على ما تحمَّلوه وتأديبهم لما فيه مصلحتُهم؛ فَمَنْ قام بهذه المأمورات؛ فهو الخاضع لربه، المتواضع لعباد الله، المنقاد لأمر الله وشرعه، الذي يستحقُّ الثواب الجزيل والثناء الجميل، ومن لم يقم بذلك؛ فإنه عبد معرِضٌ عن ربه، غير منقاد لأوامره، ولا متواضع للخلق، بل هو متكبِّر على عباد الله، معجبٌ بنفسه، فخورٌ بقوله. ولهذا قال: {إنَّ الله لا يحبُّ من كان مختالاً}؛ أي: معجَباً بنفسه متكبراً على الخلق، {فخوراً}؛ يثني على نفسه ويمدحُها على وجه الفخر والبطرِ على عباد الله؛ فهؤلاء ما بهم من الاختيال والفخر يمنعُهم من القيام بالحقوق، ولهذا ذمَّهم بقوله: {الذين يبخلون}؛ أي: يمنعون ما عليهم من الحقوق الواجبة، {ويأمرون الناس بالبُخل}: بأقوالهم وأفعالهم، {ويكتُمون ما آتاهمُ الله من فضلِهِ}؛ أي: من العلم الذي يهتدي به الضالون ويسترشِدُ به الجاهلون، فيكتُمونه عنهم، ويُظْهِرون لهم من الباطل ما يَحولُ بينَهم وبين الحقِّ، فجمعوا بين البخل بالمال والبخل بالعلم وبين السعي في خسارة أنفسهم وخسارة غيرهم، وهذه هي صفات الكافرين؛ فلهذا قال تعالى: {وأعتَدْنا للكافرين عذاباً مهيناً}؛ أي: كما تكبَّروا على عباد الله، ومنعوا حقوقه، وتسبَّبوا في منع غيرِهم من البخل وعدم الاهتداء؛ أهانهم بالعذاب الأليم والخزي الدائم؛ فعياذاً بك اللهمَّ من كلِّ سوء.
(36-37) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-hambaNya untuk beribadah semata kepadaNya yang tidak ada sekutu bagiNya, yaitu dengan menjatuhkan dirinya ke dalam perbudakan periba-dahan kepadaNya, tunduk patuh
(dengan menjalankan) perintah-perintahNya dan
(menjauhi) larangan-laranganNya dengan rasa cinta, hina, dan tulus ikhlas hanya untukNya dalam seluruh ibadah yang lahir maupun yang batin. Lalu Allah melarang dari menyeku-tukan DiriNya dengan sesuatu pun, baik syirik yang kecil maupun syirik yang besar, tidak dengan malaikat, seorang nabi, seorang wali Allah, dan tidak pula dengan selain mereka dari seluruh makhluk yang mereka sendiri tidak mampu
(mendatangkan) manfaat bagi mereka, dan tidak pula mampu
(mencegah) mudarat, tidak mampu mematikan, menghidupkan, dan tidak pula mem-bangkitkan, akan tetapi yang seharusnya dilakukan adalah meng-ikhlaskan ibadah hanya untuk Dzat yang memiliki kesempurnaan mutlak dari berbagai seginya, dan bagi Dzat yang memiliki kekua-saan mengatur yang menyeluruh yang tidak ada sekutu dan tidak dibantu dalam hal itu oleh seorang pun.
Kemudian setelah Allah memerintahkan
(para hambaNya) untuk beribadah kepadaNya dan menunaikan hak-hakNya, lalu Allah memerintahkan mereka untuk menunaikan hak-hak hamba yang paling terdekat lalu yang dekat, Allah berfirman, ﴾ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا
﴿ "Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak" yaitu berbuat baik-lah kepada mereka dengan perkataan yang mulia, percakapan yang lembut, dan tingkah laku yang luhur, dengan menaati perintah keduanya, meninggalkan larangan keduanya, memberikan nafkah kepada keduanya, memuliakan orang-orang yang memiliki hubungan dengan keduanya, menjalin silaturahim dengan orang-orang yang tidak ada bagimu hubungan silaturahim itu kecuali karena keduanya. Berbuat baik ini memiliki dua lawan kata yaitu berbuat jelek dan tidak berbuat baik, kedua hal tersebut adalah dilarang. ﴾ وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "Karib-kerabat" maksudnya, berbuat baiklah kepada mereka, dan yang demikian itu mencakup seluruh karib kerabat, baik yang dekat maupun yang jauh, yaitu berbuat baik kepada mereka dengan perkataan maupun perbuatan, dan agar tidak memutus hubungan silaturahim dengan mereka dengan perkataan maupun perbuatan.
﴾ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
﴿ "Anak-anak yatim" yaitu anak-anak yang kehilangan ayah selagi mereka masih kecil, maka mereka memiliki hak atas kaum Muslimin, baik mereka itu termasuk karib kerabat maupun bukan, yaitu dengan cara menyantuni mereka, berbuat baik kepada mereka, menghibur hati mereka, mendidik mereka, mengajar mereka dengan sebaik-baik pendidikan dan pengajaran untuk kemaslahatan dunia dan akhirat mereka. ﴾ وَٱلۡمَسَٰكِينِ
﴿ "Orang-orang miskin," mereka adalah orang-orang yang dihimpit oleh kebutuhan dan kepapaan, mereka tidak mendapatkan apa yang mampu menutupi kebutuhan mereka apalagi menutupi kebutuhan orang-orang yang mereka tanggung, maka Allah سبحانه وتعالى memerintahkan untuk berbuat baik dengan cara memenuhi kebutuhan hidup mereka, menghilangkan kekurangan mereka, dan Allah menganjurkan kepada hal tersebut serta menunaikannya sesuai dengan kemam-puan. ﴾ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "Tetangga yang dekat," yaitu tetangga dekat yang memiliki dua hak, hak bertetangga dan hak kekerabatan, maka ia memiliki hak dan perbuatan baik atas tetangganya, dan hal itu menurut kebiasaan yang berlaku.
Demikian juga, ﴾ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ
﴿ "dan tetangga yang jauh" yaitu yang tidak memiliki tali kekerabatan, maka semakin dekat rumah tetangga semakin besar haknya. Karena itu, seyogyanya seorang tetangga selalu berusaha memberikan tetangganya hadiah, sede-kah, dakwah, dan kelembutan dengan perkataan maupun per-buatan, serta tidak mengganggunya, baik dengan perkataan mau-pun perbuatan. ﴾ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ
﴿ "Dan teman sejawat." Ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah; teman dalam perjalanan, pendapat lain mengatakan bahwa ia adalah istri, sedangkan yang lain lagi berpendapat bahwa ia adalah teman secara umum. Namun yang terakhir ini lebih cocok, karena mencakup teman baik dalam perjalanan maupun ketika bermukim (menetap), dan juga menca-kup istri, maka seorang teman memiliki hak atas temannya lebih dari sekedar karena keislamannya, yaitu dengan menolongnya dalam urusan-urusan agamanya maupun dunianya, menasihati-nya, setia padanya, baik dalam kondisi susah maupun senang, duka maupun suka, mencintai untuknya apa yang dicintai untuk dirinya, membenci untuknya apa yang dibenci untuk dirinya, dan setiap kali bertambah rasa pertemanan, maka semakin besar dan kokoh pula hak teman atas temannya itu.
﴾ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
﴿ "Ibnu sabil" yaitu orang asing yang sedang berada pada suatu daerah yang asing, baginya baik ia membutuhkan bantuan ataupun tidak, baginya hak atas kaum Muslimin karena mendesaknya kebutuhan dirinya dan karena kondisinya sebagai seorang yang asing yang tidak berada pada daerahnya yaitu dengan cara menyampaikannya kepada tujuannya atau sebagian tujuannya dan dengan memuliakannya, serta memberikan sam-butan yang baik, ﴾ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ
﴿ "dan apa-apa yang kamu miliki," yaitu dari manusia maupun binatang, dengan cara menunaikan hajat mereka, tidak memikulkan apa yang tidak mampu mereka kerjakan, membantu mereka pada apa yang mereka kerjakan, dan mendidik mereka kepada sesuatu yang mengandung kemasla-hatan bagi mereka, maka barangsiapa yang menunaikan perintah-perintah tersebut, niscaya ia adalah seorang yang taat kepada Rabbnya dan berlaku rendah hati terhadap hamba-hambaNya, tunduk terhadap perintah-perintah Allah dan syariatNya, sehingga ia berhak mendapatkan balasan yang melimpah dan pujian yang baik. Adapun orang yang tidak menunaikan perintah-perintah tersebut, maka sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang berpaling dari Rabbnya, tidak tunduk pada perintah-perintahNya, tidak pula rendah hati terhadap hamba-hambaNya, akan tetapi ia adalah seorang yang berlaku sombong terhadap hamba-hamba Allah, bangga terhadap diri sendiri dan perkataannya, oleh karena itu Allah berfirman,
﴾ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا
﴿ "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong," yaitu merasa bangga akan dirinya sendiri dan congkak terhadap makhluk, ﴾ فَخُورًا
﴿ "dan membangga-banggakan diri," memuji diri sendiri dan menyanjungnya dengan maksud sombong dan angkuh terhadap hamba-hamba Allah, mereka itu dengan apa yang ada pada diri mereka berupa kesom-bongan dan membangga-banggakan diri telah menghalangi me-reka dari menunaikan hak-hak tersebut, karena itu Allah mencela mereka dalam FirmanNya, ﴾ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ
﴿ "(Yaitu) orang-orang yang kikir," maksudnya, mereka tidak mau menunaikan hak-hak yang wajib atas mereka, ﴾ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ
﴿ "dan menyuruh orang lain berbuat kikir" dengan perkataan dan perbuatan mereka,﴾ وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
﴿ "dan menyembunyikan karunia Allah yang telah di-berikanNya kepada mereka" yaitu berupa ilmu yang digunakan oleh orang yang tersesat sebagai hidayah dan oleh orang yang bodoh sebagai petunjuk, namun mereka menyembunyikannya dari orang-orang tersebut, mereka menampakkan kepada orang-orang terse-but kebatilan yang akan menghalangi orang-orang tersebut dari kebenaran, mereka telah menyatukan antara kikir harta dan kikir ilmu serta usaha menuju kerugian diri mereka sendiri dan kerugian orang lain, dan inilah sifat-sifat orang-orang kafir, oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا ﴿ "Dan Kami telah me-nyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan" yaitu seba-gaimana mereka telah berlaku sombong terhadap hamba-hamba Allah dan tidak mau menunaikan hak-hak mereka, menjadi penye-bab orang lain menolak hak-hak hamba-hamba berupa kekikiran dan tidak mendapatkan petunjuk, begitu pula Allah menghinakan mereka dengan siksa yang pedih dan kehinaan yang abadi. Kami berlindung kepadaMu ya Allah, dari segala keburukan.
#
{38} ثم أخبر عن النفقة الصادرة عن رياءٍ وسُمْعَة وعدم إيمان به، فقال: {والذين ينفقون أموالهم رئاء الناس}؛ أي: ليروهم ويمدحوهم ويعظموهم. {ولا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخِرِ}؛ أي: ليس إنفاقهم صادراً عن إخلاص وإيمان بالله ورجاء ثوابه؛ أي: فهذا من خطوات الشيطان وأعماله، التي يدعو حزبه إليها ليكونوا من أصحاب السعير، وصدرت منهم بسبب مقارنته لهم وأزِّهم إليها؛ فلهذا قال: {ومن يَكُنِ الشيطانُ له قريناً فساءَ قريناً}؛ أي: بئس المقارن والصاحب الذي يريد إهلاك مَن قارنه ويسعى فيه أشدَّ السعي؛ فكما أن مَن بخل بما آتاه الله وكَتَمَ ما منَّ به الله عليه عاصٍ آثمٌ مخالفٌ لربِّه؛ فكذلك من أنفق وتعبَّد لغير الله؛ فإنه آثم عاصٍ لربِّه مستوجبٌ للعقوبة؛ لأن الله إنما أمر بطاعتِهِ وامتثال أمره على وجه الإخلاص؛ كما قال تعالى: {وما أُمِروا إلا ليعبدوا الله مُخلصينَ له الدِّين}؛ فهذا العمل المقبول الذي يستحقُّ صاحبُهُ المدح والثواب؛ فلهذا حثَّ تعالى عليه بقوله:
(38) Kemudian Allah memberitakan tentang nafkah yang bersumber dari suatu tindakan riya`
(ingin dilihat) dan sum'ah
(ingin didengar) serta tidak beriman kepadaNya dalam FirmanNya, ﴾ وَٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ
﴿ "Dan (juga) orang-orang yang menafkah-kan harta-harta mereka karena riya kepada manusia," maksudnya, agar orang lain melihat, memuji, dan menghormati mereka.﴾ وَلَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۗ
﴿ "Dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Hari Kemudian" yaitu infak mereka tidaklah bersumber dari hati yang ikhlas dan keimanan kepada Allah serta mengharap ba-lasanNya, artinya adalah bahwa hal ini di antara langkah-langkah setan dan perbuatan-perbuatannya, di mana ia mengajak golongan-nya melakukan hal tersebut, agar mereka semua menjadi penghuni-penghuni neraka yang menyala, dan terjadilah perbuatan itu dari mereka yang disebabkan oleh setan yang selalu mengiringi mereka dan bantuannya terhadap mereka kepada hal tersebut, karena itu Allah berfirman, ﴾ وَمَن يَكُنِ ٱلشَّيۡطَٰنُ لَهُۥ قَرِينٗا فَسَآءَ قَرِينٗا
﴿ "Barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai temannya, maka setan itu adalah seburuk-buruknya teman," yaitu seburuk-buruknya teman dan pendamping yang menghendaki kehancuran orang yang ditemani dengan usaha yang keras untuk dapat merealisasikannya. Dan sebagaimana orang yang berlaku kikir akan apa yang telah Allah karuniakan kepadanya dan menyembunyikan apa yang telah Allah berikan kepadanya adalah seorang pendosa lagi berpaling dari Rabbnya, begitu pula orang yang berinfak dan beribadah kepada selain Allah, sesungguhnya ia telah berdosa, durhaka terhadap Rabbnya, sehingga ia berhak mendapatkan hukuman, karena Allah meme-rintahkan untuk taat kepadaNya dan menunaikan perintah-perin-tahNya dengan ikhlas, sebagaimana Allah berfirman,
﴾ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ ﴿
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam
(menjalankan) agama yang lurus."
(Al-Bayyinah: 5).
Inilah perbuatan yang akan diterima, di mana pelakunya berhak mendapatkan pahala dan pujian, oleh karena itulah Allah سبحانه وتعالى menganjurkan hal tersebut dalam FirmanNya,
{وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا (39)}.
"Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka ber-iman kepada Allah dan Hari Kemudian dan menafkahkan sebagian rizki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan Allah Maha Mengetahui keadaan mereka."
(An-Nisa`: 39).
#
{39} أي: أيُّ شيء عليهم وأيُّ حرج ومشَّقة تلحقُهم لو حَصَلَ منهم الإيمانُ بالله الذي هو الإخلاص وأنفقوا من أموالِهِم التي رَزَقَهم الله وأنعم بها عليهم، فجمعوا بين الإخلاص والإنفاق، ولما كان الإخلاص سرًّا بين العبد وبين ربِّه لا يطَّلع عليه إلا الله؛ أخبر تعالى بعلمِهِ بجميع الأحوال، فقال: {وكان الله بهم عليماً}.
(39) Maksudnya, apa yang menimpa mereka dan kerugian atau kesusahan apa yang akan mereka temui bila mereka beriman kepada Allah yaitu ikhlas dan menginfakkan sebagian harta yang telah Allah berikan kepada mereka dan telah Allah karuniakan mereka dengannya, sehingga mereka dapat menyatukan antara keikhlasan dan berinfak? Namun ketika keikhlasan itu adalah sebuah perkara yang tersembunyi antara seorang hamba dengan Rabbnya di mana tidak ada yang mampu mengetahuinya kecuali Allah, maka Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa Dia mengetahui segala keadaan dan kondisi dalam FirmanNya, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ بِهِمۡ عَلِيمًا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui keadaan mereka."
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا (40) فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا (41) يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا (42)}.
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar. Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan
(dari Allah) suatu kejadian pun."
(An-Nisa`: 40-42).
#
{40} يخبر تعالى عن كمال عدلِهِ وفضله وتنزُّهه عما يضادُّ ذلك من الظلم القليل والكثير، فقال: {إنَّ الله لا يظلم مثقالَ ذرَّة}؛ أي: يَنْقُصُها من حسنات عبده أو يزيدُها في سيئاتِهِ؛ كما قال تعالى: {فَمَن يعمل مثقالَ ذَرَّةٍ خيراً يَرَه. ومَن يعمل مثقالَ ذرَّة شرًّا يَرَه}. {وإن تكُ حسنةً يضاعِفْها}؛ أي: إلى عشرة أمثالها، إلى أكثر من ذلك، بحسب حالها ونفعها وحال صاحبها إخلاصاً ومحبةً وكمالاً. {ويؤتِ من لَدُنْهُ أجراً عظيماً}؛ أي: زيادة على ثواب العمل بنفسه من التوفيق لأعمال أُخَرَ وإعطاء البرِّ الكثير والخير الغزير.
(40) Allah سبحانه وتعالى memberitakan tentang kesempurnaan keadil-anNya, keutamaanNya dan berlepas diriNya dari perkara yang berlawanan dengan hal-hal tersebut seperti kezhaliman, baik sedikit maupun banyak, seraya berfirman, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَظۡلِمُ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖۖ
﴿ "Sesungguh-nya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah" yaitu Allah mengurangi kebaikan-kebaikan hambaNya atau menambah keburukan-keburukannya, sebagaimana juga Allah تعالى berfirman,
﴾ فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ 7 وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ 8
﴿
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, nis-caya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8).
﴾ وَإِن تَكُ حَسَنَةٗ يُضَٰعِفۡهَا
﴿ "Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, nis-caya Allah akan melipat gandakannya" yaitu hingga sepuluh kali lipat dan bahkan lebih banyak lagi dari itu, yang sesuai dengan kondisi dan manfaat kebajikan tersebut, serta kondisi pelakunya dari segi keikhlasan, rasa cinta, dan kesempurnaan. ﴾ وَيُؤۡتِ مِن لَّدُنۡهُ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar" yaitu sebagai tam-bahan atas pahala perbuatan itu sendiri berupa taufik kepada amalan-amalan
(baik) lainnya dan memberikan kebaikan yang melimpah serta keberkahan yang banyak.
#
{41} ثم قال تعالى: {فكيف إذا جِئْنا من كلِّ أُمةٍ بشهيدٍ وجئنا بك على هؤلاء شهيداً}؛ أي: كيف تكون تلك الأحوالُ؟ وكيف يكونُ ذلك الحكم العظيم الذي جَمَعَ أنَّ مَن حكم به كامل العلم كامل العدل كامل الحكمةِ بشهادة أزكى الخلق وهُم الرسلُ على أُممِهِم مع إقرار المحكوم عليه؟ فهذا والله الحكم الذي هو أعمُّ الأحكام وأعدلها وأعظمها، وهناك يبقى المحكومُ عليهم مقرِّين له. بكمال الفضل والعدل والحمد والثناء، وهنالك يسعد أقوامٌ بالفوز والفلاح والعزِّ والنجاح ويشقى أقوام بالخِزْي والفضيحة والعذاب المُهين.
(41) Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۭ بِشَهِيدٖ وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدٗا ﴿ "Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu)" maksudnya, bagaimanakah kondisi kala itu? Dan bagaimana terjadinya hukum yang agung tersebut yang menya-tukan antara Dzat yang memutuskan ketetapan itu adalah Dzat yang memiliki kesempurnaan ilmu, keadilan yang tidak bercacat dan kebijaksanaan yang agung dengan kesaksian makhluk yang paling suci –yaitu para Rasul– atas umat-umat mereka bersamaan dengan pengakuan secara sadar dari mereka yang menjadi ter-dakwa? Yang demikian itu demi Allah, adalah hukum yang paling umum dan menyeluruh, yang paling adil dan paling agung, ke-mudian tinggallah mereka
(pihak yang terhukum atau terdakwa) mengakui akan kesempurnaan karunia, keadilan, pujian dan san-junganNya, ada golongan yang berbahagia dengan mendapatkan keberuntungan, keberhasilan, kemuliaan dan kesuksesan, dan ada golongan yang sengsara dengan kehinaan, keterpurukan, dan siksa yang menghinakan.
#
{42} ولهذا قال: {يومئذٍ يَوَدُّ الذين كفروا وعَصَوُا الرسولَ}؛ أي: جمعوا بين الكفر بالله وبرسوله ومعصية الرسول، {لو تُسَوَّى بهم الأرض}؛ أي: تبتلعهم ويكونون تراباً وعدماً؛ كما قال تعالى: {ويقولُ الكافرُ يا ليتني كنتُ تُراباً}. {ولا يكتمونَ اللهَ حديثاً}؛ أي: بل يقرُّون له بما عَمِلوا وتشهدُ عليهم ألسنتُهم وأيديهم وأرجُلُهم بما كانوا يعملونَ، يومئذٍ يوفِّيهم الله دينَهم، جزاءَهم الحقَّ، ويعلمون أنَّ الله هو الحقُّ المبينُ. فأما ما ورد من أنَّ الكفار يكتُمون كفرَهم وجحودَهم؛ فإنَّ ذلك يكون في بعض مواضع القيامةِ حين يظنُّون أن جحودَهم ينفعُهم من عذابِ الله؛ فإذا عرفوا الحقائقَ وشهِدَتْ عليهم جوارِحُهم، حينئذٍ ينجلي الأمر، ولا يبقى للكتمان موضعٌ ولا نفعٌ ولا فائدةٌ.
(42) Oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾ يَوۡمَئِذٖ يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَعَصَوُاْ ٱلرَّسُولَ
﴿ "Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang men-durhakai rasul ingin" yaitu mereka menyatukan antara kufur kepada Allah dan kepada RasulNya dengan durhaka kepada Rasul, ﴾ لَوۡ تُسَوَّىٰ بِهِمُ ٱلۡأَرۡضُ
﴿ "supaya mereka disamaratakan dengan tanah," maksudnya, tanah itu menelan mereka hingga mereka menjadi tanah dan meng-hilang, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ وَيَقُولُ ٱلۡكَافِرُ يَٰلَيۡتَنِي كُنتُ تُرَٰبَۢا 40
﴿
"Dan orang kafir berkata, 'Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah'." (An-Naba`: 40).
﴾ وَلَا يَكۡتُمُونَ ٱللَّهَ حَدِيثٗا ﴿ "Dan mereka tidak dapat menyembunyikan
(dari Allah) suatu kejadian pun," maksudnya adalah, bahkan mereka akan mengakui apa yang telah mereka kerjakan dan semua lisan-lisan mereka, tangan-tangan mereka, dan kaki-kaki mereka akan bersaksi terhadap apa yang telah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, hingga mereka mengetahui bahwa Allah-lah Dzat yang Benar lagi yang menjelaskan
(segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya). Adapun riwayat yang menyatakan bahwasanya kaum kafir me-nyembunyikan kekufuran dan pengingkaran mereka, sesungguh-nya hal tersebut terjadi pada beberapa kondisi pada Hari Kiamat, yaitu ketika mereka mengira bahwa pengingkaran mereka akan berguna bagi mereka
(sehingga terbebas) dari siksa Allah, namun bila mereka telah mengetahui kenyataan dan seluruh anggota badan mereka akan bersaksi atas
(semua perbuatan) mereka, maka saat itulah segala perkara akan jelas, hingga tindakan menyem-bunyikan itu tidak memiliki manfaat atau faidah.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43)}.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh pe-rempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamum-lah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengam-pun."
(An-Nisa`: 43).
#
{43} ينهى تعالى عباده المؤمنين أن يَقْرَبوا الصلاة وهم سُكارى حتى يعلَموا ما يقولونَ، وهذا شاملٌ لِقُرْبانِ مواضع الصلاة؛ كالمسجد؛ فإنه لا يمكَّنُ السكرانُ من دخولِهِ، وشاملٌ لنفس الصلاة؛ فإنه لا يجوز للسكران صلاةٌ ولا عبادةٌ لاختلاط عقلِهِ وعدم علمِهِ بما يقول، ولهذا حدَّد تعالى ذلك وغيَّاه إلى وجود العلم بما يقول السكران.
وهذه الآية الكريمة منسوخةٌ بتحريم الخمر مطلقاً؛ فإنَّ الخمر في أول الأمر كان غير محرَّم، ثم إنَّ الله تعالى عَرَّضَ لعبادِهِ بتحريمِهِ بقوله: {يَسألونَكَ عن الخمرِ والمَيْسِرِ قُلْ فيهما إثمٌ كبيرٌ ومَنافعُ للنَّاسِ وإثْمُهُما أكبرُ مِنْ نَفعِهِما}، ثم إنَّه تعالى نهاهم عن الخمر عند حضورِ الصلاة كما في هذه الآية، ثم إنه تعالى حرَّمه على الإطلاق في جميع الأوقات في قوله: {يا أيُّها الذينَ آمنوا إنَّما الخمرُ والمَيْسِرُ والأنصابُ والأزلام رِجسٌ مِن عملِ الشيطانِ فاجتنبوهُ} الآية. ومع هذا؛ فإنه يشتدُّ تحريمه وقتَ حضور الصلاة؛ لتضمُّنه هذه المفسدة العظيمة بعدم حصول مقصود الصلاة الذي هو روحها ولبُّها، وهو الخشوع وحضور القلب؛ فإنَّ الخمر يُسْكِرُ القلبَ، ويصدُّ عن ذِكْرِ الله وعن الصلاة.
ويؤخَذُ من المعنى منعُ الدُّخول في الصلاة في حال النُّعاس المفرط الذي لا يشعُرُ صاحبه بما يقولُ ويفعل، بل لعلَّ فيه إشارة إلى أنه ينبغي لمن أراد الصلاة أن يقطعَ عنه كلَّ شاغل يَشْغَلُ فكره؛ كمدافعةِ الأخبثين والتَّوْق لطعام ونحوِهِ؛ كما ورد في ذلك الحديث الصحيح.
ثم قال: {ولا جُنُباً إلا عابري سبيل}؛ أي: لا تقربوا الصلاة حالة كونِ أحدِكم جُنباً إلاَّ في هذه الحال، وهو عابرُ السبيل؛ أي: تمرُّون في المسجد ولا تمكُثون فيه. {حتَّى تغتَسِلوا}؛ أي: فإذا اغتسلتم؛ فهو غاية المنع من قربانِ الصلاة للجُنُبِ، فيحلُّ للجُنُبِ المرورُ في المسجد فقط.
{وإن كنتُم مرضى أو على سفرٍ أو جاء أحدٌ منكم من الغائط أو لامستُمُ النساءَ فلم تجِدوا ماءً فتيمَّموا}: فأباح التيمُّم للمريض مطلقاً مع وجود الماء وعدمِهِ، والعلَّة المرضُ الذي يشقُّ مع استعمال الماء، وكذلك السفر؛ فإنه مَظِنَّة فقد الماء؛ فإذا فقده المسافر، أو وجد ما يتعلَّق بحاجته من شرب ونحوه؛ جاز له التيمُّم، وكذلك إذا أحدث الإنسان ببول أو غائطٍ أو ملامسة النساء؛ فإنه يُباح له التيمُّم إذا لم يجد الماء حضراً وسفراً؛ كما يدلُّ على ذلك عموم الآية. والحاصل أنَّ الله تعالى أباح التيمُّم في حالتين: حال عدم الماء، وهذا مطلقاً في الحضر والسفر. وحال المشقة باستعماله بمرض ونحوه.
واختلف المفسِّرون في معنى قوله: {أو لامستُمُ النساءَ}: هل المرادُ بذلك الجِماع؟ فتكونُ الآية نصًّا في جواز التيمُّم للجُنُب كما تكاثرت بذلك الأحاديث الصحيحة ، أو المراد بذلك مجردُ اللمس باليد، ويقيَّد ذلك بما إذا كان مَظِنَّة خروج المذي، وهو المس الذي يكون لشهوةٍ، فتكون الآيةُ دالةً على نقض الوضوء بذلك. واستدلَّ الفقهاء بقوله: {فلم تجدوا ماء}: بوجوب طَلَبِ الماء عند دخول الوقت؛ قالوا: لأنه لا يُقال: لم يجد لِمَنْ لم يطلب، بل لا يكون ذلك إلا بعد الطلب. واستدلَّ بذلك أيضاً على أن الماء المتغيِّرَ بشيء من الطاهرات يجوز ـ بل يتعيَّن ـ التطهُّر به لدخولِهِ في قوله: {فلم تجدوا ماءً}، وهذا ماء. ونوزع في ذلك بأنَّه ماء غير مطلق، وفي ذلك نظر.
وفي هذه [الآية] الكريمة: مشروعيَّة هذا الحكم العظيم الذي امتنَّ به الله على هذه الأمة، وهو مشروعية التيمُّم، وقد أجمع على ذلك العلماء، ولله الحمد.
وأنَّ التيمُّم يكون بالصَّعيد الطيب، وهو كل ما تصاعد على وجه الأرض، سواء كان له غبار أم لا، ويُحتمل أن يختصَّ ذلك بذي الغبار؛ لأن الله قال: {فامْسَحوا بوجوهِكم وأيديكم} منه، وما لا غبار له لا يُمْسَحُ به. وقوله: {فامسحوا بوجوهِكم وأيديكم} منه: هذا محل المسح في التيمُّم: الوجه جميعه واليدين إلى الكوعين؛ كما دلَّت على ذلك الأحاديث الصحيحة، ويستحبُّ أن يكون ذلك بضربةٍ واحدةٍ؛ كما دلَّ على ذلك حديث عمار ، وفيه أنَّ تيمُّم الجُنُب كتيمُّم غيره بالوجه واليدين.
فائدة: اعلم أن قواعد الطبِّ تدور على ثلاث قواعدَ: حفظ الصحة عن المؤذيات، والاستفراغ منها، والحميةُ عنها. وقد نبَّه تعالى عليها في كتابه العزيز: أمَّا حفظ الصحة والحمية عن المؤذي؛ فقد أمر بالأكل والشرب وعدم الإسراف في ذلك، وأباح للمسافر والمريض الفطر حفظاً لصحَّتهما باستعمال ما يُصْلِحُ البدن على وجه العدل، وحماية للمريض عما يضرُّه. وأما استفراغُ المؤذي؛ فقد أباح تعالى للمحرم المتأذِّي برأسه أن يحلِقَهُ لإزالة الأبخرة المحتقنة فيه؛ ففيه تنبيهٌ على استفراغ ما هو أولى منها من البول والغائط والقيء والمنيِّ والدم وغير ذلك. نبه على ذلك ابن القيم رحمه الله تعالى.
وفي الآية وجوبُ تعميم مسح الوجه واليدين، وأنَّه يجوز التيمُّم، ولو لم يضق الوقت، وأنه لا يخاطَب بطلب الماء إلا بعد وجود سبب الوجوب. والله أعلم.
ثمَّ ختم الآية بقوله: {إنَّ اللهَ كانَ عفُوًّا غَفوراً}؛ أي: كثير العفو والمغفرة لعباده المؤمنين بتيسير ما أمرهم به وتسهيلِهِ غايةَ التسهيل بحيثُ لا يَشُقُّ على العبد امتثالُه فيحرج بذلك، ومن عفوه ومغفرته أنْ رَحِمَ هذه الأمة بشرع طهارة التُّراب بدل الماء عند تعذُّر استعماله، ومن عفوِهِ ومغفرتِهِ أن فتح للمذنبين باب التوبة والإنابة ودعاهُم إليه ووعدهم بمغفرة ذنوبهم، ومن عفوه ومغفرته أنَّ المؤمن لو أتاه بقُراب الأرض خطايا ثم لَقِيَهُ لا يشرك به شيئاً؛ لأتاه بقرابها مغفرةً.
(43) Allah سبحانه وتعالى melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk tidak mendekati shalat ketika dalam kondisi mabuk hingga mereka mampu mengetahui apa yang mereka katakan, hal ini mencakup juga perkara mendekati tempat-tempat shalat, seperti masjid, maka sesungguhnya seorang yang mabuk itu tidak diboleh-kan memasukinya, dan juga mencakup shalat itu sendiri, karena sesungguhnya seorang yang mabuk tidak boleh melakukan shalat, tidak juga ibadah yang lain, disebabkan karena pikirannya yang tidak lurus, dan ketidaktahuannya tentang apa yang diucapkan-nya, oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى mengancam hal tersebut dan men-syaratkan bolehnya melakukan perkara itu ketika mengetahui apa yang diucapkan oleh orang yang mabuk tersebut.
Ayat yang mulia ini telah dinasakh oleh ayat pengharaman khamar secara mutlak, karena sesungguhnya khamar itu pada awalnya tidak diharamkan, kemudian Allah سبحانه وتعالى telah mengisyarat-kan tentang keharamannya bagi hamba-hambaNya dengan Firman-Nya,
﴾ يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ
﴿
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi ma-nusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya'." (Al-Baqarah: 219).
Kemudian Allah سبحانه وتعالى melarang mereka minum khamar ketika akan mendirikan shalat sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, kemudian Allah سبحانه وتعالى mengharamkannya secara mutlak dalam segala kondisi dan waktu dalam FirmanNya,
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ
﴿
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) kha-mar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu." (Al-Ma`idah: 90).
Walaupun demikian sesungguhnya khamar itu akan lebih haram lagi ketika akan mendirikan shalat karena mengandung ke-rusakan yang besar, yaitu dengan tidak tercapainya maksud dari shalat yang merupakan ruh dari shalat dan intinya, yaitu kekhu-syu'an dan hadirnya hati, sedangkan khamar menutupi hati dan menghalangi dari berdzikirkepada Allah dan dari shalat.
Dan di antara faidah dari makna ini adalah larangan memu-lai shalat dalam kondisi sangat mengantuk di mana orang tersebut tidak merasakan (mengetahui) apa yang diucapkan dan dikerja-kannya, bahkan ada indikasi dari makna ini bahwa seyogyanya bagi seseorang yang hendak menegakkan shalat agar meninggal-kan segala hal-hal yang menyibukkan pikirannya, seperti menahan buang air kecil atau air besar, atau hasrat untuk makan dan hal-hal lain semisalnya, sebagaimana dijelaskan tentang hal itu oleh hadits Nabi ﷺ yang shahih.[25]
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ
﴿ "(Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja" yaitu janganlah kalian mendekati shalat ketika kondisi kalian sedang junub kecuali bila sekedar lewat saja, artinya kalian melewati masjid dan tidak tinggal di dalamnya, ﴾ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ
﴿ "hingga kamu mandi" maksudnya, apabila kalian telah mandi. Dan itulah batas dari larangan mendekati shalat bagi seorang yang junub, maka yang dibolehkan bagi orang tersebut hanyalah melewati masjid saja.
﴾ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ
﴿ "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah." Tayamum dibolehkan bagi orang yang sakit secara mutlak, baik ada air ataupun tidak, karena alasannya adalah sakit yang membuat pemakaian air sangat berat baginya, demikian pula perjalanan jauh (safar), karena ia adalah suatu kondisi yang dihadapkan dengan susahnya menda-patkan air, apabila seorang musafir tidak mendapatkan air atau ia mendapatkannya namun hanya dapat menutupi kebutuhan pokok-nya seperti minum dan lainnya, maka boleh baginya bertayamum. Demikian juga bila seseorang telah buang air kecil atau besar atau menyentuh wanita, maka dia boleh bertayamum apabila ia tidak mendapatkan air, baik saat perjalanan maupun menetap, sebagai-mana hal itu ditunjukkan oleh keumuman ayat tersebut. Kesim-pulannya adalah bahwa Allah سبحانه وتعالى membolehkan tayamum dalam dua kondisi; di saat tidak ada air, hal ini secara mutlak, baik saat perjalanan maupun menetap, dan di saat sangat berat untuk mem-pergunakannya seperti sakit atau lainnya.
Dan para ahli tafsir telah berbeda pendapat tentang makna Firman Allah, ﴾ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
﴿ "Atau kamu telah menyentuh perempuan," apakah yang dimaksud di situ adalah berjimak? Sehingga ayat ini menjadi sebuah nash yang jelas tentang bolehnya bertayamum bagi orang yang junub sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits[26], ataukah maksud darinya adalah hanya sebatas sentuhan dengan tangan, lalu hal tersebut disyaratkan dengan kondisi bila menjadi sebab keluarnya madzi, artinya sentuhan dengan adanya syahwat, maka ayat itu menjadi sebuah dalil akan batalnya wudhu karena hal tersebut. Dan para ahli fikih telah berdalil dengan Firman Allah, ﴾ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
﴿ "Kemudian kamu tidak mendapat air" akan wajibnya usaha mencari air pada saat masuknya waktu shalat, mereka ber-kata; karena sesungguhnya tidaklah mungkin dikatakan bahwa tidak mendapat air bagi orang yang belum mencari, akan tetapi tidaklah dikatakan seperti itu kecuali setelah mencari. Mereka kembali berdalil dengan ayat itu bahwa air yang berubah karena disebabkan oleh sesuatu yang suci boleh -bahkan harus- bersuci dengannya, hal ini karena ia termasuk dalam ayat, ﴾ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
﴿ "Kemudian kamu tidak mendapat air" dan air yang telah berubah ka-rena bercampur dengan sesuatu yang suci itu juga disebut. Dalam hal itu kita dapat membagi dan menyebutnya sebagai kategori bukan air mutlak, dan dalam masalah ini perlu pembahasan.
Dan ayat yang mulia ini menunjukkan disyariatkannya hukum yang agung tersebut atas umat ini, di mana dengannya Allah سبحانه وتعالى memberikan karunia atas mereka, yaitu syariat tayamum, dan para ulama telah bersepakat atas hal tersebut, dan segala puji hanya milik Allah.
Dan bahwasanya tayamum itu dilakukan dengan tanah yang baik, yaitu segala apa yang ada di atas bumi, baik yang memiliki debu atau tidak, dan kemungkinan juga dikhususkan hanya tanah yang memiliki debu, karena Allah berfirman, ﴾ فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
﴿ "Sapulah mukamu dan tanganmu" dengannya, sedangkan tanah yang tidak memiliki debu tidaklah mungkin mengusap (wajah) dengan-nya. Dan FirmanNya, ﴾ فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
﴿ "Sapulah mukamu dan tanganmu" dengannya, ini adalah bagian yang harus disapu dalam bertayamum yaitu seluruh wajah dan kedua tangan hingga kedua pergelangan tangannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih akan hal tersebut[27], dan disunnahkan dalam bertayamum adalah dengan satu kali tepukan saja sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits Ammar رضي الله عنه [28], ayat ini juga menunjukkan bahwa tayamumnya orang yang junub sama seperti lainnya yaitu bagian wajah dan kedua tangan.
Suatu pelajaran: Ketahuilah, bahwa kaidah-kaidah kedokteran berporos pada tiga kaidah; menjaga kesehatan dari segala macam penyakit, menghilangkan, dan memberikan perlindungan darinya. Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah mengingatkan akan hal tersebut dalam kitabNya yang mulia; adapun yang menyangkut kaidah menjaga dan memberikan perlindungan, maka sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk makan dan minum serta tidak berlebihan dalam hal tersebut, Allah juga membolehkan bagi se-orang musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa demi menjaga kesehatan keduanya, yaitu dengan mempergunakan sesuatu yang bermanfaat untuk tubuh dalam bentuk yang seimbang, dan juga melindungi si sakit dari segala hal yang membahayakannya. Ada-pun tentang kaidah menghilangkan hal yang mengganggu, maka sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah membolehkan bagi seorang yang sedang ihram yang kepalanya sedang terganggu dengan suatu hal untuk mencukur rambutnya demi menghilangkan bau yang tidak sedap padanya. Dalam hal itu juga menyimpan suatu peringatan untuk menghilangkan suatu yang lebih utama darinya berupa air kecil, air besar, muntah, air mani, darah dan lain sebagainya. Ibnu al-Qayyim 5 telah mengingatkan akan hal tersebut[29].
Ayat ini menunjukkan wajibnya membasuh wajah dan kedua tangan secara menyeluruh, dan bahwa tayamum hukumnya di-bolehkan meskipun waktunya tidak sempit, dan bahwa mencari air itu tidaklah diminta kecuali setelah adanya sebab-sebab wajib, Wallahu a'lam.
Kemudian Allah menutup ayat ini dengan FirmanNya,﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun," maksudnya, Allah memiliki maaf dan ampunan yang melimpah bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan memudahkan dan meringankan dengan seringan-ringannya apa yang telah Dia perintahkan kepada mereka, di mana seorang hamba tidak akan mendapatkan kesulitan dalam menjalankannya hingga ia merasa berat karenanya. Di antara maaf dan ampunanNya adalah Allah merahmati umat ini dengan menetapkan syariat sucinya tanah sebagai pengganti air ketika seorang hamba tidak mampu mema-kainya, dan di antara maaf dan ampunanNya yang lain adalah Allah membuka pintu taubat dan ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa. Allah menyeru mereka kepadanya dan menjanjikan kepada mereka ampunanNya atas dosa-dosa mereka. Dan di antara maaf dan ampunanNya juga adalah bahwa seorang Mukmin bila bertemu Allah dengan membawa dosa dan kesalahan sepenuh bumi dan hamba itu bertemu Allah sedang ia tidak memperseku-tukanNya dengan sesuatu pun, maka pastilah Allah akan mem-berikan kepadanya ampunan sepenuh bumi pula.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ (44) وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللَّهِ نَصِيرًا (45) مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (46)}.
"Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari al-Kitab
(Taurat)? Mereka membeli
(memilih) kesesatan
(dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat
(menyimpang) dari jalan
(yang benar). Dan Allah lebih mengeta-hui
(daripada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung
(bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong
(bagimu). Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, 'Kami men-dengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.' Dan
(mereka menga-takan pula), 'Dengarlah,' sedang kamu sebenarnya tidak mende-ngar apa-apa. Dan
(mereka mengatakan), 'Ra'ina', dengan me-mutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis."
(An-Nisa`: 44-46).
#
{44} هذا ذمٌّ لمن {أوتوا نصيباً من الكتاب}، وفي ضمنه تحذيرُ عبادِهِ عن الاغترار بهم والوقوع في أشراكهم، فأخبر أنهم في أنفسهم {يشترون الضلالة}؛ أي: يحبُّونها محبةً عظيمةً ويؤثِرونها إيثار مَن يبذُلُ المال الكثير في طلب ما يحبُّه، فيؤثرون الضلال على الهدى والكفر على الإيمان والشقاء على السعادة، ومع هذا {يريدونَ أن تَضِلُّوا السبيل}؛ فهم حريصون على إضلالِكُم غايةَ الحرص، باذِلون جهدَهم في ذلك، ولكن لما كان الله وليَّ عباده المؤمنين وناصرهم؛ بيَّن لهم ما اشتملوا عليه من الضلال والإضلال.
(44) Ini merupakan celaan bagi orang-orang yang ﴾ أُوتُواْ نَصِيبٗا مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ
﴿ "telah diberi bagian dari al-Kitab (Taurat)" dan ayat ini juga mengandung peringatan buat hamba-hambaNya agar tidak terpe-daya dengan mereka dan tidak terjerumus ke dalam orang-orang yang semisal mereka, lalu Allah mengabarkan mereka tentang diri mereka sendiri, ﴾ يَشۡتَرُونَ ٱلضَّلَٰلَةَ
﴿ "Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk)" maksudnya, mereka sangat menyukainya dan mendahulukannya sebagaimana seorang yang mengerahkan harta yang banyak untuk meraih apa yang disukainya, mereka men-dahulukan kesesatan daripada petunjuk dan kekufuran daripada keimanan serta kesengsaraan daripada kebahagiaan, walaupun demikian, ﴾ وَيُرِيدُونَ أَن تَضِلُّواْ ٱلسَّبِيلَ ﴿ "mereka bermaksud supaya kamu tersesat
(menyimpang) dari jalan
(yang benar)" mereka itu sangat bersemangat untuk menyesatkan kalian dengan segenap kemampuan, mereka mengerahkan segala upaya dalam hal tersebut, akan tetapi ketika Allah adalah pelindung bagi hamba-hambaNya yang beriman dan penolong mereka, maka Allah menerangkan kepada mereka tentang apa yang terkandung padanya berupa kesesatan dan penyesatan.
#
{45} ولهذا قال: {وكفى بالله وليًّا}؛ أي: يتولَّى أحوال عباده، ويلطف بهم في جميع أمورهم، وييسِّر لهم ما به سعادتهم وفلاحهم، {وكفى بالله نصيراً}: ينصرُهُم على أعدائهم، ويبيِّن لهم ما يحذَرون منهم، ويعينُهم عليهم؛ فولايتُهُ تعالى فيها حصول الخير، ونصرُهُ فيه زوال الشرِّ.
(45) Oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا
﴿ "Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu)," yaitu Allah mengurus kondisi hamba-hambaNya, mengasihi mereka dalam segala urusan mereka, dan Allah memudahkan bagi mereka hal-hal yang menjadi kebahagiaan dan keberuntungan mereka, ﴾ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا ﴿ "Dan cukup-lah Allah menjadi Penolong
(bagimu)" membela orang-orang yang beriman atas musuh-musuh mereka, Allah menjelaskan kepada mereka tentang apa yang harus mereka hindari dari musuh-musuh tersebut, kemudian Dia menolong mereka atas musuh-musuh ter-sebut, maka perlindungan Allah تعالى dalam hal itu adalah tercapai-nya kebaikan, sedang pertolonganNya adalah hilangnya keburukan.
#
{46} ثم بيَّن كيفية ضلالهم وعنادهم وإيثارهم الباطل على الحق، فقال: {من الذين هادوا}؛ أي: اليهود، وهم علماء الضلال منهم، {يُحرِّفون الكلمَ عن مواضعه}: إما بتغيير اللفظ أو المعنى أو هما جميعاً؛ فمن تحريفهم تنزيل الصفات التي ذُكِرَت في كتبهم التي لا تنطبق ولا تصدُقُ إلاَّ على محمد - صلى الله عليه وسلم - على أنه غيرُ مراد بها ولا مقصودٍ بها، بل أُريد بها غيره، وكتمانهم ذلك؛ فهذا حالهم في العلم شر حال، قلبوا فيه الحقائق، ونزَّلوا الحقَّ على الباطل، وجحدوا لذلك الحق. وأما حالهم في العمل والانقياد؛ فإنَّهم {يقولون سمعنا وعصينا}؛ أي: سمعنا قولك وعصينا أمرك، وهذا غاية الكفر والعناد والشرود عن الانقياد، وكذلك يخاطبون الرسول - صلى الله عليه وسلم - بأقبح خطاب وأبعده عن الأدب، فيقولون: {اسمع غير مُسْمَع}؛ قصدُهم: اسمع منا غير مُسْمَع ما تحبُّ بل مُسْمَع ما تكره.
{وراعنا}: [و] قصدهم بذلك الرعونةَ بالعيب القبيح، ويظنُّون أن اللفظ لما كان محتملاً لغير ما أرادوا من الأمور؛ أنه يَروج على الله وعلى رسوله، فتوصَّلوا بذلك اللفظ الذي يلوون به ألسنتهم إلى الطعن في الدين والعيب للرسول، ويصرِّحون بذلك فيما بينهم؛ فلهذا قال: {ليًّا بألسنتهم وطعناً في الدين}. ثم أرشدهم إلى ما هو خيرٌ لهم من ذلك، فقال: {ولو أنهم قالوا سمعنا وأطعنا واسمع وانظُرْنا لكان خيراً لهم وأقوم}: وذلك لما تضمَّنه هذا الكلام من حسن الخطاب والأدب اللائق في مخاطبة الرسول والدُّخول تحت طاعة الله والانقياد لأمره وحُسن التلطُّف في طلبهم العلم بسماع سؤالهم والاعتناء بأمرهم؛ فهذا هو الذي ينبغي لهم سلوكه، ولكن لما كانت طبائِعُهم غير زكيَّةٍ؛ أعرضوا عن ذلك وطردهم الله بكفرِهم وعنادِهم، ولهذا قال: {ولكن لعنهم الله بكفرهم فلا يؤمنون إلا قليلاً}.
(46) Kemudian Allah menjelaskan tentang kesesatan dan kedurhakaan mereka, serta sikap mereka mendahulukan kebatilan daripada kebenaran dalam FirmanNya, ﴾ مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ
﴿ "Yaitu orang-orang Yahudi" di mana mereka itu adalah para ulama kesesatan dari kaum Yahudi, ﴾ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ
﴿ "mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya," dengan merubah lafazhnya atau maknanya atau merubah keduanya sekaligus. Dan di antara penyelewengan mereka adalah menempatkan sifat-sifat yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka hanya sesuai bagi Nabi Muhammad ﷺ pada posisi bukan itu yang dimaksudkan (menurut anggapan mereka) dan bukan pula yang dikehendaki dari ayat-ayat itu, akan tetapi yang dimaksudkan olehnya adalah selain beliau ﷺ dan mereka menyembunyikan hal tersebut. Inilah kondisi mereka dalam ilmu yang merupakan seburuk-buruk kondisi, mereka telah memutar-balikkan hakikat yang sebenarnya, dan menempatkan kebenaran pada kebatilan lalu mengingkari kebenaran tersebut.
Adapun kondisi mereka pada amal perbuatan dan ketun-dukan adalah, ﴾ وَيَقُولُونَ سَمِعۡنَا وَعَصَيۡنَا
﴿ "mereka berkata, 'Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya'," maksudnya, kami telah mende-ngarkan perkataanmu (wahai Muhammad) dan kami tidak menu-ruti perintahmu, inilah puncak dari kekufuran, kedurhakaan dan keluar dari ketundukan. Demikian juga, mereka berdialog dengan Nabi ﷺ dengan seburuk-buruk dialog dan paling jauh dari tata krama yang baik, mereka berkata, ﴾ وَٱسۡمَعۡ غَيۡرَ مُسۡمَعٖ
﴿ "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa," maksud mereka adalah dengarkanlah dari kami sedang kamu tidak mendengar apa-apa yang kamu sukai, akan tetapi kamu mendengar apa yang kamu benci.
﴾ وَرَٰعِنَا
﴿ "Dan (mereka mengatakan), Ra'ina" maksud mereka dari hal itu adalah Ru'unah, yang berarti: kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah ﷺ, dan mereka mengira bahwa lafazh tersebut ketika maknanya memiliki kemungkinan berbeda dari apa yang mereka maksudkan, bahwasanya lafazh itu membuat samar (tidak jelas) bagi Allah dan RasulNya, lalu mereka meman-faatkan lafazh itu di mana lisan-lisan mereka selalu mengucapkan-nya demi mencela agama dan menjatuhkan kehormatan Rasul, ke-mudian mereka mengutarakan hal tersebut secara terang-terangan di antara mereka, karena itulah Allah berfirman, ﴾ لَيَّۢا بِأَلۡسِنَتِهِمۡ وَطَعۡنٗا فِي ٱلدِّينِۚ
﴿ "Dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama." Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka menuju perkara yang mengandung kebaikan buat mereka daripada hal tersebut dengan berfirman, ﴾ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ قَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا وَٱسۡمَعۡ وَٱنظُرۡنَا لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَقۡوَمَ
﴿ "Sekiranya mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat," hal itu karena apa yang dikandung oleh perkataan tersebut berupa dialog yang baik dan tata krama yang patut dalam berdialog dengan Rasulullah ﷺ dan termasuk dalam ketaatan kepada Allah, tunduk akan perintahNya, serta kesopanan yang baik dari mereka saat menuntut ilmu di mana mereka mengutarakan pertanyaan mereka dengan cara yang baik dan memperhatikan sikap mereka, inilah yang sepatutnya mereka tempuh, akan tetapi ketika tabiat dan karakter mereka tidaklah bersih, akhirnya mereka berpaling dari hal tersebut lalu Allah mengusir mereka akibat dari kekufuran dan kedurhakaan mereka, oleh karena itu Allah berfirman,﴾ وَلَٰكِن لَّعَنَهُمُ ٱللَّهُ بِكُفۡرِهِمۡ فَلَا يُؤۡمِنُونَ إِلَّا قَلِيلٗا ﴿ "Akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis."
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آمِنُوا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا (47)}.
"Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur`an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka
(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuk me-reka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada Hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku."
(An-Nisa`: 47).
#
{47} يأمُرُ تعالى أهل الكتاب من اليهود والنصارى أن يؤمنوا بالرسول محمد - صلى الله عليه وسلم - وما أنزل الله عليه من القرآن العظيم المهيمن على غيره من الكتب السابقة الذي صدقها؛ فإنها أخبرت به، فلما وقع المُخْبَرُ به؛ كان تصديقاً لذلك الخبر. وأيضاً؛ فإنهم إن لم يؤمنوا بهذا القرآن؛ فإنهم لم يؤمنوا بما في أيديهم من الكتب؛ لأنَّ كتب الله يصدِّق بعضها بعضاً، ويوافق بعضها بعضاً؛ فدعوى الإيمان ببعضها دون بعضٍ دعوى باطلة، لا يمكن صدقها.
وفي قوله: {آمنوا بما نزَّلنا مصدقاً لما معكم}: حثٌّ لهم، وأنهم ينبغي أن يكونوا قبل غيرهم مبادِرين إليه بسبب ما أنعم الله عليهم به من العلم والكتاب الذي يوجِبُ أن يكون ما عليهم أعظم من غيرهم، ولهذا توعَّدهم على عدم الإيمان، فقال: {من قبل أن نطمِسَ وجوهاً فنردَّها على أدبارِها}: وهذا جزاءٌ من جنس ما عملوا؛ كما تركوا الحقَّ وآثروا الباطل وقلبوا الحقائق فجعلوا الباطل حقًّا والحقَّ باطلاً، جُوزوا من جنس ذلك بطَمْس وجوههم كما طَمَسوا الحقَّ، وردِّها على أدبارها بأن تُجْعَلَ في أقفائهم، وهذا أشنع ما يكون. {أو نَلْعَنَهم كما لَعَنَّا أصحاب السبت}: بأن يَطْرُدَهم من رحمته ويعاقِبَهم بجعلهم قردةً؛ كما فعل بإخوانهم الذين اعتدَوا في السبت فقلنا لهم كونوا قردة خاسئين. {وكان أمر الله مفعولاً}. كقوله: {إنما أمره إذا أراد شيئاً أن يقول له كن فيكون}.
(47) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan Ahli Kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani untuk beriman kepada Rasul Muhammad ﷺ dan apa yang telah Allah turunkan kepadanya berupa al-Qur`an yang agung yang mencakup
(isi) kitab-kitab selainnya dari kitab-kitab sebelumnya yang telah ia benarkan, sesungguhnya kitab-kitab itu telah mengabarkan tentang al-Qur`an, dan ketika terjadi apa yang dikabarkan, maka ia menjadi bukti akan kabar tersebut, dan se-sungguhnya bila mereka tidak beriman kepada al-Qur`an ini, maka sebenarnya mereka pun tidaklah beriman kepada kitab-kitab yang ada di tangan mereka, karena kitab-kitab Allah sebagiannya mem-benarkan sebagian yang lain, dan sebagiannya berkesesuaian dengan sebagian yang lain, maka pengakuan beriman kepada sebagiannya tanpa mengimani sebagian yang lain adalah sebuah pengakuan yang batil yang tidak mungkin dapat dipercaya.
Dan dalam FirmanNya, ﴾ ءَامِنُواْ بِمَا نَزَّلۡنَا مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُم
﴿ "Berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur`an) yang membe-narkan Kitab yang ada pada kamu." Ini adalah sebuah anjuran untuk mereka, dan bahwa yang sepatutnya mereka lakukan adalah bersegera beriman sebelum kaum lain selain mereka, dikarenakan Allah telah menganugerahkan nikmat kepada mereka berupa ilmu dan kitab yang mengharuskan apa yang wajib atas mereka adalah lebih besar daripada selain mereka, karena itulah Allah mengancam mereka bila tidak beriman dalam FirmanNya, ﴾ مِّن قَبۡلِ أَن نَّطۡمِسَ وُجُوهٗا فَنَرُدَّهَا عَلَىٰٓ أَدۡبَارِهَآ
﴿ "Sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang," ini merupakan balasan terhadap apa yang sesuai dengan jenis amalan mereka, sebagaimana mereka meninggalkan kebenaran dan lebih mendahulukan kebatilan, mereka memutar-balikkan hakikat yang sebenarnya hingga mereka menjadikan yang batil menjadi benar dan yang benar menjadi batil, akhirnya mereka diberikan balasan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat yaitu dengan merubah wajah-wajah mereka sebagaimana mereka merubah kebenaran, dan memutarnya ke belakang pung-gung mereka yaitu menjadikan wajah mereka berada pada tengkuk mereka, dan hal ini merupakan suatu hal yang paling jelek. ﴾ أَوۡ نَلۡعَنَهُمۡ كَمَا لَعَنَّآ أَصۡحَٰبَ ٱلسَّبۡتِۚ
﴿ "Atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu," yaitu dengan mengusir mereka dari rahmat Allah dan menghukum mereka dengan cara menjadikan mereka kera-kera, sebagaimana yang dilakukan juga kepada saudara-saudara mereka yang telah melampaui batas pada hari Sabtu, maka Kami berfirman kepada mereka, jadilah kalian kera-kera yang terhina. ﴾ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولًا
﴿ "Dan ketetapan Allah pasti berlaku" seperti FirmanNya,
﴾ إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ 82 ﴿
"Sesungguhnya keadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, 'Jadilah!' maka terjadilah ia."
(Yasin: 82).
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (48)}.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."
(An-Nisa`: 48).
#
{48} يخبر تعالى أنه لا يَغْفِرُ لمن أشرك به أحداً من المخلوقين ويغفر ما دون ذلك من الذُّنوب صغائرها وكبائرها، وذلك عند مشيئته مغفرةَ ذلك إذا اقتضتْ حكمتُهُ مغفرتَه؛ فالذُّنوب التي دون الشرك قد جعل الله لمغفرتِها أسباباً كثيرةً؛ كالحسنات الماحية والمصائب المكفِّرة في الدُّنيا والبرزخ ويوم القيامة، وكدعاء المؤمنين بعضهم لبعض، وبشفاعة الشافعين، ومن [فوق] ذلك كلِّه رحمته التي أحق بها أهل الإيمان والتوحيد، وهذا بخلاف الشرك؛ فإنَّ المشرك قد سدَّ على نفسه أبواب المغفرة، وأغلق دونه أبواب الرحمة؛ فلا تنفعه الطاعاتُ من دون التوحيد، ولا تفيده المصائب شيئاً، {وما لهم يوم القيامةِ من شافعينَ ولا صديقٍ حميم}، ولهذا قال تعالى: {ومَن يُشْرِكْ بالله فقد افترى إثماً عظيماً}؛ أي: افترى جرماً كبيراً، وأيُّ ظلم أعظم ممَّن سوَّى المخلوقَ من ترابٍ، الناقصَ من جميع الوجوه، الفقيرَ بذاته من كلِّ وجه، الذي لا يملِكُ لنفسه فضلاً عمَّن عَبَدَهُ نفعاً ولا ضرًّا ولا موتاً ولا حياة ولا نشوراً؛ بالخالق لكل شيء، الكامل من جميع الوجوه، الغني بذاتِهِ عن جميع مخلوقاتِهِ، الذي بيدِهِ النفع والضُّرُّ والعطاء والمنع، الذي ما من نعمةٍ بالمخلوقين إلا فمنه تعالى؛ فهل أعظمُ من هذا الظلم شيء؟! ولهذا حتَّم على صاحبه بالخلود بالعذاب وحرمان الثواب: {إنَّه مَن يُشْرِكْ بالله فقد حرَّم اللهُ عليه الجنةَ ومأواه النار}.
وهذه الآية الكريمة في حقِّ غير التائب، وأما التائب؛ فإنه يُغْفَرُ له الشرك فما دونه؛ كما قال تعالى: {قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تَقْنَطوا من رحمة الله إنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذنوبَ جميعاً}؛ أي: لمن تاب إليه وأناب.
(48) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni seseorang yang menyekutukanNya dengan sesuatu pun dari para makhluk dan Dia mengampuni dosa-dosa selain dari syirik, baik dosa yang kecil maupun yang besar. Yang demi-kian itu adalah menurut kehendakNya dalam mengampuninya, yaitu bila hikmahNya telah menentukan untuk mengampuninya. Adapun dosa-dosa selain syirik, sesungguhnya Allah telah menjadi-kan baginya banyak sekali sebab-sebab pengampunannya, seperti kebaikan-kebaikan yang menggugurkan dosa, musibah-musibah yang menghapus dosa di dunia, alam barzakh dan di Hari Kiamat, atau seperti doa sebagian kaum Mukminin untuk sebagian yang lain, atau dengan syafa'atnya orang-orang yang memberi syafa'at, dan yang lebih dari semua itu adalah rahmat Allah, di mana yang paling berhak mendapatkannya adalah para ahli iman dan tauhid. Berbeda halnya dengan kesyirikan, sesungguhnya seorang musyrik telah menutup pintu-pintu ampunan bagi dirinya sendiri, dan juga telah mengunci rapat pintu-pintu rahmat, sehingga tidak akan berguna bagi mereka segala ketaatan selain dari ketauhidan, dan musibah-musibah tidak bermanfaat sama sekali baginya,
﴾ فَمَا لَنَا مِن شَٰفِعِينَ 100 وَلَا صَدِيقٍ حَمِيمٖ 101
﴿
"Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa'at seorang pun, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab." (Asy-Syu'ara`: 100-101).
Oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا
﴿ "Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah ber-buat dosa yang besar," maksudnya, ia telah berbuat kejahatan yang besar, dan kezhaliman apa lagi yang paling besar dari orang yang menyamakan antara seorang makhluk yang berasal dari tanah, yang memiliki kekurangan dari segala aspeknya, di mana dirinya sendiri sangat fakir dari segala sisi, yang tidak memiliki apa pun bagi dirinya apalagi untuk orang yang menyembahnya, di mana dia tidak mampu mendatangkan manfaat, bahaya, dan tidak pula mampu mematikan, menghidupkan, apalagi membangkitkan, dengan sang Pencipta segala sesuatu, yang Mahasempurna dari segala aspeknya, di mana DiriNya Mahakaya dan tidak butuh ke-pada seluruh makhluk, yang pada TanganNya ada manfaat, bahaya, pemberian maupun peniadaan, dan yang tiada suatu nikmat pun yang dirasakan oleh seluruh makhluk kecuali dariNya سبحانه وتعالى. Maka adakah suatu hal yang lebih besar dari kezhaliman itu? Oleh karena itu Allah menetapkan bahwa pelakunya abadi dalam siksa neraka dan diharamkan mendapatkan pahala,
﴾ إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ
﴿
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka." (Al-Ma`idah: 72).
Ayat yang mulia ini berlaku bagi selain orang yang bertaubat, adapun orang yang bertaubat, maka akan diampuni baginya, baik dosa syirik ataupun dosa selainnya, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfir-man,
﴾ قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ ﴿
"Katakanlah, 'Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Se-sungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya'."
(Az-Zumar: 53), yaitu bagi orang yang bertaubat dan kembali kepadaNya.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا (49) انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا (50)}.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengang-gap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Perhati-kanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata
(bagi me-reka)."
(An-Nisa`: 49-50).
#
{49} هذا تعجُّب من الله لعباده وتوبيخٌ للذين يُزكُّون أنفسهم من اليهود والنصارى ومَن نحا نحوَهم من كلِّ من زَكَّى نفسَه بأمر ليس فيه، وذلك أن اليهود والنصارى يقولون: {نحنُ أبناءُ الله وأحبَّاؤُهُ}، ويقولون: {لن يدخُلَ الجنَّة إلاَّ مَن كانَ هُوداً أو نصارى}: وهذا مجردُ دعوى لا برهانَ عليها، وإنَّما البرهانُ ما أخبر به في القرآن في قوله: {بلى مَن أسلمَ وجهَهُ للهِ وهو محسنٌ فلهُ أجرُهُ عندَ ربِّه ولا خوفٌ عليهم ولا هُم يحزنون}، فهؤلاء هم الذين زكَّاهم الله، ولهذا قال هنا: {بلِ اللهُ يُزكِّي مَن يشاء}؛ أي: بالإيمان والعمل الصالح، بالتخلِّي عن الأخلاق الرَّذيلة والتحلِّي بالصفات الجميلة، وأما هؤلاء؛ فهم وإن زَكَّوا أنفسهم بزعمهم أنهم على شيء وأنَّ الثواب لهم وحدهم؛ فإنهم كذبة في ذلك، ليس لهم من خصال الزاكين نصيبٌ بسبب ظلمهم وكفرهم لا بظُلم من الله لهم، ولهذا قال: {ولا يُظْلَمونَ فَتيلاً}، وهذا لتحقيق العموم؛ أي: لا يظلمون شيئاً، ولا مقدار الفتيل الذي في شِقِّ النَّواة أو الذي يُفْتَلُ من وسخ اليدِ وغيرها.
(49) Ini merupakan keheranan dari Allah kepada hamba-hambaNya dan suatu celaan bagi orang-orang yang menyucikan diri mereka dari kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sejalan dengan mereka, yaitu setiap orang yang menyucikan dirinya sendiri dengan suatu perkara yang tidak ada padanya, yang demikian itu bahwa Yahudi dan Nasrani berkata,
﴾ نَحۡنُ أَبۡنَٰٓؤُاْ ٱللَّهِ وَأَحِبَّٰٓؤُهُۥۚ
﴿
"Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya." (Al-Ma`idah: 18).
Mereka juga berkata,
﴾ وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ نَصَٰرَىٰۗ
﴿
"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, 'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani'." (Al-Baqarah: 111).
Ini merupakan pengakuan kosong belaka yang tidak memiliki landasan apa pun, dan yang ada landasannya adalah apa yang telah Allah tegaskan dalam al-Qur`an dalam FirmanNya,
﴾ بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ 112
﴿
"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 112).
Mereka itulah orang-orang yang Allah sucikan, oleh karena itulah Allah berfirman dalam ayat ini, ﴾ بَلِ ٱللَّهُ يُزَكِّي مَن يَشَآءُ
﴿ "Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya" yaitu dengan iman dan amal shalih, dengan berlepas diri dari akhlak yang tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang luhur. Adapun mereka itu walaupun telah menyucikan diri atas dasar sangkaan mereka bahwa mereka berada pada suatu (derajat) dan bahwa pahala itu hanya milik mereka sendiri, maka sesungguhnya mereka hanya-lah para pendusta, dan mereka tidak mendapatkan bagian sedikit pun dari pahala orang-orang yang suci, hal itu disebabkan oleh kezhaliman dan kekufuran mereka, dan bukannya kezhaliman dari Allah terhadap mereka, oleh karena itu Allah berfirman, ﴾ وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلًا ﴿ "Dan mereka tidak dianiaya sedikit pun," hal ini untuk menegas-kan keumuman
(suatu perkara), artinya, mereka sedikit pun tidak dizhalimi, meski hanya seukuran biji yang ada pada belahan atom atau sesuatu yang dibuang dari kotoran tangan dan selainnya.
#
{50} قال تعالى: {انظر كيف يفترونَ على الله الكذب}؛ أي: بتزكيتهم أنفسهم؛ لأنَّ هذا من أعظم الافتراء على الله؛ لأنَّ مضمون تزكيتِهِم لأنفسهم الإخبارُ بأنَّ الله جَعَلَ ما هم عليه حَقًّا وما عليه المؤمنون المسلمون باطلاً، وهذا أعظم الكذب وقلبِ الحقائق بجعل الحقِّ باطلاً والباطل حقًّا، ولهذا قال: {وكفى به إثماً مبيناً}؛ أي: ظاهراً بَيِّناً موجباً للعقوبة البليغة والعذاب الأليم.
(50) Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ ٱنظُرۡ كَيۡفَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۖ
﴿ "Perhatikan-lah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah?" yaitu dengan cara menyucikan diri mereka sendiri, karena hal itu meru-pakan pendustaan yang paling besar atas Allah, karena muatan dari penyucian diri mereka itu adalah sebuah kabar bahwa Allah telah menjadikan apa yang mereka lakukan saat itu adalah benar dan apa yang dilakukan kaum Mukminin adalah batil, ini adalah pendustaan yang paling besar dan sebuah pemutarbalikan kenya-taan dan hakikat dengan cara membuat yang haq menjadi batil, dan batil menjadi haq, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَكَفَىٰ بِهِۦٓ إِثۡمٗا مُّبِينًا ﴿ "Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata
(bagi mereka)," maksudnya, sangat nampak dan jelas
(bahwa perbuatan itu) meng-akibatkan hukuman yang keras dan siksa yang pedih.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا (51) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا (52) أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا (53) أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا (54) فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ وَكَفَى بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا (55) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا (56) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا ظَلِيلًا (57)}.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang di-beri bagian dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan mem-peroleh penolong baginya. Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan
(kekuasaan)? Kendati pun ada, mereka tidak akan mem-berikan sedikit pun
(kebajikan) kepada manusia. Ataukah mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah mem-berikan kepadanya kerajaan yang besar. Maka di antara mereka
(orang-orang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang mengha-langi
(manusia) dari beriman kepadanya. Dan cukuplah
(bagi mereka) Jahanam yang apinya menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; di dalamnya mereka mempu-nyai istri-istri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman."
(An-Nisa`: 51-57).
#
{51} وهذا من قبائح اليهود وحسدِهم للنبيِّ - صلى الله عليه وسلم - والمؤمنين؛ أنَّ أخلاقَهم الرذيلة وطبعَهم الخبيث حَمَلَهم على ترك الإيمان باللهِ ورسوله والتعوُّض عنه بالإيمان بالجبت والطاغوت، وهو الإيمان بكلِّ عبادةٍ لغير الله أو حكم بغير شرع الله، فدخل في ذلك السِّحر والكهانة وعبادة غير الله وطاعة الشيطان، كلُّ هذا من الجبت والطاغوت، وكذلك حَمَلَهُمُ الكفر والحسد على أن فضَّلوا طريقة الكافرين بالله عبدةِ الأصنام على طريق المؤمنين، فقال: {ويقولون للذين كفروا}؛ أي: لأجلهم تملُّقاً لهم ومداهنةً وبغضاً للإيمان: {هؤلاء أهدى من الذين آمنوا سبيلاً}؛ أي: طريقاً؛ فما أسْمَجَهم وأشدَّ عنادهم وأقلَّ عقولهم! كيف سلكوا هذا المسلك الوخيم والواديَ الذَّميم؟! هل ظنُّوا أنَّ هذا يروج على أحدٍ من العقلاء أو يدخل عقلَ أحدٍ من الجهلاء؟! فهل يَفْضُلُ دينٌ قام على عبادة الأصنام والأوثان، واستقام على تحريم الطيِّبات وإباحة الخبائث وإحلال كثيرٍ من المحرَّمات، وإقامة الظلم بين الخَلْق وتسوية الخالق بالمخلوقين، والكفر بالله ورسله وكتبه على دينٍ قام على عبادة الرحمن، والإخلاص لله في السرِّ والإعلان والكفر بما يُعْبَدُ من دونه من الأوثان والأنداد والكاذبين، وعلى صلة الأرحام والإحسان إلى جميع الخَلْق حتى البهائم، وإقامة العدل والقسط بين الناس وتحريم كلِّ خبيث وظلم ومصدق في جميع الأقوال والأعمال؟! فهل هذا إلاَّ من الهذيان؟! وصاحب هذا القول إما من أجهل الناس وأضعفهم عقلاً، وإما من أعظمهم عناداً وتمرداً ومراغمة للحق، وهذا هو الواقع.
(51) Ini adalah di antara keburukan-keburukan orang-orang Yahudi dan kedengkian mereka terhadap Nabi ﷺ dan kaum Mukminin, bahwa akhlak mereka yang tercela dan kebiasaan atau tabiat mereka yang kotor membawa mereka kepada tindakan meninggalkan iman kepada Allah dan RasulNya kemudian meng-gantikannya dengan iman kepada jibt dan thaghut, artinya beriman kepada segala peribadatan
(yang ditujukan) kepada selain Allah سبحانه وتعالى atau berhukum dengan selain syariat Allah, dan termasuk dalam hal itu adalah sihir, perdukunan, dan peribadahan kepada selain Allah dan taat kepada setan, semua itu termasuk di antara jibt dan thaghut. Demikian juga, kekufuran dan kedengkian telah membawa mereka kepada pengutamaan jalan orang-orang yang kafir terhadap Allah, dan para penyembah berhala daripada jalan kaum Muk-minin, Allah berfirman, ﴾ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ
﴿ "Dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah)" yaitu karena mereka menjadi-kannya sebagai suatu jalan untuk menjilat dan mencari muka serta benci terhadap keimanan, ﴾ هَٰٓؤُلَآءِ أَهۡدَىٰ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ سَبِيلًا ﴿ "Bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman." Betapa jelek-nya mereka, betapa kerasnya kedurhakaan mereka, dan betapa kerdilnya akal pikiran mereka! Bagaimana bisa mereka menempuh jalan yang berbahaya dan jurang yang menjerumuskan?! Apakah mereka mengira bahwa hal ini tersamar
(tidak diketahui) oleh orang-orang yang berakal atau akan masuk ke dalam akal orang-orang yang bodoh?!
Apakah sebuah agama yang dibangun di atas ajaran penyem-bahan terhadap berhala dan patung-patung, terus-menerus dalam mengharamkan hal-hal yang baik, membolehkan hal-hal yang kotor, dan menghalalkan jumlah yang banyak dari hal-hal yang diharamkan, kezhaliman di antara makhluk serta penyamaan antara Pencipta dan para makhluk yang diciptakan, kufur kepada Allah, Rasul-rasulNya dan kitab-kitabNya, lebih utama daripada sebuah agama yang tegak di atas ajaran peribadahan kepada Yang Maha Penyayang, keikhlasan kepadaNya dalam
(amal perbuatan yang dilakukan) ketika sendirian maupun di tengah-tengah kha-layak, pengingkaran terhadap segala sembahan selainNya berupa patung-patung, tandingan-tandingan dan para pendusta, dan di atas ajaran menyambung silaturahim, berbuat baik kepada seluruh makhluk hingga kepada binatang sekalipun, menegakkan keadilan di antara manusia, mengharamkan segala yang buruk dan mengan-dung kezhaliman serta jujur dalam setiap perkataan dan perbuatan! Tidakkah apa yang mereka perbuat tersebut melainkan karena ke-bingungan?! Dan orang yang berkata seperti itu merupakan orang yang paling bodoh dan paling lemah akalnya, atau merupakan orang yang paling keras kedurhakaan, pembangkangan, dan peno-lakannya terhadap kebenaran, dan inilah yang terjadi.
#
{52} ولهذا قال تعالى عنهم: {أولئك الذين لَعَنَهم الله}؛ أي: طَرَدَهُم عن رحمته وأحلَّ عليهم نقمته. {ومَن يلعنِ الله فلن تجدَ له نَصيراً}؛ أي: يتولاَّه ويقوم بمصالحه ويحفظُه عن المكارِهِ، وهذا غايةُ الخِذلان.
(52) Oleh karena itulah Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang mereka, ﴾ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُۖ
﴿ "Mereka itulah orang yang dikutuk Allah" yaitu Allah mengusir mereka dari rahmatNya dan menempatkan mereka pada kemurkaanNya. ﴾ وَمَن يَلۡعَنِ ٱللَّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ نَصِيرًا ﴿ "Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya," maksudnya, yang melindunginya dan mengurus kemaslahatan-nya, serta menjaganya dari hal-hal yang dibenci, dan inilah puncak dari keterhinaan.
#
{53} {أم لهم نصيبٌ من الملك}؛ أي: فيفضِّلون من شاؤوا على من شاؤوا بمجرَّد أهوائهم، فيكونون شركاء لله في تدبير المملكة؛ فلو كانوا كذلك؛ لشحُّوا وبخلوا أشدَّ البخل. ولهذا قال: {فإذاً}؛ أي: لو كان لهم نصيبٌ من الملك {لا يؤتون الناس نقيراً}؛ أي: شيئاً ولا قليلاً. وهذا وصفٌ لهم بشدَّة البخل على تقدير وجود ملكهم المشارك لملك الله، وأُخْرِجَ هذا مخرج الاستفهام المتقرِّر إنكاره عند كلِّ أحدٍ.
(53) ﴾ أَمۡ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُلۡكِ
﴿ "Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)?" Maksudnya, mereka mengutamakan orang-orang yang mereka kehendaki (yaitu orang-orang musyrik Makkah) daripada orang-orang yang mereka kehendaki (yaitu orang-orang Mukmin) hanya bersandar kepada hawa nafsu mereka, lalu men-jadikan mereka sekutu bagi Allah dalam mengurus kerajaan dan kekuasaan, seandainya mereka seperti itu halnya, niscaya mereka akan berlaku kikir dan sangat bakhil. Oleh karena itu Allah ber-firman, ﴾ فَإِذٗا
﴿ "Kendatipun ada" yaitu seandainya mereka memiliki bagian dalam perkara kekuasaan itu, ﴾ لَّا يُؤۡتُونَ ٱلنَّاسَ نَقِيرًا ﴿ "mereka tidak akan memberikan sedikit pun
(kebajikan) kepada manusia," maksudnya
(mereka tidak akan memberikan) sesuatu pun walaupun sedikit. Ini merupakan penyifatan bagi mereka dengan kebakhilan yang sangat, padahal itu dalam suatu perkiraan adanya kekuasaan mereka sebagai sekutu bagi Allah dalam kerajaanNya, kalimat ini diungkapkan dalam bentuk pertanyaan yang sudah jelas jawaban-nya, yaitu sesuatu yang pasti diingkari oleh setiap orang.
#
{54} {أم يحسُدون الناس على ما آتاهُمُ الله من فضلِهِ}؛ أي: هل الحاملُ لهم على قولهم كونُهم شركاءَ لله فيفضِّلون مَن شاؤوا؟ أم الحامل لهم على ذلك الحسد للرسول وللمؤمنين على ما آتاهم الله من فضله؟ وذلك ليس ببدع ولا غريب على فضل الله؛ {فقد آتينا آلَ إبراهيم الكتابَ والحكمة وآتيناهم ملكاً عظيماً}، وذلك ما أنعم الله به على إبراهيم وذرِّيَّته من النبوَّة والكتاب والملك الذي أعطاه مَن أعطاه من أنبيائه؛ كداود وسليمان؛ فإنعامه لم يزل مُسْتمِرًّا على عبادِهِ المؤمنين؛ فكيف ينكِرون إنعامَهُ بالنبوَّة والنصر والملك لمحمدٍ - صلى الله عليه وسلم - أفضل الخلق وأجلِّهم وأعظمهم معرفةً بالله وأخشاهم له؟!
(54) ﴾ أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۖ
﴿ "Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?" Maksudnya, apakah pendorong bagi perkataan mereka itu adalah posisi mereka sebagai sekutu bagi Allah lalu mereka mendahulukan orang-orang yang mereka kehendaki?! Ataukah pendorong bagi mereka dalam hal itu adalah kedengkian terhadap Rasulullah ﷺ dan kaum Mukminin atas apa yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya? Dan yang demikian itu bukanlah suatu hal yang asing dan aneh lagi atas karunia dari Allah, ﴾ فَقَدۡ ءَاتَيۡنَآ ءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَءَاتَيۡنَٰهُم مُّلۡكًا عَظِيمٗا ﴿ "sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar," yaitu karunia yang telah Allah berikan kepada Ibrahim dan anak cucunya berupa kenabian dan kitab serta kerajaan yang diberikan kepada seorang nabi dari nabi-nabiNya seperti Dawud dan Sulaiman عليهما السلام, dan pemberian nikmat olehNya masih terus berlangsung atas hamba-hambaNya yang beriman, lalu bagaimana mungkin mereka meng-ingkari pemberian nikmat olehNya berupa kenabian dan pembe-laan serta kerajaan bagi Muhammad ﷺ sebagai makhluk yang paling utama, paling mulia, dan paling mengetahui tentang Allah dan paling takut kepadaNya?!
#
{55} {فمنهم من آمن به}؛ أي: بمحمدٍ - صلى الله عليه وسلم - فنال بذلك السعادة الدنيويَّة والفلاح الأخرويَّ، {ومنهم من صدَّ عنه}؛ عناداً وبغياً وحسدًا، فحصل لهم من شقاء الدُّنيا ومصائبها ما هو بعض آثار معاصيهم، {وكفى بجهنَّم سعيراً}: تُسَعَّرُ على مَن كَفَرَ بالله، وجَحَدَ نبوَّة أنبيائِهِ من اليهود والنصارى وغيرِهم من أصناف الكَفَرة.
(55) ﴾ فَمِنۡهُم مَّنۡ ءَامَنَ بِهِۦ
﴿ "Maka di antara mereka (orang-orang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya" yaitu kepada Muhammad ﷺ, sehingga dengan hal itu ia mendapatkan kebaha-giaan dunia dan kemenangan di akhirat, ﴾ وَمِنۡهُم مَّن صَدَّ عَنۡهُۚ
﴿ "dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari beriman kepadanya" sebagai suatu kedurhakaan, kezhaliman, dan kedeng-kian, sehingga mereka memperoleh kesengsaraan dunia dan mu-sibah-musibahnya yang merupakan bagian dari efek kemaksiatan mereka, ﴾ وَكَفَىٰ بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا ﴿ "Dan cukuplah
(bagi mereka) Jahanam yang menyala-nyala apinya" yang dinyalakan untuk orang-orang yang kufur kepada Allah, mengingkari kenabian para nabi-nabiNya dari kaum Yahudi dan Nasrani serta selain mereka dari berbagai macam orang-orang kafir lainnya.
#
{56} ولهذا قال: {إنَّ الذين كفروا بآياتِنا سوفَ نُصليهم ناراً}؛ أي: عظيمة الوَقود شديدة الحرارة، {كلَّما نَضِجَتْ جلودُهم}؛ أي: احترقت، {بدَّلْناهم جلوداً غيرَها لِيَذوقوا العذابَ}؛ أي: ليبلغ العذابُ منهُم كلَّ مبلغ، وكما تكرَّرَ منهم الكفرُ والعنادُ؛ وصار وصفاً لهم وسجيَّةً؛ كرَّر عليهم العذاب جزاء وفاقاً، ولهذا قال: {إنَّ الله كان عزيزاً حكيماً}؛ أي: له العزَّة العظيمة والحكمة في خلقه وأمره وثوابِهِ وعقابِهِ.
(56) Oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِـَٔايَٰتِنَا سَوۡفَ نُصۡلِيهِمۡ نَارٗا
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka" yaitu sangat besar menyalanya dan sangat keras panasnya, ﴾ كُلَّمَا نَضِجَتۡ جُلُودُهُم
﴿ "setiap kali kulit mereka hangus" yaitu terbakar, ﴾ بَدَّلۡنَٰهُمۡ جُلُودًا غَيۡرَهَا لِيَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَۗ
﴿ "Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab" yaitu agar siksaan itu sampai kepada mereka dengan sebenar-be-narnya, dan sebagaimana berulangnya kekufuran dan kedurhakaan mereka yang akhirnya menjadi karakter dan sifat abadi bagi me-reka, Allah juga mengulang-ulang siksaanNya bagi mereka sebagai suatu balasan yang setimpal, oleh karena itu Allah berfirman, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana" yaitu milikNya kemuliaan yang agung dan hikmah pada pencipta-an, perintah, pahala, dan siksaanNya.
#
{57} {والذين آمنوا}؛ أي: بالله وما أوجب الإيمان به، {وعملوا الصالحات}: من الواجبات والمستحبات، {سندخلهم جناتٍ تجري من تحتها الأنهارُ لهم فيها أزواج مطهرة}؛ أي: من الأخلاق الرذيلة والخُلُق الذَّميم وممّا يكون من نساء الدُّنيا من كل دَنَسٍ وعيبٍ، {وندخِلُهم ظِلاًّ ظليلاً}.
(57) ﴾ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
﴿ "Dan orang-orang yang beriman" yaitu ke-pada Allah dan perkara apa pun yang wajib diimani, ﴾ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "dan mengerjakan amal-amal yang shalih," baik yang wajib maupun yang sunnah, ﴾ سَنُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ لَّهُمۡ فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞۖ
﴿ "kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang suci" yaitu dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina dan juga dari apa yang dialami oleh wanita dunia dari setiap kotoran dan kekurangan, ﴾ وَنُدۡخِلُهُمۡ ظِلّٗا ظَلِيلًا ﴿ "dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman."
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)}.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur`an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang de-mikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(An-Nisa`: 58-59).
#
{58} الأمانات كلُّ ما اؤتُمِنَ عليه الإنسان وأُمِرَ بالقيام به، فأمر اللهُ عباده بأدائِها؛ أي: كاملة موفَّرة لا منقوصة ولا مبخوسةً ولا ممطولاً بها، ويدخُلُ في ذلك أماناتُ الولايات والأموال والأسرار والمأمورات التي لا يطَّلع عليها إلا الله. وقد ذكر الفقهاء على أنَّ مَن اؤتُمِنَ أمانة؛ وَجَبَ عليه حفظُها في حِرْز مثلها؛ قالوا: لأنه لا يمكنُ أداؤها إلاَّ بحفظها، فوجب ذلك. وفي قوله: {إلى أهلها}: دلالة على أنها لا تُدْفَعُ وتؤدَّى لغير المؤتَمِن، ووكيلُهُ بمنزلتِهِ؛ فلو دفعها لغير ربِّها؛ لم يكن مؤدِّياً لها.
{وإذا حكمتُم بين الناس أن تحكُموا بالعدل}: وهذا يشمل الحكم بينهم في الدِّماء والأموال والأعراض؛ القليل من ذلك والكثير، على القريب والبعيد والبَرِّ والفاجر والوليِّ والعدوِّ. والمراد بالعدل الذي أمر الله بالحكم به هو ما شَرَعَهُ الله على لسان رسولِهِ من الحدود والأحكام، وهذا يستلزم معرفة العدل ليحكُمَ به، ولما كانت هذه أوامر حسنةً عادلةً؛ قال: {إنَّ الله نِعمَّا يَعِظُكُم به، إنَّ اللهَ كان سميعاً بصيراً}: وهذا مدحٌ من الله لأوامره ونواهيه؛ لاشتمالها على مصالح الدارين ودفع مضارِّهما؛ لأنَّ شارعها السميع البصير الذي لا تَخْفى عليه خافيةٌ ويعلم من مصالح العباد ما لا يعلمون.
(58) Amanah itu adalah setiap hal yang dipercayakan ke-pada seseorang dan ia diperintahkan untuk menunaikannya, Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-hambaNya agar menunaikan amanah, maksudnya secara sempurna dan penuh, tidak dikurangi, dicurangi, dan tidak pula diulur-ulur, dan termasuk dalam amanah di sini adalah amanah kekuasaan, harta, rahasia-rahasia, dan perintah-perintah yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Sesung-guhnya para ahli fikih telah menyebutkan bahwa barangsiapa yang diserahkan kepadanya suatu amanah, maka ia wajib menjaga amanah tersebut dalam suatu tempat yang patut, mereka berkata, "Karena sesungguhnya tidaklah mungkin dapat ditunaikan kecuali dengan menjaganya, maka wajiblah hal itu dilakukan." Dan Firman Allah, ﴾ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا
﴿ "Kepada yang berhak menerimanya," sebuah dalil bahwa tidaklah diserahkan dan ditunaikan kepada selain orang yang berhak menerimanya, dan wakil orang tersebut adalah dalam posisinya, sehingga apabila ia menyerahkannya kepada selain orang yang berhak menerimanya, maka ia tidaklah dikatakan telah menunaikannya.
﴾ وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
﴿ "Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil," hal ini mencakup hukum di antara mereka dalam perkara darah, harta, maupun kehormatan, baik sedikit maupun banyak, terhadap yang dekat maupun yang jauh, seorang yang baik mau-pun yang jahat, seorang teman maupun musuh. Maksud dari adil di sini adalah yang diperintahkan oleh Allah untuk berhukum dengannya yaitu apa yang disyariatkan oleh Allah melalui lisan RasulNya berupa ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum. Hal ini menuntut untuk mengetahui keadilan agar dapat menetapkan hukum dengannya, dan ketika perintah-perintah tersebut adalah suatu yang baik dan adil, Allah berfirman, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat," ini merupakan pujian dari Allah bagi perintah-perintahNya dan larangan-laranganNya, karena mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat dan menolak kemudharatan pada keduanya, karena sesung-guhnya Dzat yang mensyariatkannya adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya dan Dia mengetahui kemaslahatan hamba, yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.
#
{59} ثم أمر بطاعتِهِ وطاعة رسولِهِ، وذلك بامتثال أمرهما الواجب والمستحبِّ واجتناب نهيهِما، وأمر بطاعة أولي الأمر، وهم الولاة على الناس من الأمراء والحكَّام والمفتين؛ فإنَّه لا يستقيمُ للناس أمرُ دينهم ودُنياهم إلاَّ بطاعِتِهم والانقيادِ لهم. طاعةً لله ورغبةً فيما عنده، ولكن بشرط أن لا يأمروا بمعصية الله؛ فإنْ أمروا بذلك؛ فلا طاعة لمخلوق في معصية الخالق. ولعل هذا هو السرُّ في حذف الفعل عند الأمر بطاعتهم وذِكْرِهِ مع طاعة الرسول؛ فإنَّ الرسول لا يأمر إلا بطاعة الله، ومَنْ يُطِعْهُ؛ فقد أطاع الله، وأما أولو الأمر؛ فشرطُ الأمرِ بطاعتهم أن لا يكونَ معصيةً.
ثم أمَرَ بردِّ كلِّ ما تنازع الناس فيه من أصول الدين وفروعه إلى الله وإلى الرسول ؛ أي: إلى كتاب الله وسنة رسوله؛ فإنَّ فيهما الفصل في جميع المسائل الخلافيَّة: إمَّا بصريحهما أو عمومهما أو إيماءٍ أو تنبيهٍ أو مفهوم أو عموم معنى يُقاسُ عليه ما أشبهه؛ لأنَّ كتاب الله وسنة رسوله عليهما بناءُ الدين، ولا يستقيم الإيمان إلاَّ بهما؛ فالردُّ إليهما شرطٌ في الإيمان؛ فلهذا قال: {إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر}: فدلَّ ذلك على أنَّ من لم يردَّ إليهما مسائلَ النزاع؛ فليس بمؤمن حقيقةً، بل مؤمنٌ بالطاغوت؛ كما ذكر في الآية بعدها. {ذلك}؛ أي: الردُّ إلى الله ورسوله، {خيرٌ وأحسنُ تأويلاً}؛ فإنَّ حُكم الله ورسوله أحسنُ الأحكام وأعدلُها وأصلحُها للناس في أمر دينهم ودُنياهم وعاقبتهم.
(59) Kemudian Allah memerintahkan untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, yaitu dengan melaksanakan perintah keduanya yang wajib dan yang sunnah, serta menjauhi larangan keduanya. Allah juga memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin, mereka itu adalah orang-orang yang memegang ke-kuasaan atas manusia, yaitu para penguasa, para hakim, dan para ahli fatwa
(mufti), sesungguhnya tidaklah akan berjalan baik urusan agama dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai suatu tindakan ketaatan kepada Allah dan meng-harap apa yang ada di sisiNya, akan tetapi dengan syarat bila mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan bila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan bisa jadi inilah rahasia dari dihilangkannya kata kerja "taat" pada perintah taat kepada mereka dan penyebutannya bersama dengan taat kepada Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidaklah memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah, dan ba-rangsiapa yang taat kepadanya, sesungguhnya ia telah taat kepada Allah, adapun para pemimpin, maka syarat taat kepada mereka adalah bahwa apa yang diperintahkan bukanlah suatu kemaksiatan.
Kemudian Allah memerintahkan agar mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia dari perkara-perkara yang merupakan dasar-dasar agama ataupun cabang-cabangnya kepada Allah dan RasulNya, maksudnya kepada kitabullah dan sunnah RasulNya, karena pada kedua hal itu ada keputusan yang adil bagi seluruh masalah yang diperselisihkan, yaitu dengan pengungkapannya secara jelas oleh keduanya atau secara umum atau isyarat atau peringatan atau pemahaman atau keumuman makna yang dapat diqiyaskan dengannya segala hal yang sejenis dengan keumuman makna tersebut, karena sesungguhnya di atas Kitabullah dan Sunnah RasulNya agama tegak berdiri, dan tidak-lah akan lurus iman seseorang kecuali dengan mengimani kedua-nya, maka mengembalikan perkara kepada keduanya adalah syarat keimanan, karena itulah Allah berfirman, ﴾ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ
﴿ "Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian" hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak mengembalikan perkara-perkara yang diperselisihkan kepada keduanya, maka ia bukanlah seorang Mukmin yang hakiki, akan tetapi ia adalah seorang yang percaya kepada thaghut sebagaimana yang Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya, ﴾ ذَٰلِكَ
﴿ "Yang demikian itu" yaitu mengembalikan kepada Allah dan RasulNya, ﴾ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ﴿ "lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya," karena sesungguhnya hukum Allah dan RasulNya adalah sebaik-baik hukum, seadil-adilnya, dan paling berguna bagi manusia dalam urusan agama, dunia, dan hasil akhirat mereka.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61) فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62) أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (63)}.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang me-ngaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepa-damu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan me-reka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikata-kan kepada mereka, 'Marilah
(tunduk) kepada hukum yang telah Allah turunkan dan kepada hukum Rasul,' niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuat-nya dari
(mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka
(orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebab-kan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, 'Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.' Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka."
(An-Nisa`: 60-63).
#
{60 ـ 61} يُعجِّب تعالى عبادَه من حالة المنافقين الذين يزعُمون أنَّهم مؤمنون بما جاء به الرسولُ وبما قبلَه، ومع هذا {يُريدون أن يتحاكموا إلى الطَّاغوت}، وهو كلُّ مَن حَكَمَ بغير شرع الله؛ فهو طاغوتٌ، والحالُ أنَّهم {قد أُمِروا أن يكفُروا به}؛ فكيف يجتمع هذا والإيمان؛ فإنَّ الإيمان يقتضي الانقيادَ لشرع الله وتحكيمِهِ في كل أمر من الأمور؛ فَمنْ زَعَمَ أنه مؤمنٌ واختار حكم الطاغوت على حكم الله؛ فهو كاذبٌ في ذلك، وهذا من إضلال الشيطان إيَّاهم، ولهذا قال: {ويُريد الشيطانُ أنْ يُضلَّهم ضلالاً بعيداً} عن الحقِّ.
(60-61) Allah سبحانه وتعالى membuat hamba-hambaNya heran dari kondisi orang-orang munafik yang mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa yang dibawa oleh Rasul dan apa yang datang sebelumnya, namun demikian, ﴾ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓاْ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ
﴿ "mereka hendak berhakim kepada thaghut" yaitu setiap orang yang berhukum dengan selain syariat Allah, maka itulah thaghut, padahal sebenarnya mereka ﴾ وَقَدۡ أُمِرُوٓاْ أَن يَكۡفُرُواْ بِهِۦۖ
﴿ "telah diperintah mengingkari thaghut itu" lalu bagaimanakah bisa bersatu antara hal ini dengan keimanan, karena sesungguhnya iman itu mengharus-kan adanya ketundukan kepada syariat Allah dan ketentuanNya terhadap setiap perkara, sehingga barangsiapa yang mengaku bahwa ia seorang Mukmin lalu ia memilih hukum thaghut daripada hukum Allah, maka ia adalah pendusta dalam pengakuannya itu, dan ini merupakan penyesatan setan terhadap diri mereka, karena itu Allah berfirman, ﴾ وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ ضَلَٰلَۢا بَعِيدٗا ﴿ "Dan setan ber-maksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya" dari kebenaran.
#
{62} {فكيف} يكونُ حال هؤلاء الضالِّين {إذا أصابتهم مصيبةٌ بما قدَّمت أيديهم} من المعاصي، ومنها تحكيمُ الطَّاغوت، {ثم جاؤوك} متعذرين لما صَدَرَ منهم، ويقولون: {إن أردْنا إلَّا إحساناً وتوفيقاً}؛ أي: ما قصدنا في ذلك إلاَّ الإحسان إلى المتخاصمين والتوفيقَ بينهم، وهم كَذَبَةٌ في ذلك؛ فإن الإحسان كل الإحسان تحكيم الله ورسوله، ومَنْ أحسنُ من الله حكماً لقوم يوقنون.
(62) ﴾ فَكَيۡفَ
﴿ "Maka bagaimanakah" kondisi mereka orang-orang yang tersesat, ﴾ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةُۢ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡ
﴿ "apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri" berupa kemaksiatan-kemaksiatan, di antara-nya adalah berhukum dengan thaghut, ﴾ ثُمَّ جَآءُوكَ
﴿ "kemudian mereka datang kepadamu" dengan maksud untuk meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan seraya berkata, ﴾ إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّآ إِحۡسَٰنٗا وَتَوۡفِيقًا ﴿ "kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna," maksudnya, tidaklah kami bermaksud dengan hal itu kecuali berbuat baik kepada dua belah pihak yang berselisih dan mendamaikan antara mereka, namun mereka ber-dusta dalam hal tersebut, karena sesungguhnya berbuat baik ada-lah dengan berhukum kepada Allah dan RasulNya, dan siapakah gerangan yang paling baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin.
#
{63} ولهذا قال: {أولئك الذين يعلمُ الله ما في قلوبهم}؛ أي: من النفاق والقصد السيئ؛ {فأعرضْ عنهم}؛ أي: لا تُبال بهم ولا تقابِلْهم على ما فعلوه واقترفوه، {وعِظْهُم}؛ أي: بيِّن لهم حكم الله تعالى مع الترغيب في الانقياد لله والترهيب من تركه، {وقل لهم في أنفسِهم قولاً بليغاً}؛ أي: انصحْهم سِرًّا بينك وبينهم؛ فإنه أنجح لحصول المقصود، وبالغْ في زجرِهم وقَمْعِهِم عمَّا كانوا عليه. وفي هذا دليل على أن مقترفَ المعاصي وإن أُعْرِضَ عنه؛ فإنه يُنصَح سِرًّا ويبالغ في وعظه بما يظنُّ حصول المقصود به.
(63) Oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ
﴿ "Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka" yaitu berupa kemunafikan dan tujuan yang jelek, ﴾ فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ
﴿ "karena itu berpalinglah kamu dari mereka," maksudnya, janganlah kalian memperhatikan mereka dan jangan-lah kalian menghadapi apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka ada-adakan, ﴾ وَعِظۡهُمۡ
﴿ "dan berilah mereka pelajaran," yaitu jelaskanlah kepada mereka tentang hukum Allah سبحانه وتعالى dengan meng-ajak mereka untuk tunduk kepada Allah dan mengancam mereka dari meninggalkannya, ﴾ وَقُل لَّهُمۡ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِيغٗا ﴿ "dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka," yaitu nasi-hatilah mereka dengan sembunyi-sembunyi antara kalian dengan mereka, karena sesungguhnya yang demikian itu lebih berhasil untuk memperoleh tujuan, dan bersikaplah tegas terhadap mereka dalam memperingati dan mengekang mereka dari apa yang mereka lakukan. Ayat ini adalah dalil bahwa seorang pelaku kemaksiatan walaupun dihindari namun tetap harus diberikan nasihat secara sembunyi-sembunyi dan tegas dalam memberikan nasihat tersebut dengan perkara yang dapat menghantarkan kepada apa yang di-harapkan.
{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64) فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)}.
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Rabbmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam per-kara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
(An-Nisa`: 64-65).
#
{64} يخبر تعالى خبراً في ضمنِهِ الأمرُ والحثُّ على طاعة الرسول والانقيادِ له، وأنَّ الغاية من إرسال الرسل أن يكونوا مطاعين ينقادُ لهم المرسَل إليهم في جميع ما آمروا به ونَهوا عنه، وأن يكونوا معظَّمين تعظيمَ المطاع للمطيع ، وفي هذا إثبات عصمة الرُّسل فيما يبلِّغونَهُ عن اللهِ وفيما يأمرونَ به ويَنْهَوْنَ عنه؛ لأنَّ الله أمر بطاعتهم مطلقاً؛ فلولا أنهم معصومون لا يشرعون ما هو خطأ؛ لما أمر بذلك مطلقاً. وقوله: {بإذن الله}؛ أي: الطاعة من المطيع صادرة بقضاء الله وقدرِهِ؛ ففيه إثباتُ القضاء والقَدَر، والحثُّ على الاستعانة بالله، وبيان أنَّه لا يمكَّنُ الإنسان إن لم يُعِنْه الله أن يطيع الرسول.
ثم أخبر عن كرمِهِ العظيم وجُودِهِ ودعوته لمن اقترف السيِّئات أن يعترِفوا ويتوبوا ويستغفِروا الله، فقال: {ولو أنَّهم إذ ظَلَموا أنفُسَهم جاؤوك}؛ أي: معترفين بذنوبهم باخِعين بها. {فاستَغْفَروا الله واستغفرَ لهم الرسولُ لوجدوا الله توَّاباً رحيماً}؛ أي: لتاب عليهم بمغفرتِهِ ظُلْمَهم ورَحِمَهُم بقَبول التوبة والتوفيق لها والثواب عليها. وهذا المجيء إلى الرسول - صلى الله عليه وسلم - مختصٌّ بحياتِهِ؛ لأنَّ السياق يدلُّ على ذلك؛ لكون الاستغفار من الرسول لا يكون إلاَّ في حياتِهِ، وأمَّا بعد موتِهِ؛ فإنَّه لا يطلب منه شيءٌ، بل ذلك شركٌ.
(64) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan tentang suatu berita di mana di antaranya mengandung perintah dan anjuran untuk taat kepada Rasul dan tunduk kepadanya, dan bahwa tujuan dari pengutusan para rasul adalah agar mereka ditaati dan dipatuhi oleh manusia yang mana para rasul tersebut diutus kepada mereka dalam segala perkara yang mereka diperintahkan kepadanya dan perkara yang mereka dilarang darinya, dan agar mereka dihormati dengan penghormatan seorang yang ditaati oleh orang yang menaati. Ayat ini mengandung penetapan akan keterpeliharaan para Rasul dari kesalahan dalam perkara yang mereka dakwahkan dari Allah dan pada apa yang mereka perintahkan kepadanya serta apa yang mereka larang darinya, karena Allah سبحانه وتعالى telah memerintahkan untuk taat kepada mereka secara mutlak, dan sekiranya mereka tidak ma'shum, pastilah mereka tidak akan mensyariatkan apa yang salah, ketika Allah memerintahkan hal tersebut secara mutlak, dan FirmanNya, ﴾ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Dengan izin Allah" maksudnya, ketaatan seorang yang taat adalah bersumber dari qadha` Allah tentang qadarNya, dalam ayat ini menyimpan dalil pengukuhan akan qadha` dan qadar, juga anjuran untuk memohon pertolongan kepada Allah, dan penjelasan bahwa manusia tidaklah akan mampu melakukan ketaatan kepada Rasul apabila Allah tidak menolongnya.
Kemudian Allah mengabarkan tentang kemurahan hati beliau ﷺ yang besar, kedermawanan dan dakwah beliau kepada orang yang telah berbuat kemaksiatan agar mengakui, bertaubat, dan memohon ampunan kepada Allah dalam FirmanNya,﴾ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ جَآءُوكَ
﴿ "Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu" yakni dengan mengakui kesalahan-kesa-lahan mereka dan menyadarinya,﴾ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُواْ ٱللَّهَ تَوَّابٗا رَّحِيمٗا ﴿ "lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun me-mohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" maksudnya, pastilah Allah akan menerima taubat mereka dengan ampunanNya atas kezha-liman mereka dan Allah merahmati mereka dengan menerima taubat mereka dan memberikan taufik kepadanya serta balasan atas perbuatan itu. Dan menemui Rasul ﷺ seperti ini adalah khusus di saat beliau masih hidup, karena konteks ayat tersebut menunjuk-kan akan hal tersebut, karena permohonan ampunan Rasul untuk mereka tidaklah mungkin terjadi kecuali di saat beliau hidup, adapun setelah kematiannya, maka sesungguhnya tidaklah boleh meminta kepadanya sesuatu pun, bahkan hal itu adalah suatu kesyirikan.
#
{65} ثم أقسم تعالى بنفسِهِ الكريمة أنَّهم لا يؤمنون حتَّى يحكِّموا رسولَهُ فيما شَجَرَ بينَهم؛ أي: في كل شيء يحصُلُ فيه اختلافٌ؛ بخلاف مسائل الإجماع؛ فإنَّها لا تكون إلاَّ مستندةً للكتاب والسنَّة، ثم لا يكفي هذا التحكيم حتى ينتفي الحرجُ من قلوبِهِم والضيقُ. وكونُهم يحكِّمونه على وجه الإغماض، ثم لا يكفي هذا التحكيم حتى يسلِّموا لحكمِهِ تسليماً بانشراح صدرٍ وطمأنينةِ نفس وانقيادٍ بالظاهر والباطن؛ فالتحكيم في مقام الإسلام، وانتفاء الحرج في مقام الإيمان، والتسليم في مقام الإحسان؛ فمَن استكمل هذه المراتبَ وكمَّلها؛ فقد استكمل مراتبَ الدِّينِ كلَّها، فمَن ترك هذا التحكيم المذكورَ غير ملتزم له؛ فهو كافر، ومَن تركه مع التزامه؛ فله حكمُ أمثالِهِ من العاصين.
(65) Kemudian Allah سبحانه وتعالى bersumpah dengan DzatNya yang mulia bahwasanya mereka tidaklah beriman hingga berhukum ke-pada RasulNya dalam perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka, artinya pada segala hal yang terjadi perselisihan padanya, berbeda dengan masalah-masalah yang telah disepakati, sesung-guhnya perkara-perkara seperti itu tidaklah bersandar kecuali dari al-Qur`an dan as-Sunnah, karena tidaklah cukup hanya berhukum kepada beliau ﷺ hingga tidak ada sama sekali dari hati mereka kebencian dan kedongkolan. Dan kondisi mereka saat berhukum kepada beliau adalah dengan asumsi bahwa itulah yang paling benar, kemudian tidaklah cukup juga berhukum kepada beliau itu hingga mereka menerima keputusan beliau dengan penerimaan yang baik, kelapangan dada, ketenangan jiwa, dan ketundukan lahir maupun batin. Maka
(perlu diperhatikan) bahwa berhukum adalah dalam aspek keislaman, sedangkan tidak adanya keberatan
(dalam menerima putusan) adalah dalam aspek keimanan, ada-pun penerimaan adalah dalam aspek keihsanan. Barangsiapa yang menyempurnakan tingkatan-tingkatan tersebut, maka sesungguh-nya ia telah menyempurnakan semua tingkatan-tingkatan agama, dan barangsiapa yang meninggalkan sikap berhukum yang tersebut dalam ayat ini dan tidak konsisten terhadapnya, maka ia adalah kafir, dan barangsiapa yang meninggalkannya dengan konsisten, maka hukumnya adalah sama seperti orang-orang yang semisalnya dari pelaku-pelaku kemaksiatan.
{وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا (66) وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا (67) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (68)}.
"Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, 'Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu', niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan
(iman mereka). Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus."
(An-Nisa`: 66-68).
#
{66} يخبر تعالى أنَّه لو كَتَبَ على عباده الأوامرَ الشاقَّة على النفوس من قتل النفوس والخروج من الدِّيار؛ لم يفعلْه إلا القليلُ منهم والنادرُ؛ فَلْيَحْمَدوا ربَّهم ولْيَشْكُروه على تيسير ما أمَرَهم به من الأوامر التي تَسْهُلُ على كلِّ أحدٍ ولا يشقُّ فعلُها، وفي هذا إشارةٌ إلى أنه ينبغي أن يَلْحَظَ العبدُ ضدَّ ما هو فيه من المكروهات؛ لتخفَّ عليه العباداتُ، ويزدادَ حمداً وشكراً لربِّه.
ثم أخبر أنَّهم لو {فعلوا ما يُوعَظونَ به}؛ أي: ما وُظِّفَ عليهم في كلِّ وقتٍ بحسبه، فبذلوا هممهم، ووفَّروا نفوسهم للقيام به وتكميله، ولم تطمح نفوسهم لما لم يَصِلوا إليه، ولم يكونوا بصدده، وهذا هو الذي ينبغي للعبد أن ينظر إلى الحالة التي يلزمُهُ القيام بها، فيكملها، ثم يتدرَّج شيئاً فشيئاً، حتى يصلَ إلى ما قُدِّر له من العلم والعمل في أمر الدين والدُّنيا، وهذا بخلاف من طمحتْ نفسُهُ إلى أمرٍ لم يصلْ إليه ولم يؤمرْ به بعدُ؛ فإنه لا يكاد يصل إلى ذلك بسبب تفريق الهمة وحصول الكسل وعدم النشاط؛ ثم رتَّب ما يحصُلُ لهم على فعل ما يوعظون به، وهو أربعةُ أمورٍ:
أحدها: الخيريَّةَ في قوله: {لكان خيراً لهم}؛ أي: لكانوا من الأخيار المتَّصفين بأوصافِهِم من أفعال الخير التي أُمروا بها؛ أي: وانتفى عنهم بذلك صفة الأشرار؛ لأنَّ ثبوت الشيء يستلزم نفي ضدِّه.
الثاني: حصول التثبيت والثبات وزيادتُه؛ فإنَّ الله يثبِّتُ الذين آمنوا بسبب ما قاموا به من الإيمان الذي هو القيام بما وُعِظوا به، فيثبِّتُهم في الحياة الدُّنيا عند ورود الفتن في الأوامر والنواهي والمصائب، فيحصُل لهم ثباتٌ يوفَّقون به لفعل الأوامر وترك الزواجر التي تقتضي النفسُ فعلها وعند حلول المصائب التي يكرهها العبدُ، فيوفَّق للتثبيت بالتوفيق للصبر أو للرِّضا أو للشكر، فينزل عليه معونةٌ من الله للقيام بذلك، ويحصُلُ لهم الثبات على الدين عند الموت وفي القبر. وأيضاً؛ فإن العبد القائم بما أمر به لا يزال يتمرَّن على الأوامر الشرعية حتى يألفَها ويشتاقَ إليها وإلى أمثالها فيكون ذلك معونةً له على الثبات على الطاعات.
(66) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa seandainya Allah me-wajibkan atas hamba-hambaNya perintah-perintah yang berat bagi jiwa berupa membunuh jiwa dan keluar dari negeri, niscaya tidak akan ada yang melaksanakannya kecuali hanya sedikit dari mereka dan jarang, karena itu hendaklah mereka memuji Rabb mereka dan bersyukur kepadaNya atas apa yang telah Allah mudahkan bagi mereka dalam perintah-perintahNya yang menjadi mudah bagi siapa saja dan tidak akan berat untuk dikerjakan, hal ini mengandung isyarat bahwa sepatutnya seorang hamba mem-perhatikan kebalikan dari apa yang ada padanya dari hal-hal yang dibenci, agar seluruh ibadah menjadi ringan baginya, dan bertam-bahlah pujian dan rasa syukur kepada Rabbnya.
Kemudian Allah mengabarkan bahwa seandainya mereka, ﴾ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ
﴿ "melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka" yaitu apa yang ditugaskan kepada mereka dalam setiap waktu yang sesuai dengan perhitungannya, lalu mereka mengerahkan segala semangat dan usaha keras mereka, mempersiapkan diri mereka untuk melaksanakannya dan menyempurnakannya, dan jiwa mereka tidak berhasrat terhadap apa yang mereka tidak akan sampai kepadanya, dan tidak juga mereka berada di hadapannya, maka inilah yang patut bagi seorang hamba untuk melihat kondisi yang mewajibkannya untuk melaksanakan perintah tersebut, lalu menyempurnakannya, kemudian ia melangkah setahap demi setahap, hingga ia sampai kepada apa yang ditentukan untuknya berupa ilmu dan amal dalam perkara agama maupun dunianya. Hal ini berbeda dengan seseorang yang jiwanya sangat menggebu terhadap suatu perkara yang ia tidak akan mencapainya dan ia pun tidak diperintahkan kepadanya, sesungguhnya ia hampir tidak akan sampai kepada hal itu disebabkan oleh tidak teraturnya tekad, terjadinya kemalasan, dan hilangnya semangat.
Kemudian Allah menyiapkan bagi apa yang mereka peroleh dari pelaksanaan apa-apa yang diajarkan kepada mereka, yaitu ada empat perkara;
Pertama, kebaikan, sebagaimana terdapat dalam FirmanNya, ﴾ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ ﴿ "Tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka," maksudnya, pastilah mereka itu menjadi bagian dari orang-orang yang terbaik yang memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat mereka berupa perbuatan baik di mana mereka diperintahkan kepadanya, yakni, akan hilang dari mereka sifat-sifat orang-orang jahat, karena adanya suatu hal berkonsekuensi tidak adanya hal yang berlawanan dengannya.
Kedua, akan memperoleh keteguhan dan kekuatan serta peningkatannya, karena Allah سبحانه وتعالى akan meneguhkan
(keyakinan) orang-orang yang beriman disebabkan oleh apa yang mereka tunaikan berupa keimanan yaitu menunaikan apa yang diajarkan kepada mereka. Allah meneguhkan mereka di kehidupan dunia ketika terjadinya fitnah dalam perkara yang berhubungan dengan perintah, larangan, dan musibah-musibah, hingga mereka mem-peroleh keteguhan di mana mereka diberi taufik untuk dapat me-laksanakan perintah dan meninggalkan larangan yang sangat ingin dilakukan oleh jiwa, dan juga ketika terjadinya cobaan-cobaan yang dibenci oleh seorang hamba, lalu ia dibimbing kepada keteguhan dengan taufik kepada kesabaran atau kepada keridhaan atau bahkan kepada kesyukuran, sehingga turunlah pertolongan Allah kepadanya agar ia mampu melaksanakannya, dan mereka juga akan memperoleh keteguhan di atas agama ketika menghadapi kematian dan juga di dalam kubur. Demikian juga, sesungguhnya seorang hamba yang melakukan apa yang diperintahkan kepada-nya, ia selalu melatih diri menunaikan perintah-perintah syariat hingga ia terbiasa dengannya bahkan ia rindu kepadanya dan ke-pada hal-hal yang sepertinya, maka hal itu akan menjadi penolong baginya untuk tetap teguh dalam mengerjakan segala ketaatan.
#
{67} الثالث: قوله: {وإذاً لآتيناهُم من لَدُنَّا أجراً عظيماً}؛ أي: في العاجل والآجل، الذي يكون للروح والقلب والبدن، ومن النعيم المقيم ممَّا لا عينٌ رأت ولا أُذُنٌ سمعتْ ولا خَطَرَ على قلب بشر.
(67) Ketiga, FirmanNya, ﴾ وَإِذٗا لَّأٓتَيۡنَٰهُم مِّن لَّدُنَّآ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami," yaitu di dunia maupun di akhirat, untuk ruh, hati, dan tubuh, dan berupa kenikmatan abadi yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbesit dalam benak seorang manusia pun.
#
{68} الرابع: الهدايةُ إلى صراطٍ مستقيم، وهذا عمومٌ بعد خُصوص؛ لشرف الهداية إلى الصراط المستقيم، من كونِها متضمنةً للعلم بالحقِّ ومحبَّتِهِ وإيثارِهِ والعمل به وتوقُّف السعادة والفلاح على ذلك؛ فمن هُدِي إلى صراطٍ مستقيم؛ فقد وُفِّق لكلِّ خير، واندفع عنه كلُّ شَرٍّ وضيرٍ.
(68) Keempat, petunjuk kepada jalan yang lurus, dan ini merupakan keumuman setelah kekhususan, karena keutamaan petunjuk kepada jalan yang lurus tersebut, dan apa yang dikan-dungnya dari ilmu tentang kebenaran, mencintainya, mendahulu-kannya dan beramal dengannya, dan ketergantungan kebahagiaan dan kemenangan padanya, maka barangsiapa yang diberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sesungguhnya ia telah dibimbing kepada setiap kebaikan dan akan terlepas darinya setiap keburukan dan kezhaliman.
{وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69) ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا (70)}.
"Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul
(Nya), me-reka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah sebagai Dzat Yang Maha Menge-tahui."
(An-Nisa`: 69-70).
#
{69} أي: كلُّ من أطاع الله ورسولَه على حَسَبِ حالِهِ وقَدْرِ الواجب عليه من ذكرٍ وأنثى وصغيرٍ وكبيرٍ؛ {فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم}؛ أي: النعمة العظيمة التي تقتضي الكمال والفلاح والسعادة، {من النبيِّين}: الذين فضَّلهم الله بوحيهِ واختصَّهم بتفضيلهم بإرسالهم إلى الخَلْق ودعوتهم إلى الله تعالى. {والصِّدِّيقين}: وهم الذين كَمُلَ تصديقُهم بما جاءت به الرُّسل، فعلموا الحقَّ وصدَّقوه بيقينِهِم وبالقيام به قولاً وعملاً وحالاً ودعوةً إلى الله. {والشُّهداء}: الذين قاتلوا في سبيل الله لإعلاء كلمةِ الله، فقُتِلوا. {والصالحين}: الذين صَلُحَ ظاهرُهم وباطنُهم، فصَلَحَتْ أعمالُهم؛ فكلُّ من أطاع الله تعالى كان مع هؤلاء وفي صحبتهم. {وحَسُنَ أولئك رفيقاً}: بالاجتماع بهم في جنَّات النعيم والأنس بقربِهِم في جوارِ ربِّ العالمين.
(69) Maksudnya, setiap orang yang menaati Allah dan RasulNya sesuai dengan kondisinya dan kadar kewajiban atasnya, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa, ﴾ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم
﴿ "mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah," yaitu kenikmatan agung yang menuntut kesempurnaan, kemenangan, dan kebahagiaan, ﴾ مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ
﴿ "yaitu: Nabi-nabi" orang-orang yang dimuliakan oleh Allah dengan wahyuNya dan mengkhususkan mereka dalam ke-muliaan itu dengan cara mengutus mereka kepada makhlukNya dan menyeru mereka kepada Allah سبحانه وتعالى, ﴾ وَٱلصِّدِّيقِينَ
﴿ "dan para shid-diqin," mereka itu adalah orang-orang yang kepercayaan mereka sempurna terhadap apa yang dibawa oleh para Rasul, mereka mengetahui kebenaran dan mempercayainya dengan keyakinan diri mereka serta merealisasikannya dengan perkataan, perbuatan, keadaan, dan berdakwah kepada Allah, ﴾ وَٱلشُّهَدَآءِ
﴿ "dan orang-orang yang mati syahid" yaitu orang-orang yang berperang di jalan Allah demi meninggikan agama Allah lalu me-reka terbunuh, ﴾ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ
﴿ "dan orang-orang shalih" yaitu orang-orang yang baik lahir dan batin mereka, lalu baik pula perbuatan mereka, maka setiap orang yang menaati Allah سبحانه وتعالى niscaya akan bersama orang-orang tersebut dan menjadi teman mereka, ﴾ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقٗا ﴿ "dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya," yakni dengan berkumpul bersama me-reka dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, dan kesenangan dekat dengan mereka pada sisi Rabb semesta alam.
#
{70} {ذلك الفضل}: الذي نالوه {من الله}: فهو الذي وفَّقهم لذلكَ وأعانَهم عليه، وأعطاهم من الثواب ما لا تبلُغُه أعمالُهم. {وكفى بالله عليماً}: يعلم أحوالَ عبادِهِ ومن يستحقُّ منهم الثوابَ الجزيلَ بما قام به من الأعمال الصالحةِ التي تواطأ عليها القلبُ والجوارحُ.
(70) ﴾ ذَٰلِكَ ٱلۡفَضۡلُ
﴿ "Yang demikian itu adalah karunia," yaitu apa yang mereka peroleh ﴾ مِنَ ٱللَّهِۚ
﴿ "dari Allah," karena Dia-lah yang membimbing mereka kepada hal tersebut dan menolong mereka atasnya, kemudian memberikan kepada mereka pahala yang tidak mampu diraih oleh amal-amal mereka, ﴾ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمٗا ﴿ "dan cukuplah Allah sebagai Dzat yang Maha Mengetahui," Dia me-ngetahui kondisi hamba-hambaNya dan mengetahui orang-orang yang berhak memperoleh pahala yang melimpah karena apa yang telah mereka lakukan dari perbuatan-perbuatan shalih yang ber-kolerasi antara hati dan tubuh.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا (71) وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَعَهُمْ شَهِيدًا (72) وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ لَيَقُولَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَالَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا (73) فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (74)}.
"Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah
(ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat
(ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah, ia berkata, 'Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka. Dan sungguh jika kamu beroleh karunia
(kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengata-kan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, 'Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar
(pula).' Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar."
(An-Nisa`: 71-74).
#
{71} يأمر تعالى عباده المؤمنين بأخذ حِذْرِهِم من أعدائهم الكافرين، وهذا يَشْمَلُ الأخذ بجميع الأسباب التي بها يُستعان على قتالهم ويُسْتَدْفَع مَكْرُهم وقوَّتُهم؛ من استعمال الحصون والخنادق، وتعلُّم الرمي والرُّكوب، وتعلُّم الصناعات التي تُعينُ على ذلك، وما به يُعْرَفُ مداخِلُهم ومخارِجُهم ومكرُهم، والنفير في سبيل الله، ولهذا قال: {فانفِروا ثُباتٍ}؛ أي: متفرِّقين؛ بأن تنفر سريَّةٌ أو جيشٌ ويقيم غيرهم، {أوِ انفِروا جميعاً}، وكلُّ هذا تَبَعٌ للمصلحة والنِّكاية والراحة للمسلمين في دينهم. وهذه الآية نظيرُ قوله تعالى: {وأعِدُّوا لهم ما استطعتُم من قوَّةٍ}.
(71) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-hambaNya yang ber-iman untuk melakukan tindakan kewaspadaan dari musuh-musuh mereka dan orang-orang kafir, hal ini mencakup segala bentuk tindakan kewaspadaan dengan segala macam sebab dan sarana yang membantu memerangi musuh, menolak tipu daya dan ke-kuatan mereka, berupa mempergunakan benteng-benteng, parit-parit, belajar menembak dan berkendara, mempelajari penemuan-penemuan baru yang dapat membantu itu semua, dan apa pun yang mampu melacak tempat-tempat masuk dan keluarnya para musuh serta makar mereka, dan jihad di jalan Allah, karena itulah Allah berfirman, ﴾ فَٱنفِرُواْ ثُبَاتٍ
﴿ "Dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok" maksudnya dengan terpisah-pisah, yaitu maju dengan pasukan kecil atau pasukan yang besar sedang lain-nya menetap, ﴾ أَوِ ٱنفِرُواْ جَمِيعٗا
﴿ "atau majulah bersama-sama!" Semua itu menurut kemaslahatan yang ada, kemampuan, dan ketenangan jiwa kaum Muslimin dalam agama mereka, ayat ini sejalan dengan Firman Allah سبحانه وتعالى yang lain,
﴾ وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ ﴿
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi."
(Al-Anfal: 60).
#
{72} ثم أخبر عن ضعفاء الإيمان المتكاسِلين عن الجهاد فقال: {وإنَّ منكُم}؛ أي: أيُّها المؤمنون، {لمن لَيُبَطِّئَنَّ}؛ أي: يتثاقل عن الجهاد في سبيل الله ضعفاً وخَوَراً وجُبناً. هذا الصحيح، وقيل: معناه لَيُبَطِّئَنَّ غَيْرَهُ؛ أي: يزهِّده عن القتال، وهؤلاء هم المنافقون، ولكنَّ الأول أولى لوجهين: أحدهما: قولُه: {منكم}، والخطاب للمؤمنين.
والثاني: قوله في آخر الآية: {كأن لم تَكُن بينَكُم وبينَه مودَّةٌ}؛ فإنَّ الكفَّار من المشركين والمنافقين قد قَطَعَ الله بينَهم وبينَ المؤمنين المودَّةَ.
وأيضاً؛ فإنَّ هذا هو الواقع؛ فإنَّ المؤمنين على قسمين: صادقون في إيمانِهِم أوْجَبَ لهم ذلك كمالَ التصديق والجهاد. وضعفاءُ دخلوا في الإسلام فصار معهم إيمانٌ ضعيفٌ لا يقوى على الجهادِ؛ كما قال تعالى: {قالتِ الأعرابُ آمَنَّا قُلْ لم تُؤْمِنوا ولكن قولوا أسْلَمْنا ... } إلى آخر الآيات.
ثم ذَكَرَ غاياتِ هؤلاء المتثاقلين ونهاية مقاصدهم، وأنَّ معظم قصدِهم الدُّنيا وحطامها، فقال: {فإنْ أصابَتْكم مصيبةٌ}؛ أي: هزيمةٌ وقتلٌ وظَفِر الأعداء عليكم في بعض الأحوال لِمَا لِلَّهِ في ذلك من الحِكَمِ، {قال} ذلك المتخلِّف: {قد أنعم الله عليَّ إذ لم أكُن معهم شهيداً}: رأى من ضَعْف عقلِهِ وإيمانِهِ أنَّ التقاعُدَ عن الجهادِ الذي فيه تلك المصيبةُ نعمةٌ، ولم يدرِ أن النعمة الحقيقيَّةَ هي التوفيق لهذه الطاعة الكبيرة التي بها يَقْوى الإيمانُ ويَسْلَم بها العبدُ من العقوبة والخسران، ويحصُلُ له فيها عظيمُ الثواب ورضا الكريم الوهَّاب، وأما القعود؛ فإنه وإن استراح قليلاً؛ فإنَّه يَعْقُبُه تعبٌ طويلٌ وآلامٌ عظيمةٌ، ويفوتُهُ ما يحصُلُ للمجاهدين.
(72) Kemudian Allah mengabarkan tentang orang-orang yang lemah imannya lagi malas berjihad dengan berfirman,﴾ وَإِنَّ مِنكُمۡ
﴿ "Dan sesungguhnya di antara kamu" wahai orang-orang yang beriman, ﴾ لَمَن لَّيُبَطِّئَنَّ
﴿ "ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran)" yaitu merasa berat dari berjihad di jalan Allah karena lemah, lesu, dan pengecut, dan inilah yang shahih, dan pendapat lain berkata, artinya adalah bahwa mereka memperlambat orang lain, yaitu membuatnya tidak butuh terhadap peperangan, dan mereka ini adalah orang-orang munafik, akan tetapi pendapat yang pertama adalah lebih utama dari dua segi; pertama FirmanNya, ﴾ مِنكُمۡ
﴿ "Di antara kalian" dan percakapan itu ditujukan kepada kaum Mukminin.
Dan kedua; Firman Allah pada akhir ayat, ﴾ كَأَن لَّمۡ تَكُنۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُۥ مَوَدَّةٞ
﴿ "Seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia," karena sesungguhnya kaum kafir dari orang-orang musyrik dan orang-orang munafik telah Allah putus kasih sayang antara mereka dengan kaum Mukminin.
Dan juga bahwasanya hal ini adalah suatu kenyataan yang terjadi, sesungguhnya kaum Mukminin terbagi dua bagian; orang-orang yang benar dalam keimanan mereka yang membawa mereka kepada kesempurnaan keyakinan dan jihad, dan orang-orang yang lemah, mereka masuk Islam lalu keimanan mereka menjadi lemah hingga akhirnya mereka tidak mampu ikut berjihad, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ وَإِن تُطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتۡكُم مِّنۡ أَعۡمَٰلِكُمۡ شَيۡـًٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ 14
﴿
"Orang-orang Arab Baduwi itu berkata, 'Kami telah beriman.' Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'Kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan RasulNya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Hujurat: 14).
Kemudian Allah menyebutkan tentang tujuan orang-orang yang merasa keberatan dan akhir dari maksud-maksud mereka, bahwa sebagian besar maksud dan tujuan mereka adalah dunia dan perhiasannya, Allah berfirman, ﴾ فَإِنۡ أَصَٰبَتۡكُم مُّصِيبَةٞ
﴿ "Maka jika kamu ditimpa musibah" yaitu kekalahan dan pembunuhan, serta keme-nangan musuh atas kalian pada beberapa kondisi di mana di balik semua itu tersimpan hikmah Allah, ﴾ قَالَ
﴿ "dia berkata," yakni orang yang tidak ikut perang tersebut, ﴾ قَدۡ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيَّ إِذۡ لَمۡ أَكُن مَّعَهُمۡ شَهِيدٗا ﴿ "Se-sungguhnya Allah telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka." Ia memandang dengan kelemahan akal dan keimanannya bahwasanya berdiam diri dari berjihad yang terdapat musibah di dalamnya adalah sebuah nikmat, dan ia tidak tahu bahwa kenikmatan yang sebenarnya adalah adanya taufik kepada ketaatan yang agung tersebut yang menjadi pendorong kuatnya iman dan selamatnya seorang hamba dari hukuman dan kerugian, dan ia akan memperoleh padanya pahala yang besar dan keridhaan Yang Mahamulia lagi Maha Memberi. Adapun berdiam diri
(tidak ikut perang), maka sesungguhnya walaupun terlihat menikmati istirahat sebentar namun mengaki-batkan kelelahan yang panjang dan kesakitan yang tiada terperi, dan kehilangan apa yang akan diperoleh oleh orang-orang yang berjihad.
#
{73} ثم قال: {ولئن أصابَكُم فضلٌ من الله}؛ أي: نصرٌ وغنيمةٌ، {ليقولَنَّ كأن لم تكن بينَكم وبينَه مودَّةٌ يا ليتني كنتُ معهم فأفوزَ فوزاً عظيماً}؛ أي: يتمنَّى أنه حاضرٌ لينال من المغانم، ليس له رغبةٌ ولا قصدٌ في غير ذلك، كأنه ليس منكم يا معشر المؤمنين، ولا بينكم وبينه المودَّة الإيمانيَّةُ الذي من مقتضاها أنَّ المؤمنين مشتركون في جميع مصالحهم ودفع مضارِّهم، يفرَحون بحصولها ولو على يدِ غيرِه من إخوانه المؤمنين ويألمون بفَقْدِها ويسعَوْن جميعاً في كلِّ أمرٍ يُصْلِحون به دينَهم ودُنياهم، فهذا الذي يتمنَّى الدُّنيا فقط ليست معه الرُّوح الإيمانيَّة المذكورة.
(73) Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَلَئِنۡ أَصَٰبَكُمۡ فَضۡلٞ مِّنَ ٱللَّهِ
﴿ "Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah" yaitu ke-menangan dan ghanimah, ﴾ لَيَقُولَنَّ كَأَن لَّمۡ تَكُنۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُۥ مَوَدَّةٞ يَٰلَيۡتَنِي كُنتُ مَعَهُمۡ فَأَفُوزَ فَوۡزًا عَظِيمٗا ﴿ "tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, 'Sekiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar
(pula)'," maksudnya ia berangan-angan sekiranya ia ikut hadir pada saat itu agar ia memperoleh ghanimah, dan tidak ada keinginan maupun kemauan pada mereka kecuali hanya untuk itu saja, di mana seakan-akan ia bukanlah di antara kalian wahai sekalian kaum Mukminin, dan tidak pula di antara kalian dengannya kasih sayang keimanan yang mana di antara tuntutannya adalah bahwa kaum Mukminin adalah bersekutu pada segala kemaslahatan mereka dan menolak kemudharatan dari mereka, mereka merasa berbahagia dengan diperolehnya kemaslahatan itu walaupun di-dapatkan oleh orang lain dari saudara-saudaranya, kaum Muk-minin dan mereka akan merasa sakit dengan kehilangannya dan mereka semua berusaha bersama-sama dalam setiap perkara untuk mendapatkan manfaat bagi dunia dan agama mereka, dan orang yang berangan-angan dunia saja itu tidak memiliki ruh keimanan yang disebutkan di atas.
#
{74} ومن لُطف الله بعباده أن لا يَقْطَعَ عنهم رحمتَه، ولا يغلقَ عنهم أبوابها، بل من حصل على غير ما يليق؛ أمرَه ودعاه إلى جبر نقصِهِ وتكميل نفسِهِ، فلهذا أمر هؤلاء بالإخلاص والخروج في سبيلهِ، فقال: {فَلْيُقاتِلْ في سبيل الله الذين يَشْرونَ الحياة الدُّنيا بالآخرة}؛ هذا أحد الأقوال في هذه الآية وهو أصحها، وقيل إن معناه فليقاتل في سبيل الله المؤمنون الكاملو الإيمان الصادقون في إيمانهم {الذين يشرون الحياة الدنيا بالآخرة}؛ أي: يبيعون الدُّنيا رغبةً عنها بالآخرة رغبةً فيها؛ فإنَّ هؤلاء [هم] الذين يوجَّه إليهم الخطاب؛ لأنهم الذين قد أعدُّوا أنفسَهم ووطَّنوها على جهاد الأعداء؛ لما معهم من الإيمان التامِّ المقتضي لذلك، وأمَّا أولئك المتثاقلون؛ فلا يُعبأ بهم خرجوا أو قعدوا، فيكون هذا نظيرَ قوله تعالى: {قل آمنوا به أو لا تؤمنوا إنَّ الذين أوتوا العلم من قبلِهِ إذا يُتْلى عليهم يَخِرُّونَ للأذقان سُجَّداً ... } إلى آخر الآيات، وقوله: {فإن يَكْفُر بها هؤلاء فقد وَكَّلْنا بها قوماً ليسوا بها بكافرينَ}.
وقيل: إن معنى الآية: فليقاتل المقاتِلُ والمجاهدُ للكفار الذين يَشْرون الحياةَ الدُّنيا بالآخرةِ، فيكون على هذا الوجه. {الذين} في محلِّ نصب على المفعولية، {ومَن يقاتِلْ في سبيل الله}: بأن يكونَ جهاداً قد أمر الله به ورسولُهُ، ويكون العبد مخلصاً لله فيه قاصداً وجه الله، {فَيُقْتَلْ أو يَغْلِبْ فسوف نُؤْتيهِ أجراً عظيماً}: زيادةً في إيمانِهِ ودينِهِ وغنيمةً وثناءً حسناً وثواب المجاهدين في سبيل الله الذين أعدَّ الله لهم في الجنة ما لا عينٌ رأتْ ولا أذنٌ سمعتْ ولا خَطَرَ على قلب بشرٍ.
(74) Dan di antara kasih Allah terhadap hamba-hambaNya adalah Allah tidak menghentikan rahmatNya dari mereka, dan tidak juga menutup pintu-pintunya dari mereka, akan tetapi barangsiapa yang memperoleh selain yang tidak patut, Allah akan memerintahkan kepadanya dan menyerunya untuk menutup ke-kurangannya dan menyempurnakan dirinya, karena itulah Allah memerintahkan mereka untuk ikhlas dan berperang di jalanNya, dan Allah berfirman, ﴾ فَلۡيُقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يَشۡرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا بِٱلۡأٓخِرَةِۚ
﴿ "Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia de-ngan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah" ini adalah salah satu pendapat tentang ayat ini dan merupakan pendapat yang paling benar. Pendapat lain berkata bahwa makna ayat itu adalah agar kaum Mukminin yang sempurna iman mereka dan yang benar dalam keimanan mereka, berperang di jalan Allah, yaitu ﴾ ٱلَّذِينَ يَشۡرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا بِٱلۡأٓخِرَةِۚ
﴿ "orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat" yaitu mereka menjual dunia karena tidak suka kepadanya dengan akhirat karena suka padanya; sesungguh-nya merekalah orang-orang yang ditujukan kepada mereka per-kataan tersebut, karena mereka adalah orang-orang yang telah menyiapkan diri mereka dan meneguhkannya untuk memerangi musuh, karena mereka memiliki keimanan yang sempurna yang menuntut akan hal tersebut.
Adapun orang-orang yang merasa keberatan tersebut, tidak-lah mereka dihiraukan, baik mereka ikut berjihad ataupun tinggal diam saja, maka hal ini akan sama seperti Firman Allah,
﴾ قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّدٗاۤ 107 وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولٗا 108 وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩ 109 قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلٗا 110 وَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي لَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدٗا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٞ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلِيّٞ مِّنَ ٱلذُّلِّۖ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيرَۢا 111
﴿
"...Katakanlah, 'Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah ber-iman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, 'Mahasuci Rabb kami; sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi'. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma` al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan jangan kamu menge-raskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu'. Dan katakanlah, 'Segala puji bagi Allah, Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaanNya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjagaNya) dari kehinaan, dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya...'" (Al-Isra`: 107-111).
Dan FirmanNya,
﴾ فَإِن يَكۡفُرۡ بِهَا هَٰٓؤُلَآءِ فَقَدۡ وَكَّلۡنَا بِهَا قَوۡمٗا لَّيۡسُواْ بِهَا بِكَٰفِرِينَ 89
﴿
"Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguh-nya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya." (Al-An'am: 89).
Pendapat lain mengatakan, sesungguhnya makna ayat itu adalah hendaklah seorang pejuang lagi mujahid berperang meng-hadapi kaum kafir, yang menukar kehidupan dunia dengan kehi-dupan akhirat. Maka atas dasar ini, ﴾ ٱلَّذِينَ
﴿ "orang-orang yang" dalam posisi manshub sebagai maf'ul (obyek), ﴾ وَمَن يُقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
﴿ "barangsiapa yang berperang di jalan Allah" yakni, bahwa perang itu adalah sebagai jihad yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, dan hamba tersebut ikhlas hanya untuk Allah dan tujuannya hanya Wajah Allah dalam jihadnya tersebut, ﴾ فَيُقۡتَلۡ أَوۡ يَغۡلِبۡ فَسَوۡفَ نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar," dengan bertambahnya keimanan dan agamanya, mendapatkan harta rampasan perang, pujian yang baik dan pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah, orang-orang yang Allah siapkan bagi mereka surga yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pula terbesit pada benak seorang manusia.
{وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا (75)}.
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, 'Ya Rabb kami, keluar-kanlah kami dari negeri ini
(Makkah) yang zhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari sisiMu!'"
(An-Nisa`: 75).
#
{75} هذا حثٌّ من الله لعبادِهِ المؤمنين وتهييجٌ لهم على القتال في سبيله، وأنَّ ذلك قد تعيَّن عليهم وتوجَّه اللوم العظيم عليهم بتركِهِ، فقال: {وما لكم لا تقاتِلون في سبيل اللهِ}؛ والحالُ أنَّ المستضعفين من الرجال والنساءِ والولدان الذين لا يستطيعونَ حيلةً ولا يهتدونَ سبيلاً، ومع هذا فقد نالهم أعظم الظُّلم من أعدائهم؛ فهم يدعون الله أن يخرِجَهم من هذه القريةِ الظالم أهلُها لأنفسهم بالكفرِ والشركِ، وللمؤمنينَ بالأذى والصدِّ عن سبيل الله، ومنعِهِم من الدعوة لدينهم والهجرة، ويدعونَ الله أن يجعلَ لهم وليًّا ونصيراً يستنقِذُهم من هذه القرية الظالم أهلُها، فصار جهادُكم على هذا الوجه من باب القتال والذَّبِّ عن عَيْلاتِكم وأولادِكم ومحارِمِكم؛ لأنَّ بابَ الجهادِ الذي هو الطمعُ في الكفارِ؛ فإنه وإن كان فيه فضلٌ عظيمٌ ويُلامُ المتخلِّفُ عنه أعظم اللوم ؛ فالجهادُ الذي فيه استنقاذُ المستضعفينَ منكُم أعظمُ أجراً وأكبرُ فائدةً بحيث يكونُ من باب دفع الأعداءِ.
(75) Ini adalah dorongan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan pengobaran semangat bagi mereka untuk berperang dijalanNya, dan bahwasanya hal itu telah wajib atas mereka dan menetapkan celaan yang besar terhadap mereka bila meninggalkannya, Allah berfirman, ﴾ وَمَا لَكُمۡ لَا تُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ﴿ "Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah" kondisinya adalah bahwa orang-orang yang tertindas, baik laki-laki, wanita, atau anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mampu mencari jalan
(untuk hijrah), bersamaan dengan itu sesungguhnya mereka telah menerima kezhaliman yang sangat keras dari musuh-musuh mereka, lalu mereka berdoa kepada Allah agar berkenan menge-luarkan mereka dari kampung tersebut di mana penduduknya berlaku zhalim terhadap mereka dengan kekufuran dan kesyirikan, dan terhadap kaum Mukminin dengan gangguan dan penghalangan dari jalan Allah, dan menahan mereka dari dakwah kepada agama mereka dan dari berhijrah, mereka juga berdoa kepada Allah agar berkenan menjadikan seorang pemimpin dan penolong untuk mereka yang mampu menyelamatkan mereka dari kampung yang masyarakatnya berlaku zhalim tersebut, maka jihad yang kalian tegakkan dalam bentuk yang seperti itu adalah perjuangan dan membela kehormatan kalian, anak-anak kalian, dan mahram-mah-ram kalian, karena berjihad yang merupakan perlawanan terhadap kaum kafir, sesungguhnya walaupun mengandung keutamaan yang besar dan orang yang tidak ikut berjihad akan dihadapkan dengan celaan yang besar, maka berjihad dengan menyelamatkan orang-orang yang tertindas di antara kalian adalah lebih besar ganjarannya dan lebih banyak faidahnya, dan itu termasuk dalam bentuk tindakan menolak musuh.
Kemudian Allah berfirman,
{الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا (76)}.
"Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu pe-rangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah."
(An-Nisa`: 76 ).
#
{76} هذا إخبارٌ من الله بأنَّ المؤمنين يقاتِلون في سبيله، {والذين كفروا يقاتِلونَ في سبيل الطَّاغوت} الذي هو الشيطانُ. في ضمن ذلك عدة فوائد:
منها: أنه بحَسَبِ إيمان العبد يكون جهاده في سبيل الله وإخلاصُه ومتابعته، فالجهادُ في سبيل الله من آثار الإيمان ومقتضياتِهِ ولوازمِهِ؛ كما أنَّ القتالَ في سبيل الطاغوت من شُعَبِ الكفر ومقتضياتِهِ.
ومنها: أن الذي يقاتل في سبيل الله ينبغي له ويَحْسُنُ منه من الصبر والجَلَدِ ما لا يقوم به غيره؛ فإذا كان أولياء الشيطان يصبِرون ويقاتِلون وهم على باطل؛ فأهل الحقِّ أولى بذلك؛ كما قال تعالى في هذا المعنى: {إن تكونوا تألمونَ فإنَّهم يألَمونَ كما تَألَمونَ وترجُون من اللهِ ما لا يَرجونَ ... } الآية.
ومنها: أن الذي يقاتِلُ في سبيل الله معتمداً على ركنٍ وثيقٍ، وهو الحقُّ والتوكُّل على الله؛ فصاحب القوة والرُّكن الوثيق يُطْلَبُ منه من الصبر والثَّبات والنشاط ما لا يُطْلَبُ مِمَّن يقاتِل عن الباطل الذي لا حقيقة له ولا عاقبة حميدة؛ فلهذا قال تعالى: {فقاتِلوا أولياءَ الشَّيطانِ إنَّ كيدَ الشيطانِ كان ضعيفاً}؛ والكيدُ سلوكُ الطرق الخفيَّة في ضرر العدو؛ فالشيطانُ وإن بَلَغَ مكرُهُ مهما بَلَغَ؛ فإنه في غاية الضَّعْفِ الذي لا يقوم لأدنى شيءٍ من الحقِّ ولا لكيدِ الله لعبادِهِ المؤمنين.
(76) Hal ini adalah kabar dari Allah bahwasanya kaum Mukminin berperang di jalanNya,﴾ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱلطَّٰغُوتِ
﴿ "dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut" yaitu setan, dalam kandungan hal tersebut ada beberapa faidah, di antaranya;
+ Bahwa seberapa besar keimanan seorang hamba, maka sebe-sar itu pula kadar jihadnya di jalan Allah, keikhlasannya dan ketaatannya, jihad di jalan Allah adalah di antara pengaruh keimanan, tuntutan-tuntutannya dan kebutuhan-kebutuhan-nya, sebagaimana perang di jalan thaghut itu adalah di antara cabang-cabang kekufuran dan tuntutan-tuntutannya.
+ Bahwasanya orang yang berperang di jalan Allah seyogyanya dan sebaiknya bersabar dan tegar, yaitu sikap yang tidak di-lakukan oleh selainnya. Apabila wali-wali setan bersabar dan berperang padahal mereka berada di atas kebatilan, maka ahli kebenaran adalah lebih patut untuk itu, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang makna itu,
﴾ إِن تَكُونُواْ تَأۡلَمُونَ فَإِنَّهُمۡ يَأۡلَمُونَ كَمَا تَأۡلَمُونَۖ وَتَرۡجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرۡجُونَۗ
﴿
"Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, se-dang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan." (An-Nisa`: 104).
+ Bahwa orang yang berperang di jalan Allah bersandar pada suatu pilar yang kokoh, yaitu kebenaran dan tawakal kepada Allah, maka seorang yang kuat dan berpilar kepada yang kokoh dituntut untuk bersabar, teguh, dan bersemangat di mana tidak dituntut dari orang yang berjuang demi kebatilan yang tidak memiliki hakikat sama sekali dan tidak memiliki akibat yang baik, karena itulah Allah berfirman, ﴾ فَقَٰتِلُوٓاْ أَوۡلِيَآءَ ٱلشَّيۡطَٰنِۖ إِنَّ كَيۡدَ ٱلشَّيۡطَٰنِ كَانَ ضَعِيفًا ﴿ "Sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah," dan tipu daya itu adalah menempuh cara-cara yang tersembunyi demi membahayakan musuh, dan setan bila pun tipu dayanya telah banyak dan berbagai macam, namun semua itu sangatlah lemah yang sama sekali tidak akan mengalahkan sekecil apa pun kebenaran dan tidak pula terhadap siasat Allah bagi hamba-hambaNya yang beriman.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا (77) أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ}.
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, 'Tahanlah tanganmu
(dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!' Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka
(golongan munafik) takut kepada manusia
(musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan sangat lebih dari itu takutnya. Mereka berkata, 'Ya Rabb kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Me-ngapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?' Katakanlah, 'Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh'."
(An-Nisa`: 77-78).
#
{77} كان المسلمون إذ كانوا بمكَّة مأمورين بالصَّلاة والزَّكاة؛ أي: مواساة الفقراء، لا الزكاة المعروفة ذات النُّصُب والشُّروط؛ فإنها لم تُفْرَضْ إلاَّ بالمدينة، ولم يؤمروا بجهاد الأعداء لعدَّة فوائدَ:
منها: أن من حكمة الباري تعالى أن يَشْرَعَ لعبادِهِ الشرائعَ على وجهٍ لا يشقُّ عليهم، ويبدأ بالأهمِّ فالأهمِّ والأسهل فالأسهل.
ومنها: أنه لو فُرِضَ عليهم القتالُ مع قلَّة عَددهم وعُددهم وكثرة أعدائهم؛ لأدَّى ذلك إلى اضمحلال الإسلام، فَرُوعِيَ جانبُ المصلحة العُظمى على ما دونِها. ولغير ذلك من الحكم.
وكان بعض المؤمنين يودُّون أن لو فُرِضَ عليهم القتالُ في تلك الحال غير اللائق فيها ذلك، وإنما اللائقُ فيها القيامُ بما أمِروا به في ذلك الوقت من التوحيد والصَّلاة والزَّكاة ونحو ذلك؛ كما قال تعالى: {ولو أنَّهم فَعَلوا ما يُوعَظونَ به لكان خيراً لهم وأشدَّ تَثْبيتاً}، فلمَّا هاجروا إلى المدينة وقَوِيَ الإسلام؛ كُتِبَ عليهم القتال في وقته المناسب لذلك، فقال فريقٌ من الذين يستعجِلون القتال قبل ذلك خوفاً من الناس وضعفاً وخَوَراً: {ربَّنا لِمَ كَتَبْتَ علينا القتالَ}؟ وفي هذا تضجُّرهم واعتراضُهم على الله، وكان الذي ينبغي لهم ضدَّ هذه الحال؛ التسليمَ لأمر الله والصبرَ على أوامره، فعكسوا الأمر المطلوبَ منهم، فقالوا: {لولا أخَّرْتنا إلى أجلٍ قريبٍ}؛ أي: هلاَّ أخَّرْتَ فرضَ القتال مدةً متأخِّرةً عن الوقت الحاضر، وهذه الحال كثيراً ما تعرِضُ لمن هو غير رزينٍ واستعجل في الأمور قبلَ وَقْتِها؛ فالغالبُ عليه أنَّه لا يصبِرُ عليها وقت حُلولها ولا ينوءُ بِحَمْلِها، بل يكونُ قليل الصبرِ.
ثم إنَّ الله وَعَظَهم عن هذه الحال التي فيها التخلُّف عن القتال، فقال: {قُلْ متاعُ الدُّنيا قليلٌ والآخرةُ خيرٌ لِمَن اتَّقى}؛ أي: التمتُّع بلذَّات الدُنيا وراحتها قليلٌ، فَتَحَمُّل الأثقال في طاعة الله في المدَّة القصيرة مما يَسْهُلُ على النفوس ويَخِفُّ عليها؛ لأنها إذا عَلِمَتْ أنَّ المَشَقَّة التي تنالها لا يطول لُبثها؛ هان عليها ذلك؛ فكيف إذا وازنتْ بين الدُّنيا والآخرة، وأنَّ الآخرة خيرٌ منها في ذاتها ولَذَّاتها وزمانها؛ فذاتُها كما ذَكَرَ النبيُّ - صلى الله عليه وسلم - في الحديث الثابت عنه: «إنَّ موضعَ سَوْطٍ في الجنة خيرٌ من الدُّنيا وما فيها» ، ولَذَّاتُها صافيةٌ عن المكدِّرات، بل كلُّ ما خَطَرَ بالبال أو دار في الفكر من تصوُّرِ لَذَّةٍ؛ فَلَذَّةُ الجنة فوقَ ذلك؛ كما قال تعالى: {فلا تعلمُ نفسٌ ما أخفي لهم من قُرَّةِ أعين}، وقال الله على لسان نبيِّه: «أعددتُ لعبادي الصالحين ما لا عينٌ رأت ولا أُذنٌ سمعتْ ولا خَطَرَ على قلب بشر».
وأما لَذَّات الدُّنيا؛ فإنَّها مشوبةٌ بأنواع التنغيص الذي لو قُوبِلَ بين لَذَّاتها وما يقترنُ بها من أنواع الآلام والهُموم والغُموم؛ لم يكن لذلك نسبةٌ بوجهٍ من الوجوه. وأما زمانُها؛ فإنَّ الدُّنيا منقضيةٌ وعمر الإنسان بالنسبة إلى الدُّنيا شيءٌ يسيرٌ، وأما الآخرةُ؛ فإنها دائمة النعيم، وأهلُها خالدون فيها؛ فإذا فكَّر العاقل في هاتين الدارين، وتصوَّر حقيقتهما حقَّ التصوُّر؛ عَرَفَ ما هو أحقُّ بالإيثار والسَّعْي له والاجتهادِ لطلبِهِ، ولهذا قال: {والآخرةُ خيرٌ لمنِ اتَّقى}؛ أي: اتَّقى الشرك وسائر المحرمات. {ولا تُظْلَمون فتيلاً}؛ أي: فسعيُكم للدار الآخرة ستجدونه كاملاً موفراً غير منقوص منه شيئاً.
{78} ثم أخبر أنه لا يُغني حذرٌ عن قدرٍ، وأنَّ القاعد لا يدفع عنه قعودُه شيئاً، فقال: {أينما تكونوا يدرككم الموتُ}؛ أي: في أيِّ زمان وأيِّ مكان. {ولو كنتُم في بروجٍ مُشَيَّدة}؛ أي: قصورٍ منيعةٍ ومنازل رفيعةٍ. وكلُّ هذا حثٌّ على الجهاد في سبيل الله؛ تارةً بالترغيب في فضلِهِ وثوابِهِ، وتارةً بالترهيبِ من عقوبةِ تركِهِ، وتارةً بالإخبارِ أنَّه لا ينفع القاعدين قعودُهم، وتارةً بتسهيل الطريق في ذلك وقصرها.
ثم قال:
{وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا (78) مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا (79)}.
{78} يخبر تعالى عن الذين لا يعلمونَ، المعرضينَ عمَّا جاءت به الرسلُ، المعارضين لهم أنَّهم إذا جاءتهم حسنةٌ؛ أي: خِصْبٌ وَكَثْرَةُ أموال وتوفُّر أولاد وصحة؛ قالوا: {هذه من عند الله}، وأنَّهم إن أصابتهم سيئةٌ؛ أي: جدبٌ وفقرٌ ومرضٌ وموتُ أولادٍ وأحبابٍ؛ قالوا: {هذه من عندك}؛ أي: بسبب ما جئتنا به يا محمد! تطيَّروا برسول الله - صلى الله عليه وسلم - كما تطيَّر أمثالُهم برسل الله؛ كما أخبر الله عن قوم فرعون أنهم: {إذا جاءتْهُمُ الحسنةُ قالوا لنا هذه وإن تُصِبْهم سيئةٌ يَطَّيَّروا بموسى ومن معهُ}، وقال قومُ صالح: {قالوا اطَّيَّرْنا بك وبَمن معكَ}، وقال قومُ يس لرسلهم: {إنَّا تطيَّرنا بكم لئن لم تَنتَهوا لَنَرْجُمَنَّكم ... } الآية، فلما تشابهتْ قلوبهم بالكفر؛ تشابهتْ أقوالهم وأفعالهم ، وهكذا كلُّ من نَسَبَ حصولَ الشَّرِّ أو زوالَ الخيرِ لما جاءت به الرُّسُل أو لبعضِهِ؛ فهو داخلٌ في هذا الذَّمِّ الوخيم. قال الله في جوابهم: {قل كلٌّ}؛ أي: من الحسنة والسيئة والخير والشر، {من عندِ الله}؛ أي: بقضائِهِ وقَدَرِهِ وخَلْقِهِ. {فمال هؤلاء القوم}؛ أي: الصادر منهم تلك المقالةُ الباطلة، {لا يكادونَ يفقهونَ حديثاً}؛ أي: لا يفهمون حديثاً بالكُلِّيَّة ولا يَقْرَبون من فهمِهِ أو لا يفهمون منه إلاَّ فهماً ضعيفاً. وعلى كلٍّ فهو ذمٌّ لهم وتوبيخ على عدم فهمهم وفقههم عن الله وعن رسوله، وذلك بسبب كفرهم وإعراضهم.
وفي ضمن ذلك مدح مَن يَفْهَمُ عن الله وعن رسوله، والحثُّ على ذلك وعلى الأسباب المعينة على ذلك من الإقبال على كلامِهِما، وتدبُّره وسلوك الطرق الموصلة إليه؛ فلو فَقِهوا عن الله؛ لعلموا أنَّ الخير والشرَّ والحسنات والسيئات كلَّها بقضاء الله وقَدَره، لا يخرج منها شيء عن ذلك، وأنَّ الرسل عليهم الصلاة والسلام لا يكونون سبباً لشرٍّ يحدُث. لا هم ولا ما جاؤوا به؛ لأنَّهم بُعِثوا بمصالح الدُّنيا والآخرة والدين.
{79} ثم قال تعالى: {ما أصابك من حسنة}؛ أي: في الدين والدنيا {فمن الله}: هو الذي مَنَّ بها ويَسَّرَها بتيسير أسبابها، {وما أصابك من سيِّئة}: في الدِّين والدُّنيا {فمن نفسِكَ}؛ أي: بذنوبك وكسبك وما يعفو الله عنه أكثر؛ فالله تعالى قد فَتَحَ لعبادِهِ أبوابَ إحسانِهِ وأمَرَهم بالدُّخول لبرِّهِ وفضلِهِ، وأخبرهم أنَّ المعاصي مانعةٌ من فضلِهِ؛ فإذا فَعَلَها العبد؛ فلا يلومنَّ إلاَّ نفسَه؛ فإنَّه المانعُ لنفسِهِ عن وصول فضل اللهِ وبِرِّهِ.
ثم أخبر عن عموم رسالةِ رسوله محمد - صلى الله عليه وسلم -، فقال: {وأرسلناكَ للنَّاسِ رسولاً وكفى باللهِ شهيداً}: على أنك رسولُ الله حَقًّا بما أيَّدك بنصرِهِ والمعجزاتِ الباهرة والبراهين الساطعةِ؛ فهي أكبر شهادةً على الإطلاق؛ كما قال تعالى: {قلْ أيُّ شيءٍ أكبرُ شهادةً قل اللهُ شهيدٌ بيني وبينَكم}؛ فإذا علم أنَّ الله تعالى كامل العلم تامُّ القدرة عظيم الحكمة وقد أيَّد اللهُ رسولَه بما أيَّده ونَصَرَهُ نصراً عظيماً؛ تيقَّن بذلك أنَّه رسولُ الله، وإلاَّ؛ فلو تقوَّل عليه بعضَ الأقاويل؛ لأخذ منه باليمينِ ثم لَقَطَعَ منه الوتينَ.
(77) Kaum Muslimin ketika masih di Makkah, mereka di-perintahkan untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, yaitu sebagai pelipur lara bagi kaum fakir, bukan zakat yang diketahui yang memiliki nishab dan syarat-syarat tertentu, sesungguhnya zakat seperti itu belumlah diwajibkan kecuali di Madinah, dan mereka pun belum diperintahkan untuk berjihad karena beberapa faidah, di antaranya;
+ Bahwa di antara hikmah Allah سبحانه وتعالى adalah Dia mensyariatkan hukum-hukum kepada hamba-hambaNya dalam bentuk yang tidak memberatkan mereka, dan Allah memulai dengan yang paling penting sebelum yang penting, yang lebih mudah sebelum yang mudah.
+ Bahwasanya bila saja diperintahkan kepada mereka jihad padahal jumlah dan perlengkapan mereka yang masih sedikit ditambah jumlah musuh yang besar, niscaya hal itu akan menjadi bumerang bagi hancurnya Islam, maka menjadi per-timbangan yang pasti dari sisi kemaslahatan yang besar atas kemaslahatan yang lebih kecil darinya dan hikmah-hikmah Ilahi yang lainnya.
Dan sebagian kaum Mukminin merasa sangat menginginkan seandainya jihad diwajibkan atas mereka pada suatu kondisi yang mana hal itu tidak cocok untuk diwajibkan, namun yang patut pada kondisi seperti itu adalah menegakkan apa yang diperintahkan kepada mereka berupa tauhid, shalat, zakat dan semisalnya, seba-gaimana Firman Allah,
﴾ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَشَدَّ تَثۡبِيتٗا 66
﴿
"Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)." (An-Nisa`: 66).
Kemudian ketika mereka berhijrah ke Madinah dan Islam telah kuat, maka diwajibkanlah jihad atas mereka pada waktunya yang cocok untuk itu, lalu sekelompok dari orang-orang yang sebelumnya tergesa-gesa meminta diwajibkannya jihad karena rasa takut kepada manusia (musuh), mereka lemah dan tidak berani, ﴾ رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ
﴿ "Ya Rabb kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?" Dalam hal ini tindakan itu adalah sebuah sikap keluh kesah dan sanggahan terhadap Allah, dan yang sepatutnya bagi mereka adalah menerima perintah Allah dan bersabar atas perintah-perintahNya tersebut, maka mereka telah berlaku kebalikan dari apa yang seharusnya diharapkan dari mereka, mereka berkata, ﴾ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖۗ
﴿ "Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?" Maksudnya, mengapa engkau tidak menunda kewajiban jihad itu selama masa tertentu dan bukan saat ini, kondisi seperti ini sering kita temui diperlihat-kan oleh orang-orang yang kurang matang dan tergesa-gesa dalam urusan sebelum waktunya, kebanyakannya adalah ia tidak akan bersabar atasnya ketika menunaikannya dan tidak pula teguh dalam mengembannya, akan tetapi ia sedikit sekali kesabarannya.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى mengingatkan mereka dari kondisi seperti itu, di mana itu merupakan tindakan tidak ikut serta dalam pepe-rangan, dalam FirmanNya, ﴾ قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٞ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ
﴿ "Katakanlah, 'Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa'," maksudnya, menikmati kesenangan-kesenangan dunia dan keindahan-keindahannya adalah sebentar, dan menghadapi segala kesulitan dalam ketaatan kepada Allah pada waktu yang sebentar adalah sangat mudah bagi jiwa dan ringan untuknya, karena bila ia mengetahui bahwa kesulitan yang dihadapinya itu tidak akan lama, niscaya hal itu mudah baginya, lalu bagaimana ia mampu menyamakan antara dunia dan akhirat, padahal akhirat itu lebih baik dari dunia pada dzatnya yaitu ke-senangan, dan waktunya, adapun dzatnya adalah seperti yang disabdakan oleh Nabi ﷺ dalam hadits yang kuat,
إِنَّ مَوْضِعَ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ لَخَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا.
"Sesungguhnya tempat cambuk di surga itu lebih baik dari dunia dan seisinya."[30]
Adapun kenikmatannya adalah suci dari hal-hal yang meru-saknya, bahkan setiap yang terbersit dalam benak atau berputar-putar dalam pikiran berupa gambaran suatu kenikmatan, maka kenikmatan surga itu adalah lebih dari gambaran tersebut, seba-gaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٞ مَّآ أُخۡفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعۡيُنٖ
﴿
"Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata." (As-Sajdah: 17).
Dan Allah berfirman melalui lisan NabiNya[31],
أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ.
"Saya telah menyiapkan bagi hamba-hambaKu yang shalih apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbersit dalam benak seorang manusia pun."
Adapun kenikmatan dunia, sesungguhnya ia bercampur dengan berbagai macam gangguan di mana bila dibandingkan antara kelezatannya dan apa yang mengiringinya berupa berbagai macam penderitaan dan kegelisahan serta kegalauan, maka kele-zatan tersebut tidaklah mempunyai prosentase sedikit pun dari segala sisinya. Adapun waktunya, sesungguhnya dunia itu semen-tara, usia manusia menurut usia dunia sangatlah pendek sekali, sedangkan akhirat, maka sesungguhnya ia adalah kenikmatan yang selamanya, penghuni-penghuninya kekal di dalamnya, bila seorang yang berakal mau berpikir tentang kedua negeri tersebut dan tergambar olehnya hakikat keduanya dengan sebenar-benar-nya, mesti ia tahu yang mana yang harus didahulukan, diusahakan, dan bersungguh-sungguh dalam meraihnya, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ
﴿ "Dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa," yaitu menjauhi kesyirikan dan seluruh hal-hal yang diharamkan, ﴾ وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلًا
﴿ "dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun," maksudnya, usaha kalian untuk akhirat akan kalian dapatkan secara sempurna dan penuh dan tidak dikurangi sedikit pun darinya.
(78) Kemudian Allah mengabarkan bahwa tidaklah akan bermanfaat suatu kewaspadaan terhadap takdir Allah, dan bahwa seorang yang duduk berdiam diri (tidak ikut berperang) tidaklah duduknya itu menolongnya dari apa pun juga, dan Allah berfir-man, ﴾ أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ
﴿ "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu" maksudnya, pada waktu apa pun dan tempat manapun, ﴾ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٖ مُّشَيَّدَةٖۗ
﴿ "kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh" yaitu benteng-benteng yang kuat dan rumah-rumah yang tinggi. Semua ini merupakan dorongan untuk berjihad di jalan Allah, terkadang dengan cara bujukan tentang keutamaan dan pahalanya, terkadang pula dengan menakut-nakuti akan hukuman karena meninggalkannya, terkadang juga dengan me-ngabarkan bahwa orang-orang yang duduk-duduk saja (tidak ikut berperang) tidaklah duduk mereka itu berguna bagi mereka, dan terkadang lagi dengan memudahkan jalan kepadanya.
Kemudian Allah berfirman,
﴾ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَۚ قُلۡ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا 78 مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا 79
﴿
"Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, 'Ini adalah dari sisi Allah', dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana, mereka mengatakan, 'Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).' Katakanlah, 'Semuanya (datang) dari sisi Allah.' Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang me-nimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutus-mu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi." (An-Nisa`: 78-79).
Allah سبحانه وتعالى mengabarkan tentang orang-orang yang tidak me-ngetahui, yang berpaling dari apa yang dibawa oleh para Rasul dan menentang mereka, bahwa bila orang-orang itu memperoleh suatu kebaikan, yaitu tanah yang subur, harta yang melimpah, anak-anak yang banyak dan kesehatan, mereka berkata,﴾ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ
﴿ "Ini adalah dari sisi Allah" dan bahwasanya bila mereka tertimpa suatu musibah, yaitu tanah yang tandus, kefakiran, penyakit, meninggalnya anak-anak mereka atau orang-orang yang mereka cintai, mereka berkata, ﴾ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَۚ
﴿ "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)." Maksudnya, oleh sebab apa yang telah engkau bawa kepada kami wahai Muhammad ﷺ! Mereka mengaitkan musibah itu dengan Rasulullah ﷺ sebagaimana orang-orang yang seperti mereka mengait-kaitkan suatu musibah zaman dahulu dengan Rasul-rasul Allah, sebagaimana Allah telah mengabarkan tentang kaum Fir'aun bahwa mereka berkata kepada Musa عليه السلام,
﴾ فَإِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا هَٰذِهِۦۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓۗ
﴿
"Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, 'Itu adalah karena (usaha) kami.' Dan jika mereka ditimpa kesu-sahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya." (Al-A'raf: 131).
Dan kaum Shaleh juga berkata,
﴾ قَالُواْ ٱطَّيَّرۡنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَۚ
﴿
"Mereka menjawab, 'Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu'." (An-Naml: 47).
Dan kaum (yang disebutkan dalam surat) Yasin berkata ke-pada Rasul-rasul mereka,
﴾ إِنَّا تَطَيَّرۡنَا بِكُمۡۖ لَئِن لَّمۡ تَنتَهُواْ لَنَرۡجُمَنَّكُمۡ
﴿
"Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu..." (Yasin: 18).
Ketika hati mereka memiliki keserupaan dalam hal kekufuran, lalu perkataan dan perbuatan mereka pun menjadi serupa, dan setiap orang yang menisbatkan terjadinya suatu keburukan atau hilangnya kebaikan terhadap apa yang dibawa oleh para Rasul atau terhadap sebagiannya, maka ia termasuk dalam celaan yang hina tersebut, Allah berfirman dalam menjawab (perkara) mereka, ﴾ قُلۡ كُلّٞ
﴿ "Katakanlah, 'Semuanya'," yaitu berupa kebaikan dan kebu-rukan, keberuntungan dan kesialan, ﴾ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ
﴿ "(datang) dari sisi Allah," maksudnya, dengan ketetapan dan ketentuanNya serta penciptaanNya, ﴾ فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ
﴿ "maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)," yaitu apa yang bersumber dari mereka berupa perkataan yang batil, ﴾ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا
﴿ "hampir-hampir tidak memahami pem-bicaraan sedikit pun?" yaitu mereka tidak memahami pembicaraan secara menyeluruh dan tidak juga mendekati pemahamannya atau mereka tidaklah memahaminya kecuali dengan pemahaman yang sangat lemah. Namun yang jelas bahwa hal itu adalah sebuah celaan bagi mereka dan kecaman atas ketidakpahaman mereka dan ketidakmengertian mereka tentang Allah dan RasulNya, yang demikian itu adalah karena kekufuran dan berpalingnya mereka.
Dan termasuk dalam kandungannya adalah pujian terhadap orang yang memahami tentang Allah dan tentang RasulNya, dan anjuran terhadap hal tersebut dan terhadap sebab-sebab yang membantu akan hal tersebut berupa penerimaan perkataan kedua-nya, merenunginya dan menempuh jalan yang menyampaikan kepadanya. Sekiranya mereka memahami tentang Allah, niscaya mereka akan mengetahui bahwa kebaikan dan keburukan, kebe-runtungan dan kesialan semuanya adalah dengan ketentuan Allah dan ketetapanNya, apa pun tidak akan keluar dari hal tersebut, dan bahwa para Rasul bukanlah sebagai sebab akan suatu keburukan yang terjadi, bukan mereka dan bukan juga apa yang mereka bawa, karena mereka diutus demi kemaslahatan dunia dan akhirat serta agama.
(79) Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ
﴿ "Apa saja nikmat yang kamu peroleh" yaitu dalam (perkara) agama maupun dunia, ﴾ فَمِنَ ٱللَّهِۖ
﴿ "adalah dari Allah," Dia-lah yang mengaruniakan dan memudahkannya dengan memudahkan sebab-sebabnya, ﴾ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ
﴿ "dan apa saja bencana yang menimpamu" dalam (perkara) agama maupun dunia, ﴾ فَمِن نَّفۡسِكَۚ
﴿ "maka dari kesalahan dirimu sendiri," yaitu dengan dosa-dosamu dan usahamu, padahal apa yang dimaafkan oleh Allah darinya adalah lebih banyak, dan Allah سبحانه وتعالى telah mem-buka pintu-pintu kebaikanNya bagi hamba-hambaNya, dan me-merintahkan mereka untuk memasuki kebaikan dan karuniaNya, dan mengabarkan kepada mereka bahwa kemaksiatan itu adalah penghalang dari karuniaNya, lalu bila seorang hamba melaku-kannya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri, karena sesungguhnya yang menjadi penghalang dirinya memperoleh karunia Allah dan kebaikanNya adalah hal tersebut.
Kemudian Allah mengabarkan tentang keumuman risalah RasulNya Muhammad ﷺ seraya berfirman, ﴾ وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا
﴿ "Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukup-lah Allah menjadi saksi" bahwa engkau adalah utusan Allah secara benar dengan apa yang telah Allah topang dengan pembelaanNya dan mukjizat-mukjizat yang menakjubkan serta keterangan-kete-rangan yang pasti, dan hal itu adalah kesaksian yang paling utama secara mutlak, sebagaimana Allah berfirman,
﴾ قُلۡ أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ ﴿
"Katakanlah, 'Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?' Katakan-lah, 'Allah.' Dia menjadi saksi antara aku dan kamu."
(Al-An'am: 19),
dan apabila ia telah mengetahui bahwa ilmu Allah itu sempurna, kekuasaanNya menyeluruh, hikmahNya agung, dan Dia telah membantu RasulNya dengan apa pun yang telah menopangnya dan membelanya dengan pembelaan yang besar, niscaya yakinlah ia dengan hal tersebut bahwa ia adalah Rasulullah ﷺ, dan bila tidak demikian, sekiranya dia mengadakan sebagian perkataan atas Allah, niscaya Allah benar-benar memegangnya dengan Tangan kananNya kemudian benar-benar Dia potong urat tali jantungnya.
{مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (80) وَيَقُولُونَ طَاعَةٌ فَإِذَا بَرَزُوا مِنْ عِنْدِكَ بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ الَّذِي تَقُولُ وَاللَّهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُونَ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا (81)}.
"Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Dan mereka
(orang-orang munafik) mengatakan, '
(Kewajiban kami hanyalah) taat.' Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari
(mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung."
(An-Nisa`: 80-81).
#
{80} أي: كلُّ من أطاع رسول الله في أوامره ونواهيه؛ {فقد أطاع الله} تعالى؛ لكونِهِ لا يأمر ولا ينهى إلا بأمر الله وشرعه ووحيه وتنزيله، وفي هذا عصمةُ الرسول - صلى الله عليه وسلم -؛ لأنَّ الله أمر بطاعتِهِ مطلقاً؛ فلولا أنَّه معصومٌ في كلِّ ما يبلِّغ عن الله؛ لم يأمرْ بطاعتِهِ مطلقاً وَيمدَحْ على ذلك، وهذا من الحقوق المشتركة؛ فإنَّ الحقوق ثلاثةٌ: حقٌّ لله تعالى لا يكونُ لأحدٍ من الخَلْق، وهو عبادةُ الله والرغبةُ إليه وتوابع ذلك؛ وقسمٌ مختصٌّ بالرسول، وهو التعزيرُ والتوقيرُ والنُّصرةُ. وقسمٌ مشترك، وهو الإيمان بالله ورسولِهِ ومحبتُهما وطاعتُهما؛ كما جَمَعَ الله بين هذه الحقوق في قوله: {لِتُؤْمنوا بالله ورسوله وتعزِّروهُ وتوقِّروه وتسبِّحوه بكرةً وأصيلاً}؛ فمَنْ أطاع الرسول؛ فقد أطاع الله، وله من الثواب والخير ما رُتِّب على طاعة الله. {ومَن تولَّى}: عن طاعة الله ورسولِهِ؛ فإنه لا يضرُّ إلا نفسَه، ولا يضرُّ الله شيئاً. {فما أرسلناك عليهم حفيظاً}؛ أي: تحفظ أعمالَهم وأحوالَهم، بل أرسلناك مبلِّغاً ومبيِّناً وناصحاً، وقد أديتَ وظيفتكَ ووَجَبَ أجرُك على الله، سواءٌ اهتدَوا أم لم يهتدُوا؛ كما قال تعالى: {فَذَكِّرْ إنَّما أنت مُذَكِّرٌ لستَ عليهم بمصيطرٍ ... } الآية.
(80) Maksudnya, setiap orang yang menaati Rasulullah ﷺ dalam perintah-perintah dan larangan-larangannya, ﴾ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ
﴿ "sesungguhnya ia telah menaati Allah سبحانه وتعالى," karena tidaklah beliau memerintahkan dan tidaklah melarang kecuali dengan perintah Allah, syariat, wahyu dan segala apa yang diturunkanNya, hal ini menunjukkan kema'shuman Rasulullah ﷺ, karena Allah meme-rintahkan untuk menaatinya secara mutlak, sekiranya bila beliau tidak ma'shum dalam segala hal yang disampaikannya dari Allah, niscaya tidaklah Allah akan memerintahkan untuk menaatinya secara mutlak lalu Dia memuji hal tersebut, dan ini adalah di antara hak-hak yang dimiliki bersama, karena sesungguhnya hak-hak itu ada tiga macam: Pertama, hak milik Allah سبحانه وتعالى yang tidak dimiliki seorang pun dari makhluk, yaitu beribadah kepada Allah, memo-hon kepadaNya dan segala hal yang menyertainya. Kedua, hak yang khusus milik Rasul yaitu penghormatan, pemuliaan dan pembelaan, dan ketiga, hak-hak yang dimiliki bersama yaitu iman kepada Allah dan RasulNya, mencintai dan menaati keduanya sebagaimana Allah menyatukan antara hak-hak tersebut dalam FirmanNya,
﴾ لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُۚ وَتُسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا 9
﴿
"Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan RasulNya, menguatkan (agama)Nya, membesarkanNya, dan bertasbih kepadaNya di waktu pagi dan petang." (Al-Fath: 9),
maka barangsiapa yang taat kepada Rasul, sesungguhnya ia telah taat kepada Allah, dan ia berhak mendapatkan pahala dan kebaikan yang disediakan karena ketaatan kepada Allah, ﴾ وَمَن تَوَلَّىٰ
﴿ "dan ba-rangsiapa yang berpaling" dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya, sesungguhnya hal itu tidaklah membahayakan kecuali bagi dirinya sendiri, dan tidak akan ada yang mampu membahayakan Allah sama sekali, ﴾ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا
﴿ "maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka," maksudnya (kamu tidaklah diutus untuk) memelihara perbuatan-perbuatan dan kondisi-kondisi mereka, akan tetapi Kami mengutusmu sebagai penyeru, pemberi penjelasan dan pemberi nasihat, dan sungguh engkau telah menunaikan tugasmu, maka wajiblah ganjarannya untukmu dari Allah, baik mereka mendapat petunjuk karenanya ataupun tidak mendapatkannya, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ فَذَكِّرۡ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٞ 21 لَّسۡتَ عَلَيۡهِم بِمُصَيۡطِرٍ 22 ﴿
"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka."
(Al-Ghasyiyah: 21-22).
#
{81} ولا بدَّ أن تكون طاعةُ الله ورسولِهِ ظاهراً وباطناً في الحضرة والمغيبِ، فأمّا من يُظْهِرُ في الحضرة الطاعةَ والالتزامَ؛ فإذا خلا بنفسِهِ أو أبناء جنسِهِ؛ تَرَكَ الطاعة وأقبل على ضِدِّها؛ فإنَّ الطاعة التي أظهرها غيرُ نافعةٍ ولا مفيدةٍ، وقد أشبهَ مَن قال الله فيهم: {ويقولونَ طاعةٌ}؛ أي: يظهِرونَ الطاعةَ إذا كانوا عندك؛ {فإذا بَرَزوا من عندِكَ}؛ أي: خرجوا وخَلَوا في حالة لا يُطَّلع فيها عليهم، {بَيَّت طائفةٌ منهم غير الذي تقول}؛ أي: بيَّتوا ودبَّروا غير طاعتِك ولا ثمَّ إلا المعصية. وفي قوله: {بَيَّتَ طائفةٌ منهم غيرَ الذي تقول}: دليلٌ على أنَّ الأمر الذي استقرُّوا عليه غيرُ الطاعة؛ لأنَّ التبييت تدبيرُ الأمر ليلاً على وجهٍ يستقرُّ عليه الرأي. ثم توعَّدهم على ما فَعلوا، فقال: {والله يكتُبُ ما يُبَيِّتونَ}؛ أي: يحفظه عليهم وسيجازيهم عليه أتمَّ الجزاء؛ ففيه وعيدٌ لهم. ثم أمر رسوله بمقابلتهم بالإعراض وعدم التعنيف؛ فإنهم لا يضرُّونه شيئاً إذا توكَّل على الله واستعان به في نصر دينِهِ وإقامة شرعِهِ، ولهذا قال: {فأعرِضْ عنهم وتوكَّل على الله وكفى باللهِ وكيلاً}.
(81) Ketaatan kepada Allah dan RasulNya haruslah secara lahir maupun batin dan dalam keadaan ramai maupun sepi. Ada-pun orang yang menampakkan ketaatan dan konsistensi di saat ramai, lalu bila ia sedang sendiri atau bersama orang-orang yang semisalnya ia meninggalkan ketaatan dan melakukan hal yang bertentangan dengannya, sesungguhnya ketaatan yang ia tampak-kan itu tidaklah bermanfaat dan tidak berguna, sungguh hal ini serupa dengan orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka, ﴾ وَيَقُولُونَ طَاعَةٞ
﴿ "Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan, '(Ke-wajiban kami hanyalah) taat'." Yaitu mereka menampakkan ketaatan apabila mereka berada di sisimu, ﴾ فَإِذَا بَرَزُواْ مِنۡ عِندِكَ
﴿ "tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu" yaitu mereka keluar dan menyendiri pada kondisi yang tidak ada seorang pun melihat mereka, ﴾ بَيَّتَ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ غَيۡرَ ٱلَّذِي تَقُولُۖ
﴿ "sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi."
Maksudnya, mereka mengatur siasat di malam hari dan ke-mudian berpaling dari ketaatan kepadamu, serta tidaklah mereka melakukan (di belakangmu) melainkan kemaksiatan. Di dalam Firman Allah, ﴾ بَيَّتَ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ غَيۡرَ ٱلَّذِي تَقُولُۖ
﴿, terdapat sebuah dalil bahwa suatu hal yang mana mereka telah konsisten terhadapnya bukan-lah suatu ketaatan, karena kata at-Tabyit artinya, mengatur sebuah siasat pada malam hari dalam bentuk yang ditetapkan oleh pen-dapat. Kemudian Allah mengancam mereka atas apa yang telah mereka lakukan tersebut dalam FirmanNya, ﴾ وَٱللَّهُ يَكۡتُبُ مَا يُبَيِّتُونَۖ
﴿ "Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu." Maksudnya, Dia menyimpan siasat mereka dan akan memberikan balasan kepada mereka atas hal tersebut dengan balasan yang setimpal, hal itu adalah sebuah ancaman yang keras bagi mereka. Kemudian Allah memerintahkan RasulNya untuk menghadapi mereka dengan cara berpaling dari mereka tanpa mengecam, karena sesungguh-nya mereka itu tidaklah dapat membahayakan beliau sama sekali apabila beliau bertawakal kepada Allah, memohon bantuanNya dalam membela agamaNya dan penegakan syariatNya, karena itulah Allah berfirman, ﴾ فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا ﴿ "Maka ber-palinglah kamu dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung."
{أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (82)}.
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an? Kalau kiranya al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya."
(An-Nisa`: 82).
#
{82} يأمر تعالى بتدبُّر كتابه، وهو التأمُّل في معانيه وتحديق الفكر فيه وفي مبادئِهِ وعواقبه ولوازم ذلك؛ فإنَّ في تدبُّر كتاب الله مفتاحاً للعلوم والمعارف، وبه يُسْتَنْتَجُ كلُّ خير وتستخرجُ منه جميعُ العلوم، وبه يزداد الإيمان في القلب وترسَخُ شجرته؛ فإنَّه يعرِّف بالربِّ المعبود وما له من صفات الكمال وما يُنَزَّهُ عنه من سماتِ النقص، ويعرِّف الطريقَ الموصلة إليه وصِفَةَ أهلها وما لهم عند القدوم عليه، ويعرِّف العدوَّ الذي هو العدوُّ على الحقيقة والطريقَ الموصلة إلى العذاب وصفة أهلها وما لهم عند وجود أسباب العقاب. وكلَّما ازداد العبد تأمُّلاً فيه؛ ازداد علماً وعملاً وبصيرةً، لذلك أمر الله بذلك وحثَّ عليه وأخبر أنه هو المقصود بإنزال القرآن؛ كما قال تعالى: {كتابٌ أنزلناه إليك مُبارَكٌ ليدَّبَّروا آياتِهِ وليتذكَّرَ أُولو الألبابِ}؛ وقال تعالى: {أفلا يتدبَّرون القرآن أم على قُلوبٍ أقفالُها}.
ومن فوائدِ التدبُّر لكتاب الله أنَّه بذلك يصل العبدُ إلى درجة اليقين والعلم بأنَّه كلام الله؛ لأنَّه يراه يصدِّق بعضُه بعضاً، ويوافق بعضُه بعضاً، فترى الحِكَمَ والقصةَ والإخبارات تُعاد في القرآن في عِدَّة مواضع، كلُّها متوافقة متصادقة، لا ينقُض بعضُها بعضاً؛ فبذلك يُعلم كمال القرآن، وأنَّه من عند مَن أحاط علمُهُ بجميع الأمور؛ فلذلك قال تعالى: {ولو كانَ مِن عندِ غيرِ الله لوجدوا فيه اختلافاً كثيراً}؛ أي: فلما كان من عند الله، لم يكن فيه اختلافٌ أصلاً.
(82) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan agar merenungi kitabNya, yaitu berpikir tentang maknanya, memfokuskan pikiran padanya, pada asas-asasnya dan kesimpulan-kesimpulannya serta hal-hal yang berkaitan dengannya, karena sesungguhnya perenungan terhadap kitabullah adalah sebuah kunci
(untuk mendapatkan) ilmu dan pengetahuan, dengannya dapat dihasilkan segala kebaikan dan dibuahkan segala ilmu, dengannya iman bertambah dalam hati dan akarnya akan tertancap dalam-dalam. Sesungguhnya ia memberitahu tentang Rabb yang harus disembah dan segala per-kara tentang sifat-sifat kesempurnaan dan perkara yang disucikan dariNya dari berbagai sifat kekurangan, ia memberitahukan tentang jalan yang menyampaikan kepadaNya, dan tentang sifat-sifat penghuni surga dan apa pun yang mereka dapatkan ketika mema-sukinya, memberitahukan tentang musuh yang benar-benar musuh secara hakiki, dan tentang jalan yang mengakibatkan siksaan serta sifat-sifat penghuninya dan hal apa pun yang ada pada mereka yang menyebabkan siksaan tersebut. Dan setiap kali seorang hamba bertambah renungannya terhadap al-Qur`an, niscaya bertambah pula ilmu, amal, dan kearifannya, oleh karena itu Allah memerin-tahkan kepada hal tersebut dan menganjurkannya lalu mengabar-kan bahwa itulah maksud dari diturunkannya al-Qur`an, sebagai-mana Allah berfirman,
﴾ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ 29
﴿
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran." (Shad: 29),
dan Allah سبحانه وتعالى juga berfirman,
﴾ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ 24
﴿
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?" (Muhammad: 24).
Dan di antara faidah dari merenungi kitabullah adalah, bahwa dengan merenunginya seorang hamba akan sampai kepada derajat keyakinan dan ilmu bahwa al-Qur`an itu adalah Kalam Allah, karena sesungguhnya ia akan menyaksikan bahwa sebagiannya membenarkan sebagian lainnya, sebagiannya sesuai dengan seba-gian lainnya, dan Anda akan menyaksikan hikmah-hikmah, kisah-kisah, dan kabar-kabar yang diulang-ulang dalam al-Qur`an dalam beberapa tempat, seluruhnya saling sesuai dan saling membenar-kan, sebagiannya tidaklah membatalkan sebagian lainnya, dengan demikian diketahuilah kesempurnaan al-Qur`an, dan bahwasanya ia adalah dari Dzat yang ilmuNya meliputi segala sesuatu, karena itulah Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ﴿ "Kalau kiranya al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya," maksudnya, ketika al-Qur`an itu dari sisi Allah, maka tidak akan ada perselisihan di dalamnya sama sekali.
{وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا (83)}.
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran-nya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja
(di antaramu)."
(An-Nisa`: 83).
#
{83} هذا تأديبٌ من الله لعبادِهِ عن فعلهم هذا غير اللائق، وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمرٌ من الأمور المهمَّة والمصالح العامَّة ما يتعلَّق بالأمن وسرور المؤمنين أو بالخوف الذي فيه مصيبةٌ عليهم أن يتثبَّتوا ولا يستعجِلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردُّونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم أهل الرأي والعلم والنُّصح والعقل والرزانة الذين يعرفونَ الأمور ويعرفون المصالح وضدَّها؛ فإنْ رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطاً للمؤمنين وسروراً لهم وتحرُّزاً من أعدائِهِم؛ فعلوا ذلك، وإن رأوا [أنه ليس] فيه مصلحةٌ، أو فيه مصلحة ولكن مضرَّته تزيد على مصلحتِهِ؛ لم يذيعوهُ. ولهذا قال: {لَعَلِمَهُ الذين يستنبطونَه منهم}؛ أي: يستخِرجونه بفِكْرهم وآرائهم السَّديدة وعلومهم الرشيدة.
وفي هذا دليلٌ لقاعدةٍ أدبيَّة، وهي أنه إذا حَصَلَ بحثٌ في أمر من الأمور؛ ينبغي أن يُوَلَّى مَن هو أهلٌ لذلك، ويُجْعَلَ إلى أهله، ولا يُتَقَدَّم بين أيديهم؛ فإنه أقرب إلى الصواب وأحرى للسلامة من الخطأ.
وفيه النهي عن العجلة والتسرُّع لنشر الأمور من حين سماعها، والأمر بالتأمُّل قبل الكلام والنظر فيه؛ هل هو مصلحةٌ فيقْدِمُ عليه الإنسان أم لا فيُحْجِمُ عنه؟
ثم قال تعالى: {ولولا فضلُ الله عليكم ورحمتُهُ}؛ أي: في توفيقِكم وتأديبِكم وتعليمِكم ما لم تكونوا تعلمون، {لاتَّبعتم الشيطانَ إلَّا قليلاً}؛ لأنَّ الإنسان بطبعِهِ
ظالمٌ جاهلٌ فلا تأمرُهُ نفسُه إلاَّ بالشَّرِّ؛ فإذا لجأ إلى ربِّه، واعتصم به، واجتهدَ في ذلك؛ لَطَفَ به ربُّه، ووفَّقه لكلِّ خيرٍ، وعصمَه من الشيطان الرجيم.
(83) Ini merupakan pengajaran dari Allah untuk hamba-hambaNya tentang perbuatan mereka yang tidaklah patut tersebut, dan bahwa seyogyanya apabila datang kepada mereka suatu perkara penting dan kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum Mukminin atau dengan kekha-watiran yang mengakibatkan suatu musibah atas mereka, agar mereka memastikan terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan kabar tersebut, dan sebaiknya mereka menyerahkan-nya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri di antara mereka yaitu orang-orang yang memiliki pandangan luas, ilmu, nasihat, kecer-dasan, dan keteguhan, di mana mereka mengetahui urusan-urusan dan mengetahui kemaslahatan atau kemudharatan, dan bila me-reka memandang bahwa menyebarkannya mengandung kemas-lahatan dan semangat bagi kaum Muslimin, bahkan kebahagiaan untuk mereka serta tindakan kewaspadaan terhadap musuh-musuh mereka, maka mereka boleh melakukan hal tersebut, dan bila mereka memandang bahwa hal itu tidak memiliki kemaslahatan, atau ada kemaslahatan padanya akan tetapi kemudharatannya lebih besar daripada kemaslahatannya, maka janganlah mereka menyiarkannya, karena itulah Allah berfirman,﴾ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ
﴿ "Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)," maksudnya, mereka dapat menyimpulkan suatu kebenaran dengan pemikiran dan pendapat-pendapat mereka yang lurus serta ilmu-ilmu mereka yang matang.
Ayat ini merupakan sebuah dalil bagi sebuah kaidah moral yaitu bahwa apabila terjadi sebuah pembahasan dalam suatu per-kara, seyogyanya perkara tersebut diserahkan kepada orang yang berhak atas perkara tersebut, dan tidak ada seorang pun yang didahulukan sebelumnya, karena sesungguhnya ia lebih dekat kepada kebenaran dan lebih dapat selamat dari kesalahan.
Ayat ini juga mengisyaratkan larangan dari sikap ketergesa-gesaan dan terburu-buru dalam menyebarkan informasi setelah mendengarnya, dan seharusnya dalam perkara seperti itu perlu berpikir sebelum membicarakan dan membahasnya, apakah hal itu menyimpan kemaslahatan hingga ia melakukannya ataukah tidak hingga ia menahannya.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ
﴿ "Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu" yaitu dalam membimbing, mengajarkan, dan mendidik kalian dengan apa yang belum kalian ketahui, ﴾ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا ﴿ "tentulah kamu meng-ikuti setan, kecuali sebagian kecil saja
(di antaramu)," karena manusia dengan tabiatnya adalah zhalim lagi bodoh, dan nafsunya tidaklah menyuruhnya kecuali kepada kejahatan, namun bila ia bersandar kepada Rabbnya dan berpegang teguh denganNya dan ia berjuang dalam hal tersebut, niscaya Rabbnya akan mengasihi dan membim-bingnya kepada segala kebaikan dan menjaganya dari setan yang terkutuk.
{فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيلًا (84)}.
"Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para Mukmin
(untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu, dan Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan
(Nya)."
(An-Nisa`: 84).
#
{84} هذه الحالة أفضل أحوال العبد؛ أن يجتهدَ في نفسه على امتثال أمر الله من الجهاد وغيره، ويحرِّض غيره عليه، وقد يعدم في العبد الأمران أو أحدهما؛ فلهذا قال [اللهُ] لرسوله: {فقاتِلْ في سبيل الله لا تُكَلَّفُ إلا نفسَك}؛ أي: ليس عليك قدرة على غير نفسك، فلن تُكَلَّفَ بفعل غيرك. {وحرِّضِ المؤمنين} على القتال، وهذا يشمل كلَّ أمر يحصُل به نشاط المؤمنين وقوَّة قلوبهم؛ من تقويتهم، والإخبار بضَعْف الأعداء وفشلهم، وبما أعدَّ الله للمقاتلين من الثواب، وما على المتخلِّفين من العقاب؛ فهذا وأمثاله كلُّه يدخُل في التحريض على القتال. {عسى الله أن يكفَّ بأس الذين كفروا}؛ أي: بقتالِكم في سبيل الله وتحريض بعضِكم بعضاً. {والله أشدُّ بأساً}؛ أي: قوة وعزَّة، {وأشدُّ تنكيلاً}: بالمذنب في نفسه وتنكيلاً لغيره؛ فلو شاء تعالى؛ لانتصر من الكفار بقوَّته، ولم يجعلْ لهم باقيةً، ولكن من حكمتِهِ يبلو بعض عبادِهِ ببعض؛ ليقوم سوق الجهاد، ويحصُل الإيمان النافع إيمان الاختيار لا إيمان الاضطرار، والقَهْر الذي لا يفيدُ شيئاً.
(84) Kondisi ini adalah kondisi terbaik bagi seorang hamba, yaitu ia berjuang dalam dirinya untuk melaksanakan perintah Allah berupa jihad ataupun lainnya, dan ia juga mendorong orang lain kepada hal tersebut, terkadang seorang hamba tidak berada pada kedua kondisi itu atau hanya berada pada salah satunya, oleh karena itu Allah berfirman kepada RasulNya, ﴾ فَقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفۡسَكَۚ
﴿ "Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri," maksudnya, tidak ada kemampuan bagimu terhadap selain dirimu, maka tidaklah kamu dibebankan dengan perbuatan orang lain, ﴾ وَحَرِّضِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
﴿ "dan kobarkanlah semangat para Mukmin (untuk berperang)," yakni, untuk berjihad, hal ini mencakup segala hal yang mampu mengobarkan semangat kaum Mukminin dan kekuatan hati mereka, berupa tin-dakan memperkuat (lahir dan batin) mereka, mengabarkan tentang kelemahan musuh dan kegagalan mereka dan tentang janji yang akan diberikan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad berupa pahala, dan hal yang akan diterima oleh orang-orang yang tidak ikut dalam peperangan berupa siksaan, hal ini dan yang sema-camnya termasuk dari tindakan mengobarkan semangat untuk berjihad.
﴾ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأۡسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ
﴿ "Mudah-mudahan Allah menolak se-rangan orang-orang yang kafir itu," yaitu dengan berperangnya kalian di jalan Allah dan pengobaran semangat dari sebagian kalian kepada sebagian lainnya, ﴾ وَٱللَّهُ أَشَدُّ بَأۡسٗا
﴿ "dan Allah amat besar kekuatanNya" yaitu kemampuan dan kemuliaanNya, ﴾ وَأَشَدُّ تَنكِيلٗا ﴿ "dan amat keras siksaan
(Nya)" terhadap seorang pelaku dosa pada dirinya sendiri, dan siksaanNya terhadap selain dirinya. Sekiranya Allah meng-hendaki, niscaya Allah akan mengalahkan kaum kafir dengan ke-kuatanNya, dan tidak akan menyisakan mereka sedikit pun juga, akan tetapi di antara hikmahNya adalah Allah menguji sebagian hamba-hambaNya dengan sebagian lainnya, agar jihad itu terlak-sana, dan agar tumbuh keimanan yang berguna yaitu keimanan atas dasar pilihan dan bukan keimanan paksaan atau tekanan yang tidak berguna sama sekali.
{مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا (85)}.
"Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian
(pahala) dari padanya. Dan barang-siapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian
(dosa) dari padanya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."
(An-Nisa`: 85).
#
{85} المراد بالشفاعة هنا المعاونةُ على أمرٍ من الأمور؛ فمنْ شَفَعَ غيرَهُ وقام معه على أمرٍ من أمور الخير ومنه الشفاعة للمظلومين لمن ظلمهم؛ كان له نصيبٌ من شفاعته بحسب سعيه وعمله ونفعه، ولا ينقُصُ من أجر الأصيل أو المباشر شيءٌ، ومن عاون غيره على أمر من الشرِّ؛ كان عليه كِفْلٌ من الإثم بحسب ما قام به وعاون عليه. ففي هذا الحثُّ العظيم على التعاون على البر والتقوى، والزجر العظيم عن التعاون على الإثم والعدوان. وقرَّر ذلك بقوله: {وكان الله على كل شيء مُقيتاً}؛ أي: شاهداً حفيظاً حسيباً على هذه الأعمال، فيجازي كلاًّ ما يستحقُّه.
(85) Maksud dari syafa'at di sini adalah bantuan atas suatu urusan, barangsiapa yang memberikan syafa'at kepada orang lain dan melakukan suatu perkara dari perbuatan-perbuatan baik bersamanya, di antaranya adalah syafa'at untuk orang-orang yang teraniaya kepada para pelaku kezhaliman, ia mendapat bagian pahala dari syafa'atnya itu sesuai dengan usaha, perbuatan, dan nilai manfaatnya, dan tidaklah akan berkurang sedikit pun pahala orang yang langsung berkenaan dengannya. Dan barangsiapa yang menolong orang lain dalam suatu keburukan, maka dia mendapat bagian dari dosa sesuai dengan apa yang ia lakukan dan apa yang ia bantu. Hal ini adalah sebuah anjuran yang besar untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, dan ancaman yang keras dari tolong menolong dalam dosa dan kejahatan. Dan Allah menetapkan hal itu dalam FirmanNya, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ مُّقِيتٗا ﴿ "Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" yaitu sebagai saksi, menyimpan, dan menghitung segala perbuatan-perbuatan tersebut, lalu mem-balas setiap perbuatan sesuai dengan haknya masing-masing.
{وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا (86)}.
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah
(dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu."
(An-Nisa`: 86).
#
{86} التحية: هي اللفظ الصادر من أحد المتلاقيين على وجه الإكرام والدُّعاء وما يقترن بذلك اللفظ من البشاشة ونحوها، وأعلى أنواع التحية ما ورد به الشرعُ من السلام ابتداءً وردًّا، فأمر تعالى المؤمنين أنَّهم إذا حُيُّوا بأيِّ تحيَّة كانت أن يردُّوها بأحسن منها لفظاً وبشاشةً أو مثلها في ذلك، ومفهوم ذلك النهي عن عدم الردِّ بالكلِّيَّة أو رَدِّها بدونها. ويؤخذ من الآية الكريمة الحثُّ على ابتداء السلام والتحيَّة من وجهين:
أحدهما: أنَّ الله أمر بردِّها بأحسنَ منها أو مثلِها، وذلك يستلزم أن التحيَّة مطلوبةٌ شرعاً.
والثاني: ما يُستفادُ من أفعل التفضيل، وهو أحسن، الدالُّ على مشاركة التحيَّة وردِّها بالحسن؛ كما هو الأصل في ذلك.
ويستثنى من عموم الآية الكريمة من حيَّا بحال غير مأمورٍ بها؛ كعلى مشتغل بقراءةٍ أو استماع خطبةٍ أو مصلٍّ ونحو ذلك؛ فإنه لا يُطلب إجابةُ تحيَّته، وكذلك يُستثنى مِن ذلك مَن أمر الشارع بهجره وعدم تحيَّته، وهو العاصي غير التائب، الذي يرتدِعُ بالهجر؛ فإنَّه يُهْجَرُ ولا يُحَيَّا ولا تُرَدُّ تحيَّته، وذلك لمعارضة المصلحة الكبرى، ويدخل في ردِّ التحيَّة كلُّ تحيَّة اعتادها الناس، وهي غير محظورة شرعاً؛ فإنه مأمورٌ بردِّها أو أحسن منها. ثم أوعد تعالى وتوعَّد على فعل الحسنات والسيئاتِ بقوله: {إنَّ الله كان على كلِّ شيءٍ حسيباً}: فيحفظُ على العباد أعمالهم حَسَنها وسيِّئها، صغيرها وكبيرها، ثم يجازيهم بما اقتضاه فضلُه وعدلُه وحكمُه المحمود.
(86) Salam penghormatan adalah sebuah kata yang ber-sumber dari salah seorang dari dua orang yang bertemu dengan maksud penghormatan dan doa serta segala hal yang mengiringi ucapan tersebut berupa wajah yang berseri dan semisalnya. Dan bentuk salam yang paling tinggi adalah apa yang dijelaskan oleh syariat, baik sebagai permulaan maupun jawabannya. Allah سبحانه وتعالى memerintahkan kaum Mukminin bahwa bila mereka diberikan ucapan salam dengan salam apa pun, maka sepatutnya mereka membalasnya dengan yang lebih baik darinya, baik perkataan maupun wajah yang berseri, atau dengan yang sama persis dengan-nya. Pemahaman terbalik
(mafhum al-Mukhalafah) dari hal tersebut adalah larangan dari tidak membalas sama sekali atau membalas-nya namun lebih rendah darinya.
Dari ayat ini dapat diambil juga sebuah dalil tentang anjuran memulai salam dan ucapan selamat dari dua aspek:
Pertama, bahwasanya Allah memerintahkan untuk mem-balasnya dengan yang lebih baik atau sama persis dengannya, hal itu menuntut bahwa ucapan penghormatan itu sangat dianjurkan oleh syariat.
Kedua, dapat disarikan dari kata kerja yang menunjukkan "lebih" atau "paling" yaitu kata lebih baik, di mana hal itu menun-jukkan akan adanya keikutsertaan ucapan penghormatan dan ba-lasannya dengan baik, sebagaimana dasarnya memang seperti itu.
Ada pengecualian dari keumuman ayat yang mulia tersebut bagi orang yang memberikan penghormatan dengan suatu kondisi yang tidak diperintahkan, seperti memberikan salam kepada orang yang sedang membaca al-Qur`an atau sedang mendengarkan khutbah atau seorang yang sedang shalat dan semacamnya, se-sungguhnya dalam kondisi ini tidaklah dianjurkan untuk memba-las salam tersebut, demikian juga dikecualikan dari ayat ini adalah orang yang telah diperintahkan oleh syariat untuk dijauhi dan tidak diberikan ucapan penghormatan, seperti seorang pelaku maksiat yang tidak bertaubat, yang mana orang tersebut akan tercegah dari kemaksiatannya dengan tindakan itu, maka, sesung-guhnya orang seperti itu dihajr
(dijauhi) tidak diberikan ucapan penghormatan dan ucapan penghormatan darinya tidaklah dibalas, yang demikian itu karena bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih besar. Dan yang termasuk dalam membalas ucapan penghor-matan adalah setiap ucapan penghormatan yang telah terbiasa diucapkan oleh suatu masyarakat, dan ucapan itu bukanlah suatu yang dilarang secara syariat, maka harus dibalas sepertinya atau lebih baik darinya. Kemudian Allah سبحانه وتعالى menjanjikan balasan
(ke-baikan) atas segala perbuatan baik dan mengancam segala perbuat-an buruk dengan FirmanNya, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا ﴿ "Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu," Allah menyimpan segala perbuatan-perbuatan para hamba, yang baik maupun yang buruk, yang kecil maupun yang besar, kemudian Allah akan membalas mereka dengan apa yang ditetapkan oleh karunia, keadilan, dan hikmahNya yang terpuji.
{اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا (87)}.
"Allah, tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan
(nya) daripada Allah?"
(An-Nisa`: 87).
#
{87} يخبر تعالى عن انفرادِهِ بالوحدانيَّة، وأنَّه لا معبود ولا مألوه إلاَّ هو لكمالِهِ في ذاته وأوصافه، ولكونِهِ المنفردَ بالخلق والتدبير والنِّعم الظاهرة والباطنة، وذلك يستلزم الأمر بعبادتِهِ والتقرُّب إليه بجميع أنواع العبوديَّة؛ لكونِهِ المستحقَّ لذلك وحده، والمجازي للعباد بما قاموا به من عبوديَّته أو تركوه منها، ولذلك أقسم على وقوع محلِّ الجزاء، وهو يوم القيامة، فقال: {لَيَجْمَعَنَّكم}؛ أي: أولكم وآخركم، في مقام واحد، في {يوم القيامة لا ريبَ فيه}؛ أي: لا شكَّ ولا شبهة بوجهٍ من الوجوه بالدليل العقلي والدليل السمعي.
فالدليل العقليُّ ما نشاهدُهُ من إحياء الأرض بعد موتها، ومن وجود النَّشأة الأولى التي وقوع الثانية أولى منها بالإمكان، ومن الحكمة التي يجزمُ بأنَّ الله لم يخلق خلقه عبثاً يَحْيَوْنَ ثم يموتون.
وأما الدليل السمعيُّ؛ فهو إخبار أصدق الصادقين بذلك، بل إقسامه عليه، ولهذا قال: {ومَن أصدقُ من الله حديثاً}، كذلك أمر رسولَه - صلى الله عليه وسلم - أن يُقْسِمَ عليه في غير موضع من القرآن؛ كقوله تعالى: {زَعَمَ الذين كفروا أن لن يُبْعَثوا، قل بلى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثم لَتُنَبَّؤنَّ بما عمِلْتُم وذلك على الله يسيرٌ}.
وفي قوله: {ومن أصدقُ من الله حديثاً}، {ومن أصدق من الله قِيلاً}: إخبارٌ بأنَّ حديثه وأخباره وأقواله في أعلى مراتب الصدق، بل أعلاها، فكلُّ ما قيل في العقائد والعلوم والأعمال مما يناقِضُ ما أخبر الله به؛ فهو باطلٌ لمناقضته للخبر الصادق اليقين؛ فلا يمكِنُ أن يكون حقًّا.
(87) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan tentang keesaanNya, dan bahwa-sanya tidak ada yang berhak disembah dan tidak ada yang berhak dituhankan kecuali Allah, karena kesempurnaanNya pada Dzat dan sifat-sifatNya, dan karena hanya Dia-lah yang Esa dalam pencipta-an, pengaturan, memberi nikmat, yang lahir maupun yang batin, yang demikian itu menuntut adanya perintah untuk beribadah dan mendekatkan diri kepadaNya dengan segala bentuk penyembahan, karena memang hanya Dia-lah yang berhak untuk itu, dan Dia memberikan balasan kepada hamba-hambaNya yang telah mela-kukan peribadahan kepadaNya atau yang telah mereka tinggal-kan darinya, oleh karena itu Allah bersumpah terhadap tempat pembalasan yang pasti terjadi, yaitu Hari Kiamat dalam Firman-Nya, ﴾ لَيَجۡمَعَنَّكُمۡ
﴿ "Dia akan mengumpulkan kamu" yaitu dari orang-orang terdahulu hingga orang-orang terakhir, pada tempat yang satu, pada ﴾ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ لَا رَيۡبَ فِيهِۗ
﴿ "Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya," maksudnya, tidak ada kebimbangan dan tidak ada kerancuan dalam bentuk apa pun dengan adanya dalil logika mau-pun dalil dari wahyu (dalil sam'i).
Adapun dalil logika yaitu apa yang kita saksikan berupa menghidupkan kembali bumi yang telah mati, terjadinya pencip-taan pertama di mana penciptaan selanjutnya adalah lebih mudah, dan di antara hikmah yang memastikan bahwa Allah tidaklah menciptakan makhluk itu secara sia-sia adalah mereka hidup lalu meninggal.
Adapun dalil sam'i yaitu kabar dari Dzat yang paling benar tentang hal tersebut, dan bahkan Dia bersumpah atas perkara itu, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثٗا
﴿ "Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?" Demikian juga Allah memerintahkan RasulNya ﷺ agar bersumpah atasnya pada tempat lain dalam al-Qur`an, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ زَعَمَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَن لَّن يُبۡعَثُواْۚ قُلۡ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبۡعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلۡتُمۡۚ وَذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ 7
﴿
"Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, 'Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepada-mu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (At-Taghabun: 7).
Dan pada FirmanNya,
﴾ وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلٗا ﴿
"Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?"
(An-Nisa`: 122),
adalah sebuah pemberitahuan bahwa perkataanNya, kabar-kabar-Nya dan pembicaraan-pembicaraanNya adalah pada tingkatan kebenaran tertinggi, bahkan yang tertinggi padanya, maka setiap perkataan yang diungkapkan tentang akidah, ilmu, dan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang dikabarkan oleh Allah adalah batil, karena bertentangan dengan kabar yang benar dan yakin, dan tidaklah mungkin hal tersebut menjadi benar.
{فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا (88) وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (89) إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا (90) سَتَجِدُونَ آخَرِينَ يُرِيدُونَ أَنْ يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُوا قَوْمَهُمْ كُلَّ مَا رُدُّوا إِلَى الْفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فِيهَا فَإِنْ لَمْ يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُوا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوا أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُولَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا مُبِينًا (91)}.
"Maka mengapa kamu
(terpecah) menjadi dua golongan dalam
(menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan
(untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama
(dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong
(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Jika mereka berpaling, maka tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan
(pula) menjadi penolong, kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjan-jian
(damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan meme-rangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu
(untuk menawan dan membunuh) mereka. Kelak kamu akan dapati
(golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman darimu dan aman
(pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah
(syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan
(tidak) mau mengemukakan perda-maian kepadamu, serta
(tidak) menahan tangan mereka
(dari me-merangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka, dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata
(untuk menawan dan membunuh) mereka."
(An-Nisa`: 88-91).
#
{88 ـ 89} المراد بالمنافقين المذكورين في هذه الآيات، المنافقون المظهِرون إسلامَهم ولم يهاجِروا مع كفرِهم، وكان قد وقع بين الصحابة رضوانُ الله عليهم فيهم اشتباهٌ ؛ فبعضُهم تحرَّج عن قتالهم وقطْع موالاتهم بسبب ما أظهروه من الإيمان، وبعضُهم عَلِمَ أحوالهم بقرائن أفعالهم فحَكَمَ بكفرِهم، فأخبرهم الله تعالى أنه لا ينبغي لكم أن تشتبهوا فيهم ولا تشكُّوا، بل أمرُهم واضحٌ غيرُ مُشْكِل، إنهم منافقون، قد تكرَّر كفرُهم وودُّوا مع ذلك كفركم وأن تكونوا مثلهم؛ فإذا تحقَّقتم ذلك منهم؛ {فلا تتَّخِذوا منهم أولياء}: وهذا يستلزم عدم محبَّتِهم؛ لأنَّ الولاية فرع المحبَّة، ويستلزم أيضاً بُغْضَهم وعداوتهم؛ لأن النهي عن الشيء أمر بضده، وهذا الأمر موقَّت بهجرتهم؛ فإذا هاجروا؛ جرى عليهم ما جرى على المسلمين؛ كما كان النبي - صلى الله عليه وسلم - يُجْري أحكام الإسلام؛ لكلِّ مَن كان معه وهاجر إليه، وسواء كان مؤمناً حقيقةً أو ظاهر الإيمان، وإنهم إن لم يهاجروا وتولَّوا عنها؛ {فخُذوهم واقتُلوهم حيث وجدتُموهم}؛ أي: في أيِّ وقت وأيِّ محلٍّ كان، وهذا من جملة الأدلة الدَّالة على نسخ القتال في الأشهر الحرم؛ كما هو قول جمهور العلماء، والمنازعون يقولون: هذه نصوص مطلقة محمولةٌ على تقييد التحريم في الأشهر الحرم.
(88-89) Yang dimaksud dengan orang-orang munafik yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut adalah orang-orang munafik yang menampakkan keIslaman mereka namun mereka tidak ber-hijrah meninggalkan kekufuran mereka, dan sungguh ketika itu telah terjadi di antara para sahabat رضي الله عنهم suatu kesimpangsiuran
[32], di antara mereka merasa keberatan untuk membunuh orang-orang tersebut dan memutuskan ikatan mereka disebabkan oleh apa yang mereka tampakkan dari keimanan, dan sebagian lagi mengetahui kondisi orang-orang tersebut dari sinyal-sinyal perbuatan mereka lalu menetapkan kekufuran mereka, lalu Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwasanya tidak sepatutnya kalian menjadi ragu tentang orang-orang tersebut dan janganlah kalian bimbang lagi, akan tetapi per-kara mereka itu adalah jelas dan tidak menyulitkan sama sekali, bahwa mereka itu adalah orang-orang munafik, di mana kekufuran mereka telah berulang-ulang dan mereka sangat berharap dengan kondisi mereka itu akan kekufuran kalian dan agar kalian sama seperti mereka, lalu bila kalian telah membuktikan hal tersebut tentang mereka, ﴾ فَلَا تَتَّخِذُواْ مِنۡهُمۡ أَوۡلِيَآءَ
﴿ "maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu)" hal ini menuntut agar tidak boleh mencintai mereka, karena pertemanan itu adalah cabang dari kecintaan, dan juga menuntut untuk membenci dan memusuhi mereka, karena larangan dari suatu hal adalah perintah kepada hal yang berlawanan dengannya, namun hal ini adalah suatu per-kara yang bersifat sementara dengan hijrahnya mereka, dan bila mereka berhijrah, maka berlakulah atas mereka apa yang berlaku atas kaum Muslimin, sebagaimana Nabi ﷺ memberlakukan hukum-hukum Islam terhadap orang-orang yang bersama dengan beliau dan ikut berhijrah dengan beliau, baik terhadap Mukmin yang hakiki ataupun Mukmin yang lahirnya saja, akan tetapi bila mereka tidak berhijrah dan berpaling darinya, ﴾ فَخُذُوهُمۡ وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡۖ ﴿ "maka tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka" yaitu kapan pun dan di mana pun, ini adalah di antara dalil-dalil yang menunjukkan atas mansukhnya perang pada bulan-bulan haram sebagaimana menjadi pendapat sebagian besar para ulama, adapun orang-orang yang tidak sependapat berkata, "Ini adalah nash-nash yang mutlak yang harus dikaitkan dengan ikatan haram pada bulan-bulan haram."
#
{90} ثم إن الله استثنى من قتال هؤلاء المنافقين ثلاث فرق:
فرقتين أمر بتركهم وَحتَّم على ذلك:
إحداهما: من يصل إلى قوم بينهم وبين المسلمين عهدٌ وميثاقٌ بترك القتال، فينضمُّ إليهم، فيكون له حكمُهم في حقن الدم والمال.
والفرقة الثانية: قومٌ {حَصِرَتْ صدورُهم أن يُقاتِلوكم أو يُقاتِلوا قومَهم}؛ أي: بقوا لا تسمحُ أنفسُهم بقتالِكم ولا بقتال قومِهم، وأحبُّوا ترك قتال الفريقين؛ فهؤلاء أيضاً أمَرَ بتركهم، وذَكَرَ الحكمةَ في ذلك بقوله: {ولو شاء الله لسلَّطَهم عليكم فَلَقاتَلوكم}؛ فإنَّ الأمورَ الممكنة ثلاثةُ أقسام: إما أن يكونوا معكم ويقاتِلوا أعداءَكم، وهذا متعذِّر من هؤلاء، فدار الأمرُ بين قتالِكم مع قومهم، وبين ترك قتال الفريقين، وهو أهون الأمرين عليكم، والله قادرٌ على تسليطِهم عليكم؛ فاقْبَلوا العافية واحْمَدوا ربَّكم الذي كفَّ أيدِيَهم عنكم مع التمكُّن من ذلك؛ فهؤلاء إن اعتزلوكم {فلم يقاتلوكم وألقوا إليكُمُ السَّلمَ فما جَعَلَ الله لكم عليهم سبيلاً}.
(90) Kemudian Allah سبحانه وتعالى mengecualikan dalam memerangi orang-
orang munafik tersebut dengan tiga kelompok:
Dua kelompok di antaranya diperintahkan secara tegas untuk tidak memerangi mereka.
Kelompok pertama; orang yang sampai pada suatu kaum di mana antara mereka dengan kaum Mukminin ada perjanjian dan persetujuan untuk tidak saling berperang, lalu orang tersebut ber-gabung bersama mereka, hingga ketentuan untuknya adalah seperti ketentuan terhadap kaum tersebut bahwa darah dan hartanya terlindungi.
Kelompok kedua: Sebuah kaum, di mana ﴾ حَصِرَتۡ صُدُورُهُمۡ أَن يُقَٰتِلُوكُمۡ أَوۡ يُقَٰتِلُواْ قَوۡمَهُمۡۚ
﴿ "hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya" yaitu hati mereka tetap tidak sudi untuk meme-rangi kalian dan tidak juga memerangi kaum mereka dan mereka lebih suka untuk tidak memerangi kedua belah pihak, maka orang-orang tersebut Allah perintahkan juga untuk tidak diperangi, lalu Allah menyebutkan hikmah dalam hal tersebut melalui FirmanNya, ﴾ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَسَلَّطَهُمۡ عَلَيۡكُمۡ فَلَقَٰتَلُوكُمۡۚ
﴿ "Kalau Allah menghendaki, tentu Dia mem-beri kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka me-merangimu" karena sesungguhnya perkara-perkara yang mungkin terjadi ada tiga macam; mereka bersama kalian dan ikut bersama kalian memerangi musuh-musuh kalian, namun hal ini tidak mungkin terjadi dari mereka, maka berlakulah antara dua perkara yaitu memerangi kalian bersama kaum mereka atau tidak meme-rangi kedua belah pihak, dan terakhir itulah perkara yang paling mudah atas kalian, dan Allah Mahakuasa untuk membuat mereka menguasai kalian, maka terimalah keselamatan itu dan pujilah Rabb kalian yang telah menahan mereka dari memerangi kalian dengan kemungkinan bahwa mereka mampu akan hal tersebut. Mereka itu bila membiarkan kalian, ﴾ فَلَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ وَأَلۡقَوۡاْ إِلَيۡكُمُ ٱلسَّلَمَ فَمَا جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ عَلَيۡهِمۡ سَبِيلٗا ﴿ "dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu
(untuk menawan dan membunuh) mereka."
#
{91} الفرقة الثالثة: قومٌ يريدون مصلحة أنفسهم، بقطع النظر عن احترامكم، وهم الذين قال الله فيهم: {ستجِدون آخرينَ}؛ أي: من هؤلاء المنافقين.
{يريدونَ أن يأمَنوكم}؛ أي: خوفاً منكم، {ويأمنوا قومَهم كلَّما رُدُّوا إلى الفتنةِ أُرْكِسوا فيها}؛ أي: لا يزالون مقيمين على كفرِهم ونفاقِهم، وكلَّما عَرَضَ لهم عارضٌ من عوارض الفتنِ؛ أعماهم ونَكَّسَهُم على رؤوسهم وازداد كفرُهم ونفاقُهم، وهؤلاء في الصورة كالفرقة الثانية، وفي الحقيقة مخالفة لها؛ فإنَّ الفرقة الثانية تركوا قتال المؤمنين احتراماً لهم لا خوفاً على أنفسهم، وأما هذه الفرقة؛ فتركوه خوفاً لا احتراماً، بل لو وجدوا فرصةً في قتال المؤمنين؛ فإنَّهم سيُقِدمون لانتهازها؛ فهؤلاء إن لم يتبيَّن منهم، ويتَّضح اتِّضاحاً عظيماً اعتزال المؤمنين وترك قتالهم؛ فإنَّهم يقاتَلون، ولهذا قال: {فإن لم يعتزِلوكم ويُلْقوا إليكُمُ السَّلمَ}؛ أي: المسالمة والموادعة، {ويَكُفُّوا أيديَهم فخذوهم واقتلوهم حيث ثَقِفْتُموهم وأولئكم جعلنا لكم عليهم سلطاناً مُبيناً}؛ أي: حجةً بيِّنةً واضحةً؛ لكونهم معتدين ظالمين لكم تاركين للمسالمة؛ فلا يلوموا إلا أنفسهم.
(91) Kelompok ketiga: Sebuah kaum yang menghendaki ke-maslahatan bagi diri mereka sendiri, terlepas dari penghormatan kalian, mereka itu adalah orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka, ﴾ سَتَجِدُونَ ءَاخَرِينَ
﴿ "Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain" yaitu di antara orang-orang munafik tersebut,﴾ يُرِيدُونَ أَن يَأۡمَنُوكُمۡ
﴿ "yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu," yaitu karena takut kepada kalian, ﴾ وَيَأۡمَنُواْ قَوۡمَهُمۡ كُلَّ مَا رُدُّوٓاْ إِلَى ٱلۡفِتۡنَةِ أُرۡكِسُواْ فِيهَاۚ
﴿ "dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya," maksudnya mereka tetap selalu dalam kekufuran mereka dan kenifakan mereka, dan setiap kali mereka dihadapkan dengan suatu fitnah, niscaya hal itu akan membutakan mereka dan membuat kepala-kepala mereka tertun-duk dan bertambahnya kekufuran dan kenifakan mereka, mereka ini menurut gambarannya adalah seperti kelompok yang kedua, akan tetapi pada hakikatnya sangatlah berbeda, karena sesungguh-nya kelompok yang kedua itu meninggalkan perang terhadap kaum Mukminin sebagai suatu penghormatan kepada kaum Mukminin dan bukan karena takut akan diri mereka, adapun kelompok ini, mereka meninggalkan perang tersebut karena takut dan bukan penghormatan, bahkan bila mereka mendapatkan sebuah kesem-patan untuk memerangi kaum Mukminin, pastilah mereka akan memberanikan diri untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.
Maka meskipun tidak begitu jelas sikap mereka dalam mem-biarkan dan tidak memerangi kaum Mukminin, akan tetapi mereka harus diperangi, karena itulah Allah berfirman,﴾ فَإِن لَّمۡ يَعۡتَزِلُوكُمۡ وَيُلۡقُوٓاْ إِلَيۡكُمُ ٱلسَّلَمَ
﴿ "Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu," yaitu mengadakan perjanjian dan perdamaian, ﴾ وَيَكُفُّوٓاْ أَيۡدِيَهُمۡ فَخُذُوهُمۡ وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ ثَقِفۡتُمُوهُمۡۚ وَأُوْلَٰٓئِكُمۡ جَعَلۡنَا لَكُمۡ عَلَيۡهِمۡ سُلۡطَٰنٗا مُّبِينٗا ﴿ "serta
(tidak) menahan tangan mereka
(dari memerangi-mu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata
(untuk menawan dan membunuh) mereka," yaitu suatu alasan yang kuat dan jelas, karena mereka adalah orang-orang yang melampaui batas dan berlaku zhalim terhadap kalian dan meninggalkan perdamaian, maka janganlah mereka mencela kecuali diri mereka sendiri.
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (92)}.
"Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah,
(hendak-lah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia
(si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal ia Mukmin, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang Mukmin. Dan jika ia dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga-nya
(si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang Muk-min. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia
(si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabi-jaksana."
(An-Nisa`: 92).
#
{92} هذه الصيغة من صيغ الامتناع، أي: يمتنع ويستحيل أن يصدر من مؤمن قتلُ مؤمنٍ؛ أي: متعمداً.
وفي هذا الإخبار بشدَّة تحريمه وأنه منافٍ للإيمان أشدَّ منافاة، وإنَّما يصْدر ذلك إمَّا من كافر أو من فاسق قد نَقَصَ إيمانه نقصاً عظيماً ويُخشَى عليه ما هو أكبر من ذلك؛ فإنَّ الإيمان الصحيح يمنعُ المؤمن من قتل أخيه الذي قد عَقَدَ الله بينَه وبينَه الأخوَّة الإيمانيَّة التي من مقتضاها محبَّته وموالاته وإزالة ما يعرض لأخيه من الأذى، وأيُّ أذىً أشد من القتل؟! وهذا يصدقه قوله - صلى الله عليه وسلم -: «لا ترجِعوا بعدي كفَّاراً يضرِبُ بعضُكم رقابَ بعض» ، فعُلِمَ أنَّ القتل من الكفر العمليِّ، وأكبر الكبائر بعد الشرك بالله.
ولما كان قوله: {وما كان لمؤمنٍ أن يقتُلَ مؤمناً}: لفظاً عامًّا لجميع الأحوال، وأنه لا يصدُرُ منه قتلُ أخيه بوجهٍ من الوجوه؛ استثنى تعالى قتلَ الخطأ، فقال: {إلَّا خطأً}؛ فإنَّ المخطئ الذي لا يقصد القتل غير آثم ولا متجرئ على محارم الله، ولكنه لما كان قد فعل فعلاً شنيعاً وصورتُهُ كافيةٌ في قبحه وإن لم يقصِدْه؛ أمر تعالى بالكفَّارة والدِّية، فقال: {ومَن قَتَلَ مؤمناً خطأً}: سواء كان القاتلُ ذكراً أو أنثى حُرًّا أو عبداً صغيراً أو كبيراً عاقلاً أو مجنوناً مسلماً أو كافراً؛ كما يفيده لفظ {مَنْ} الدالة على العموم، وهذا من أسرار الإتيان بـ «مَن» في هذا الموضع؛ فإنَّ سياق الكلام يقتضي أنه يقول: فإن قتله، ولكن هذا لفظٌ لا يشمل ما تشمله «مَنْ»، وسواء كان المقتول ذكراً أو أنثى صغيراً أو كبيراً؛ كما يفيده التنكير في سياق الشرط؛ فإنَّ على القاتل {تحريرُ رقبةٍ مؤمنةٍ}: كفارةً لذلك، تكون في مالِه، ويشمل ذلك الصغير والكبير والذكر والأنثى والصحيح والمعيب في قول بعض العلماء، ولكن الحكمة تقتضي أن لا يُجزئ عتق المعيب في الكفارة؛ لأن المقصود بالعتق نفعُ العتيق ومُلْكُه منافع نفسه؛ فإذا كان يضيع بعتقه، وبقاؤه في الرقِّ أنفع له؛ فإنه لا يجزئ عتقه، مع أن في قوله: {تحرير رقبة}؛ ما يدلُّ على ذلك؛ فإن التحرير تخليصُ مَنِ استحقت منافعُهُ لغيرِهِ أن تكون له؛ فإذا لم يكن فيه منافع؛ لم يُتَصَوَّر وجود التحرير، فتأمَّل ذلك؛ فإنه واضح.
وأما الدِّية؛ فإنها تجب على عاقلة القاتل في الخطأ وشبه العمد. {مسلَّمةٌ إلى أهله}: جبراً لقلوبهم. والمراد بـ {أهله} هنا هم ورثتُهُ؛ فإن الورثة يرثون ما ترك الميت، فالدِّية داخلةٌ فيما ترك، وللدِّيةِ تفاصيل كثيرة مذكورة في كتب الفقه. وقوله: {إلَّا أن يَصَّدَّقوا}؛ أي: يتصدَّق ورثة القتيل بالعفو عن الدِّية؛ فإنها تسقُط، وفي ذلك حثٌّ لهم على العفو؛ لأنَّ الله سمّاها صدقةً، والصدقة مطلوبة في كلِّ وقت. {فإن كان} المقتول {من قوم عدوٍّ لكم}؛ أي: من كفارٍ حَرْبيِّينَ، {وهو مؤمنٌ فتحريرُ رقبةٍ مؤمنةٍ}؛ أي: وليس عليكم لأهله دِيَةٌ؛ لعدم احترامهم في دمائهم وأموالهم. {وإن كان}: المقتول {من قوم بينكم وبينهم ميثاقٌ فَدِيَةٌ مسلَّمةٌ إلى أهله وتحريرُ رقبة مؤمنة}، وذلك لاحترام أهله بما لهم من العهد والميثاق. {فَمَن لم يجد}: الرقبةَ ولا ثمنها؛ بأن كان معسراً بذلك، ليس عنده ما يَفْضُلُ عن مؤنته وحوائجه الأصلية شيء يفي بالرَّقبة. {فصيام شهرين متتابعين}؛ أي: لا يفطر بينهما من غير عذرٍ؛ فإن أفطر لعذرٍ؛ فإن العذر لا يقطع التتابع؛ كالمرض والحيض ونحوهما، وإن كان لغير عذرٍ؛ انقطع التتابُع، ووجب عليه استئناف الصوم، {توبةً من الله}؛ أي: هذه الكفارات التي أوجبها الله على القاتل توبةً من الله على عباده ورحمةً بهم وتكفيراً لما عساه أن يحصُلَ منهم من تقصير وعدم احتراز كما هو الواقع كثيراً للقاتل خطأ.
{وكان الله عليماً حكيماً}؛ أي: كامل العلم كامل الحكمة، لا يخفى عليه مثقال ذرَّة في الأرض ولا في السماء، ولا أصغر من ذلك ولا أكبر، في أي وقت كان وأي محلٍّ كان، ولا يخرج عن حكمتِهِ من المخلوقات والشرائع شيءٌ، بل كل ما خلقه وشرعه فهو متضمِّن لغاية الحكمة.
ومن علمه وحكمته أن أوجب على القاتل كفارةً مناسبةً لما صدر منه؛ فإنَّه تسبَّب لإعدام نفس محترمة، وأخرجها من الوجود إلى العدم، فناسب أن يَعْتِقَ رقبةً ويخرِجَها من رِقِّ العبوديَّة للخلق إلى الحريَّة التامَّة؛ فإنْ لم يجد هذه الرقبة؛ صام شهرين متتابعين، فأخرج نفسه من رقِّ الشهوات واللَّذَّات الحسيَّة القاطعة للعبد عن سعادتِهِ الأبديَّة إلى التعبُّد لله تعالى بتركها تقرباً إلى الله، ومدَّها تعالى بهذه المدة الكثيرة الشاقَّة في عددها ووجوب التتابُع فيها، ولم يشرع الإطعام في هذه المواضع لعدم المناسبة؛ بخلاف الظِّهار؛ كما سيأتي إن شاء الله تعالى. ومن حكمته أن أوجب في القتل الدِّية، ولو كان خطأ؛ لتكون رادعةً وكافَّةً عن كثير من القتل باستعمال الأسباب العاصمة عن ذلك. ومن حكمته أن أُوجِبت على العاقلة في قتل الخطأ بإجماع العلماء؛ لكون القاتل لم يُذْنِبْ، فيشق عليه أن يحمل هذه الدية الباهظة، فناسب أن يقوم بذلك مَن بينه وبينهم المعاونةُ والمناصرةُ والمساعدةُ على تحصيل المصالح وكفِّ المفاسد، ولعلَّ ذلك من أسباب منعهم لمن يعقِلون عنه من القتل حذار تحميلهم، ويخف عليهم بسبب توزيعه عليهم بقدر أحوالهم وطاقتهم، وخُفِّفَت أيضاً بتأجيلها عليهم ثلاث سنين. ومن حكمته وعلمه أن جبر أهل القتيل عن مصيبتهم بالدِّية التي أوجبها على أولياء القاتل.
(92) Bentuk kalimat ini adalah merupakan bentuk kalimat penolakan, artinya tidak mungkin dan mustahil sekali seorang Mukmin dapat membunuh Mukmin lainnya, maksudnya, dengan disengaja.
Hal ini merupakan sebuah berita tentang betapa haramnya pembunuhan tersebut, dan bahwa hal tersebut akan menghilang-kan keimanan dengan sebenar-benarnya, dan sesungguhnya tin-dakan itu hanya akan dilakukan oleh orang kafir atau orang fasik yang imannya berkurang sangat banyak dan yang dikhawatirkan terjadi hal-hal yang lebih besar darinya, karena sesungguhnya keimanan yang benar akan mencegah seorang Mukmin dari mem-bunuh saudaranya yang telah Allah ikat antara dia dan saudaranya tersebut sebuah ikatan persaudaraan karena iman yang menuntut agar ia mencintai saudaranya itu, menolongnya dan menghilang-kan segala hal yang membahayakannya berupa gangguan; dan gangguan apalagi yang paling besar dari pembunuhan? Hal ini dibenarkan oleh sabda Nabi ﷺ,
لَا تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ.
"Janganlah kalian kembali kepada kekufuran setelah kematianku yaitu sebagian kalian membunuh sebagian lainnya."
[33]
Karena itu diketahui bahwa pembunuhan merupakan kufur amali
(kufur) perbuatan, dan dosa yang paling besar setelah syirik kepada Allah.
Dan tatkala Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا
﴿ "Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain)" adalah sebuah lafazh yang umum dalam segala kondisi, dan bahwa seorang Muslim tidak akan membunuh saudara Muslim lainnya dalam bentuk apa pun, lalu Allah سبحانه وتعالى mengecualikan dari hal tersebut pembunuhan karena ketidaksengajaan, seraya berfir-man, ﴾ إِلَّا خَطَـٔٗاۚ
﴿ "Kecuali karena tersalah (tidak disengaja)," karena se-sungguhnya seorang yang salah yang tidak bermaksud membunuh, ia tidaklah berdosa dan tidak dikatakan sebagai seorang yang berani melanggar batasan-batasan Allah, akan tetapi karena ia telah mela-kukan suatu tindakan yang keji dan bentuknya pun sangat cukup untuk dikatakan sangat jelek walaupun ia sendiri tidak bermaksud demikian, maka Allah سبحانه وتعالى memerintahkan membayar kaffarat (denda atas pelanggaran larangan) dan diyat (ganti rugi pembunuhan) dalam FirmanNya, ﴾ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـٔٗا
﴿ "Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah," baik pelaku pembunuhannya adalah laki-laki atau wanita, orang merdeka atau budak, kecil atau besar, berakal atau gila, Muslim atau kafir, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata "barangsiapa" yang menunjukkan kepada keumuman, dan hal ini adalah di antara rahasia-rahasia menem-patkan kata "barangsiapa" dalam kalimat tersebut, karena sesung-guhnya konteks perkataan tersebut mengarahkan kepada ungkapan "dan jika ia membunuhnya," akan tetapi kalimat ini tidak mencakup apa yang dicakup oleh konteks yang memakai kata "barangsiapa," dan juga sama saja, baik orang yang terbunuh itu laki-laki atau wanita, kecil atau besar, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata umum dalam konteks kalimat bersyarat, maka hendaklah pelaku pembunuhan itu ﴾ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ
﴿ "memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman," sebagai suatu denda akan hal tersebut, yang harus diambil dari hartanya.
Budak tersebut mencakup; kecil maupun besar, laki-laki maupun wanita dan yang sehat maupun yang memiliki cacat me-nurut sebagian pendapat para ulama, akan tetapi hikmah yang ada menuntut sebuah konsekuensi bahwa denda itu tidaklah terpenuhi dengan budak yang memiliki cacat, karena yang dimaksudkan dengan membebaskan budak itu adalah memanfaatkan budak dan kepemilikan kemaslahatan dirinya, namun bila budak itu akan terabaikan dengan pembebasannya tersebut dan tetapnya ia dalam perbudakan adalah lebih bermanfaat bagi dirinya, maka tidaklah terpenuhi denda tersebut, padahal dalam FirmanNya, ﴾ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ
﴿ "Memerdekakan seorang hamba sahaya," suatu isyarat yang menun-jukkan akan hal tersebut, karena sesungguhnya pembebasan budak itu adalah pelepasan hak memanfaatkan budak tersebut dari sese-orang kepada orang lain. Namun bila kemaslahatan tersebut tidak dijumpai, maka tidaklah tergambarkan adanya pembebasan, karena itu perhatikanlah hal tersebut, karena itu sangat jelas sekali.
Adapun diyat, maka sesungguhnya hal itu diwajibkan kepada keluarga besar pelaku pembunuhan tidak disengaja atau pembu-nuhan yang mirip dengan sengaja, ﴾ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ
﴿ "yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)," sebagai suatu hiburan bagi hati mereka yang luka, dan yang dimaksud dengan ﴾ أَهۡلِهِۦٓ
﴿ "keluarga-nya" di sini, adalah ahli warisnya, karena sesungguhnya ahli waris itu akan mewarisi apa yang ditinggalkan oleh si mayit, dan diyat ini termasuk dalam warisannya, dan diyat ini memiliki perincian-perincian yang luas sekali yang termuat dalam buku-buku fikih.
Dan FirmanNya, ﴾ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ
﴿ "Kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah" maksudnya, ahli waris terbunuh bersedekah dengan cara memaafkan keluarga pembunuh dari membayar diyat, maka gugurlah kewajiban membayar diyat tersebut. Ayat ini mengandung anjuran kepada keluarga terbunuh untuk memaaf-kan, karena Allah telah menamakan sikap memaafkan itu dengan sebutan sedekah, dan sedekah itu sangat diharapkan pada setiap waktu, ﴾ فَإِن كَانَ
﴿ "jika ia" orang yang terbunuh, ﴾ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ
﴿ "dari kaum yang memusuhimu," yaitu dari orang-orang kafir yang boleh diperangi, ﴾ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ
﴿ "padahal ia Mukmin maka ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman" yaitu kalian tidak wajib membayar diyat kepada keluarga terbunuh, karena tidak adanya penghormatan dalam darah dan harta mereka, ﴾ وَإِن كَانَ
﴿ "dan jika" orang yang terbunuh, ﴾ مِن قَوۡمِۭ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ
﴿ "dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdeka-kan hamba sahaya yang Mukmin," hal tersebut adalah untuk meng-hormati penduduknya karena adanya perjanjian dan perdamaian di antara mereka.
﴾ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ
﴿ "Barangsiapa yang tidak memperoleh" hamba sahaya dan tidak pula ada harta seharga budak tersebut, karena ia dalam kesulitan, dan ia tidak memiliki kelebihan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan pokok keluarganya yang mampu memenuhi denda tersebut, ﴾ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ
﴿ "maka hendaklah ia (si pembunuh) ber-puasa dua bulan berturut-turut," yaitu janganlah ia berbuka di antara kedua bulan tersebut tanpa ada udzur yang syar'i, dan bila ia ber-buka dengan adanya udzur, maka udzur tersebut tidak memutus-kan keberlanjutan puasanya tersebut, seperti sakit, haidh dan sema-camnya, namun bila tanpa udzur, maka terputuslah keberlanjutan puasanya hingga ia harus mengulangi lagi dari awal, ﴾ تَوۡبَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ
﴿ "sebagai cara taubat kepada Allah," maksudnya, denda-denda tersebut yang diwajibkan oleh Allah atas pelaku pembunuhan adalah sebagai penerimaan taubat dari Allah atas hamba-hambaNya dan sebagai rahmat kepada mereka serta pengguguran akan hal yang terjadi pada mereka berupa kelalaian dan kurang waspada seba-gaimana yang sering terjadi pada pelaku pembunuhan yang tidak disengaja.
﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha-bijaksana" yaitu ilmu yang sempurna dan hikmah yang sempurna pula, tidaklah akan tersembunyi dariNya walaupun sebesar dzarrah di bumi maupun di langit, dan tidak pula yang lebih kecil dari itu, apalagi yang lebih besar, di masa apa pun dan tempat manapun, dan tidak ada yang keluar dari hikmahNya, baik dari seluruh makhluk maupun syariat-syariat, bahkan semua yang Allah cipta-kan dan syariatkan adalah mengandung hikmah yang agung.
Dan di antara ilmu dan hikmahNya adalah, Allah mewajib-kan denda terhadap seorang pembunuh yang sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, karena ia telah menjadi penyebab dari hilangnya sebuah jiwa yang terhormat, dan telah mengeluarkannya dari dunia nyata menuju ketiadaan, karena itu patutlah dirinya memerdekakan seorang hamba sahaya dan mengeluarkannya dari penghambaan kepada makhluk kepada kebebasan yang penuh, namun bila ia tidak mendapatkan hamba sahaya tersebut, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, di mana dengan puasa itu ia mengeluarkan jiwanya dari penghambaan nafsu syahwat dan kelezatan-kelezatan lahiriyah yang menghalangi seorang hamba dari kebahagiaannya yang abadi kepada penghambaan kepada Allah سبحانه وتعالى dengan meninggalkan nafsu syahwat dan kelezatan lahi-riyah tersebut untuk mendekatkan diri kepadaNya, dan Allah تعالى membuat masanya dengan tempo yang panjang lagi sulit dalam hal jumlah dan kewajiban berturut-turut dalam menunaikannya, Allah tidak mewajibkan memberi makan dalam kondisi ini karena tidak sesuai dengan kasusnya, berbeda dengan zhihar, sebagaimana yang akan dibahas pada masa yang akan datang, insya Allah سبحانه وتعالى.
Dan di antara hikmahNya adalah Allah mewajibkan diyat dalam perkara pembunuhan, walaupun tidak disengaja, agar hal itu menjadi penghalang dan perintang dari banyaknya pembunuhan yang terjadi dengan memakai sebab-sebab yang melindungi akan hal tersebut. Dan di antara hikmahNya adalah diwajibkannya diyat atas keluarga pembunuh
(al-Aqilah) dalam pembunuhan tidak sengaja menurut kesepakatan para ulama, karena pembunuhnya itu bukanlah seorang yang berdosa, maka sangat berat baginya untuk memikul beban diyat yang sangat berat tersebut, maka sa-ngatlah pantas kalau yang ikut dalam memikulnya adalah orang-orang yang antara mereka dengan pembunuh ada saling tolong-menolong, membela dan membantu dalam memperoleh kemas-lahatan dan menghindari kemudharatan, dan meringankan beban mereka, karena diyat tersebut dibagi menurut kondisi dan kemam-puan mereka masing-masing, dan juga dibuat ringan untuk mereka dengan masa pembayaran tiga tahun. Dan di antara hikmah dan ilmuNya juga adalah menghibur keluarga terbunuh dari musibah pembunuhan tersebut dengan adanya diyat yang diwajibkan atas keluarga pembunuh.
{وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (93)}.
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya."
(An-Nisa`: 93).
#
{93} تقدَّم أن الله أخبر أنه لا يصدر قتل المؤمن من المؤمن، وأن القتل من الكفر العملي، وذكر هنا وعيد القاتل عمداً وعيداً ترجُفُ له القلوبُ وتنصدِع له الأفئدة وتنزعج منه أولو العقول، فلم يرد في أنواع الكبائر أعظمُ من هذا الوعيد، بل ولا مثلُه، ألا وهو الإخبارُ بأنَّ جزاءَه جهنَّم؛ أي: فهذا الذنب العظيم قد انتهض وحدَه أن يجازي صاحبَهُ بجهنَّم بما فيها من العذاب العظيم والخزي المهين وسخط الجبار وفوات الفوز والفلاح وحصول الخيبة والخسار؛ فعياذاً بالله من كلِّ سبب يبعد عن رحمته.
وهذا الوعيد له حكم أمثاله من نصوص الوعيد على بعض الكبائر والمعاصي بالخلود في النار أو حرمان الجنة. وقد اختلف الأئمة رحمهم الله في تأويلها، مع اتفاقهم على بطلان قول الخوارج والمعتزلة الذين يخلِّدونهم في النار ولو كانوا موحِّدين، والصواب في تأويلها ما قاله الإمام المحقِّق شمس الدين ابن القيم رحمه الله في «المدارج» ؛ فإنه قال بعد ما ذكر تأويلات الأئمة في ذلك وانتقدها، فقال:
وقالت فرقةٌ: إن هذه النصوص وأمثالها مما ذُكِرَ فيه المقتضي للعقوبة، ولا يلزم من وجود مقتضى الحكم وجودُه؛ فإن الحكم إنما يتمُّ بوجود مقتضيه وانتفاء موانعه، وغاية هذه النصوص الإعلام بأن كذا سببٌ للعقوبة ومقتضٍ لها، وقد قام الدليل على ذِكْرِ الموانع؛ فبعضُها بالإجماع وبعضُها بالنص؛ فالتوبة مانعٌ بالإجماع، والتوحيد مانعٌ بالنصوص المتواترة التي لا مدفع لها، والحسناتُ العظيمة الماحية مانعةٌ، والمصائب الكبارُ المكفِّرة مانعة، وإقامة الحدود في الدُّنيا مانع بالنصِّ، ولا سبيل إلى تعطيل هذه النصوص، فلا بدَّ من إعمال النصوص من الجانبين، ومن هنا قامت الموازنةُ بين الحسنات والسيئات اعتباراً لمقتضى العقاب ومانعه وإعمالاً لأرجحها. قالوا: وعلى هذا بناء مصالح الدارين ومفاسِدِهما، وعلى هذا بناء الأحكام الشرعية والأحكام القدريَّة، وهو مقتضى الحكمة السارية في الوجود، وبه ارتباط الأسباب ومسبَّباتها خَلْقاً وأمراً، وقد جعل الله سبحانه لكل ضدٍّ ضدًّا يدافِعُه ويقاومه ويكون الحكم للأغلب منهما؛ فالقوة مقتضيةٌ للصحة، والعافية وفساد الأخلاط وبغيها مانعٌ من عمل الطبيعة، وفعل القوة والحكم للغالب منهما، وكذلك قوى الأدوية والأمراض، والعبد يكون فيه مقتضٍ للصحَّة ومقتضٍ للعطب، وأحدُهما يمنع كمال تأثير الآخر ويقاوِمُه؛ فإذا ترجَّح عليه وقهره؛ كان التأثير له، ومن هنا يُعلم انقسام الخلق إلى من يدخل الجنة ولا يدخل النار وعكسه، ومن يدخل النار ثم يخرُجُ منها ويكون مكثه فيها بحسب ما فيه من مقتضى المكث في سرعة الخروج وبطئه، ومن له بصيرةٌ منورةٌ يرى بها كلَّ ما أخبر الله به في كتابه من أمر المعاد وتفاصيلِهِ، حتى كأنه يشاهدُهُ رأي العين، ويعلم أنَّ هذا مقتضى إلهيته سبحانه وربوبيَّته وعزَّته وحكمته، وأنه يستحيل عليه خلاف ذلك، ونسبة ذلك إليه نسبة ما لا يليق به إليه، فيكون نسبة ذلك إلى بصيرته كنسبة الشمس والنجوم إلى بصره، وهذا يقين الإيمان، وهو الذي يحرق السيِّئات كما تحرق النار الحطب، وصاحب هذا المقام من الإيمان يستحيل إصرارُهُ على السيِّئات وإن وقعت منه وكثرت؛ فإنَّ ما معه من نور الإيمان يأمره بتجديد التوبة كلَّ وقت بالرجوع إلى الله في عدد أنفاسه، وهذا من أحبِّ الخلق إلى الله. انتهى كلامه قدَّس الله رُوحه وجزاه عن الإسلام والمسلمين خيراً.
(93) Telah berlalu bahwa Allah سبحانه وتعالى memberitakan bahwasa-nya tidaklah terjadi pembunuhan terhadap seorang Mukmin oleh Mukmin yang lain, dan bahwasanya pembunuhan itu adalah di antara bentuk kufur amali. Dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang ancaman bagi pembunuh dengan sengaja yaitu ancaman yang menggetarkan jiwa, menakutkan hati, dan membuat orang-orang yang berakal gelisah, dan tidaklah ada hukuman yang dike-luarkan bagi dosa-dosa besar yang lebih besar dari hukuman ini, bahkan tidak ada yang sepertinya, yaitu kabar bahwa hukumannya adalah Jahanam, artinya, dosa yang besar ini telah patut menjadi satu-satunya dosa untuk diberikan hukuman kepada pelakunya dengan Jahanam dengan segala siksaan yang ada di dalamnya dan kehinaan yang nyata, kemurkaan Allah, hilangnya keselamatan dan keberuntungan, serta adanya kegagalan dan kerugian, maka hanya kepada Allah kita berlindung dari segala sebab yang men-jauhkan dari rahmatNya.
Ancaman ini memiliki kedudukan yang sama seperti hal-hal yang semisal dengannya dari nash-nash ancaman atas beberapa dosa-dosa besar dan kemaksiatan dengan keabadian dalam neraka atau haramnya surga. Dan sesungguhnya para ulama n telah berbeda pendapat tentang penafsirannya, di samping kesepakatan mereka atas batilnya pendapat Khawarij dan Mu'tazilah yang ber-pendapat akan kekalnya orang-orang seperti itu
(pelaku dosa besar) dalam neraka walaupun mereka ini masih bertauhid, dan yang shahih dalam tafsirannya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim 5 dalam Madarij as-Salikin
[34], di mana beliau telah menyebutkan beberapa pendapat para ulama dalam tafsir akan hal tersebut lalu beliau mengomentarinya seraya berkata;
"Sekelompok ulama berpendapat, bahwa nash-nash ini atau yang semisalnya adalah di antara perkara yang disebutkan padanya tuntutan diberlakukannya hukuman. Keberadaan tuntutan hukum tidak mengharuskan adanya suatu hukuman, karena hukuman itu hanya akan terwujud jika tuntutan-tuntutannya terpenuhi dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Maksud dari nash-nash ini adalah pemberitahuan bahwa yang demikian itu merupakan sebab yang mengakibatkan hukuman. Dan sungguh telah ada dalil ten-tang adanya penghalang-penghalang tersebut yang sebagiannya adalah ijma' dan sebagian lagi berupa nash.
Mereka menyatakan bahwa atas dasar inilah penegakan ke-maslahatan dunia dan akhirat atau kemudharatan keduanya, dan atas dasar ini juga patokan hukum-hukum syariat dan ketetapan-ketetapan takdir, dan juga merupakan tuntutan sunnah Allah yang berlaku di dunia, dengannya ada keterkaitan antara sebab-sebab dan akibatnya sebagai suatu penciptaan dan perintah, dan sungguh Allah سبحانه وتعالى telah menjadikan bagi setiap hal ada hal lain yang kon-tradiksi dengannya yang selalu melawannya dan menghadangnya hingga hukum yang tegak adalah yang paling kuat darinya, maka kekuatan menghasilkan kesehatan dan keselamatan, dan kerusakan serta kezhaliman yang terjadi pada interaksi antara dua hal yang berlawanan tersebut adalah penghalang bagi fungsi alam. Jadi fungsi kekuatan dan hukum adalah bagi yang paling kuat darinya, demikian juga bagi kekuatan obat-obatan dan penyakit. Seorang hamba memiliki kesempatan untuk sehat dan kesempatan untuk sakit, salah satu pihak dari kedua hal itu akan menghalangi kesem-purnaan pengaruh dari pihak lainnya dan melawannya, dan bila ia mampu menanggulanginya dan menang atasnya, niscaya pe-ngaruhnya yang akan berfungsi, dari sinilah dapat diketahui pem-bagian makhluk yang masuk surga dan tidak masuk neraka atau sebaliknya, dan makhluk yang masuk neraka kemudian keluar darinya dan menetapnya dalam neraka adalah sesuai dengan hal-hal yang menuntut keberadaannya di neraka tersebut yang berpe-ngaruh pada cepat atau lambatnya ia keluar dari neraka.
Makhluk yang memiliki mata hati yang terang di mana ia mampu memandang dengannya segala hal yang dikabarkan oleh Allah dalam kitabNya berupa perkara tentang Hari Pembalasan dan perincian-perinciannya, hingga seolah-olah ia menyaksikan-nya dengan mata kepala sendiri, dan ia mengetahui bahwa hal ini adalah suatu tuntutan uluhiyah Allah سبحانه وتعالى,,, rububiyahNya, kemuliaan-Nya, dan hikmahNya, dan bahwasanya mustahil pada Diri Allah apa yang berlawanan dengan itu semua. Dan prosentase keyakinan tersebut pada diri orang itu adalah sama dengan prosentase apa yang tidak pantas padaNya, sehingga prosentase hal tersebut berkaitan dengan bashirahnya adalah seperti prosentase
(kuatnya) sinar matahari dan bintang kepada daya pandangannya. Dan inilah hakikat keimanan yang benar yang mampu membakar keburukan sebagaimana api membakar kayu, dan orang yang memiliki ke-imanan seperti ini, mustahil baginya terus-menerus berbuat kebu-rukan walaupun ia pernah melakukannya dan bahkan seringkali melakukannya, karena apa yang ada bersamanya berupa cahaya keimanan akan selalu memerintahkan kepadanya untuk memper-baharui taubat pada setiap waktu dan untuk kembali kepada Allah dalam setiap desah nafasnya. Dan inilah makhluk yang paling Allah cintai." Berakhir perkataan beliau dan semoga Allah menyucikan jiwanya dan membalasnya untuk Islam dan kaum Muslimin dengan kebaikan.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (94)}.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi
(berpe-rang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengata-kan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu, 'Kamu bukan seorang Mukmin',
(lalu kamu membunuhnya), dengan mak-sud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmatNya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(An-Nisa`: 94).
#
{94} يأمر تعالى عباده المؤمنين إذا خرجوا جهاداً في سبيله وابتغاء مرضاتِهِ أن يتبيَّنوا ويتثبَّتوا في جميع أمورهم المشتبهة؛ فإنَّ الأمور قسمان: واضحةٌ وغير واضحةٍ؛ فالواضحة البيِّنة لا تحتاج إلى تثبُّت وتبيُّن؛ لأنَّ ذلك تحصيل حاصل. وأما الأمور المُشكلة غير الواضحة؛ فإنَّ الإنسان يحتاج إلى التثبُّت فيها والتبيُّن؛ لِيَعْرِفَ هل يُقْدِمُ عليها أم لا؛ فإنَّ التثبُّت في هذه الأمور يحصُل فيه من الفوائد الكثيرة والكفِّ لشرورٍ عظيمةٍ؛ ما به يُعْرَفُ دينُ العبد وعقلُه ورزانتُه؛ بخلاف المستعجِل للأمور في بداوتها قبل أن يتبيَّن له حكمها؛ فإنَّ ذلك يؤدِّي إلى ما لا ينبغي؛ كما جرى لهؤلاء الذين عاتبهم الله في الآية لمّا لم يتثبَّتوا وقتلوا مَن سَلَّم عليهم وكان معه غُنيمةٌ له أو مالُ غيره؛ ظنًّا أنه يستكفي بذلك قتلهم، وكان هذا خطأً في نفس الأمر؛ فلهذا عاتبهم بقوله: {ولا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمناً تبتغونَ عَرَض الحياة الدُّنيا فعندَ الله مغانم كثيرة}؛ أي: فلا يحملنَّكم العَرَض الفاني القليل على ارتكاب ما لا ينبغي، فيفوتكُم ما عند الله من الثواب الجزيل الباقي؛ فما عند الله خيرٌ وأبقى. وفي هذا إشارةٌ إلى أنَّ العبد ينبغي له إذا رأى دواعي نفسه مائلةً إلى حالةٍ له فيها هوى وهي مضرَّةٌ له؛ أن يذكِّرها ما أعدَّ الله لِمَن نهى نفسه عن هواها، وقدَّم مرضاة الله على رضا نفسِهِ؛ فإنَّ في ذلك ترغيباً للنفس في امتثال أمر الله، وإن شقَّ ذلك عليها.
ثم قال تعالى مذكِّراً لهم بحالهم الأولى قبل هدايتهم إلى الإسلام: {كذلك كنتُم من قبلُ فَمَنَّ اللهُ عليكم}؛ أي: فكما هداكم بعد ضلالِكم؛ فكذلك يهدي غيركم، وكما أنَّ الهداية حصلتْ لكم شيئاً فشيئاً؛ فكذلك غيركم؛ فنظرُ الكامل لحالِهِ الأولى الناقصة ومعاملته لمن كان على مثلها بمقتضى ما يعرف من حاله الأولى ودعائه له بالحكمة والموعظة الحسنة من أكبر الأسباب لنفعِهِ وانتفاعِهِ، ولهذا أعاد الأمر بالتبيين، فقال: {فتبيَّنوا}! فإذا كان من خرج للجهاد في سبيل الله ومجاهدة أعداء الله واستعدَّ بأنواع الاستعداد للإيقاع بهم مأموراً بالتبيين لمن ألقى إليه السلام، وكانتِ القرينةُ قويةً في أنه إنما سَلَّم تعوذاً من القتل وخوفاً على نفسه؛ فإن ذلك يدلُّ على الأمر بالتبيُّن والتثبُّت في كل الأحوال التي يقع فيها نوعُ اشتباه، فيتثبَّت فيها العبدُ، حتى يتَّضح له الأمرُ، ويبين الرشدُ والصوابُ.
{إنَّ الله كان بما تعملونَ خبيراً}: فيجازي كلاًّ ما عَمِلَهُ ونواه بحسب ما عَلِمهُ من أحوال عبادِهِ ونيَّاتِهِم.
(94) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-hambaNya yang ber-iman apabila mereka keluar berjihad di jalanNya dan mengharap keridhaanNya agar teliti dan cermat
(mencari kejelasan) dalam segala perkara-perkara mereka yang samar, karena perkara itu ada dua macam; perkara yang jelas dan perkara yang tidak jelas. Perkara yang jelas dan nyata tidak butuh lagi kepada ketelitian dan kecermatan, karena hal tersebut sudah tidak diperdebatkan lagi. Adapun perkara-perkara yang bermasalah dan yang tidak jelas, maka sesungguhnya manusia membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian, agar ia mengetahui apakah ia berani mengambil risiko ataukah tidak, karena ketelitian dalam perkara-perkara seperti ini akan menghasilkan faidah-faidah yang banyak sekali dan terhindar dari keburukan yang besar, di mana agama, akal, dan kematangan seorang hamba dapat diketahui dengannya. Berbeda dengan seseorang yang tergesa-gesa pada awal-awalnya terhadap suatu perkara sebelum ia meneliti dan mencari tahu hukumnya, karena sesungguhnya hal tersebut akan mengakibatkan suatu hal yang tidak diharapkan, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang ditegur oleh Allah dalam ayat tersebut yaitu ketika mereka tidak meneliti lalu mereka membunuh orang yang menyerahkan dirinya kepada mereka di mana pada saat itu ada ghanimah milik-nya atau harta milik orang lain bersamanya, sebagai suatu dugaan bahwa hal ini hanya sebagai suatu penghindaran diri dari pembu-nuhan, dan ternyata hal ini adalah suatu kesalahan, karena itulah Allah menegur mereka dalam FirmanNya,
﴾ وَلَا تَقُولُواْ لِمَنۡ أَلۡقَىٰٓ إِلَيۡكُمُ ٱلسَّلَٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنٗا تَبۡتَغُونَ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فَعِندَ ٱللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٞۚ
﴿ "Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu, 'Kamu bukan seorang Mukmin,' (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak." Maksudnya, janganlah kalian didorong oleh harta yang sementara lagi sedikit lalu melakukan perbuatan yang tidak semestinya, hingga membuat kalian luput dari pahala di sisi Allah yang banyak lagi abadi, dan apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih abadi. Hal ini adalah sebuah isyarat bahwa seorang hamba bila ia merasakan dorongan-dorongan jiwanya condong kepada suatu kondisi yang berasaskan hawa nafsu dan membahayakan dirinya, hendaknya ia ingatkan jiwanya itu dengan apa yang dijanjikan oleh Allah bagi orang yang mampu menahan nafsunya tersebut, dan mendahulu-kan keridhaan Allah daripada keridhaan dirinya sendiri, karena hal itu merupakan dorongan bagi jiwa dalam melaksanakan perin-tah Allah, walaupun hal itu berat baginya.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman dengan maksud mengingatkan mereka tentang kondisi mereka pertama kali sebelum mereka diberi petunjuk kepada Islam, ﴾ كَذَٰلِكَ كُنتُم مِّن قَبۡلُ فَمَنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡكُمۡ
﴿ "Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmatNya atas kamu." Maksudnya, sebagaimana Allah memberikan hidayah-Nya kepada kalian setelah kesesatan kalian, demikian pula Allah memberikan hidayahNya kepada selain kalian, dan sebagaimana hidayah itu kalian dapatkan sedikit demi sedikit, begitu pula selain kalian, maka memahami secara sempurna akan kondisinya pertama kali yang kurang dan muamalahnya terhadap orang yang sama seperti kondisinya dengan tuntutan pengetahuannya tentang kondisinya pertama kali dan seruannya untuk orang tersebut de-ngan hikmah dan nasihat yang baik adalah di antara sebab-sebab yang paling besar dalam memberikan faidah dan manfaat kepada-nya, karena itulah Allah mengulangi perintah untuk teliti dalam FirmanNya, ﴾ فَتَبَيَّنُوٓاْۚ
﴿ "Maka telitilah," dan orang yang keluar ber-jihad di jalan Allah dan berjuang memerangi musuh-musuh Allah serta menyiapkan diri dengan berbagai persiapan demi mengalah-kan mereka, dia diperintahkan untuk teliti terhadap orang yang mengucapkan salam kepadanya, karena ada indikasi kuat yang menunjukkan bahwa tindakan itu hanyalah sebagai suatu jalan menghindar dari pembunuhan dan khawatir akan dirinya, sesung-guhnya hal itu menunjukkan perintah untuk teliti dan berhati-hati dalam segala kondisi di mana terjadi suatu perkara yang samar padanya, dan seorang hamba harus meneliti masalah itu hingga masalah tersebut jelas baginya dan teranglah maksud dan kebe-narannya.
﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Menge-tahui apa yang kamu kerjakan," hingga Allah membalas setiap orang atas apa yang telah diperbuat dan diniatkannya sesuai dengan apa yang diketahuiNya dari kondisi hamba-hambaNya dan niat-niat mereka.
{لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95) دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (96)}.
"Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk
(yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,
(yaitu) beberapa derajat dariNya, ampunan, serta rahmat. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 95-96).
#
{95 ـ 96} أي: لا يستوي مَن جاهد من المؤمنين بنفسِهِ ومالِهِ ومن لم يخرجْ للجهاد ولم يقاتِلْ أعداء الله؛ ففيه الحث على الخروج للجهاد والترغيب في ذلك والترهيب من التَّكاسل والقعود عنه من غير عذر، وأما أهل الضَّرر كالمريض والأعمى والأعرج والذي لا يجدُ ما يتجهَّزُ به؛ فإنهم ليسوا بمنزلة القاعدين من غير عذر؛ فمن كان من أولي الضرر راضياً بقعوده، لا ينوي الخروج في سبيل الله لولا وجود المانع ولا يحدِّث نفسه بذلك؛ فإنه بمنزلة القاعد لغير عذر، ومن كان عازماً على الخروج في سبيل الله لولا وجود المانع يتمنَّى ذلك ويحدِّث به نفسَه؛ فإنه بمنزلة من خرج للجهاد؛ لأنَّ النيَّة الجازمة إذا اقترن بها مقدورُها من القول أو الفعل، يُنَزَّلُ صاحبها منزلة الفاعل.
ثمَّ صرَّح تعالى بتفضيل المجاهدين على القاعدين بالدرجة؛ أي: الرفعة، وهذا تفضيل على وجه الإجمال، ثم صرَّح بذلك على وجه التفصيل، ووعدهم بالمغفرة الصادرة من ربِّهم والرحمة التي تشتَمِلُ على حصول كلِّ خير واندفاع كلِّ شرٍّ، والدرجات التي فصلها النبي - صلى الله عليه وسلم - بالحديث الثابت عنه في «الصحيحين»: «إن في الجنة مائة درجة، ما بين كل درجتين كما بين السماء والأرض، أعدها الله للمجاهدين في سبيله». وهذا الثواب الذي رتَّبه الله على الجهاد نظير الذي في سورة الصفِّ في قوله: {يا أيُّها الذين آمنوا هل أدلُّكم على تجارةٍ تُنجيكم من عذابٍ أليم. تؤمنون بالله ورسولِهِ وتجاهِدون في سبيل اللهِ بأموالِكم وأنفسِكم ذلكم خيرٌ لكم إن كنتُم تعلَمون. يَغْفِرْ لكُم ذُنوبَكُم ويُدْخِلْكم جناتٍ تجري من تحتِها الأنهارُ ومساكنَ طيبةً في جنَّاتِ عدنٍ ذلك الفوزُ العظيم ... } إلى آخر السورة.
وتأمَّل حُسْنَ هذا الانتقال من حالةٍ إلى أعلى منها؛ فإنه نفى التسوية أولاً بين المجاهد وغيره، ثم صرَّح بتفضيل المجاهدِ على القاعِد بدرجةٍ، ثمَّ انتقل إلى تفضيلِهِ بالمغفرةِ والرحمةِ والدَّرجات. وهذا الانتقال من حالة إلى أعلى منها عند التفضيل والمدح أو النزول من حالةٍ إلى ما دونَها عند القدح والذمِّ أحسنُ لفظاً وأوقع في النفس، وكذلك إذا فضَّل تعالى شيئاً على شيءٍ، وكلٌّ منهما له فضلٌ؛ احترز بذكر الفضل الجامع للأمرين؛ لئلا يتوهَّم أحد ذمَّ المفضَّل عليه؛ كما قال هنا: {وكلاًّ وَعَدَ الله الحسنى}، وكما قال تعالى في الآيات المذكورة في الصَّفِّ في قوله: {وبشِّرِ المؤمنين}، وكما في قوله تعالى: {لا يستوي منكُم مَن أنفق مِن قبل الفتح وقاتَلَ}؛ أي: ممَّن لم يكن كذلك، ثم قال: {وكلاًّ وَعَدَ الله الحسنى}، وكما قال تعالى: {ففهَّمْناها سليمانَ وكلاًّ آتَيْنا حُكماً وعلماً}. فينبغي لمن بَحَثَ في التفضيل بين الأشخاص والطوائف والأعمال أن يتفطن لهذه النكتة، وكذلك لو تكلَّم في ذمِّ الأشخاص والمقالات؛ ذكر ما تجتمع فيه عند تفضيل بعضِها على بعض؛ لئلاَّ يُتَوَهَّم أن المفضَّل قد حصل له الكمال؛ كما إذا قيل: النصارى خيرٌ من المجوس؛ فليقلْ مع ذلك: وكلٌّ منهما كافر. والقتلُ أشنع من الزِّنا، وكلٌّ منهما معصيةٌ كبيرةٌ، حرَّمها الله ورسولُهُ، وزَجَرَ عنها.
ولمَّا وَعَدَ المجاهدين بالمغفرة والرحمةِ الصادِرَيْن عن اسميهِ الكريمين الغفور الرحيم؛ خَتَمَ هذه الآية بهما، فقال: {وكان الله غفوراً رحيماً}.
(95-96) Maksudnya, tidaklah sama orang yang berjihad di antara kaum Mukminin dengan mempersembahkan diri dan har-tanya dengan orang yang tidak keluar berjihad dan tidak berjuang melawan musuh-musuh Allah, hal ini merupakan anjuran untuk keluar berjihad dan dorongan kepada hal tersebut, juga ancaman dari bermalas-malasan dan tidak ikut serta tanpa ada alasan yang benar, adapun orang-orang yang memiliki udzur seperti orang sakit, orang buta, pincang dan yang tidak memiliki apa pun untuk mempersiapkan dirinya berperang, maka mereka itu tidaklah ter-masuk dari orang-orang yang tidak ikut serta tanpa udzur, barang-siapa yang termasuk dalam kelompok itu namun ia ridha dengan ketidakhadirannya dan tidak berniat ikut berjihad di jalan Allah, sekiranya tidak ada penghalang dan tidak pula ia berbisik kepada dirinya untuk berjihad, maka sesungguhnya ia termasuk dalam kelompok orang yang tidak ikut serta tanpa udzur, dan barang-siapa yang bertekad untuk ikut berjihad di jalan Allah sekiranya tidak ada penghalang dan ia berharap serta berbisik kepada dirinya untuk ikut serta, maka ia termasuk dalam kelompok orang yang ikut berjihad, karena niat yang kuat apabila diikuti oleh kondisi yang memungkinkan, baik perkataan maupun perbuatan orang itu, akan diposisikan dalam posisi orang yang berbuat.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى tegaskan tentang keutamaan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tidak ikut serta berjihad dengan suatu derajat, yaitu kemuliaan, dan keutamaan tersebut adalah dalam bentuk global, kemudian Allah menegaskan hal ter-sebut dalam bentuk yang lebih rinci, menjanjikan ampunan bagi mereka yang datang dari Rabb mereka dan rahmat yang meliputi segala kebaikan dan perlindungan dari segala keburukan, dan derajat yang dirincikan oleh Nabi ﷺ dengan hadits beliau yang kuat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim
[35],
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، أَعَدَّهَا اللّٰهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِهِ.
"Sesungguhnya dalam surga itu ada seratus derajat, jarak antara setiap dua derajat adalah seperti antara langit dan bumi, yang disiapkan oleh Allah untuk orang-orang yang berjihad di jalanNya."
Ganjaran yang telah disiapkan oleh Allah tersebut untuk amal berjihad serupa dengan yang ada dalam surat ash-Shaf dalam FirmanNya,
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ تِجَٰرَةٖ تُنجِيكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ 10 تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ 11 يَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ وَيُدۡخِلۡكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةٗ فِي جَنَّٰتِ عَدۡنٖۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ 12 وَأُخۡرَىٰ تُحِبُّونَهَاۖ نَصۡرٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَتۡحٞ قَرِيبٞۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ 13 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ لِلۡحَوَارِيِّـۧنَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِۖ فَـَٔامَنَت طَّآئِفَةٞ مِّنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَكَفَرَت طَّآئِفَةٞۖ فَأَيَّدۡنَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَىٰ عَدُوِّهِمۡ فَأَصۡبَحُواْ ظَٰهِرِينَ 14
﴿
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam Surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?' Pengikut-pengikut yang setia itu berkata, 'Kamilah penolong-penolong agama Allah!' Lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang." (Ash-Shaf: 10-14).
Perhatikanlah betapa indahnya perpindahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih tinggi darinya, sesungguhnya hal itu merupakan peniadaan akan persamaan, yang pertama antara seorang mujahid dengan selainnya, kemudian Allah mene-gaskan keutamaan seorang mujahid atas seorang yang tidak ikut serta berperang dengan satu derajat, kemudian Allah berpindah kepada penyebutan akan keutamaannya dengan ampunan, rahmat, dan derajat. Perpindahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih tinggi ketika sedang mengutamakan dan memuji atau perpin-dahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih rendah darinya ketika sedang memberikan celaan dan hinaan adalah merupakan ungkapan yang paling indah dan paling menyentuh jiwa. Demi-kian pula apabila Allah سبحانه وتعالى mengutamakan sesuatu atas sesuatu yang lain, sementara setiap dari kedua hal tersebut memiliki ke-utamaan, maka Allah menjaganya dengan cara menyebut keuta-maan yang mencakup bagi kedua perkara tersebut (untuk menjaga) agar tidak ada seorang pun mengira bahwa hal itu merupakan celaan terhadap hal yang tidak diutamakan (al-Mufadhdhal alaih), sebagaimana Allah berfirman di sini, ﴾ وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
﴿ "Kepada ma-sing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga)."
Dan sebagaimana Allah juga berfirman,
﴾ فَفَهَّمۡنَٰهَا سُلَيۡمَٰنَۚ وَكُلًّا ءَاتَيۡنَا حُكۡمٗا وَعِلۡمٗاۚ
﴿
"Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (Al-Anbiya`: 79).
Oleh karena itu, seyogyanya orang yang mencari keutamaan di antara beberapa orang, kelompok dan pekerjaan agar mema-hami poin ini. Demikian juga seandainya ia berbicara tentang pencelaan terhadap beberapa orang atau terhadap ucapan-ucapan, ia menyebutkan suatu hal yang menunjukkan adanya kesamaan saat pengutamaan sebagian mereka atas sebagian yang lain, agar tidak ada prasangka bahwa orang yang diutamakan itu telah memperoleh kesempurnaan, sebagaimana jika dikatakan bahwa orang-orang Nasrani lebih baik dari orang-orang Majusi, sebaiknya ia juga berkata bahwa setiap dari kedua pihak itu adalah orang-orang kafir. Pembunuhan itu lebih keji daripada perzinaan, namun setiap dari kedua hal buruk itu merupakan kemaksiatan yang besar yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya.
Tatkala Allah menjanjikan orang-orang yang berjihad dengan ampunan dan rahmat yang datang dari dua nama Allah yang mulia yaitu Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Allah menutup ayat ini dengan kedua NamaNya tersebut seraya ber-firman, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا ﴿ "Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
{إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا (99)}.
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat da-lam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya, 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menja-wab, 'Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri
(Makkah).' Para malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki, wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak menge-tahui jalan
(untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun."
(An-Nisa`: 97-99).
#
{97} هذا الوعيد الشديد لمن ترك الهجرة مع قدرته عليها حتى مات؛ فإنَّ الملائكة الذين يقبضون روحه يوبِّخونه بهذا التوبيخ العظيم، ويقولون لهم: {فيم كنتُم}؛ أي: على أيِّ حال كنتم؟ وبأيِّ شيءٍ تميَّزْتم عن المشركين؟ بل كثَّرْتُم سوادَهم، وربَّما ظاهرتُموهم على المؤمنين، وفاتكم الخير الكثير والجهادُ مع رسولِهِ والكون مع المسلمين ومعاونتهم على أعدائهم. {قالوا كُنَّا مستضعفين في الأرض}؛ أي: ضعفاء مقهورين مظلومين ليس لنا قدرة على الهجرة، وهم غير صادقين في ذلك؛ لأنَّ الله وَبَّخَهم وتوعَّدَهم، ولا يكلِّف الله نفساً إلاَّ وسعها، واستثنى المستضعفين حقيقةً، ولهذا قالت لهم الملائكة: {ألم تَكُنْ أرضُ الله واسعةً فتهاجِروا فيها}؟ وهذا استفهام تقرير؛ أي: قد تقرَّر عند كلِّ أحدٍ أنَّ أرض الله واسعةٌ؛ فحيثما كان العبد في محلٍّ لا يتمكن فيه من إظهار دينه؛ فإنَّ له متَّسعاً وفسحةً من الأرض يتمكَّن فيها من عبادة الله؛ كما قال تعالى: {يا عبادي الذين آمنوا إنَّ أرضي واسعةٌ فإيَّايَ فاعبُدُونِ}. قال الله عن هؤلاء الذين لا عذر لهم: {فأولئك مأواهم جهنَّمُ وساءت مصيراً}. وهذا كما تقدَّم فيه ذِكْرُ بيان السبب الموجب؛ فقد يترتَّب عليه مقتضاهُ مع اجتماع شروطِهِ وانتفاءِ موانعِهِ، وقد يمنعُ من ذلك مانع.
وفي الآية دليل على أن الهجرة من أكبر الواجبات، وتركها من المحرمات، بل من أكبر الكبائر. وفي الآية دليلٌ على أنَّ كلَّ من تُوُفِّي فقد استكمل واستوفى ما قُدِّرَ له من الرِّزْق والأجل والعمل، وذلك مأخوذٌ من لفظ التوفِّي؛ فإنه يدلُّ على ذلك؛ لأنَّه لو بقي عليه شيءٌ من ذلك؛ لم يكن متوفياً. وفيه الإيمان بالملائكة ومدحهم؛ لأنَّ الله ساق ذلك الخطاب لهم على وجه التقرير والاستحسان منهم وموافقته لمحلِّه.
(97) Ancaman yang keras ini ditujukan kepada orang yang meninggalkan hijrah hingga ia meninggal padahal ia mampu me-lakukannya, sesungguhnya para malaikat yang mencabut nyawa-nya mencelanya dengan celaan yang keras tersebut, mereka berkata kepadanya, ﴾ فِيمَ كُنتُمۡۖ
﴿ "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" maksud-nya, dalam kondisi bagaimana kalian dahulu? Dan dengan apa kalian berbeda dengan kaum musyrikin? Akan tetapi kalian hanya menambah jumlah kekuatan mereka, dan kemungkinan kalian membantu mereka untuk melawan kaum Mukminin, dan hilanglah dari kalian kebaikan yang banyak dan kesempatan berjihad bersama Rasulullah ﷺ serta berada dengan kaum Mukminin dan membantu mereka untuk melawan musuh-musuh mereka, ﴾ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ
﴿ "mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)'." Maksudnya, kami adalah orang-orang yang lemah dan tertindas serta dizhalimi, kami tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah, padahal mereka tidaklah jujur dalam hal tersebut, karena Allah telah mencela dan mengancam mereka, dan Allah tidaklah membebankan sesuatu atas seseorang kecuali yang mampu dilaku-kannya, dan Allah mengecualikan orang-orang yang benar-benar tertindas, oleh karena itu malaikat berkata kepada mereka, ﴾ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ
﴿ "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Ini merupakan pertanyaan pemantapan, artinya sesungguhnya telah pasti bagi setiap orang bahwa bumi Allah itu luas, maka di manapun seorang hamba berada dan ia tidak mampu meninggikan agama Allah di sana, ia memiliki keluasan dan kemudahan pada bumi Allah yang lain di mana ia mampu beribadah kepada Allah di tempat itu, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ أَرۡضِي وَٰسِعَةٞ فَإِيَّٰيَ فَٱعۡبُدُونِ 56
﴿
"Hai hamba-hambaKu yang beriman, sesungguhnya bumiKu luas, maka sembahlah Aku saja." (Al-Ankabut: 56).
Allah berfirman tentang orang-orang yang tidak memiliki udzur tersebut, ﴾ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ﴿ "Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali," hal ini sebagaimana yang telah berlalu mengandung ungkapan penje-lasan tentang sebab yang mengakibatkan hal tersebut, dan terka-dang juga tuntutannya telah ada dengan adanya syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalang-penghalangnya atau terkadang juga ada penghalang yang merintanginya.
Ayat ini merupakan sebuah dalil bahwa hijrah adalah di antara kewajiban yang paling besar, dan meninggalkannya adalah suatu hal yang diharamkan bahkan termasuk dosa-dosa besar. Dan ayat ini juga sebuah dalil bahwa setiap orang yang meninggal telah memenuhi dan melengkapi apa yang ditakdirkan untuknya berupa rizki, ajal, dan perbuatannya, ini diambil dari lafazh تَوَفَّهُمْ "diwafatkan," yang menunjukkan akan hal tersebut, karena apabila masih tersisa sesuatu pun dari perkara-perkara tersebut, maka ia belum dikatakan telah memenuhinya. Ayat ini juga isyarat tentang keimanan kepada malaikat dan pujian kepada mereka, karena Allah سبحانه وتعالى telah menjadikan percakapan itu dari mereka dalam bentuk penetapan dan kebaikan dari mereka serta kecocokannya dengan kondisinya.
#
{98 ـ 99} ثم استثنى المستضعفين على الحقيقة الذين لا قدرة لهم على الهجرة بوجهٍ من الوجوه {ولا يَهْتَدونَ سبيلاً}؛ فهؤلاء قال الله فيهم: {فأولئك عسى اللهُ أن يعفُوَ عنهم وكان الله عفوًّا غفوراً}، و {عسى} ونحوها واجب وقوعها من الله تعالى بمقتضى كرمِهِ وإحسانه. وفي الترجية بالثواب لمن عمل بعض الأعمال فائدةٌ، وهو أنَّه قد لا يوفِّيه حقَّ توفيته، ولا يعمله على الوجه اللائق الذي ينبغي، بل يكون مقصِّراً، فلا يستحقُّ ذلك الثواب، والله أعلم.
وفي الآية الكريمة دليل على أن من عَجَزَ عن المأمور من واجب وغيره؛ فإنه معذور؛ كما قال تعالى في العاجزين عن الجهاد: {ليس على الأعمى حَرَجٌ ولا على الأعرج حَرَجٌ ولا على المريض حَرَجٌ}، وقال في عموم الأوامر: {فاتَّقوا الله ما استطعتُم}، وقال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «إذا أمرتُكم بأمرٍ؛ فأتوا منه ما استطعتم». ولكن لا يُعْذَرُ الإنسان إلاَّ إذا بَذَلَ جهدَه، وانسدَّت عليه أبوابُ الحيل؛ لقوله: {لا يستطيعونَ حيلةً}.
وفي الآية تنبيهٌ على أنَّ الدَّليل في الحج والعمرة ـ ونحوهما مما يحتاج إلى سفر ـ من شروط الاستطاعة.
(98-99) Kemudian Allah mengecualikan orang-orang yang benar-benar tertindas, orang-orang yang tidak memiliki kemam-puan untuk berhijrah dalam bentuk apa pun, ﴾ وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلٗا
﴿ "dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)" Allah berfirman tentang me-reka, ﴾ فَأُوْلَٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعۡفُوَ عَنۡهُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورٗا
﴿ "Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun," kata ﴾ عَسَى
﴿ "Mudah-mudahan" dan semacamnya menunjukkan ke-pastian terjadinya (jika bersumber) dari Allah سبحانه وتعالى karena tuntutan kemuliaan dan kebaikanNya. Dan pengharapan akan pahala dari orang-orang yang melakukan beberapa perbuatan mengandung faidah, yaitu bahwa orang tersebut bisa jadi tidak benar-benar me-menuhinya, dan tidak melakukannya menurut bentuk yang sesuai dari yang diinginkan, akan tetapi ia lalai, maka tidaklah ia berhak mendapatkan pahala tersebut, wallahu a'lam.
Di dalam ayat yang mulia ini terdapat sebuah dalil bahwa orang yang tidak mampu mengerjakan suatu perintah berupa kewajiban atau selainnya, maka sesungguhnya ia dimaafkan, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang orang-orang yang tidak mampu berjihad,
﴾ لَّيۡسَ عَلَى ٱلۡأَعۡمَىٰ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡأَعۡرَجِ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرِيضِ حَرَجٞۗ
﴿
"Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang)." (Al-Fath: 17).
Dan Allah berfirman tentang keumuman segala perintah,
﴾ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
﴿
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (At-Taghabun: 16).
Nabi ﷺ bersabda,
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
"Apabila aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah perkara itu menurut kesanggupanmu."[36]
Akan tetapi tidaklah seorang manusia itu dimaafkan kecuali setelah ia mengerahkan segenap kemampuannya, namun tertutup baginya segala pintu-pintu usaha, atas dasar FirmanNya, ﴾ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةٗ ﴿ "Yang tidak mampu berdaya upaya."
Ayat ini juga menyimpan suatu isyarat bahwa dalil tentang haji dan umrah -dan semacamnya dari perkara yang butuh perja-lanan- di antara syarat menunaikannya adalah kemampuan.
{وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (100)}.
"Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka men-dapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud ber-hijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpa-nya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 100).
#
{100} هذا في بيان الحثِّ على الهجرة والترغيب وبيان ما فيها من المصالح، فوعد الصادق في وعده أنَّ من هاجر في سبيله ابتغاء مرضاتِهِ أنه يَجِدُ مراغَماً في الأرض وسعة؛ فالمراغَم مشتملٌ على مصالح الدين، والسعة على مصالح الدنيا، وذلك أنَّ كثيراً من الناس يتوهَّم أنَّ في الهجرة شتاتاً بعد الألفة وفقراً بعد الغنى وذلاًّ بعد العزِّ وشدَّة بعد الرخاء، والأمر ليس كذلك؛ فإنَّ المؤمن ما دام بين أظهر المشركين؛ فدينُهُ في غاية النقص؛ لا في العبادات القاصرة عليه كالصلاة ونحوها، ولا في العبادات المتعدِّية كالجهاد بالقول والفعل وتوابع ذلك؛ لعدم تمكُّنه من ذلك، وهو بصدد أن يُفْتَنَ عن دينِهِ، خصوصاً إن كان مستضعفاً؛ فإذا هاجر في سبيل الله؛ تمكَّن من إقامة دين الله وجهاد أعداء الله ومراغمتهم؛ فإنَّ المراغمة اسم جامعٌ لكلِّ ما يحصُلُ به إغاظةٌ لأعداء الله من قول وفعل وكذلك يحصل له سعة في رزقه، وقد وقع كما أخبر الله تعالى.
واعْتَبِرْ ذلك بالصحابة رضي الله عنهم؛ فإنهم لما هاجروا في سبيل الله وتركوا ديارهم وأولادهم وأموالهم لله؛ كمل بذلك إيمانهم، وحصل لهم من الإيمان التامِّ والجهاد العظيم والنصرِ لدين الله ما كانوا به أئمة لمن بعدهم، وكذلك حصل لهم مما يترتب على ذلك من الفتوحات والغنائم ما كانوا به أغنى الناس، وهكذا كلُّ مَن فَعَلَ فعلَهم؛ حَصَلَ له ما حَصَلَ لهم إلى يوم القيامة.
ثم قال: {ومن يخرج من بيتِهِ مهاجراً إلى الله ورسولِهِ}؛ أي: قاصداً ربَّه ورضاه ومحبَّته لرسوله ونصراً لدين الله لا لغير ذلك من المقاصد. {ثم يدرِكْه الموتُ}: بقتل أو غيره، {فقد وَقَعَ أجرُهُ على الله}؛ أي: فقد حَصَلَ له أجرُ المهاجر الذي أدرك مقصودَه بضمان الله تعالى، وذلك لأنَّه نوى وجَزَمَ وحصل منه ابتداءٌ وشروعٌ في العمل؛ فمن رحمة الله به وبأمثاله أنْ أعطاهم أجْرَهم كاملاً، ولو لم يُكْمِلوا العمل، وَغَفَرَ لهم ما حصل منهم من التقصير في الهجرة وغيرها، ولهذا ختم هذه الآية بهذين الاسمين الكريمين، فقال: {وكان الله غفوراً رحيماً}: يغفر للمؤمنين ما اقترفوه من الخطيئاتِ، خصوصاً التائبين المنيبين إلى ربهم، رحيماً بجميع الخلق رحمةً أوجدتهم وعافتْهم ورزقتْهم من المال والبنين والقوَّة وغير ذلك، رحيماً بالمؤمنين؛ حيث وفَّقهم للإيمان، وعلَّمهم من العلم ما يحصُلُ به الإيقان، ويَسَّرَ لهم أسبابَ السعادة والفلاح، وما به يدركونَ غايةَ الأرباح، وسيرون من رحمته وكرمِهِ ما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت ولا خطر على قلب بشر. فنسأل الله أن لا يحرِمَنا خيره بشرِّ ما عندنا.
(100) Ayat ini sebagai suatu penjelasan tentang anjuran untuk berhijrah dan dorongan kepadanya serta penjelasan tentang kemaslahatan yang terkandung di dalamnya, dan Allah Yang Maha menepati janji itu telah menjanjikan bahwa barangsiapa yang berhijrah di jalanNya dengan hanya mengharap keridhaanNya, ia akan mendapatkan tempat yang luas dan rizki yang melimpah, tempat yang luas itu mencakup kemaslahatan-kemaslahatan agama, dan rizki yang melimpah mencakup kemaslahatan-kemaslahatan dunia, yang demikian itu ketika sebagian besar manusia mengira bahwa berhijrah itu akan mengakibatkan perpecahan setelah ke-bersamaan, kefakiran setelah kekayaan, keterhinaan setelah kemu-liaan dan kesusahan setelah kelapangan, padahal hijrah itu tidaklah demikian, karena sesungguhnya seorang Mukmin selama ia masih berada di antara kaum musyrikin, maka agamanya berada dalam kondisi sangat kritis, tidak hanya pada ibadah-ibadahnya yang pribadi seperti shalat dan semacamnya, dan tidak juga pada ibadah-ibadahnya yang berhubungan dengan orang seperti jihad dengan perkataan maupun perbuatan dan hal-hal yang mengikutinya, karena ia tidak mampu melakukan hal tersebut, dan ia berada dalam sasaran empuk dalam perkara agamanya, khususnya jika termasuk dari orang-orang yang tertindas, namun bila ia berhijrah di jalan Allah, niscaya ia mampu menegakkan agama Allah dan berjihad melawan musuh-musuh Allah dan memerangi mereka, sesungguhnya al-muraghamah itu adalah sebuah kata komprehen-sif yang mencakup segala hal yang membuat marah musuh-musuh Allah berupa perkataan dan perbuatan, dan juga mengakibatkan perolehan rizki yang luas, dan sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Allah سبحانه وتعالى tersebut benar-benar telah terjadi.
Maka ambillah pelajaran tersebut dari para sahabat رضي الله عنهم, se-sungguhnya mereka ketika berhijrah di jalan Allah dan meninggal-kan negeri, anak-anak, serta harta mereka karena Allah, sempurna-lah iman mereka dengannya, dan mereka memperoleh keimanan yang sempurna, jihad yang besar, dan pembelaan terhadap agama Allah, di mana mereka menjadi para pemimpin bagi orang-orang setelah mereka, demikian juga mereka memperoleh hal-hal yang diakibatkan dari hal itu berupa kemenangan-kemenangan dan ghanimah-ghanimah, di mana mereka menjadi orang-orang yang paling kaya, dan demikianlah, setiap orang yang melakukan se-perti apa yang mereka lakukan, niscaya ia akan memperoleh apa yang mereka peroleh sampai Hari Kiamat.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ
﴿ "Ba-rangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya" yaitu bertujuan kepada Rabbnya, keridhaanNya dan kecintaan kepada RasulNya, pembelaan terhadap agama Allah, dan bukan bertujuan selain itu, ﴾ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ
﴿ "kemudian kematian me-nimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju)," dengan terbunuh atau selainnya, ﴾ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ
﴿ "maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah," yaitu sesungguhnya ia telah memperoleh pahala orang yang berhijrah yang telah mendapatkan maksudnya dengan jaminan dari Allah سبحانه وتعالى, yang demikian itu karena ia telah berniat dan bertekad serta adanya tindakan memulai perbuatan tersebut, maka di antara rahmat Allah kepadanya dan kepada orang-orang yang semisalnya bahwa Allah memberikan pahala untuk mereka secara penuh walaupun mereka belum menyempurnakan per-buatannya, dan Allah mengampuni apa yang terjadi dari mereka berupa kelalaian dalam berhijrah dan selainnya, karena itulah Allah menutup ayat ini dengan dua namaNya yang mulia tersebut seraya berfirman, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Allah mengampuni bagi kaum Mukminin apa yang telah mereka lakukan berupa kesalahan-kesalahan, khusus-nya orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka, Allah Maha Penyayang terhadap seluruh makhluk dengan rahmat yang membuat mereka ada atau hidup, menyehatkan mereka, memberi rizki kepada mereka berupa harta, anak cucu, kekuatan dan lain sebagainya, Maha Penyayang terhadap kaum Mukminin di mana Allah membimbing mereka kepada keimanan, mengajar-kan mereka ilmu yang mengakibatkan keyakinan, memudahkan bagi mereka sebab-sebab kebahagiaan dan kemenangan, dan per-kara yang membuat mereka memperoleh keuntungan yang besar, mereka akan melihat di antara rahmat dan karuniaNya yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit pada hati seorang manusia pun. Kita memo-hon kepada Allah agar tidak menahan kebaikanNya karena kebu-rukan yang ada pada diri kita.
{وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا (101) وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (102)}.
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar di antara shalat
(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu dan menyandang senjata, ke-mudian apabila mereka
(yang shalat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senja-tamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguh-nya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu."
(An-Nisa`: 101-102).
#
{101} هاتان الآيتان: أصل في رخصة القصر وصلاة الخوف، يقول تعالى: {وإذا ضربتُم في الأرض}؛ أي: في السفر، وظاهر الآية أنه يقتضي الترخُّص في أي سفر كان، ولو كان سفر معصية؛ كما هو مذهب أبي حنيفة رحمه الله، وخالف في ذلك الجمهور، وهم الأئمة الثلاثة وغيرهم، فلم يجوِّزوا الترخيص في سفر المعصية؛ تخصيصاً للآية بالمعنى والمناسبة؛ فإنَّ الرخصة سهولةٌ من الله لعباده إذا سافروا أن يقصُروا ويفطروا، والعاصي بسفره لا يناسب حاله التخفيف.
وقوله: {فليس عليكم جناح أن تقصُروا من الصلاة}؛ أي: لا حرج ولا إثم عليكم في ذلك. ولا ينافي ذلك كون القصر هو الأفضل؛ لأن نفي الحرج إزالةٌ لبعض الوهم الواقع في كثيرٍ من النفوس، بل ولا ينافي الوجوب؛ كما تقدَّم ذلك في سورة البقرة في قوله: {إن الصَّفا والمروة من شعائرِ الله ... } إلى آخر الآية، وإزالة الوهم في هذا الموضع ظاهرة؛ لأنَّ الصلاة قد تقرَّر عند المسلمين وجوبُها على هذه الصفة التامَّة، ولا يزيل هذا عن نفوس أكثرهم إلا بذكر ما ينافيه. ويدلُّ على أفضلية القصر على الإتمام أمران: أحدُهما: ملازمة النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - على القصر في جميع أسفاره. والثاني: أن هذا من باب التوسعة والترخيص والرحمة بالعباد، والله تعالى يُحِبُّ أن تُؤتى رُخَصُه، كما يكره أن تُؤتى معصيَتُه.
وقوله: {أن تقصُروا من الصلاة}، ولم يقل: أن تقصُروا الصلاة: فيه فائدتان: إحداهما: أنه لو قال: أن تقصروا الصلاة؛ لكان القصرُ غيرَ منضبط بحدٍّ من الحدود، فربَّما ظنَّ أنه لو قَصَرَ معظم الصلاة وجعلها ركعةً واحدةً؛ لأجزأ؛ فإتيانه بقوله: {من الصلاة}؛ ليدل ذلك على أن القصر محدودٌ مضبوطٌ مرجوعٌ فيه إلى ما تقرَّر من فعل النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - وأصحابه. الثانية: أنَّ {من} تفيدُ التبعيض؛ ليعلم بذلك أن القصر لبعض الصلواتِ المفروضاتِ لا جميعها؛ فإنَّ الفجر والمغرب لا يُقصران، وإنما الذي يُقْصَر الصلاة الرباعية من أربع إلى ركعتين.
فإذا تقرَّر أنَّ القصر في السفر رخصةٌ؛ فاعلمْ أنَّ المفسِّرين قد اختلفوا في هذا القيد، وهو قولُهُ: {إن خفتم أن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا}، الذي يدلُّ ظاهرُهُ أنَّ القصر لا يجوزُ إلا بوجود الأمرين كليهما السفر مع الخوف، ويرجِعُ حاصل اختلافهم إلى أنه هل المرادُ بقوله: {أن تقصُروا}: قصرُ العدد فقط أو قصرُ العدد والصفة؟ فالإشكال إنما يكون على الوجه الأوَّل. وقد أشكل هذا على أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه، حتَّى سأل عنه النبيَّ - صلى الله عليه وسلم -، فقال: يا رسول الله! ما لنا نقصُرُ الصلاة وقد أمِنَّا؟ أي: والله يقولُ: {إن خِفْتُم أن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا}. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: «صدقةٌ تصدَّق الله بها عليكم؛ فاقبلوا صَدَقَتَهُ». أو كما قال. فعلى هذا يكون هذا القيد أتى به نظراً لغالب الحال التي كان النبيُّ - صلى الله عليه وسلم - وأصحابه عليها؛ فإنَّ غالب أسفاره أسفار جهاد.
وفيه فائدةٌ أخرى: وهي بيان الحكمة والمصلحة في مشروعية رخصة القصر؛ فبيَّن في هذه الآية أنْهَى ما يُتَصَوَّر من المشقة المناسبة للرخصة، وهي اجتماع السفر والخوف، ولا يستلزم ذلك أن لا يُقْصَرَ مع السفر وحده الذي هو مَظِنَّة المشقَّة. وأما على الوجه الثاني، وهو أنَّ المراد بالقصر [هنا] قصرُ العدد والصِّفة؛ فإنَّ القيدَ على بابِهِ؛ فإذا وجد السفر والخوف؛ جاز قصرُ العدد وقصرُ الصفة، وإذا وُجِدَ السفر وحده؛ جاز قَصْرُ العدد فقط، أو الخوف وحدَه؛ جاز قصرُ الصفة.
(101) Dua ayat ini adalah dasar dari rukhshah
(dispensasi kemudahan dalam melaksanakan ibadah) untuk mengqashar dan untuk shalat saat takut
(shalat Khauf), Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ
﴿ "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi" yaitu bersafar, lahi-riyah ayat ini menunjukkan keringanan untuk mengqashar shalat dalam perjalanan apa pun, walaupun perjalanan kemaksiatan, se-bagaimana yang diyakini oleh madzhab Abu Hanifah 5, namun berbeda dengan jumhur ulama, yaitu tiga Imam selain mereka (Malik, asy-Syafi'i, Ahmad), mereka tidaklah memberlakukan adanya rukhshah pada perjalanan maksiat, sebagai pengkhususan bagi ayat ini dengan arti maupun kesesuaiannya, karena sesung-guhnya rukhshah tersebut merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba-hambaNya apabila mereka bermusafir agar mereka meng-qasharkan shalat dan membatalkan puasanya, dan seorang pelaku maksiat dalam safarnya tidaklah pantas mendapatkan keringanan.
Dan FirmanNya, ﴾ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ
﴿ "Maka tidaklah mengapa kamu menqashar di antara shalat(mu)," maksudnya, tidak ada salahnya dan tidak ada dosanya atas kalian dalam hal tersebut, namun hal itu tidaklah meniadakan bahwa qashar tersebut adalah lebih utama, karena peniadaan dosa adalah sebuah penghapusan atas beberapa keraguan yang terjadi pada sebagian besar manusia, bahkan tidak juga meniadakan kewajiban, sebagaimana yang telah berlalu pada surat al-Baqarah pada Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ
﴿
"Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi'ar Allah." (Al-Baqarah: 158).
Penghapusan keraguan dalam hal ini adalah suatu yang jelas sekali, karena shalat itu telah tetap bagi kaum Muslimin tentang hukumnya yang wajib dengan bentuk yang sempurna tersebut, dan tidaklah hal ini menghapus dari jiwa kebanyakan orang-orang kecuali dengan menyebutkan perkara yang meniadakannya. Per-kara yang menunjukkan akan keutamaan qashar daripada menyem-purnakan ada dua hal: Pertama, konsistennya Nabi ﷺ dalam meng-qashar shalat pada seluruh perjalanannya, dan kedua, bahwa hal ini adalah suatu bentuk keringanan, kemudahan, dan rahmat bagi hamba, dan Allah سبحانه وتعالى menyukai bila keringanan dariNya itu dila-kukan, sebagaimana Allah membenci kemaksiatan kepadaNya itu dikerjakan.
Dan FirmanNya, ﴾ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ
﴿ "Kamu menqashar di antara shalat(mu)," Allah tidak berfirman "kamu mengqashar shalatmu," dalam hal itu ada dua faidah: Pertama, bahwa seandainya Allah berfirman "kamu mengqashar shalatmu," niscaya qashar tersebut tidaklah terbatasi oleh batasan tertentu, dan kemungkinan saja akan diduga oleh seseorang bahwa dengan mengqashar seluruh shalat dalam satu rakaat saja telah mencukupinya, maka Allah memakai kata dalam FirmanNya, ﴾ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ
﴿ "Di antara shalat(mu)," agar hal itu menunjukkan bahwa qashar itu terbatasi dan teratur yang dikembalikan kepada perbuatan Nabi ﷺ dan para sahabat-nya رضي الله عنهم, dan kedua, bahwasanya kata, مِنْ menunjukkan pembagian, agar diketahui bahwa mengqashar shalat itu hanyalah beberapa shalat wajib saja dan bukan semuanya, karena shalat Shubuh dan Maghrib tidak diqashar, adapun yang diqashar adalah shalat-shalat yang empat rakaat saja, dari empat menjadi dua.
Dan bila telah tetap bahwa shalat qashar itu merupakan suatu keringanan dalam safar, namun ketahuilah bahwa para ahli Tafsir berbeda pendapat tentang batasan tersebut, yaitu FirmanNya, ﴾ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ
﴿ "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir" di mana lahiriyahnya menunjukkan bahwa tidaklah qashar itu boleh dilaku-kan kecuali dengan adanya dua perkara secara bersamaan yaitu safar dan rasa takut. Pangkal dari perselisihan mereka adalah ten-tang maksud dari FirmanNya, ﴾ أَن تَقۡصُرُواْ
﴿ "Kamu mengqashar" meng-qashar jumlah saja atau mengqashar jumlah dan sifatnya? Dan yang masalah adalah yang terjadi pada hal yang pertama saja, sesung-guhnya hal ini telah dipermasalahkan oleh Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab رضي الله عنه hingga beliau bertanya tentang hal ter-sebut kepada Rasulullah ﷺ seraya berkata, "Wahai Rasulullah ﷺ, kenapa kita harus mengqashar shalat padahal kita sudah merasa aman?" Maksudnya, Allah telah berfirman, ﴾ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ ﴿ "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir," maka Rasulullah ﷺ ber-sabda,
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللّٰهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ.
"Ia adalah sebuah sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah Allah tersebut,"
[37] atau sebagaimana yang beliau sabdakan.
Atas dasar ini maka batasan tersebut disebutkan karena me-rupakan kondisi yang paling banyak terjadi pada Nabi ﷺ beserta para sahabatnya رضي الله عنهم, karena kebanyakan dari perjalanan Nabi ﷺ adalah perjalanan-perjalanan dalam rangka jihad.
Dalam hal ini ada faidah yang lain, yaitu penjelasan tentang hikmah dan kemaslahatan dalam syariat rukhshah tersebut, Allah menjelaskan dalam ayat ini batasan perkara yang dapat dibayang-kan berupa kesulitan yang sesuai untuk keringanan tersebut, yaitu bersatunya safar dengan rasa takut, namun hal itu tidaklah mela-zimkan untuk tidak mengqashar pada safar saja, karena safar meru-pakan suatu kondisi yang selalu dihadapkan dengan kesulitan. Adapun menurut bentuk yang kedua yaitu yang dimaksud dengan qashar di sini adalah mengqashar bilangan dan sifatnya, karena se-sungguhnya syarat tersebut sesuai dengan babnya, dan bila ditemui adanya safar dan rasa takut, maka boleh mengqashar jumlah dan sifat shalat, dan bila hanya safar saja yang ditemui, maka hanya mengqashar jumlah saja yang dibolehkan, atau bila ditemui takut saja, maka boleh mengqashar sifatnya.
#
{102} ولذلك أتى بصفة صلاة الخوف بعدها بقوله: {وإذا كنتَ فيهم فأقمتَ لهمُ الصَّلاة}؛ أي: صَلَّيْتَ بهم صلاةً تُقيمها وتُتِمُّ ما يجبُ فيها ويلزم فعلُهم ما ينبغي لك ولهم فعلُه، ثم فسَّر ذلك بقوله: {فَلْتَقُمْ طائفةٌ منهم معك}؛ أي: وطائفةٌ قائمةٌ بإزاء العدوِّ؛ كما يدلُّ على ذلك ما يأتي. {فإذا سجدوا}؛ أي: الذين معك؛ أي: أكملوا صلاتهم، وعبَّر عن الصلاة بالسُّجود؛ ليدلَّ على فضل السجود وأنَّه ركنٌ من أركانها، بل هو أعظمُ أركانها، {فليكونوا من ورائِكُم ولتأتِ طائفةٌ أخرى لم يصلُّوا}: وهم الطائفةُ الذين قاموا إزاءَ العدوِّ، {فَلْيُصَلُّوا معك}: ودلَّ ذلك على أنَّ الإمام يبقى بعد انصراف الطائفةِ الأولى منتظراً للطائفة الثانية؛ فإذا حضروا صلَّى بهم ما بقي من صلاته، ثم جلس ينتظِرُهم حتى يُكْمِلوا صلاتَهم، ثم يسلِّم بهم. وهذا أحد الوجوه في صلاة الخوف؛ فإنَّها صحَّت عن النبي صلى الله عليه (وسلم) من وجوه كثيرة كلها جائزة.
وهذه الآية تدلُّ على أنَّ صلاة الجماعة فرض عين من وجهين:
أحدهما: أنَّ الله تعالى أمر بها في هذه الحالة الشديدة وقت اشتداد الخوف من الأعداء وحذر مهاجمتهم؛ فإذا أوجبها في هذه الحالة الشديدة، فإيجابُها في حالة الطمأنينة والأمن من باب أولى وأحرى.
والثاني: أنَّ المصلِّين صلاة الخوف يترُكون فيها كثيراً من الشُّروط واللوازم، ويُعفى فيها عن كثيرٍ من الأفعال المبطلة في غيرها، وما ذاك إلا لتأكُّد وجوب الجماعة؛ لأنَّه لا تعارض بين واجبٍ ومستحبٍّ؛ فلولا وجوب الجماعة؛ لم تتركْ هذه الأمور اللازمة لأجلها.
وتدلُّ الآية الكريمة على أنَّ الأَوْلَى والأفضل أن يصلُّوا بإمام واحد ولو تضمَّن ذلك الإخلال بشيءٍ لا يخلُّ به لو صلَّوها بعدة أئمة، وذلك لأجل اجتماع كلمة المسلمين واتِّفاقهم وعدم تفرُّق كلمتِهِم، وليكونَ ذلك أوقع هيبةً في قلوب أعدائِهِم.
وأمر تعالى بأخذ السلاح والحذر في صلاة الخوف، وهذا وإن كان فيه حركةٌ واشتغالٌ عن بعض أحوال الصلاة؛ فإنَّ فيه مصلحةً راجحةً، وهو الجمع بين الصلاة والجهاد والحَذَر من الأعداء الحريصين غايةَ الحرص على الإيقاع بالمسلمين والميل عليهم وعلى أمتعتهم، ولهذا قال تعالى: {ودَّ الذين كفروا لو تغفُلون عن أسلحتكِم وأمتعتِكم فيمليونَ عليكم ميلةً واحدةً}.
ثم إنَّ الله عَذَرَ من له عُذْرٌ من مرض أو مطرٍ أن يَضَعَ سلاحَه، ولكن مع أخذ الحذرِ، فقال: {ولا جُناح عليكم إن كان بكم أذىً من مطرٍ أو كنتم مرضى أن تضعوا أسلحتكم وخذوا حِذْركم إن الله أعدَّ للكافرين عذاباً مهيناً}، ومن العذابِ المهين ما أمر الله به حزبَهُ المؤمنين وأنصار دينِهِ الموحِّدين مِن قتلهم وقتالهم حيثما ثَقفوهم، ويأخذوهم، ويحصُروهم، ويقعدوا لهم كلَّ مرصدٍ، ويحذروهم في جميع الأحوال، ولا يغفلوا عنهم خشية أن ينال الكفار بعض مطلوبهم فيهم؛ فللهِ أعظم حمدٍ وثناءٍ على ما منَّ به على المؤمنين وأيَّدهم بمعونتِهِ وتعاليمه التي لو سَلَكوها على وجه الكمال؛ لم تهزمْ لهم رايةٌ، ولم يظهرْ عليهم عدوٌّ في وقتٍ من الأوقات.
وقوله: {فإذا سَجَدوا فليكونوا من ورائكم}: يدلُّ على أنَّ هذه الطائفة تُكْمِلُ جميع صلاتها قبل ذهابهم إلى موضع الحارسين، وأنَّ الرسول - صلى الله عليه وسلم - يثبت منتظراً للطائفة الأخرى قبل السلام؛ لأنه أولاً ذكر أنَّ الطائفة تقوم معه، فأخبر عن مصاحبتهم له، ثم أضاف الفعل بعد إليهم دون الرسول، فدل ذلك على ما ذكرناه.
وفي قوله {فلتأت طائفة أخرى لم يصلوا فليصلوا معك}: دليلٌ على أنَّ الطائفة الأولى قد صلوا، وأنَّ جميع صلاة الطائفة الثانية تكون مع الإمام حقيقةً في ركعتهم الأولى وحكماً في ركعتهم الأخيرة، فيستلزمُ ذلك انتظارَ الإمام إيَّاهم حتَّى يُكْمِلوا صلاتهم، ثم يُسَلِّم بهم. وهذا ظاهرٌ للمتأمِّل.
(102) Karena itulah Allah menyebutkan setelahnya tata cara dari shalat Khauf dalam FirmanNya, ﴾ وَإِذَا كُنتَ فِيهِمۡ فَأَقَمۡتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ
﴿ "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka." Maksudnya, engkau shalat menjadi imam bersama mereka, di mana engkau menegak-kannya, menyempurnakan aturan-aturannya, dan melakukan apa yang memang wajib bagimu dan bagi mereka, kemudian Allah menafsirkan sendiri hal tersebut seraya berfirman, ﴾ فَلۡتَقُمۡ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُم مَّعَكَ
﴿ "Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) beserta-mu," maksudnya, dan sekelompok lagi berjaga menghadap musuh, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kalimat selanjutnya, ﴾ فَإِذَا سَجَدُواْ
﴿ "Kemudian apabila mereka sujud" yaitu orang-orang yang shalat be-sertamu, maksudnya, mereka telah menyempurnakan shalat, dan Allah mengungkapkan maksud shalat dengan kata sujud untuk menjelaskan tentang keutamaan sujud dan bahwasanya ia adalah merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun shalat, bahkan ia merupakan rukun yang paling utama,﴾ فَلۡيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمۡ وَلۡتَأۡتِ طَآئِفَةٌ أُخۡرَىٰ لَمۡ يُصَلُّواْ
﴿ "maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat," mereka itu adalah kelompok pertama yang ber-jaga menghadap musuh, ﴾ فَلۡيُصَلُّواْ مَعَكَ
﴿ "lalu shalatlah mereka dengan-mu," hal ini menunjukkan bahwa imam tidaklah beranjak dari tem-patnya setelah bubarnya kelompok pertama yang shalat bersama-nya dengan maksud menunggu kelompok kedua, dan bila mereka telah berdiri dan siap shalat, maka ia melanjutkan shalat yang tersisa darinya, kemudian imam duduk sambil menunggu para makmum dengan menyempurnakan shalat mereka dahulu kemu-dian imam salam bersama mereka. Ini adalah salah satu tata cara dari shalat Khauf, karena sesungguhnya banyak sifat-sifat shalat Khauf yang shahih dari Nabi ﷺ, dan kesemuanya boleh dilakukan.
Ayat ini menunjukkan bahwa shalat jamaah itu wajib 'ain, hal ini karena dua alasan:
Pertama, bahwasanya Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hal tersebut dalam kondisi yang berat seperti ini, yaitu saat memuncaknya rasa takut terhadap musuh dan rasa kewaspadaan terhadap serangan mereka, dan bila Allah mewajibkan hal tersebut pada kondisi yang segenting itu, maka kewajibannya dalam kondisi yang tenang dan aman adalah lebih utama dan lebih patut.
Kedua, bahwa orang-orang yang shalat Khauf banyak me-ninggalkan syarat-syarat dan hal-hal wajib dalam shalat biasa, dan banyak sekali dibiarkan dari mereka perbuatan-perbuatan yang membatalkan shalat pada selain shalat Khauf, hal itu tidaklah me-nunjukkan kecuali hanya untuk menegaskan akan wajibnya shalat berjamaah, karena tidaklah akan bertentangan antara yang wajib dengan yang sunnah, dan sekiranya bukan karena wajibnya shalat jamaah, niscaya semua hal-hal yang wajib itu tidaklah boleh di-tinggalkan.
Dan ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa yang paling utama dan paling baik adalah agar mereka shalat bersama satu imam saja walaupun hal itu mengandung suatu cacat yang tidak menjadi suatu hal yang kurang sekiranya mereka shalat de-ngan beberapa imam, yang demikian itu adalah demi bersatunya kalimat kaum Muslimin, keselarasan mereka dan tidak bercerai berainya kesatuan mereka, dan agar hal tersebut menjadi suatu faktor yang memberi rasa takut kepada musuh-musuh mereka.
Allah سبحانه وتعالى memerintahkan untuk menyandang senjata dan ber-tindak waspada dalam mengerjakan shalat Khauf, yang demikian itu walaupun terlihat mengandung suatu gerakan dan kesibukan di luar amalan-amalan shalat namun sesungguhnya di balik itu terdapat maslahat yang sangat besar dan lebih diutamakan, yaitu menyatukan antara shalat, berjihad, dan bertindak waspada dari musuh yang sangat berusaha keras dalam mengalahkan kaum Muslimin, menyerbu mereka, dan menjarah harta-harta benda me-reka, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَدَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡ تَغۡفُلُونَ عَنۡ أَسۡلِحَتِكُمۡ وَأَمۡتِعَتِكُمۡ فَيَمِيلُونَ عَلَيۡكُم مَّيۡلَةٗ وَٰحِدَةٗۚ
﴿ "Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus."
Kemudian Allah سبحانه وتعالى memaafkan orang-orang yang memiliki udzur berupa sakit atau karena hujan untuk meletakkan senjata mereka, akan tetapi mereka tetap harus bertindak waspada dalam FirmanNya, ﴾ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِن كَانَ بِكُمۡ أَذٗى مِّن مَّطَرٍ أَوۡ كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَن تَضَعُوٓاْ أَسۡلِحَتَكُمۡۖ وَخُذُواْ حِذۡرَكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا
﴿ "Dan tidak ada dosa atasmu meletak-kan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit, dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu," dan di antara siksaan yang menghinakan itu adalah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada golonganNya yaitu orang-orang yang beriman dan para penolong agamaNya, serta orang-orang yang bertauhid untuk membunuh dan memerangi mereka di mana saja kaum Muslimin itu menemui mereka, menyerang mereka, mengepung mereka, dan mencari mereka pada segala penjuru, mengancam mereka dalam setiap kondisi serta tidak lengah dari mereka karena dikhawatirkan kaum kafir memperoleh beberapa keinginan mereka terhadap kaum Mukminin, maka milik Allah saja pujian dan sanjungan yang terbesar atas apa yang telah dikaruniakanNya terhadap kaum Mukminin dan pembelaan-Nya atas mereka dengan pertolonganNya dan instruksi-instruksi-Nya, di mana bila kaum Muslimin itu menempuhnya secara sem-purna, niscaya tidaklah akan ada suatu kaum yang akan mengalah-kan mereka dan tidaklah ada suatu musuh yang akan menguasai mereka dalam waktu kapan pun.
Dan FirmanNya, ﴾ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلۡيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمۡ
﴿ "Kemudian apa-bila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk meng-hadapi musuh)" menunjukkan bahwa kelompok pertama tersebut menyempurnakan seluruh shalat mereka sebelum mereka beranjak pergi ke tempat penjagaan, dan bahwasanya Rasulullah ﷺ tetap diam untuk menunggu kelompok selanjutnya sebelum beliau salam, karena telah disebutkan di atas bahwa kelompok tersebut berdiri bersama beliau menegakkan shalat, lalu Allah mengabarkan tentang keikutsertaan mereka dengan beliau dalam shalat, kemu-dian Allah menyandarkan perbuatan tersebut kepada kelompok itu saja tanpa menyandarkannya kepada Rasul, maka hal itu me-nunjukkan bahwa maksudnya adalah seperti yang telah kita sebut-kan di atas.
Dan dalam FirmanNya, ﴾ وَلۡتَأۡتِ طَآئِفَةٌ أُخۡرَىٰ لَمۡ يُصَلُّواْ فَلۡيُصَلُّواْ مَعَكَ ﴿ "Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu" sebuah dalil bahwa kelompok pertama telah menyelesaikan shalat, dan bahwa seluruh shalat kelompok yang kedua bersama imam menurut realitanya pada rakaat per-tama dan menurut hukumnya pada rakaat mereka yang terakhir, di mana hal itu mengharuskan imam menunggu hingga mereka menyempurnakan shalat mereka, kemudian imam salam bersama mereka, hal ini sangatlah jelas bagi orang yang memperhatikannya.
{فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)}.
"Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat
(mu), ingat-lah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang ber-iman."
(An-Nisa`: 103).
#
{103} أي: فإذا فَرَغْتُم من صلاتكم صلاة الخوف وغيرها؛ فاذكروا الله في جميع أحوالكم وهيئاتكم، ولكن خُصَّتْ صلاة الخوف بذلك لفوائدَ:
منها: أنَّ القلبَ صلاحُهُ وفلاحُهُ وسعادتُهُ بالإنابة إلى الله تعالى في المحبة وامتلاء القلب من ذكرِهِ والثناء عليه، وأعظم ما يحصُلُ به هذا المقصود الصلاةُ التي حقيقتها أنها صلةٌ بين العبد وبين ربِّه.
ومنها: أنَّ فيها من حقائق الإيمانِ ومعارف الإيقانِ ما أوجب أن يَفْرضَها الله على عبادِهِ كلَّ يوم وليلة، ومن المعلوم أنَّ صلاة الخوف لا تحصُلُ فيها هذه المقاصد الحميدة بسبب اشتغال القلب والبدن، والخوف، فأمر بجَبْرِها بالذِّكر بعدها.
ومنها: أنَّ الخوف يوجِبُ [من] قلق القلب وخوفه، ما هو مَظِنَّةٌ لضعفه، وإذا ضَعُفَ القلبُ ضَعُفَ البدنُ عن مقاومة العدوِّ. والذِّكر لله والإكثار منه من أعظم مقويات القلب.
ومنها: أن الذكر لله تعالى مع الصبر والثبات سبب للفلاح والظفر بالأعداء؛ كما قال تعالى: {يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثْبُتوا واذْكُروا الله كثيراً لعلَّكم تفلحونَ}، فأمر بالإكثار منه في هذه الحال، إلى غير ذلك من الحكم.
وقوله: {فإذا اطمأنَنتُم فأقيموا الصلاة}؛ أي: إذا أمنتم من الخوف واطمأنَّت قلوبُكم وأبدانُكم؛ فأتموا صلاتَكم على الوجه الأكمل ظاهراً وباطناً بأركانها وشروطِها وخشوعِها وسائر مكمِّلاتها. {إنَّ الصلاةَ كانت على المؤمنين كتاباً موقوتاً}؛ أي: مفروضاً في وقته. فدلَّ ذلك على فرضيَّتها وأنَّ لها وقتاً لا تصحُّ إلاَّ به، وهو هذه الأوقات التي قد تقرَّرت عند المسلمين صغيرهم وكبيرهم عالمهم وجاهلهم وأخذوا ذلك عن نبيِّهم محمدٍ - صلى الله عليه وسلم - بقوله: «صلُّوا كما رأيتموني أصلِّي».
ودلَّ قوله: {على المؤمنين}: على أنَّ الصلاة ميزانُ الإيمان، وعلى حسب إيمان العبد تكون صلاتُهُ وتتمُّ وتكمُلُ. ويدلُّ ذلك على أن الكفار ـ وإن كانوا ملتزمين لأحكام المسلمين كأهل الذمة ـ أنهم لا يخاطَبون بفروع الدين كالصلاة، ولا يُؤْمَرون بها، بل ولا تصحُّ منهم ما داموا على كفرِهم، وإن كانوا يعاقَبون عليها وعلى سائر الأحكام في الآخرة.
(103) Maksudnya, apabila kalian telah menyelesaikan shalat Khauf kalian atau lainnya, maka berdzikirlah kepada Allah dalam berbagai kondisi dan keadaan kalian, akan tetapi dikhusus-kan shalat Khauf dengan hal tersebut adalah karena beberapa faidah,
di antaranya:
+ Bahwasanya baiknya hati, keberuntungan, dan kebahagiaan-nya, adalah dengan kembali kepada Allah dalam kecintaan dan hati yang penuh dengan dzikir kepadaNya dan pujian atasNya, dan sarana yang paling agung untuk mencapai tujuan tersebut adalah shalat, yang pada hakikatnya merupakan sebuah hu-bungan langsung antara seorang hamba dengan Rabbnya.
+ Bahwa dalam hal itu tergambar hakikat keimanan dan isyarat-isyarat keyakinan yang membuat Allah harus mewajibkan shalat atas hamba-hambaNya setiap sehari semalam, dan telah diketahui bahwa di dalam shalat Khauf tidak didapatkan tujuan-tujuan yang terpuji tersebut disebabkan oleh sibuknya hati dan tubuh serta rasa takut, maka Allah memerintahkan untuk menutupinya dengan dzikir setelahnya.
+ Bahwasanya takut itu mengakibatkan ketegangan hati dan pe-rasaan khawatir yang menghadapkannya kepada kelemahan, dan bila hati telah lemah, niscaya tubuh pun akan lemah dalam menghadapi musuh, dan memperbanyak dzikir kepada Allah adalah di antara pemicu kekuatan yang terbesar bagi hati.
+ Bahwa dzikir kepada Allah سبحانه وتعالى disertai bersabar dan teguh ada-lah sebab dari kemenangan dan keberuntungan dari musuh sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمۡ فِئَةٗ فَٱثۡبُتُواْ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 45
﴿
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung." (Al-Anfal: 45),
Allah memerintahkan untuk memperbanyak dzikir kepada-Nya dalam kondisi seperti ini. Dan banyak lagi faidah-faidah lainnya.
Dan FirmanNya, ﴾ فَإِذَا ٱطۡمَأۡنَنتُمۡ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَۚ
﴿ "Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa)," maksudnya apabila kalian telah merasa aman dari rasa takut dan hati serta tubuh kalian telah merasakan ketenangan, maka sem-purnakanlah shalat kalian secara penuh, baik lahir maupun batin dengan menegakkan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, kekhu-syu'annya dan seluruh hal yang melengkapinya. ﴾ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنُونَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا
﴿ "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman," maksudnya diwajibkan pada waktu-waktunya.
Hal tersebut menunjukkan kewajiban shalat, dan bahwa shalat itu memiliki waktu di mana shalat itu tidak sah kecuali pada waktunya, yaitu waktu-waktu yang telah diketahui oleh kaum Muslimin, baik anak kecil, orang tua, ulama maupun orang bodoh mereka, di mana mereka mendapatkan hal tersebut dari Nabi mereka, Muhammad ﷺ dalam sabdanya,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي.
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."[38]
Firman Allah, ﴾ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ﴿ "Atas orang-orang yang beriman" menunjukkan bahwa shalat itu adalah barometer keimanan, dan menurut keimanan seorang hambalah shalatnya tegak dan sem-purna. Yang menunjukkan hal itu adalah bahwa kaum kafir –wa-laupun mereka konsisten terhadap hukum-hukum kaum Muslimin seperti ahli dzimmah– tidaklah diwajibkan dengan cabang-cabang agama seperti shalat, mereka tidak diperintahkan untuk mengerja-kannya, bahkan hal itu bila mereka lakukan juga tidaklah sah selama mereka masih dalam kekufuran, dan mereka tetap akan disiksa karena hal itu dan karena hukum-hukum lain di akhirat nanti.
{وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (104)}.
"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka
(musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan
(pula), sebagaimana kamu men-deritanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak me-reka harapkan. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 104).
#
{104} أي: لا تضعُفوا ولا تكسلوا في ابتغاء عدوِّكم من الكفَّار؛ أي: في جهادهم والمرابطة على ذلك؛ فإنَّ وَهَنَ القلب مستدعٍ لوَهَن البدن، وذلك يضعف عن مقاومة الأعداء، بل كونوا أقوياء نشيطين في قتالهم. ثم ذكر ما يقوِّي قلوب المؤمنين، فذكر شيئين:
الأول: أنَّ ما يصيبكم من الألم والتعب والجراح ونحو ذلك؛ فإنه يصيب أعداءكم، فليس من المروءة الإنسانيَّة والشهامة الإسلاميَّة أن تكونوا أضعفَ منهم وأنتم وهم قد تساوَيْتم فيما يوجِبُ ذلك؛ لأنَّ العادة الجارية أنه لا يَضْعُفُ إلاَّ من توالت عليه الآلام، وانتصر عليه الأعداء على الدوام، لا مَن يُدال مرةً ويُدال عليه أخرى.
الأمر الثاني: أنكم ترجونَ من الله ما لا يرجون، فترجون الفوز بثوابِهِ والنجاة من عقابه، بل خواصُّ المؤمنين لهم مقاصدُ عاليةٌ وآمال رفيعةٌ من نصر دين الله وإقامة شرعه واتِّساع دائرة الإسلام وهداية الضالِّين وقمع أعداء الدين؛ فهذه الأمور توجب للمؤمن المصدق زيادة القوة وتضاعف النشاط والشجاعة التامَّة؛ لأنَّ من يقاتل ويصبر على نيل عزِّه الدُّنيويِّ إن ناله ليس كمن يقاتِلُ لنيل السعادة الدنيويَّة والأخرويَّة والفوز برضوان الله وجنَّته؛ فسبحان من فاوت بين العباد وفرَّق بينهم بعلمِهِ وحكمتِهِ، ولهذا قال: {وكان الله عليماً حكيماً}: كامل العلم كامل الحكمةِ.
(104) Yaitu janganlah kalian lemah dan jangan malas dalam mengejar musuh-musuh kalian dari orang-orang kafir, maksudnya dalam memerangi mereka dan bersiap-siap menghadapi mereka, karena sesungguhnya kelemahan hati mengakibatkan kelemahan tubuh. Dan yang demikian itu akan melemahkan perjuangan terhadap musuh, akan tetapi jadilah kalian orang-orang yang kuat dan bersemangat dalam memerangi mereka. Kemudian Allah me-nyebutkan suatu hal yang akan menguatkan hati kaum Mukminin,
yaitu Allah menyebutkan dua perkara:
Pertama, bahwasanya apa pun yang menimpa kalian berupa kesedihan, kelelahan, luka dan lain sebagainya, maka hal serupa itu pun menimpa musuh-musuh kalian, maka menjadi lebih lemah dari mereka bukanlah di antara kewibawaan dan keluhuran budi kalian, karena kalian dan mereka sama-sama dalam merasakan akibat dari hal itu, karena kebiasaan yang berlaku adalah bahwa tidaklah akan merasa lemah kecuali orang yang tertimpa bencana yang bertubi-tubi dan dikalahkan oleh musuh secara terus menerus, dan bukannya orang yang hanya pernah dikalahkan dan pernah mengalahkan.
Perkara kedua, bahwasanya kalian itu mengharapkan sesuatu di sisi Allah apa yang tidak mereka harapkan, kalian mengharap-kan kemenangan dengan mendapatkan pahalaNya dan keselamatan dari siksaNya, bahkan orang-orang yang khusus dalam Islam memiliki tujuan-tujuan yang jauh dan cita-cita yang tinggi untuk membela agama Allah, menegakkan syariatNya, memperluas daerah kekuasaan Islam, memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat dan menghancurkan musuh-musuh agama, hal-hal tersebut akan menambah kekuatan bagi seorang Mukmin yang benar, meningkatkan semangat dan keberanian yang penuh, karena barangsiapa yang berjuang dan bersabar dalam memperoleh kemu-liaan duniawi bila ia memperolehnya tidaklah sama dengan orang yang berjuang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kemenangan dengan memperoleh ridha Allah dan surgaNya, maka Mahasuci Allah yang telah membeda-bedakan antara hamba dan memilah-milah mereka dengan ilmu dan hikmahNya, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana," yaitu ilmu dan hikmah yang sempurna.
{إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (105) وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (106) وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا (107) يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا (108) هَاأَنْتُمْ هَؤُلَاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ يُجَادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا (109) وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا (110) وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (111) وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (112) وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا (113)}.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat
(untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak me-nyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa. Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembu-nyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan Allah Maha Meliputi
(ilmuNya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk
(membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(mem-bela) mereka pada Hari Kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka
(terhadap siksa Allah)? Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudaratan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemu-dian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmatNya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melain-kan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikit pun. Dan
(juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah sangat besar kepadamu."
(An-Nisa`: 105-113).
#
{105} يخبر تعالى أنَّه أنزل على عبدِهِ ورسولِهِ الكتاب بالحقِّ؛ أي: محفوظاً في إنزاله من الشياطين أن يتطرَّق إليه منهم باطل، بل نزل بالحقِّ ومشتملاً أيضاً على الحقِّ؛ فأخباره صدقٌ وأوامره ونواهيه عدلٌ، {وتمَّتْ كلمةُ ربِّك صدقاً وعدلاً}، وأخبر أنه أنزله ليحكم بين الناس، وفي الآية الأخرى: {وأنْزَلْنا إليك الذِّكْر لِتُبَيِّنَ للناس ما نُزِّلَ إليهم}، فيحتَمَل أنَّ هذه الآية في الحكم بين الناس في مسائل النزاع والاختلاف، وتلك في تبيين جميع الدِّين وأصوله وفروعه. ويُحتمل أنَّ الآيتين كليهما معناهما واحدٌ، فيكون الحكم بين الناس هنا يشملُ الحكم بينهم في الدِّماء والأعراض والأموال وسائر الحقوق وفي العقائد وفي جميع مسائل الأحكام. وقولُه: {بما أراك الله}، أي: لا بهواك بل بما علمك الله وأَلْهَمَكَ كقوله تعالى: {وما ينطِقُ عن الهوى، إن هو إلا وَحْيٌ يُوحى}. وفي هذا دليلٌ على عصمتِهِ - صلى الله عليه وسلم - فيما يُبَلِّغُ عن الله من جميع الأحكام وغيرِها، وأنَّه يُشْتَرط في الحَكَم العلم والعدل؛ لقوله: {بما أراك الله}، ولم يقلْ: بما رأيتَ. ورتَّب أيضاً الحكم بين الناس على معرفة الكتاب.
ولما أمر الله بالحكم بين الناس المتضمِّن للعدل والقِسْط؛ نهاه عن الجَوْر والظُّلم الذي هو ضدُّ العدل، فقال: {ولا تكن للخائنينَ خَصيماً}؛ أي: لا تخاصِمْ عن من عَرَفْتَ خيانته من مدَّعٍ ما ليس له أو منكرٍ حقًّا عليه سواء علم ذلك أو ظنَّه. ففي هذا دليل على تحريم الخصومة في باطل، والنيابة عن المبطل في الخصومات الدينيَّة والحقوق الدنيويَّة، ويدلُّ مفهوم الآية على جوازِ الدُّخول في نيابة الخصومة لمن لم يُعْرَفْ منه ظلمٌ.
(105) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan kepada hamba dan RasulNya sebuah kitab dengan kebenaran, maksudnya, terjaga dari setan yang hendak mencampurnya dengan kebatilan ketika turunnya, akan tetapi ia turun dengan kebenaran dan mencakup hal-hal yang benar pula, kabar-kabarNya adalah benar, perintah dan laranganNya adalah adil,
﴾ وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ
﴿
"Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil." (Al-An'am: 115).
Dan Allah mengabarkan bahwa Dia menurunkannya untuk dijadikan sebagai hukum di antara manusia, dan dalam ayat lain-nya,
﴾ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
﴿
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kamu menerang-kan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." (An-Nahl: 44).
Kemungkinan ayat ini adalah tentang posisi kitab ini sebagai hakim di antara manusia dalam perkara-perkara yang diperselisih-kan dan diperdebatkan, dan hal tersebut adalah dalam menjelaskan seluruh perkara agama, dasar-dasarnya, dan cabang-cabangnya. Kemungkinan lain bahwa kedua ayat tersebut memiliki makna yang sama, maka sebagai hakim di sini maksudnya adalah meliputi hukum tentang darah, kehormatan, harta, seluruh hak, akidah, dan seluruh permasalahan-permasalahan hukum, dan FirmanNya, ﴾ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ
﴿ "Dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" yaitu bukan dengan hawa nafsumu, akan tetapi dengan apa yang telah Allah ajarkan dan Allah ilhamkan kepadamu, sebagaimana Firman Allah تعالى,
﴾ وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ 3 إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ 4
﴿
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`an) menurut ke-mauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (An-Najm: 3-4).
Ayat ini mengandung dalil tentang kema'shuman Nabi ﷺ pada apa pun yang disampaikannya dari Allah berupa segenap hukum-hukum atau selainnya, dan bahwa disyaratkan untuk menjadi hakim itu adalah ilmu dan adil, karena Firman Allah, ﴾ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ
﴿ "Dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" dan Allah tidak berfirman; "dengan pendapatan," dan Allah juga mengharuskan hakim di antara manusia agar mengetahui tentang kitab.
Dan tatkala Allah memerintahkan untuk mengadili perkara di antara manusia dengan hukum yang mengandung keadilan, lalu Allah melarangnya dari kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang merupakan suatu hal yang bertentangan dengan keadilan seraya berfirman, ﴾ وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا ﴿ "Dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat," maksudnya, janganlah kamu membela orang yang kalian ketahui pengkhianatan mereka yaitu seorang yang menga-kui suatu barang yang bukan miliknya atau seorang yang meng-ingkari suatu hak yang harus dipenuhinya, baik ia ketahui dengan pasti ataupun hanya dengan prasangkanya saja. Ayat ini menun-jukkan haramnya pertikaian dalam kebatilan, dan menjadi pembela bagi orang yang bersalah dalam perkara agama maupun hak-hak duniawi, dan pemahaman terbalik dari ayat ini adalah bahwa boleh membela seseorang dalam perkara persidangan yang mana orang tersebut tidak diketahui memiliki kezhaliman.
#
{106} {واستغفرِ الله}: مما صَدَرَ منك إنْ صدر. {إنَّ الله كان غفوراً رحيماً}؛ أي: يغفر الذنب العظيم لمن استغفره، وتاب إليه وأناب، يوفِّقه للعمل الصالح بعد ذلك الموجب لثوابِهِ وزوال عقابِهِ.
(106) ﴾ وَٱسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَۖ
﴿ "Dan mohonlah ampun kepada Allah" dari segala hal yang engkau perbuat bila memang ada, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" yaitu Allah Maha Mengampuni dosa yang besar bagi orang yang me-mohon ampunan kepadaNya, bertaubat, dan kembali kepadaNya, dan akan membimbingnya kepada perbuatan shalih setelah itu yang mengakibatkan adanya pahala dan terlepas dari siksaanNya.
#
{107} {ولا تجادِلْ عن الذين يختانون أنفسَهم}: الاختيانُ والخيانةُ بمعنى الجنايةِ والظُّلم والإثم، وهذا يَشْمَلُ النهي عن المجادلة عن من أذنب وتُوَجَّهُ عليه عقوبةٌ من حدٍّ أو تعزيرٍ؛ فإنَّه لا يجادل عنه بدفع ما صدر منه من الخيانة أو بدفع ما ترتَّب على ذلك من العقوبة الشرعية. {إنَّ الله لا يحبُّ مَن كان خوَّاناً أثيماً}؛ أي: كثير الخيانة والإثم، وإذا انتفى الحبُّ؛ ثبتَ ضدُّه، وهو البغض، وهذا كالتعليل للنهي المتقدم.
(107) ﴾ وَلَا تُجَٰدِلۡ عَنِ ٱلَّذِينَ يَخۡتَانُونَ أَنفُسَهُمۡۚ
﴿ "Dan janganlah kamu ber-debat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya," kata al-Ikhtiyan dan al-Khiyanah maknanya kejahatan, kezhaliman, dan perbuatan dosa, dan ini mencakup larangan dari perdebatan untuk membela orang yang berdosa dan dihadapkan kepadanya sebuah hukuman berupa had ataupun hukuman lainnya, sesungguhnya orang seperti itu tidaklah diperdebatkan untuk membela apa yang telah dilakukannya berupa pengkhianatan atau untuk menolak perkara yang seharusnya menjadi akibat dari perbuatannya berupa hukuman syariat. ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّانًا أَثِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa," yaitu banyak khianatnya dan dosanya. Dan apabila kecintaan itu lenyap, niscaya yang ada adalah perkara yang sebaliknya yaitu kebencian, yang demikian ini adalah seperti alasan dari larangan yang terdahulu.
#
{108} ثم ذكر عن هؤلاء الخائنين أنهم {يَسْتَخْفونَ من الناس ولا يَسْتَخْفونَ من الله وهو معهم إذ يُبَيِّتونَ ما لا يرضى من القول}: وهذا من ضَعْف الإيمان ونقصان اليقين أن تكونَ مخافةُ الخلق عندَهم أعظمَ من مخافةِ الله فيحرصون بالطرق المباحة والمحرَّمة على عدم الفضيحة عند الناس، وهُم مع ذلك قد بارزوا الله بالعظائم، ولم يبالوا بنظرِهِ واطِّلاعه عليهم، وهو معهم بالعلم في جميع أحوالهم، خصوصاً في حال تبييتِهِم ما لا يُرضيه من القول من تبرئة الجاني ورمي البريء بالجناية والسعي في ذلك للرسول - صلى الله عليه وسلم - ليفعلَ ما بيَّتوه؛ فقد جَمَعَوا بين عدَّة جنايات، ولم يُراقبوا ربَّ الأرض والسماوات المطَّلع على سرائِرِهم وضمائِرِهم، ولهذا توعَّدهم تعالى بقوله: {وكان الله بما يعملونَ محيطاً}؛ أي: قد أحاط بذلك علماً، ومع هذا لم يعاجِلْهم بالعقوبة، بل استأنى بهم، وعَرَضَ عليهم التوبةَ، وحذَّرهم من الإصرارِ على ذَنْبِهِم الموجب للعقوبة البليغة.
(108) Kemudian Allah menyebutkan tentang orang-orang yang berkhianat tersebut bahwa ﴾ يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ ٱلنَّاسِ وَلَا يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمۡ إِذۡ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرۡضَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡلِۚ
﴿ "mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai," yang demikian ini adalah karena lemahnya iman dan ku-rangnya keyakinan, yaitu rasa takut mereka kepada makhluk lebih besar daripada takut mereka kepada Allah hingga mereka sangat suka memakai jalan-jalan yang mubah dan yang haram agar tidak memiliki aib di sisi manusia, dan di samping hal tersebut mereka telah menantang Allah dengan berbuat dosa-dosa besar, mereka tidak mempedulikan pengawasan dan pemantauan Allah atas mereka, padahal Allah selalu bersama mereka dengan pengetahuan-Nya سبحانه وتعالى tentang seluruh keadaan mereka, khususnya pada saat mereka mengadakan tipu daya pada malam hari dalam perkara yang tidak diridhai oleh Allah berupa perkataan untuk menyela-matkan seorang penjahat dan menuduh seorang yang tidak bersalah dengan suatu kejahatan yang tidak diperbuatnya, dan berusaha keras untuk dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ agar beliau melaku-kan apa yang telah mereka sepakati dalam tipu daya mereka pada malam hari tersebut. Sesungguhnya mereka telah mengumpulkan beberapa kejahatan, mereka tidak merasa diawasi oleh Rabb langit dan bumi Yang mengawasi rahasia-rahasia mereka dan hati-hati mereka, karena itulah Allah سبحانه وتعالى mengancam mereka dengan Firman-Nya, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطًا ﴿ "Dan Allah Maha Meliputi
(ilmuNya) terhadap apa yang mereka kerjakan," yaitu sesungguhnya Allah telah mengetahui semua perkara tersebut, walaupun demikian Allah tidak menyegerakan untuk mereka hukuman atas hal tersebut, akan tetapi Dia menangguhkannya untuk mereka dan menawarkan kepada mereka agar bertaubat, mengingatkan mereka untuk tidak kembali melakukan kemaksiatan mereka yang mengakibatkan hukuman yang pedih.
#
{109} {ها أنتم هؤلاء جادَلْتُم عنهم في الحياة الدُّنيا فمن يجادِلُ الله عنهم يوم القيامة أم من يكونُ عليهم وكيلاً}؛ أي: هَبْكم جادلتم عنهم في هذه الحياة الدنيا ودَفَعَ عنهم جدالُكم بعضَ ما يحذَرون من العارِ والفضيحةِ عند الخَلْق؛ فماذا يُغني عنهم وينفعُهم؟! ومَن يجادلُ الله عنهم يوم القيامة حين تتوجَّه عليهم الحجَّة وتشهد عليهم ألسنتهم وأيديهم وأرجُلُهم بما كانوا يعملون؟! يومئذٍ يوفِّيهم الله دينهم الحق ويعلمون أنَّ الله هو الحق المبين؛ فمن يجادلُ عنهم من يعلم السِّرَّ وأخفى ومن أقام عليهم من الشهود ما لا يمكن معه الإنكارُ؟
وفي هذه الآية الإرشاد إلى المقابلة بين ما يُتَوَهَّم من مصالح الدُّنيا المترتبة على ترك أوامر الله أو فعل مناهيه وبين ما يَفوتُ من ثواب الآخرة أو يَحْصُلُ من عقوباتِها، فيقولُ من أمرتْه نفسُهُ بتركِ أمر الله: ها أنت تركتَ أمره كسلاً وتفريطاً؛ فما النفع الذي انتفعت به؟ وماذا فاتك من ثواب الآخرة؟ وماذا ترتَّب على هذا الترك من الشقاء والحرمان والخيبة والخسران؟ وكذلك إذا دعته نفسُه إلى ما تشتهيه من الشَّهوات المحرَّمة؛ قال لها: هبكِ فعلتِ ما اشتهيتِ؛ فإنَّ لذَّته تنقضي ويعقُبها من الهموم والغموم والحَسَرات وفوات الثواب وحصول العقاب ما بعضُه يكفي العاقل في الإحجام عنها، وهذا من أعظم ما ينفع العبدَ تدبُّره، وهو خاصَّة العقل الحقيقي؛ بخلاف من يدَّعي العقل وليس كذلك؛ فإنَّه بجهله وظلمِهِ يؤثر اللَّذَّة الحاضرة والراحة الراهنة، ولو ترتَّب عليها ما ترتب. والله المستعان.
(109) ﴾ هَٰٓأَنتُمۡ هَٰٓؤُلَآءِ جَٰدَلۡتُمۡ عَنۡهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فَمَن يُجَٰدِلُ ٱللَّهَ عَنۡهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَم مَّن يَكُونُ عَلَيۡهِمۡ وَكِيلٗا ﴿ "Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk
(membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada Hari Kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka
(ter-hadap siksa Allah)?" Maksudnya terserah kalian, kalian berdebat untuk membela mereka dalam kehidupan dunia ini dan perdebatan kalian itu dapat menolong mereka dari beberapa perkara yang mereka khawatirkan berupa rasa aib dan hilangnya kehormatan di hadapan manusia, lalu apa yang berguna dan yang bermanfaat untuk mereka? dan siapakah yang mendebat Allah untuk meno-long mereka pada Hari Kiamat kelak, ketika hujjah dihadapkan kepada mereka, sedang lisan, tangan, dan kaki mereka bersaksi atas mereka sendiri tentang apa yang telah mereka perbuat? Pada hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menu-rut semestinya, dan mereka mengetahui bahwa Allah-lah Yang benar lagi Yang menjelaskan
(segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya), maka siapakah yang
(bisa atau mampu) berdebat untuk menolong mereka terhadap Dzat Yang mengetahui rahasia dan perkara yang tersembunyi dan Dzat Yang menegakkan untuk mereka saksi-saksi yang tidak mungkin lagi diingkari?
Ayat ini menyimpan arahan dalam perkara untuk menim-bang-nimbang antara suatu hal yang diperkirakan merupakan kemaslahatan duniawi yang mengakibatkan ditinggalkannya pe-rintah-perintah Allah atau dikerjakannya larangan-laranganNya dengan perkara yang mengakibatkan hilangnya pahala atau men-dapat siksaan dan hukuman di akhirat, sehingga hendaknya orang yang nafsunya memerintahkan dirinya untuk meninggalkan perintah Allah, berkata
(pada dirinya), "Inilah dirimu yang telah meninggalkan perintah Allah karena malas dan lalai, lalu faidah apa yang telah kamu peroleh darinya? Dan apa yang telah hilang darimu berupa pahala akhirat? Dan apa yang dihasilkan dari tin-dakanmu meninggalkan perintah itu kecuali kesengsaraan, kehi-langan, kegagalan, dan kerugian?" Demikian juga bila nafsunya mengajaknya kepada hal-hal yang disukainya dari syahwat-syah-wat yang haram, ia berkata kepadanya, "Terserah dirimu melaku-kan apa yang kamu sukai, karena kenikmatannya akan lenyap lalu diikuti kegelisahan, kebimbangan, penyesalan, hilangnya pahala, hadirnya hukuman, di mana sebagian dari akibat itu mencukup-kan seorang yang berakal agar mengendalikan nafsu tersebut," hal seperti ini adalah di antara perkara yang paling berguna bagi hamba untuk direnungkan olehnya, yaitu fungsi akal yang hakiki, berbeda dengan seseorang yang mengaku berakal padahal tidak seperti itu, sesungguhnya dengan kebodohan dan kezhalimannya, ia mendahulukan kenikmatan yang sesaat dan ketenangan yang sebentar walaupun mengakibatkan apa yang akan diterimanya dari hukuman-hukuman, dan hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.
#
{110} ثم قال تعالى: {ومَن يعملْ سوءاً أو يَظْلِمْ نفسَه ثم يستغفرِ الله يجدِ الله غفوراً رحيماً}؛ أي: من تجرَّأ على المعاصي واقتحم على الإثم، ثم استغفر الله استغفاراً تامًّا يستلزم الإقرار بالذنب والندم عليه والإقلاع والعزم على أن لا يعود؛ فهذا قد وَعَدَه من لا يُخْلِف الميعاد بالمغفرة والرحمة، فيغفر له ما صدر منه من الذَّنب، ويزيل عنه ما ترتَّب عليه من النقص والعيب، ويعيد إليه ما تقدَّم من الأعمال الصالحة، ويوفِّقه فيما يستقبله من عمرِهِ، ولا يجعل ذنبه حائلاً عن توفيقِهِ؛ لأنَّه قد غفره، وإذا غفره؛ غفر ما يترتَّب عليه.
واعلم أنَّ عمل السوء عند الإطلاق يشملُ سائر المعاصي الصغيرة والكبيرة، وسُمِّي سوءاً لكونِهِ يسوءُ عامله بعقوبته، ولكونِهِ في نفسه سيئاً غير حسن، وكذلك ظلم النفس عند الإطلاق يَشْمَلُ ظلمها بالشِّرك فما دونَه، ولكن عند اقتران أحدِهما بالآخرِ قد يُفَسَّرُ كلُّ واحدٍ منهما بما يناسبه، فيفسَّر عمل السوء هنا بالظُّلم الذي يسوء الناس، وهو ظلمهم في دمائهم وأموالهم وأعراضهم، ويفسَّر ظلم النفس بالظُّلم والمعاصي التي بين الله وبين عبده، وسمي ظلم النفس ظلماً؛ لأن نفس العبد ليست مُلكاً له يتصرَّف فيها بما يشاء، وإنَّما هي ملك لله تعالى، قد جعلها أمانةً عند العبد، وأمره أن يُقيمها على طريق العدل بإلزامها للصراط المستقيم علماً وعملاً، فيسعى في تعليمها ما أمر به، ويسعى في العمل بما يجب، فسعيه في غير هذا الطريق ظلمٌ لنفسه وخيانةٌ وعدول بها عن العدل الذي ضده الجور والظلم.
(110) Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَمَن يَعۡمَلۡ سُوٓءًا أَوۡ يَظۡلِمۡ نَفۡسَهُۥ ثُمَّ يَسۡتَغۡفِرِ ٱللَّهَ يَجِدِ ٱللَّهَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," yaitu barangsiapa yang berani melakukan maksiat dan menerjang dosa, kemudian ia memohon ampun kepada Allah dengan permohonan yang total yang mengharuskan adanya pengakuan akan dosa yang telah dilakukan, menyesalinya, dan berlepas diri dari kesalahan tersebut, serta bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, orang yang seperti ini telah dijanjikan ampunan dan rahmat oleh Dzat Yang tidak menyalahi janji, lalu Dia mengampuni apa yang telah ia perbuat berupa dosa dan maksiat, menghilangkan darinya per-kara yang dihasilkan olehnya berupa aib dan cela, mengembalikan kepadanya apa-apa yang telah lalu berupa amalan-amalan yang shalih, membimbingnya dalam sisa umurnya di masa depan, tidak menjadikan dosanya itu sebagai penghalang dari taufikNya, karena sesungguhnya Dia telah mengampuninya, dan bila Dia telah meng-ampuninya, maka pastilah Dia mengampuni apa yang menjadi konsekuensi darinya.
Ketahuilah bahwa perbuatan buruk itu secara umum menca-kup kemaksiatan yang kecil maupun yang besar, dan hal itu disebut buruk karena ia akan merugikan pelakunya dengan adanya hu-kuman untuknya, dan karena pada dzatnya sendiri adalah buruk dan tidak baik, demikian juga secara umum menganiaya diri sendiri mencakup penganiayaan dirinya dengan kesyirikan atau selainnya, namun bila kedua hal tersebut saling berdampingan satu sama lain, terkadang setiap hal itu ditafsirkan dengan perkara yang sesuai dengannya, maka perbuatan buruk diartikan dengan kezhaliman yang merugikan manusia, yaitu kezhaliman mereka terhadap darah, harta, dan kehormatan mereka, sedangkan peng-aniayaan diri sendiri adalah dengan kezhaliman dan kemaksiatan yang merupakan perbuatan
(yang harus dipertanggungjawabkan) antara Allah dan hambaNya, dan penganiayaan diri sendiri itu di-namakan sebagai kezhaliman karena jiwa seseorang itu bukanlah milik dirinya yang biasa ia atur semaunya, akan tetapi jiwa itu adalah milik Allah سبحانه وتعالى yang telah Dia jadikan sebagai amanah pada manusia dan Dia perintahkan kepada manusia agar membawanya dengan adil dengan mengharuskannya berjalan di atas jalan yang lurus dalam ilmu dan amal perbuatan, berusaha mengajarkannya tentang apa yang diperintahkan oleh Allah, berusaha menunaikan hal-hal yang telah diwajibkan atasnya, maka usahanya dalam hal yang lain dari perkara di atas adalah suatu penganiayaan akan diri sendiri, sebuah pengkhianatan dan penyelewengan dari keadilan yang seharusnya kebalikan dari kesewenang-wenangan dan ke-zhaliman.
#
{111} ثم قال: {ومن يكسِبْ إثماً فإنَّما يكسِبُهُ على نفسه}: وهذا يَشْمَلُ كلَّ ما يؤثم من صغير وكبير؛ فمن كسب سيئةً؛ فإن عقوبتها الدُّنيوية والأخروية على نفسه لا تتعدَّاها إلى غيرها؛ كما قال تعالى: {ولا تَزِرُ وازرةٌ وِزْرَ أخرى}، لكن إذا ظهرتِ السيئاتُ فلم تُنْكَرْ؛ عَمَّتْ عقوبتُها وشَمَلَ إثمُها؛ فلا تخرج أيضاً عن حكم هذه الآية الكريمة؛ لأنَّ من ترك الإنكار الواجبَ؛ فقد كسب سيئةً، وفي هذا بيان عدل الله وحكمتِهِ أنه لا يعاقب أحداً بذنبِ أحدٍ، ولا يعاقبُ أحداً أكثر من العقوبة الناشئة عن ذنبِهِ، ولهذا قال: {وكان الله عليماً حكيماً}؛ أي: له العلم الكامل والحكمةُ التامةُ، ومن علمه وحكمتِهِ أنَّه يعلم الذنبَ وما صدرَ منه والسببَ الداعي لفعله والعقوبةَ المترتبةَ على فعله، ويعلم حالة المذنبِ أنَّه إن صَدَرَ منه الذنبُ بغلبة دواعي نفسِهِ الأمَّارة بالسوء مع إنابته إلى ربِّه في كثيرٍ من أوقاته: أنَّه سيغفرُ له ويوفِّقه للتوبة، وإن صدر منه بتجرُّئه على المحارم استخفافاً بنظر ربِّه وتهاوناً بعقابِهِ؛ فإنَّ هذا بعيدٌ من المغفرة بعيدٌ من التوفيق للتوبة.
(111) Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَمَن يَكۡسِبۡ إِثۡمٗا فَإِنَّمَا يَكۡسِبُهُۥ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦۚ
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia me-ngerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri," hal ini mencakup seluruh perkara dosa, baik kecil maupun besar, maka barangsiapa yang mengerjakan sebuah kemaksiatan, sesungguhnya hukuman-nya adalah atas dirinya sendiri dan tidak berpindah kepada orang lain, baik dunia maupun akhirat, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ
﴿
"Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Al-An'am: 164).
Akan tetapi bila kemaksiatan itu terlihat lalu tidak diingkari, maka hukuman dan dosanya akan menimpa seluruhnya, dan tidak akan keluar dari ketetapan ayat yang mulia ini, karena barangsiapa yang meninggalkan pengingkaran yang wajib, maka sesungguhnya ia telah melakukan suatu keburukan, hal ini menunjukkan akan keadilan Allah dan hikmahNya, yaitu bahwa Dia tidak akan meng-hukum seseorang karena dosa orang lain, dan tidak menyiksa seseorang lebih dari kemaksiatan yang telah diperbuatnya, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mengeta-hui lagi Mahabijaksana" yaitu Dia memiliki ilmu dan hikmah yang sempurna, dan di antara ilmu dan hikmahNya adalah bahwa Dia mengetahui dosa dan akibatnya, sebab-sebab yang mendorong dalam melakukannya, dan hukuman yang disiapkan karenanya, dan Dia mengetahui kondisi pelaku dosa bahwa sebuah dosa yang dilakukannya adalah karena didorong oleh jiwanya yang selalu mengajak kepada keburukan, padahal ia selalu kembali kepada Rabbnya pada kebanyakan waktunya, sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan membimbingnya kepada taubat, namun bila telah terjadi darinya dosa itu dengan kelancangan dirinya atas hal-hal yang diharamkan dengan mengabaikan pengawasan Rabbnya dan meremehkan hukumanNya, maka sesungguhnya orang yang seperti ini adalah jauh dari ampunan dan jauh dari bimbingan kepada taubat.
#
{112} ثم قال: {ومن يَكْسِبْ خطيئةً}؛ أي: ذنباً كبيراً، {أو إثماً}: ما دون ذلك، {ثم يَرْم به}؛ أي: يتَّهم بذنبه {بريئاً} من ذلك الذنب وإن كان مذنباً. {فقد احتمل بُهتاناً وإثماً مبيناً}؛ أي: فقد حَمَلَ فوق ظهره بَهْتاً للبريء وإثماً ظاهراً بيِّناً. وهذا يدلُّ على أنَّ ذلك من كبائر الذُّنوب وموبقاتها؛ فإنه قد جمع عدَّةَ مفاسد: كسبَ الخطيئة والإثم، ثم رميَ من لم يفعلْها بفعلِها، ثم الكذبَ الشَّنيعَ بتبرئة نفسه واتِّهام البريء، ثم ما يترتَّب على ذلك من العقوبة الدُّنيويَّة تندفع عمَّن وجبتْ عليه وتُقام على مَن لا يستحقُّها، ثم ما يترتَّب على ذلك أيضاً من كلام الناس في البريء، إلى غير ذلك من المفاسد التي نسأل الله العافية منها ومن كل شرٍّ.
(112) Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمَن يَكۡسِبۡ خَطِيٓـَٔةً
﴿ "Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan" yaitu dosa yang besar, ﴾ أَوۡ إِثۡمٗا
﴿ "atau dosa" selain dosa besar, ﴾ ثُمَّ يَرۡمِ بِهِۦ
﴿ "kemudian dituduhkannya" yakni, menuduhkan dosa yang ia lakukan itu ﴾ بَرِيٓـٔٗا
﴿ "kepada orang yang tidak bersalah" dari dosa tersebut walaupun dia juga melakukan dosa yang lain, ﴾ فَقَدِ ٱحۡتَمَلَ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ﴿ "maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata," yaitu sesungguhnya ia telah memikul di atas punggungnya kebohongan terhadap orang yang tidak bersalah dan dosa yang jelas lagi nyata. Hal ini menun-jukkan bahwa hal tersebut merupakan dosa besar dan maksiat yang membinasakan, karena sesungguhnya ia telah mengumpul-kan beberapa kemudharatan, yaitu melakukan kesalahan dan dosa, lalu menuduh seseorang sebagai pelakunya padahal ia tidak melakukannya, kemudian melakukan kebohongan keji dengan berlepas diri dari dosa itu dan dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah tersebut, kemudian hukuman duniawi yang diakibatkan dari perbuatannya itu terhindar dari pelaku sebenarnya yang berhak mendapatkan hukuman tersebut, lalu dijatuhkan kepada orang yang tidak berhak dihukum. Kemudian apa yang diakibat-kan juga darinya berupa pembicaraan orang terhadap tertuduh tersebut dan juga kerusakan-kerusakan lainnya yang kita harap-kan agar Allah memberikan keselamatan darinya dan dari segala keburukan.
#
{113} ثم ذكر منَّته على رسوله بحفظه وعصمتِهِ ممَّن أراد أن يضلَّه، فقال: {ولولا فضلُ الله عليك ورحمتُهُ لهمَّتْ طائفةٌ منهم أن يضلوك}: وذلك أنَّ هذه الآيات الكريمات قد ذكر المفسرون أنَّ سبب نزولها أنَّ أهل بيت سَرَقوا في المدينة، فلما اطُّلع على سرقتهم؛ خافوا الفضيحة، وأخذوا سرقتهم، فرموها ببيت من هو بريء من ذلك، واستعان السارق بقومِهِ أن يأتوا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ويطلُبوا منه أن يبرِّئ صاحِبَهم على رؤوس الناس، وقالوا: إنَّه لم يسرِقْ وإنَّما الذي سرق من وجدت السرقةُ ببيتِهِ وهو البريء، فهمَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أن يبرِّئ صاحبهم، فأنزل الله هذه الآيات تذكيراً وتبييناً لتلك الواقعة وتحذيراً للرسول - صلى الله عليه وسلم - من المخاصمة عن الخائنين؛ فإنَّ المخاصمة عن المبطِل من الضَّلال؛ فإنَّ الضلال نوعان: ضلالٌ في العلم وهو الجهل بالحقِّ، وضلالٌ في العمل وهو العملُ بغير ما يجب؛ فحفظ الله رسوله عن هذا النوع من الضَّلال كما حفظه عن الضلال في الأعمال، وأخبر أن كَيْدَهم ومَكْرَهم يعودُ على أنفسِهم كحالة كلِّ ماكر، فقال: {وما يضلُّون إلا أنفسَهم}؛ لكون ذلك المكر وذلك التحيُّل لم يحصُل لهم فيه مقصودُهم ولم يحصُل لهم إلا الخيبة والحرمان والإثم والخُسران، وهذا نعمةٌ كبيرةٌ على رسوله - صلى الله عليه وسلم -، يتضمَّن النعمةَ بالعمل، وهو التوفيق لفعل ما يجب والعصمة له عن كل محرم، ثم ذكر نعمته عليه بالعلم، فقال: {وأنزل الله عليك الكتابَ والحكمةَ}؛ أي: أنزل عليك هذا القرآن العظيم والذِّكر الحكيم الذي فيه تبيانُ كلِّ شيءٍ وعلم الأولين والآخرين.
والحكمة إمّا السُّنة التي قد قال فيها بعض السلف: إن السُّنةَ تُنزل عليه كما يُنزل القرآن، وإمّا معرفة أسرار الشريعة الزائدة على معرفة أحكامها وتنزيل الأشياء منازلها وترتيب كلِّ شيءٍ بحسبه. {وعلَّمك ما لم تكُن تعلمُ}: وهذا يشمل جميع ما علَّمه الله تعالى؛ فإنه - صلى الله عليه وسلم - كما وصفه الله قبل النبوة بقوله: {ما كنت تدري ما الكتابُ ولا الإيمان}، {ووجدَكَ ضالاًّ فهدى}، ثم لم يزل يُوحي الله إليه ويعلِّمه ويكمِّله حتى ارتقى مقاماً من العلم يتعذَّر وصولُه على الأولين والآخرين، فكان أعلم الخلق على الإطلاق وأجمعهم لصفات الكمال وأكملهم فيها، ولهذا قال: {وكان فضلُ الله عليك عظيماً}؛ ففضلُهُ على الرسول محمد - صلى الله عليه وسلم - أعظم من فضلِهِ على كلِّ الخلق ، وأجناس الفضل الذي قد فضَّله الله به لا يمكن استقصاؤه ولا يتيسَّر إحصاؤه.
(113) Kemudian Allah menyebutkan karuniaNya atas RasulNya dengan menjaga dan melindunginya dari orang yang hendak menyesatkannya dengan berfirman,﴾ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكَ وَرَحۡمَتُهُۥ لَهَمَّت طَّآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ أَن يُضِلُّوكَ
﴿ "Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmatNya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu," yang demikian itu adalah bahwa ayat-ayat yang mulia ini telah disebutkan oleh para ahli tafsir[39] tentang sebab turunnya, yaitu bahwa sebuah keluarga telah mencuri di Madinah, dan ketika pencurian mereka hendak diperiksa, mereka khawatir aib dan cela mereka terbongkar lalu mereka mengambil barang curian itu dan meletakkannya di rumah orang yang tidak bersalah, lalu pelaku pencurian itu meminta bantuan kepada kaum-nya untuk datang kepada Rasulullah ﷺ dan memohon kepada beliau agar membebaskan tuduhan percurian dari teman mereka tersebut di tengah-tengah masyarakat, dan mereka berkata, bahwa ia tidaklah mencuri, namun yang mencuri itu adalah orang yang didapatkan pada rumahnya barang curian, padahal dia tidak melakukannya, lalu Rasulullah ﷺ hendak membebaskan tuduhan dari teman mereka itu, namun Allah segera menurunkan ayat-ayat ini kepada beliau sebagai peringatan dan penjelasan akan kejadian tersebut serta ancaman buat Rasulullah ﷺ karena membela orang-orang yang berkhianat, dan berseteru demi membela orang yang salah merupakan kesesatan, karena sesungguhnya kesesatan itu ada dua macam: kesesatan dalam pengetahuan yaitu tidak menge-tahui kebenaran, dan kesesatan dalam perbuatan yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, karena itu Allah telah memelihara RasulNya dari bentuk yang pertama sebagaimana Allah juga menjaga beliau dari kesesatan dalam perbuatan.
Lalu Allah mengabarkan bahwa tipu daya dan makar mereka akan kembali kepada diri mereka sendiri seperti halnya setiap pe-laku tipu daya, yaitu FirmanNya, ﴾ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡۖ
﴿ "Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri," karena tipu daya dan siasat mereka itu tidaklah mampu memenuhi apa yang mereka inginkan dan tidak memberikan mereka kecuali hanya kegagalan, kefakiran, dosa, dan kerugian. Hal ini adalah sebuah nikmat yang besar atas Rasulullah ﷺ, yang meliputi nikmat dengan perbuatan yaitu bimbingan untuk melakukan apa yang harus dilakukan dan perlindungan dari hal-hal yang diharamkan, kemudian Allah me-nyebutkan nikmatNya kepadanya dengan ilmu seraya berfirman, ﴾ وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ
﴿ "Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu" yaitu Allah menurunkan kepadamu al-Qur`an yang agung dan penuh hikmah yang mengandung penje-lasan akan segala sesuatu dan pengetahuan tentang orang dahulu maupun yang akan datang.
Adapun hikmah yang berarti sunnah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama salaf, "Sesungguhnya sunnah itu diturunkan juga kepadanya sebagaimana al-Qur`an diturunkan," atau pengetahuan akan rahasia-rahasia syariat di luar dari penge-tahuan hukum-hukumnya, menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mengatur segala perkara menurut yang semestinya, ﴾ وَعَلَّمَكَ مَا لَمۡ تَكُن تَعۡلَمُۚ
﴿ "dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui," hal ini mencakup segala hal yang diajarkan oleh Allah kepada beliau, dan sesungguhnya Nabi ﷺ sebagaimana yang Allah gambarkan tentang beliau, sebelum kerasulan beliau,
﴾ مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ
﴿
"Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu." (Asy-Syura': 52).
Dan FirmanNya,
﴾ وَوَجَدَكَ ضَآلّٗا فَهَدَىٰ 7
﴿
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (Adh-Dhuha: 7),
kemudian Allah tetap selalu memberikan wahyu kepadanya, me-ngajarkannya dan menyempurnakannya hingga beliau meningkat kepada kedudukan yang tinggi berupa ilmu yang tidak akan mampu dicapai oleh orang-orang terdahulu maupun yang akan datang, maka beliau adalah manusia yang paling berilmu secara mutlak, manusia yang paling banyak sifat-sifat kesempurnaannya dan paling sempurna dalam hal tersebut, karena itulah Allah ber-firman, ﴾ وَكَانَ فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكَ عَظِيمٗا ﴿ "Dan karunia Allah sangat besar atas-mu," karunia Allah terhadap Rasulullah Muhammad ﷺ adalah lebih agung daripada karuniaNya terhadap setiap makhluk
(selainnya), bentuk karunia yang diberikan Allah kepadanya tidaklah mungkin dapat diteliti dan tidak mudah untuk dihitung.
{لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (114)}.
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan me-reka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perda-maian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami berikan kepa-danya pahala yang besar."
(An-Nisa`: 114).
#
{114} أي: لا خير في كثير مما يتناجى به الناس ويتخاطبون، وإذا لم يكنْ فيه خيرٌ؛ فإمّا لا فائدة فيه؛ كفضول الكلام المباح، وإما شرٌّ ومضرَّة محضةٌ؛ كالكلام المحرَّم بجميع أنواعه. ثم استثنى تعالى فقال: {إلاَّ من أمر بصدقةٍ}: من مال أو علم أو أيِّ نفع كان، بل لعلَّه يدخُل فيه العباداتُ القاصرةُ؛ كالتسبيح والتحميد ونحوِهِ؛ كما قال النبيُّ - صلى الله عليه وسلم -: «إنَّ بكلِّ تسبيحةٍ صدقة، وكلِّ تكبيرة صدقة، وكلِّ تهليلة صدقة، وأمر بالمعروف صدقة، ونهي عن المنكر صدقة، وفي بضع أحدكم صدقة .... » الحديث. {أو معروفٍ}: وهو الإحسان والطاعة وكلُّ ما عُرِف في الشرع والعقل حسنُه، وإذا أُطلِقَ الأمرُ بالمعروف من غير أن يُقْرَنَ بالنَّهي عن المنكر؛ دخلَ فيه النهي عن المنكر؛ وذلك لأنَّ ترك المنهيّات من المعروف، وأيضاً لا يتمُّ فعل الخير إلا بترك الشرِّ، وأما عند الاقتران؛ فيفسَّر المعروف بفعل المأمور والمنكَر بترك المنهيِّ.
{أو إصلاح بين الناس}: والإصلاحُ لا يكون إلاَّ بين متنازعينِ متخاصمينِ، والنِّزاع والخصام والتغاضُب يوجِب من الشَّرِّ والفرقة ما لا يمكن حصرُه؛ فلذلك حثَّ الشارع على الإصلاح بين الناس في الدِّماء والأموال والأعراض، بل وفي الأديان؛ كما قال تعالى: {واعتَصِموا بحبل الله جميعاً ولا تفرَّقوا}، وقال تعالى: {وإن طائفتان من المؤمنين اقْتَتَلوا فأصلحوا بينَهما، فإن بَغَتْ إحداهما على الأخرى فقاتِلوا التي تبغي حتَّى تفيءَ إلى أمر الله ... } الآية، وقال تعالى: {والصُّلْحُ خيرٌ}، والساعي في الإصلاح بين الناس أفضل من القانتِ بالصلاة والصيام والصدقة، والمصلِح لا بدَّ أن يُصْلِحَ الله سعيَه وعمله؛ كما أنَّ الساعي في الإفساد لا يُصْلِحُ الله عمله ولا يتم له مقصوده؛ كما قال تعالى: {إنَّ الله لا يُصْلِحُ عملَ المفسدين}؛ فهذه الأشياء حيثما فعلت؛ فهي خيرٌ؛ كما دلَّ على ذلك الاستثناء، ولكن كمال الأجر وتمامه بحسب النيَّة والإخلاص. ولهذا قال: {ومن يفعل ذلك ابتغاءَ مرضاةِ الله فسوف نؤتيه أجراً عظيماً}؛ فلهذا ينبغي للعبد أن يقصدَ وجه الله تعالى ويُخْلِصَ العمل لله في كلِّ وقت وفي كلِّ جزء من أجزاء الخير؛ ليحصلَ له بذلك الأجر العظيم، وليتعوَّد الإخلاص، فيكون من المخلصين. وليتمَّ له الأجر، سواءٌ تمَّ مقصودُه أم لا؛ لأنَّ النيَّة حصلت، واقترن بها ما يمكنُ من العمل.
(114) Maksudnya, tidak ada kebaikan pada kebanyakan perkara yang diperbincangkan dan dibicarakan oleh manusia, lalu bila tidak ada kebaikan padanya, baik karena tidak ada faidahnya seperti perkataan-perkataan yang mubah tapi tidak bermanfaat ataupun suatu yang buruk dan berbahaya semata, seperti perkata-an yang diharamkan dengan segala bentuknya, kemudian Allah سبحانه وتعالى membuat pengecualian dalam FirmanNya, ﴾ إِلَّا مَنۡ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ
﴿ "Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah" berupa harta atau ilmu atau apa saja yang bermanfaat, bahkan mungkin saja termasuk ibadah yang sederhana seperti bertasbih, bertahmid dan semacamnya, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi ﷺ,
إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ.
"Sesungguhnya setiap tasbih itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, dan setiap tahlil itu sedekah, perintah kepada yang ma'ruf itu sedekah, melarang dari hal yang mungkar itu sedekah, dan pada kemaluan salah seorang di antara kalian (bergaul dengan istri) sedekah ..."[40]
﴾ أَوۡ مَعۡرُوفٍ
﴿ "Atau berbuat ma'ruf," yaitu, berbuat baik dan ketaatan serta seluruh perkara yang diketahui dalam syariat dan akal manusia akan kebaikannya, dan apabila perintah kepada yang ma'ruf dimutlakkan tanpa disertakan dengan kalimat melarang dari yang mungkar, maka secara otomatis melarang dari yang mungkar termasuk di dalamnya, yang demikian itu karena me-ninggalkan hal-hal yang dilarang adalah suatu kebaikan, dan juga tidaklah akan sempurna perbuatan baik itu kecuali bila diiringi dengan meninggalkan yang jelek, adapun bila disertakan, maka ma'ruf itu ditafsirkan dengan mengerjakan yang diperintahkan sedang yang mungkar ditafsirkan dengan meninggalkan yang dilarang.
﴾ أَوۡ إِصۡلَٰحِۭ بَيۡنَ ٱلنَّاسِۚ
﴿ "Atau mengadakan perdamaian di antara ma-nusia," mendamaikan itu tidaklah terjadi kecuali pada dua orang yang saling berselisih dan bertengkar, perselisihan dan perteng-karan dan saling memusuhi akan mengakibatkan keburukan dan perpecahan yang tidak mungkin dapat dihindari, oleh karena itu syariat Islam menganjurkan untuk mengadakan perdamaian di antara manusia dalam perkara darah, harta, dan kehormatan, bahkan dalam beragama sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
﴿
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103),
dan dalam ayat lain,
﴾ وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ
﴿
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya! Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah." (Al-Hujurat: 9), dan FirmanNya,
﴾ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ
﴿
"Dan perdamaian itu lebih baik." (An-Nisa`: 128).
Seorang yang berusaha mengadakan perdamaian antara ma-nusia adalah lebih utama daripada seorang yang taat melakukan shalat dan puasa serta sedekah. Seorang pembuat perdamaian pastilah Allah akan memperbaiki usaha dan perbuatannya, seba-gaimana seorang yang berusaha melakukan kerusakan, maka Allah tidak akan membiarkan perbuatannya terus berlangsung dan tidak pula menyempurnakan tujuannya untuk dirinya, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُصۡلِحُ عَمَلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ 81
﴿
"Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan pekerjaan orang yang membuat kerusakan terus berlangsung." (Yunus: 81).
Hal-hal seperti ini, apa pun yang dilakukan adalah suatu yang baik sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengecualian tersebut, akan tetapi kesempurnaan pahala adalah menurut niat dan keikh-lasannya, karena itulah Allah berfirman,﴾ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوۡفَ نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena men-cari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar," karena itulah seyogyanya seorang hamba hanya mengharap-kan keridhaan Allah سبحانه وتعالى, mengikhlaskan perbuatannya hanya untuk Allah pada setiap waktu dan pada setiap bentuk dari bentuk-bentuk kebaikan, agar dengan hal tersebut ia dapat memperoleh pahala yang besar, dan agar ia terbiasa dengan keikhlasan sehingga men-jadi bagian dari kelompok orang-orang yang ikhlas, dan agar Allah menyempurnakan pahalanya, baik tujuannya tercapai ataupun tidak, karena niat telah ada lalu diiringi dengan perbuatan yang mungkin diwujudkan.
{وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (115) إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (116)}.
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan
(se-suatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya."
(An-Nisa`: 115-116).
#
{115} أي: ومن يخالِف الرسول - صلى الله عليه وسلم - ويعانِده فيما جاء به، {من بعدِ ما تبيَّن له الهدى}: بالدَّلائل القرآنيَّة والبراهين النبويَّة، {ويتَّبِع غير سبيل المؤمنين}: وسبيلُهم هو طريقُهم في عقائِدِهم وأعمالهم، {نولِّه ما تولَّى}؛ أي: نتركه وما اختاره لنفسِهِ ونخذُله؛ فلا نوفِّقُه للخير؛ لكونِهِ رأى الحق وعَلِمَهُ وتركَه؛ فجزاؤه من الله عدلاً أن يُبْقِيه في ضلاله حائراً ويزداد ضلالاً إلى ضلاله؛ كما قال تعالى: {فلمَّا زاغوا أزاغ الله قلوبَهم}، وقال تعالى: {ونقلِّب أفئِدَتهم وأبصارَهم كما لَمْ يؤمِنوا به أوَّل مرة}.
ويدلُّ مفهومها على أن من لم يشاقق الرسول {ويتَّبع غير سبيل المؤمنين}؛ بأن كان قصده وجه الله واتِّباع رسوله ولزوم جماعة المسلمين، ثم صدر منه من الذنوب أو الهمِّ بها ما هو من مقتضيات النفوس وغَلَبات الطباع؛ فإن الله لا يولِّيه نفسه وشيطانه، بل يتداركُه بلطفه ويمنُّ عليه بحفظه ويعصمه من السوء؛ كما قال تعالى عن يوسف عليه السلام: {كذلك لنصرفَ عنه السوءَ والفحشاءَ إنَّه من عبادنا المخلَصين}؛ أي: بسبب إخلاصِهِ صَرَفْنا عنه السوءَ، وكذلك كلُّ مخلص؛ كما يدلُّ عليه عموم التعليل، وقوله: {ونُصْلِهِ جهنَّم}؛ أي: نعذِّبه فيها عذاباً عظيماً. {وساءت مصيراً}؛ أي: مرجعاً له ومآلاً.
(115) Maksudnya, barangsiapa yang menyelisihi Rasulullah ﷺ dan membangkang terhadap apa yang dibawa olehnya,﴾ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ
﴿ "sesudah jelas kebenaran baginya" dengan dalil-dalil al-Qur`an dan penjelasan as-Sunnah, ﴾ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
﴿ "dan meng-ikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin," jalan mereka adalah cara mereka dalam berakidah dan beramal, ﴾ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ
﴿ "Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu," yaitu Kami membiarkannya dengan apa yang dipilih untuk dirinya dan Kami menghinakannya, Kami tidak membimbingnya kepada kebaikan, karena ia telah menyaksikan kebenaran dan mengetahuinya, na-mun tidak mengikutinya, maka balasan baginya dari Allah adalah sebuah keadilan yaitu membiarkannya tetap dalam kesesatannya dengan kondisi bingung hingga kesesatannya bertambah di atas kesesatan, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ
﴿
"Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memaling-kan hati mereka." (Ash-Shaff: 5).
Dan di dalam ayat lain Allah berfirman,
﴾ وَنُقَلِّبُ أَفۡـِٔدَتَهُمۡ وَأَبۡصَٰرَهُمۡ كَمَا لَمۡ يُؤۡمِنُواْ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٖ
﴿
"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur`an) pada per-mulaannya." (Al-An'am: 110).
Pemahaman terbalik ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak menentang Rasul, ﴾ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
﴿ "dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin," di mana niatnya adalah mengharap ridha Allah dan mengikuti RasulNya serta konsisten terhadap jamaah kaum Muslimin, lalu terjadi atau hendak mela-kukan beberapa dosa di mana hal tersebut merupakan tuntutan-tuntutan jiwa dan dorongan-dorongan nafsu, niscaya Allah tidak akan membiarkan ia dan setannya, akan tetapi Allah akan meng-arahkannya dengan kasih sayangNya, memberikan karuniaNya atas dirinya dengan menjaga dan melindunginya dari keburukan, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang Yusuf عليه السلام,
﴾ كَذَٰلِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلۡفَحۡشَآءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلَصِينَ 24
﴿
"Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf: 24).
Maksudnya, disebabkan karena keikhlasannya, maka Kami palingkan dirinya dari keburukan, demikian juga setiap orang yang ikhlas, seperti yang ditunjukkan oleh keumuman dari alasan itu, dan FirmanNya, ﴾ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ
﴿ "Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam" maksudnya Kami akan menyiksanya di dalam neraka tersebut dengan siksaan yang keras, ﴾ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ﴿ "dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali," yaitu tempat berpulang dan bersandar.
#
{116} وهذا الوعيد المترتِّب على الشقاق ومخالفة المؤمنين مراتب لا يحصيها إلا الله بحسب حالة الذنب صغراً وكبراً؛ فمنه ما يخلد في النار ويوجب جميع الخذلان، ومنه ما هو دون ذلك؛ فلعلَّ الآية الثانية كالتفصيل لهذا المطلق، وهو أن الشرك لا يغفره الله تعالى؛ لتضمُّنه القدح في ربِّ العالمين و [في] وحدانيَّته، وتسوية المخلوق الذي لا يملك لنفسه ضرًّا ولا نفعاً بمن هو مالك النفعِ والضرِّ، الذي ما من نعمة إلاَّ منه، ولا يدفع النقم إلاَّ هو، الذي له الكمال المطلق من جميع الوجوه والغنى التامُّ بجميع وجوه الاعتبارات؛ فمن أعظم الظُّلم وأبعد الضَّلال عدم إخلاص العبادة لمن هذا شأنه وعظمته، وصرف شيء منها للمخلوق الذي ليس له من صفات الكمال شيء ولا له من صفات الغنى شيءٌ، بل ليس له إلاَّ العدم: عدم الوجود وعدم الكمال وعدم الغنى، والفقر من جميع الوجوه. وأما ما دون الشرك من الذنوب والمعاصي؛ فهو تحت المشيئة: إن شاء الله غَفَرَهُ برحمتِهِ وحكمتِهِ، وإن شاء عذَّب عليه وعاقب بعدلِهِ وحكمتِهِ.
وقد استدلَّ بهذه الآية الكريمة على أن إجماع هذه الأمة حجة، وأنها معصومةٌ من الخطأ، ووجه ذلك أنَّ الله توعَّد من خالف سبيل المؤمنين بالخِذلان والنار، وسبيل المؤمنين مفردٌ مضاف يشمل سائر ما المؤمنون عليه من العقائد والأعمال؛ فإذا اتَّفقوا على إيجاب شيء أو استحبابه أو تحريمه أو كراهته أو إباحته؛ فهذا سبيلهم فمن خالفهم في شيء من ذلك بعد انعقاد إجماعهم عليه؛ فقد اتّبَعَ غير سبيلهم.
ويدلُّ على ذلك قوله تعالى: {كنتُم خير أمةٍ أخْرِجَتْ للناس تأمرون بالمعروفِ وتَنْهَوْنَ عن المنكرِ}، ووجهُ الدِّلالة منها أنَّ الله تعالى أخبر أن المؤمنين من هذه الأمة لا يأمُرون إلا بالمعروف؛ فإذا اتَّفقوا على إيجاب شيءٍ أو استحبابِهِ؛ فهو مما أمروا به، فيتعيَّن بنصِّ الآية أن يكون معروفاً، ولا شيء بعد المعروف غير المنكر، وكذلك إذا اتَّفقوا على النهي عن شيء؛ فهو مما نهوا عنه، فلا يكون إلاَّ منكراً.
ومثلُ ذلك قولُه تعالى: {وكذلك جعلناكم أمة وسطاً لتكونوا شهداءَ على الناس}، فأخبر تعالى أنَّ هذه الأمة جعلها الله وسطاً؛ أي: عدلاً خياراً؛ ليكونوا شهداء على الناس؛ أي: في كل شيء؛ فإذا شهدوا على حكم بأنَّ الله أمر به أو نهى عنه أو أباحه؛ فإنَّ شهادتهم معصومةٌ؛ لكونِهِم عالمين بما شهدوا به عادلين في شهادتهم؛ فلو كان الأمرُ بخلاف ذلك؛ لم يكونوا عادلين في شهادتِهم ولا عالمين بها.
ومثلُ ذلك قوله تعالى: {فإنْ تنازَعْتُم في شيءٍ فرُدُّوه إلى الله والرسول}؛ يُفهم منها أنَّ ما لم يَتَنازعوا فيه بل اتَّفقوا عليه أنهم غير مأمورين بردِّه إلى الكتاب والسنة، وذلك لا يكون إلاَّ موافقاً للكتاب والسُّنة، لا يكون مخالفاً.
فهذه الأدلة ونحوها تفيدُ القطع أنَّ إجماع هذه الأمة حجَّةٌ قاطعةٌ.
(116) Ancaman ini yang menjadi akibat dari pertentangan dan perselisihan terhadap kaum Mukminin memiliki tingkatan-tingkatan yang tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah semata, yang sesuai dengan pelaku dosa, baik kecil maupun besar, di antaranya ada yang menyebabkan kekekalan dalam neraka dan mengakibatkan segala kehinaan, dan ada juga yang tidak seperti itu, dan kira-kira ayat yang kedua ini adalah sebagai perincian dari ayat yang mutlak tersebut, yaitu bahwa kesyirikan itu tidaklah akan diampuni oleh Allah سبحانه وتعالى, karena mengandung pelecehan ter-hadap Rabb semesta alam dan juga terhadap keesaanNya, penya-maan antara makhluk yang sama sekali tidak memiliki manfaat dan mudharat bagi dirinya dengan Dzat yang memiliki manfaat dan mudharat, di mana tidak ada kenikmatan sedikit pun kecuali dariNya, dan tidak menolak keburukan kecuali diriNya, yang me-miliki kesempurnaan mutlak dari segala sisinya, dan Mahakaya dengan segala bentuknya, maka di antara hal yang paling besar kezhalimannya dan paling jauh kesesatannya adalah tidak ikhlas-nya ibadah untuk Dzat yang memiliki kondisi dan keagungan seperti itu, dan mengarahkan ibadah itu kepada makhluk yang tidak memiliki sifat kesempurnaan sedikit pun dan tidak memiliki sifat kekayaan sedikit pun bahkan yang tidak memiliki apa pun kecuali ketiadaan, tidak ada wujudnya, tidak ada kesempurnaan-nya, dan tidak ada kekayaannya, serta hanya memiliki kefakiran dari segala sisinya. Sedangkan kesalahan dan dosa selain syirik, maka ia terletak di bawah kehendak Allah, bila Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya dengan rahmat dan hikmahNya, dan bila Dia menghendaki, Dia akan menyiksa dan menghukumnya dengan keadilan dan hikmahNya.
Ayat yang mulia ini telah dijadikan dalil bahwa ijma' umat adalah hujjah, dan bahwa ijma' itu adalah ma'shum,
(terjaga) dari kesalahan. Yang demikian itu karena Allah telah mengancam orang yang menyelisihi jalan kaum Mukminin dengan kehinaan dan api neraka, jalan kaum Mukminin ini adalah sebuah kata tunggal yang bersandar, meliputi segala perkara yang ada pada kaum Mukminin, baik akidah maupun perbuatan, lalu bila mereka telah sepakat atas wajibnya suatu perkara atau menganjurkannya atau mengharam-kannya atau memakruhkannya atau membolehkannya, maka inilah jalan mereka, dan barangsiapa yang menyelisihi mereka pada suatu hal dari itu semua setelah terjadinya ijma' mereka atas hal tersebut, maka sesungguhnya ia telah mengikuti selain jalan mereka.
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى yang menunjukkan akan hal tersebut adalah,
﴾ كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ
﴿
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." (Ali Imran: 110).
Konteks dalil dari ayat ini adalah bahwa Allah سبحانه وتعالى mengabar-kan bahwa kaum Mukminin dari umat ini tidaklah menyuruh kecuali kepada yang ma'ruf, dan bila mereka telah sepakat atas wajibnya suatu perkara atau sunnahnya, maka perkara tersebut di antara hal yang mereka perintahkan, sehingga wajiblah dengan nash ayat ini bahwa perkara itu menjadi ma'ruf, dan tidak ada hal lagi selain dari yang ma'ruf itu kecuali yang mungkar, demikian juga bila mereka telah sepakat atas larangan dari suatu perkara, maka perkara itu adalah di antara hal yang mereka larang, dan tidaklah hal itu kecuali suatu yang mungkar.
Seperti yang demikian itu juga Firman Allah yang lain,
﴾ وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ
﴿
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143).
Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa umat ini telah Dia jadikan seba-gai umat yang pertengahan, artinya adil dan pilihan, agar mereka menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, maksudnya (menjadi saksi) dalam segala perkara, bila mereka telah bersaksi atas suatu hukum bahwa Allah سبحانه وتعالى memerintahkannya atau melarang darinya atau membolehkannya, sesungguhnya kesaksian mereka itu adalah ma'shum, karena mereka mengetahui apa yang mereka persaksikan dan berlaku adil dalam hal tersebut, sekiranya saja perkara ini berbeda dengan yang demikian itu, maka mereka tidaklah akan menjadi orang-orang yang adil dalam persaksian mereka dan tidak pula mereka mengetahuinya.
Contoh yang sama juga dalam Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ﴿
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur`an) dan Rasul
(sunnahnya)."
(An-Nisa`: 59).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwasanya perkara yang tidak mereka perselisihkan akan tetapi mereka sepakati, maka tidaklah mereka diperintahkan untuk mengembalikannya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah, yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali karena perkara tersebut sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah dan tidak menyelisihi keduanya.
Dalil-dalil ini dan yang semacamnya menunjukkan keyakinan bahwa ijma' umat ini adalah suatu hujjah yang kuat, karena itulah Allah menjelaskan jeleknya kesesatan kaum musyrikin dalam Fir-manNya,
{إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا (117) لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (118) وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا (119) يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا (120) أُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَلَا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا (121)}.
"Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan
(dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah, dan setan itu mengatakan, 'Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hambaMu bagian yang sudah ditentukan
(untukku), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membang-kitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka
(memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka
(mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.' Barang-siapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu mem-berikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. Mereka itu tempatnya Jahanam dan mereka tidak memperoleh tempat lari darinya."
(An-Nisa`: 117-121).
#
{117 ـ 118} أي: ما يدعو هؤلاء المشركون مِن دون الله إلا إناثاً؛ أي: أوثاناً وأصناماً مسمَّيات بأسماء الإناث؛ كالعزَّى ومناة ونحوهما. ومن المعلوم أنَّ الاسم دالٌّ على المسمَّى؛ فإذا كانت أسماؤها أسماءً مؤنَّثة ناقصةً؛ دلَّ ذلك على نقص المسمَّيات بتلك الأسماء وفقدها لصفات الكمال؛ كما أخبر الله تعالى في غير موضع من كتابه أنَّها لا تخلُقُ ولا ترزُقُ ولا تدفَعُ عن عابديها بل ولا عن نفسها نفعاً ولا ضرًّا ولا تنصُرُ أنفسها ممَّن يريدُها بسوءٍ، وليس لها أسماعٌ ولا أبصارٌ ولا أفئدةٌ؛ فكيف يُعْبَدُ من هذا وصفه ويترك الإخلاص لمن له الأسماءُ الحسنى، والصِّفات العليا، والحمدُ والكمال والمجدُ والجلال والعزُّ والجمال والرحمة والبرُّ والإحسان والانفراد بالخَلْق والتدبير والحكمة العظيمة في الأمر والتقدير؛ هل هذا إلا من أقبح القبيح الدالِّ على نقص صاحبه وبلوغه من الخِسَّة والدناءة أدنى ما يتصوَّره متصورٌ أو يصفه واصفٌ؟! ومع هذا فعبادتهم إنما صورتُها فقط لهذه الأوثان الناقصة، وبالحقيقة ما عبدوا غير الشيطان الذي هو عدوُّهم، الذي يريد إهلاكهم، ويسعى في ذلك بكلِّ ما يقدر عليه، الذي هو في غاية البعد من الله، لعنه الله وأبعده عن رحمتِهِ؛ فكما أبعده الله من رحمتِهِ، يسعى في إبعاد العباد عن رحمة الله، إنما يدعو حزبه ليكونوا من أصحاب السعير.
ولهذا أخبر الله عن سعيه في إغواء العباد، وتزيين الشَّرِّ لهم، والفساد، وأنَّه قال لربِّه مقسماً: {لأتَّخِذَنَّ من عبادِكَ نصيباً مفروضاً}؛ أي: مقدَّراً، علم اللعين أنه لا يقدر على إغواء جميع عباد الله، وأن عباد الله المخلَصين ليس له عليهم سلطانٌ، وإنَّما سلطانُهُ على من تولاَّه وآثر طاعته على طاعة مولاه. وأقسم في موضع آخر لَيُغْوِيَنَّهم أجمعين؛ إلاَّ عبادَكَ منهم المُخْلَصين؛ فهذا الذي ظنه الخبيث، وجزم به، أخبر الله تعالى بوقوعه بقوله: {ولقد صدَّقَ عليهم إبليسُ ظنَّه فاتَّبعوه إلاَّ فريقاً من المؤمنين}.
(117-118) Maksudnya, tidaklah orang-orang musyrik itu berdoa kepada selain daripada Allah kecuali wanita-wanita, yaitu patung-patung dan berhala-berhala yang dinamakan dengan nama-nama wanita seperti al-Uzza, Manat dan sebagainya. Dan suatu hal yang perlu diketahui bahwa nama itu menunjukkan kepada dzat yang dinamakan dengannya, lalu apabila nama-nama berhala mereka itu adalah nama-nama perempuan yang tidak sempurna, maka hal itu menunjukkan kelemahan dzat-dzat yang dinamakan dengan nama-nama tersebut dan tidak adanya sifat kesempurnaan padanya, seperti yang dikabarkan oleh Allah سبحانه وتعالى pada beberapa tempat dalam kitabNya bahwa berhala-berhala itu tidaklah dapat menciptakan, memberi rizki, tidak menghindarkan penyembah-penyembahnya bahkan dirinya sendiri dari kemudharatan dan tidak dapat pula mendatangkan manfaat, tidak mampu membela dirinya sendiri dari orang yang hendak berbuat jahat kepadanya, tidak memiliki pendengaran, tidak pula penglihatan dan tidak pula hati, lalu bagaimana mungkin dzat yang seperti ini disembah kemudian meninggalkan keikhlasan kepada Dzat yang memiliki nama-nama yang baik, sifat-sifat yang tinggi, pujian, kesempurna-an, keagungan, kemuliaan, kehormatan, keindahan, kasih sayang, kebaikan, karunia, keesaan dalam mencipta dan mengatur, serta memiliki hikmah yang agung dalam mengurus dan menetapkan.
Tidaklah yang seperti ini melainkan sejelek-jeleknya kejelekan yang menunjukkan akan kekurangan pelakunya dan keterpurukan-nya kepada kehinadinaan, suatu tingkatan terendah dari apa yang diperkirakan oleh seorang yang mengira-ngira atau yang diutara-kan oleh orang yang membicarakannya, di samping itu ibadah mereka tersebut sesungguhnya bentuknya saja ditujukan kepada berhala dan patung yang penuh kekurangan tersebut, namun ha-kikatnya tidaklah mereka menyembah kecuali kepada setan yang merupakan musuh yang nyata bagi mereka, yang menghendaki agar mereka celaka, dan selalu berusaha untuk mencelakakan mereka dengan segala macam kemampuannya, yang merupakan suatu keadaan yang sangat jauh dari Allah, Allah telah melaknat-nya dan menjauhkannya dari rahmatNya, sebagaimana Allah menjauhkannya dari rahmatNya, ia juga berusaha menjauhkan manusia dari rahmat Allah سبحانه وتعالى, sesungguhnya setan itu hanya me-nyeru golongannya agar menjadi penghuni-penghuni neraka.
Oleh sebab itulah Allah mengabarkan tentang usaha setan dalam menjerumuskan manusia, menghiasi kejahatan dan kerusakan untuk mereka, dan bahwa ia telah berkata kepada Rabbnya seraya bersumpah, ﴾ لَأَتَّخِذَنَّ مِنۡ عِبَادِكَ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
﴿ "Saya benar-benar akan meng-ambil dari hamba-hambaMu bagian yang sudah ditentukan (untukku)," yaitu yang ditentukan, setan yang terlaknat itu telah mengetahui bahwa ia tidaklah mampu menggoda seluruh hamba-hamba Allah, dan bahwa hamba-hamba Allah yang pilihan tidaklah mampu ia kuasai, sesungguhnya ia hanya akan berkuasa terhadap orang yang mencintainya dan mendahulukan ketaatan kepadanya daripada ketaatan kepada Rabbnya. Dan setan juga telah bersumpah pada tempat yang lain bahwa ia benar-benar akan menjerumuskan me-reka seluruhnya, kecuali hamba-hambaMu yang pilihan di antara mereka, inilah yang diperkirakan dan diyakini oleh setan yang jahat itu, Allah سبحانه وتعالى mengabarkan tentang terjadinya hal tersebut dengan FirmanNya,
﴾ وَلَقَدۡ صَدَّقَ عَلَيۡهِمۡ إِبۡلِيسُ ظَنَّهُۥ فَٱتَّبَعُوهُ إِلَّا فَرِيقٗا مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ 20 ﴿
"Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman."
(As-Saba`: 20).
#
{119} وهذا النصيب المفروض الذي أقسم لله أنهم يتخذهم ؛ ذَكَرَ ما يريدُ بهم، وما يقصدُه لهم بقوله: {ولأضِلَّنَّهم}؛ أي: عن الصراط المستقيم ضلالاً في العلم وضلالاً في العمل، {ولأمنِّينَّهم}؛ أي: مع الإضلال لأمنِّينَّهم أن ينالوا ما ناله المهتدونَ، وهذا هو الغرور بعينه، فلم يقتصِرْ على مجرَّد إضلالهم، حتى زيَّن لهم ما هم فيه من الضلال، وهذا زيادةُ شرٍّ إلى شرِّهم، حيث عملوا أعمال أهل النار الموجبة للعقوبة، وحسِبوا أنَّها موجبةٌ للجنة. واعتَبِرْ ذلك باليهود والنَّصارى ونحوهم؛ فإنهم كما حكى الله عنهم: {وقالوا لَن يَدْخُلَ الجنَّة إلاَّ مَن كان هوداً أو نصارى تلك أمانِيُّهم}، {وكذلك زينَّا لكلِّ أمةٍ عَمَلَهم}، {قل هل ننبِّئُكم بالأخسرينَ أعمالاً الذين ضلَّ سعيُهم في الحياة الدُّنيا وهم يحسَبون أنَّهم يحسنون صنعاً ... } الآية، وقال تعالى عن المنافقين: إنهم يقولون يوم القيامة للمؤمنين: {ألم نَكُن معكُم قالوا بلى ولكنَّكم فتنتُم أنفسَكم وتربَّصْتم وارتَبْتُم وغرَّتكم الأماني حتى جاء أمرُ الله وغرَّكم بالله الغَرورُ}.
وقوله: {ولآمُرَنَّهم فَلَيُبَتِّكُنَّ آذان الأنعام}؛ أي: بتقطيع آذانها، وذلك كالبحيرة والسائبة والوصيلة والحام، فنبَّه ببعض ذلك على جمعيه، وهذا نوعٌ من الإضلال يقتضي تحريم ما أحلَّ الله، أو تحليل ما حرَّم الله، ويلتحق بذلك من الاعتقادات الفاسدة والأحكام الجائرة ما هو من أكبرِ الإضلال. {ولآمُرَنَّهم فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ الله}: وهذا يتناول [تغيير] الخِلقة الظاهرة بالوشم والوَشْر والنَّمْص والتفلُّج للحسن، ونحو ذلك مما أغواهم به الشيطان، فغيَّروا خِلقة الرحمن، وذلك يتضمَّن التسخُّط من خلقتِهِ، والقدح في حكمتِهِ واعتقاد أنَّ ما يصنعونَه بأيديهم أحسنَ من خلقة الرحمن، وعدم الرِّضا بتقديرِهِ وتدبيرِهِ، ويتناول أيضاً تغيير الخِلقة الباطنةِ؛ فإن الله تعالى خَلَقَ عباده حنفاء، مفطورين على قَبول الحقِّ وإيثارِهِ، فجاءتهم الشياطين، فاجتالتْهم عن هذا الخَلْق الجميل، وزيَّنت لهم الشرَّ والشرك والكفر والفسوق والعصيان؛ فإنَّ كلَّ مولود يولد على الفطرة، ولكن أبواه يهوِّدانِه أو ينصِّرانِه أو يمجِّسانِه ونحو ذلك مما يغيِّرون به، ما فَطَرَ الله عليه العباد من توحيدِهِ وحبِّه ومعرفته، فافترستهم الشياطينُ في هذا الموضع افتراس السبع والذئاب للغنم المنفردةِ، لولا لطفُ الله وكرمُهُ بعباده المخلصينَ؛ لجرى عليهم ما جرى على هؤلاء المفتونين، وهذا الذي جرى عليهم من تولِّيهم عن ربِّهم وفاطرهم وتولِّيهم لعدوِّهم المريد لهم الشرَّ من كل وجه، فخسروا الدُّنيا والآخرة، ورجعوا بالخيبة والصفقةِ الخاسرة، ولهذا قال: {ومن يتَّخِذِ الشيطان وليًّا من دون الله فقد خَسِرَ خسراناً مبيناً}، وأيُّ خسارٍ أبين وأعظم ممن خَسِرَ دينه ودُنياه وأوبقته معاصيه وخطاياه فحصل له الشقاءُ الأبديُّ وفاته النعيم السرمديُّ؟! كما أن من تولَّى مولاه، وآثر رضاه، رَبِحَ كلَّ الرِّبح، وأفلح كلَّ الفلاح، وفاز بسعادةِ الدَّارين، وأصبح قرير العين. فلا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت، اللهم! تولَّنا فيمن تولَّيت، وعافنا فيمن عافيت.
(119) Bagian yang ditentukan di mana setan telah bersum-pah kepada Allah bahwa ia akan menggoda manusia
[41], ia menye-butkan apa yang menjadi keinginannya dari manusia, dan apa yang menjadi tujuannya untuk mereka dengan perkataannya, ﴾ وَلَأُضِلَّنَّهُمۡ
﴿ "Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka" yaitu dari jalan yang lurus, kesesatan dalam hal ilmu dan perbuatan, ﴾ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمۡ
﴿ "dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka," yaitu di samping menyesatkan, membangkitkan angan-angan kosong mereka untuk memperoleh apa yang akan diperoleh oleh orang-orang yang diberi petunjuk, inilah inti dari keterpedayaan itu, dan ia tidaklah sebatas menyesatkan mereka hingga ia menghiasi kesesatan yang mereka kerjakan, dan hal ini adalah tambahan keburukan setelah keburukan yang telah ada pada mereka, di mana mereka me-ngerjakan amalan-amalan penghuni neraka yang mengakibatkan hukuman dan mereka mengira bahwa amalan-amalan tersebut akan mengakibatkan surga, maka ambillah pelajaran dari Yahudi dan Nasrani dan semisal mereka dalam hal itu, karena sesungguh-nya mereka itu adalah seperti yang telah Allah beritakan tentang mereka,
﴾ وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ
﴿
"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, 'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.' Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka." (Al-Baqarah: 111) dan FirmanNya,
﴾ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ
﴿
"Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka." (Al-An'am: 108) dan juga FirmanNya,
﴾ قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا 103 ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا 104
﴿
"Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (Al-Kahfi: 103-104).
Dan Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang kaum munafikin,
﴾ يُنَادُونَهُمۡ أَلَمۡ نَكُن مَّعَكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ وَلَٰكِنَّكُمۡ فَتَنتُمۡ أَنفُسَكُمۡ وَتَرَبَّصۡتُمۡ وَٱرۡتَبۡتُمۡ وَغَرَّتۡكُمُ ٱلۡأَمَانِيُّ حَتَّىٰ جَآءَ أَمۡرُ ٱللَّهِ وَغَرَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ 14
﴿
"Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka men-jawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu dengan (keimanan kepada) Allah oleh (setan) yang amat penipu." (Al-Hadid: 14).
Dan Firman Allah, ﴾ وَلَأٓمُرَنَّهُمۡ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ
﴿ "Dan menyu-ruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya," yaitu dengan memotong telinganya, yang demikian itu seperti bahirah, sa'ibah, washilah dan ham,[42] Allah mengisyaratkan dengan sebagian dari hal itu bagi semuanya, hal yang demikian itu adalah bagian dari penyesatan yang mengakibat-kan pengharaman apa yang dihalalkan oleh Allah atau penghalalan apa yang diharamkan oleh Allah, dan hal itu diikuti dengan keya-kinan-keyakinan yang salah dan hukum-hukum yang zhalim yang merupakan penyesatan yang paling besar.
﴾ وَلَأٓمُرَنَّهُمۡ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلۡقَ ٱللَّهِۚ
﴿ "Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya," hal ini meliputi pengubahan penciptaan lahiriyah dengan tatto, meruncingkan atau menajamkan gigi, mencabut alis, dan memberi celah pada gigi demi kecantikan dan semacamnya dari perkara-perkara yang menjadi sasaran setan demi memperdayai mereka, hingga mereka mengubah penciptaan Allah, yang demikian itu mengandung arti bahwa ia tidak puas dengan penciptaanNya dan menuduh aib pada hikmahNya serta keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan dengan tangan-tangan mereka itu lebih indah dari penciptaan Allah, mereka tidak ridha dengan ketetapan dan aturanNya, dan hal itu juga mencakup perubahan penciptaan yang bersifat batin.
Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى menciptakan makhluk dalam ke-adaan suci dan bernaluri untuk menerima kebenaran dan menda-hulukannya hingga hadirlah setan kepada mereka lalu menggoda mereka untuk merubah penciptaan yang indah itu, menghiasi bagi mereka keburukan, kesyirikan, kekufuran, kefasikan, dan kemak-siatan, dan sesungguhnya setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah dan suci, akan tetapi kedua orang tuanyalah yang menjadi-kannya sebagai Yahudi, Nasrani ataupun Majusi dan semacamnya dari perubahan-perubahan akan apa yang telah difitrahkan Allah kepada hamba-hambaNya berupa pengesaan Allah, kecintaan kepadaNya dan MengenalNya, namun kemudian dalam hal ini setan memangsa mereka seperti binatang buas dan serigala me-mangsa domba yang sendirian, dan sekiranya bukan karena kasih sayang Allah dan kemuliaanNya atas hamba-hambaNya yang ikhlas, niscaya akan terjadi pada mereka apa yang terjadi pada orang-orang yang terbujuk rayu setan, dan perkara yang terjadi pada mereka itu disebabkan karena berpalingnya mereka dari Rabb dan Pencipta mereka kepada musuh mereka yang menghendaki keburukan dari mereka dari segala bentuknya, hingga mereka merugi di dunia dan akhirat, dan kembali dengan kehampaan dan kerugian yang besar, karena itulah Allah berfirman,
﴾ وَمَن يَتَّخِذِ ٱلشَّيۡطَٰنَ وَلِيّٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدۡ خَسِرَ خُسۡرَانٗا مُّبِينٗا ﴿ "Barang-siapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka se-sungguhnya ia menderita kerugian yang nyata," kerugian apa lagi yang paling nyata dan paling besar daripada seorang yang rugi agama dan dunianya, dicelakakan oleh kesalahan dan kemaksiatannya hingga ia memperoleh kesengsaraan yang abadi dan hilang darinya kenikmatan untuk selamanya? Sebagaimana juga orang yang mencintai Rabbnya, dan mendahulukan keridhaanNya, niscaya ia akan sangat beruntung, dan sukses dengan gemilang serta menang dengan kebahagiaan di dua negeri, dunia dan akhirat, dan menjadi hamba yang bahagia. Maka tidaklah akan ada yang mampu mena-han apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau tahan, ya Allah, uruslah perkara kami sebagai-mana Engkau urus perkara orang-orang yang Engkau cintai, dan berilah kami keafiatan sebagaimana orang-orang yang Engkau beri keafiatan.
#
{120} ثم قال: {يَعِدُهم ويمنِّيهم}؛ أي: يعد الشيطانُ من يسعى في إضلالهم والوعد يشمل حتى الوعيد؛ كما قال تعالى: {الشيطان يَعِدُكم الفقْرَ}؛ فإنه يعدهم إذا أنفقوا في سبيل الله؛ افتقروا، ويخوِّفهم إذا جاهدوا بالقتل وغيره؛ كما قال تعالى: {إنَّما ذلكم الشيطان يخوِّفُ أولياءَه ... } الآية، ويخوِّفهم عند إيثار مرضاة الله بكلِّ ما يمكن وما لا يمكنُ مما يدخله في عقولهم حتى يكسلوا عن فعل الخير، وكذلك يمنِّيهم الأماني الباطلة التي هي عند التحقيق كالسراب الذي لا حقيقة له، ولهذا قال: {وما يَعِدُهم الشيطان إلا غُروراً}.
(120) Kemudian Allah berfirman, ﴾ يَعِدُهُمۡ وَيُمَنِّيهِمۡۖ
﴿ "Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka," maksudnya, setan berjanji kepada orang yang berusaha disesatkan olehnya, dan janji itu (segala cara) hingga ancaman sekalipun seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ
﴿
"Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan." (Al-Baqarah: 268).
Sesungguhnya setan menakut-nakuti mereka bila mereka berinfak di jalan Allah, maka mereka akan menjadi miskin, dan setan juga menakut-nakuti bila mereka hendak berjihad dengan kematian dan sebagainya seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ
﴿
"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy)." (Ali Imran: 175).
Setan menakut-nakuti mereka ketika hendak mendahulukan keridhaan Allah dengan segala cara yang memungkinkan ataupun yang tidak memungkinkan hingga merasuk dalam akal mereka dan seterusnya mereka malas untuk melakukan kebaikan, demikian juga ia membuat angan-angan kosong dan batil kepada mereka di mana bila dibuktikan, maka itu hanya seperti fatamorgana yang tidak memiliki hakikat, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا ﴿ "Padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka."
#
{121} {أولئك مأواهم جهنَّمُ}؛ أي: من انقاد للشيطانِ وأعرض عن ربِّه وصار من أتباع إبليس وحزبه مستقرهم النار، {ولا يجدون عنها محيصاً}؛ أي: مَخْلصاً ولا ملجأ، بل هم خالدون فيها أبد الآباد.
(121) ﴾ أُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُ
﴿ "Mereka itu tempatnya Jahanam," maksudnya, orang yang tunduk kepada setan dan berpaling dari Rabbnya hingga ia menjadi pengikut iblis dan golongannya di mana tempat menetap mereka adalah neraka, ﴾ وَلَا يَجِدُونَ عَنۡهَا مَحِيصٗا ﴿ "dan mereka tidak memperoleh tempat lari dari padanya," maksudnya, me-reka tidak mendapati tempat berlepas diri dan tempat bersandar, akan tetapi mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dan ketika Allah menjelaskan tentang tempat kembalinya orang-orang yang celaka yaitu wali-wali setan, lalu Allah menjelas-kan tempat kembalinya orang-orang yang bahagia dan wali-waliNya dalam FirmanNya,
{وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا (122)}.
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shalih, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?"
(An-Nisa`: 122).
#
{122} أي: {آمنوا} بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقَدَر خيرِه وشرِّه على الوجه الذي أمروا به علماً وتصديقاً وإقراراً. {وعملوا الصالحات}: الناشئة عن الإيمان، وهذا يشمل سائر المأمورات من واجبٍ ومستحبٍّ؛ الذي على القلب، والذي على اللسان، والذي على بقيَّة الجوارح؛ كل له من الثواب المرتَّب على ذلك بحسب حاله ومقامه وتكميله للإيمان والعمل الصالح، ويَفُوتُه ما رُتِّب على ذلك بحسب ما أخلَّ به من الإيمان والعمل، وذلك بحسب ما علم من حكمة الله ورحمته، وكذلك وعده الصادق الذي يُعرَف من تتبُّع كتاب الله وسنة رسوله، ولهذا ذكر الثواب المرتَّب على ذلك بقوله: {سَنُدْخِلُهم جناتٍ تجري من تحتها الأنهار}: فيها ما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت ولا خطر على قلب بشر؛ من أنواع المآكل والمشارب اللذيذة، والمناظر العجيبة، والأزواج الحسنة، والقصور والغرف المزخرفة، والأشجار المتدلِّية، والفواكه المستغربة، والأصوات الشجيَّة، والنعم السابغة، وتزاور الإخوان وتذكُّرهم ما كان منهم في رياض الجنان، وأعلى من ذلك [كُلِّه] وأجلُّ؛ رضوان الله عليهم وتمتُّع الأرواح بقربه والعيون برؤيته والأسماع بخطابه الذي يُنسيهم كلَّ نعيم وسرور، ولولا الثباتُ من الله لهم؛ لطاروا وماتوا من الفرح والحبور؛ فلله ما أحلى ذلك النعيم! وما أعلى ما أنالهم الربُّ الكريم! وما حصل لهم من كل خير وبهجة لا يصفه الواصفون! وتمام ذلك وكماله الخلودُ الدائم في تلك المنازل العاليات.
ولهذا قال: {خالدين فيها أبداً وَعْدَ الله حقًّا ومن أصدق من الله قيلاً}: فصدق الله العظيم الذي بلغ قوله وحديثه في الصدق أعلى ما يكون، ولهذا لما كان كلامه صدقاً، وخبره صدقاً ؛ كان ما يدلُّ عليه مطابقةً وتضمناً وملازمةً؛ كل ذلك مرادٌ من كلامه، وكذلك كلام رسوله - صلى الله عليه وسلم -؛ لكونه لا يخبر إلاَّ بأمرِهِ ولا ينطق إلاَّ عن وحيه.
(122) Maksudnya, ﴾ ءَامَنُواْ
﴿ "yang beriman" kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, Hari Akhir dan takdirNya yang baik maupun yang buruk sesuai dengan yang diperintahkan, yaitu berilmu, membenarkan, dan mengikrarkan, ﴾ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "dan mengerjakan amalan shalih" yang bersumber dari keimanan tersebut. Ini mencakup seluruh perkara yang dipe-rintahkan, baik wajib maupun sunnah, atas hati, lisan dan bagian-bagian tubuh lainnya, setiap perkara itu menyimpan pahala yang akan diperoleh menurut kondisi, kedudukan, dan penyempurna-an keimanan dan amal shalih, dan (nilai kebaikan) akan luput dari dirinya sesuai dengan kadar kekurangan yang terjadi pada ke-imanan dan amal tersebut, dan itu tergantung kepada apa yang telah diketahui dari hikmah Allah dan rahmatNya. Demikian juga janjiNya yang benar yang dapat diketahui dari penelaahan Kita-bullah maupun sunnah Rasulullah ﷺ, karena itulah Allah menye-butkan pahala yang diperoleh dari hal tersebut dalam FirmanNya,
﴾ سَنُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
﴿ "Kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya," di dalamnya terdapat berbagai macam kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit dalam benak seorang manusia pun, berupa berbagai macam makanan dan minuman yang lezat, pemandangan-peman-dangan yang indah nan menakjubkan, istri-istri yang cantik, istana dan kamar-kamar yang terhias mewah, pepohonan yang rindang, buah-buahan yang mengagumkan, suara-suara yang merdu, kenikmatan-kenikmatan yang dalam, saling mengunjungi antara saudara, saling membicarakan kenikmatan yang mereka peroleh di dalam surga, dan yang paling tertinggi dari itu semua dan paling mulia, adalah keridhaan Allah kepada mereka, kenikmatan ruh berdekatan denganNya, mata melihat kepadaNya, telinga mendengar Firman-firmanNya yang akan melupakan mereka akan kenikmatan-kenikmatan yang mereka rasakan di surga. Sekiranya bukan karena keteguhan dari Allah buat mereka, niscaya mereka akan melayang dan meninggal karena kegirangan dan kebahagia-an, maka demi Allah, betapa manisnya kenikmatan itu! Betapa tingginya apa yang diberikan oleh Allah Yang Mahamulia kepada mereka! Apa yang mereka peroleh berupa segala kebaikan dan kebahagiaan tidak mampu digambarkan oleh seorang pun, dan sebagai pelengkap dan penyempurna dari itu semua adalah keaba-dian dan kekekalan berada dalam kediaman-kediaman yang tinggi tersebut.
Karena itulah Allah berfirman,﴾ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٗاۚ وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلٗا ﴿ "Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah mem-buat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" Maka benarlah Allah Yang Mahaagung, di mana FirmanNya mencapai tingkatan tertinggi dalam kebenaran, karena itulah tatkala FirmanNya adalah benar, kabarNya adalah benar, maka apa pun yang ditunjukkan dari Firman dan kabarNya itu adalah sesuai, terkandung, dan terarah, setiap dari hal itu menjadi maksud dari Kalamullah, demikian juga kalam Rasulullah ﷺ, karena beliau tidaklah mengabarkan kecuali dengan perintahNya dan beliau tidak berkata kecuali dari wahyu Allah.
{لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (123) وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (124)}.
"
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak
(pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak
(pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun."
(An-Nisa`: 123-124).
#
{123} أي: {ليس} الأمر والنجاة والتزكية {بأمانيِّكم ولا أمانيِّ أهل الكتاب}، والأمانيُّ أحاديث النفس المجرَّدة عن العمل المقترِن بها دعوى مجرَّدة، لو عُورضت بمثلها؛ لكانت من جنسها، وهذا عامٌّ في كلِّ أمر؛ فكيف بأمر الإيمان والسعادة الأبديَّة؛ فإنَّ أماني أهل الكتاب قد أخبر الله بها أنهم {قالوا لن يدخُلَ الجنَّة إلاَّ من كان هوداً أو نصارى تلك أمانيُّهم}، وغيرهم ممَّن ليس ينتسب لكتاب ولا رسول من باب أولى وأحرى، وكذلك أدخل الله في ذلك من ينتسب إلى الإسلام لكمال العدل والإنصاف؛ فإنَّ مجرد الانتساب إلى أيِّ دينٍ كان لا يفيد شيئاً إن لم يأت الإنسان ببرهانٍ على صحة دعواه؛ فالأعمال تُصَدِّقُ الدعوى أو تكذِّبها. ولهذا قال تعالى: {من يَعْمَلْ سوءاً يُجْزَ به}: وهذا شامل لجميع العاملين؛ لأنَّ السوء شاملٌ لأيِّ ذنب كان من صغائر الذُّنوب وكبائِرِها، وشاملٌ أيضاً لكل جزاء؛ قليل أو كثير، دنيويٍّ أو أخرويٍّ، والناس في هذا المقام درجاتٌ لا يعلمها إلا الله؛ فمستقلٌّ ومستكثرٌ؛ فمن كان عمله كلُّه سوءاً، وذلك لا يكون إلا كافراً؛ فإذا مات من دون توبةٍ؛ جوزِيَ بالخلود في العذاب الأليم، ومن كان عمله صالحاً وهو مستقيمٌ في غالب أحواله، وإنَّما يصدُر منه أحياناً بعض الذُّنوب الصغار فما يصيبه من الهمِّ والغمِّ والأذى وبعض الآلام في بدنه، أو قلبه، أو حبيبه، أو ماله ونحو ذلك؛ فإنها مكفِّرات للذُّنوب؛ وهي مما يجزى به على عمله، قيضها الله لطفاً بعباده.
وبين هذين الحالين مراتبُ كثيرة، وهذا الجزاء على عمل السوء العام مخصوصٌ في غير التائبين؛ فإنَّ التائب من الذنب كمن لا ذنبَ له؛ كما دلَّت على ذلك النصوص.
وقوله: {ولا يَجِدْ له من دون الله وليًّا ولا نصيراً}: لإزالة بعض ما لعلَّه يتوهم أن من استحقَّ المجازاة على عمله قد يكون له وليٌّ أو ناصر أو شافعٌ يدفعُ عنه ما استحقَّه، فأخبر تعالى بانتفاء ذلك، فليس له وليٌّ يحصِّل له المطلوبَ ولا نصيرٌ يدفع عنه المرهوبَ؛ إلاَّ ربَّه ومليكه.
(123) Maksudnya, ﴾ لَّيۡسَ
﴿ "Bukanlah" perkara itu, kesela-matan dan kesucian, ﴾ بِأَمَانِيِّكُمۡ وَلَآ أَمَانِيِّ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِۗ
﴿ "menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab," angan-angan itu adalah percakapan jiwa yang tidak diiringi dengan perbuatan namun hanya pengakuan semata, dan sekiranya diten-tang oleh angan-angan yang serupa dengannya, maka pastilah akan menjadi satu jenis dengannya, dan hal ini adalah umum pada setiap perkara, lalu bagaimanakah bila dalam perkara keimanan dan kebahagiaan yang abadi? Sesungguhnya angan-angan Ahli Kitab telah Allah kabarkan tentangnya bahwa mereka itu,
﴾ وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ
﴿
"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, 'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.' Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka." (Al-Baqarah: 111),
dan selain mereka di antara orang-orang yang tidak menisbatkan diri kepada sebuah kitab, tidak pula kepada seorang rasul, maka mereka lebih utama dan lebih patut, demikian juga Allah mema-sukkan ke dalam golongan itu orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam atas dasar kesempurnaan keadilan dan pemenuhan hak, karena sesungguhnya sekedar menisbahkan diri kepada suatu agama itu sama sekali tidaklah bermanfaat bila seorang manusia tidak membawa keterangan yang jelas atas kebenaran pengakuannya, maka perbuatanlah yang akan membenarkan atau mendustakan pengakuan itu, karena itulah Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu." Ini mencakup semua pelaku-pelaku perbuatan, karena keburukan itu mencakup dosa apa pun, baik kecil maupun besar, dan mencakup juga seluruh balasan, baik sedikit maupun banyak, di dunia maupun di akhirat, dan manusia dalam kaitan ini memiliki tingkatan yang berbeda-beda yang tidak diketahui kecuali oleh Allah سبحانه وتعالى, ada yang sedikit dan ada yang banyak.
Barangsiapa yang seluruh perbuatannya adalah dosa, dan itu hanya terjadi pada orang kafir lalu bila ia meninggal sebelum bertaubat, maka akan dibalas dengan kekekalan dalam siksa yang pedih. Dan barangsiapa yang perbuatannya adalah shalih dan ia pada sebagian besar kondisinya dalam keadaan konsisten, hanya saja terkadang terjadi beberapa kesalahan atau dosa kecil, lalu apa pun yang menimpanya berupa kegundahan, kesedihan, gangguan dan sakit di tubuhnya, atau hatinya atau orang yang dicintainya atau hartanya dan semacamnya, maka sesungguhnya semua itu akan menjadi penggugur dosa-dosanya, dan hal itu adalah di antara balasan atas amalan-amalannya, yang telah Allah tentukan sebagai tindakan kasih sayang kepada hamba-hambaNya.
Dan di antara kedua kondisi ini banyak sekali tingkatan-tingkatannya, balasan umum atas perbuatan yang buruk adalah dikhususkan pada selain orang-orang yang bertaubat, karena sesungguhnya seorang yang bertaubat dari dosa adalah seperti seorang yang tidak memiliki dosa sama sekali, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash yang ada.
Dan FirmanNya, ﴾ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا ﴿ "Dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak
(pula) penolong baginya selain dari Allah" untuk menghilangkan beberapa perkara yang diperkirakan bahwa seorang yang berhak mendapat balasan atas amalannya itu ke-mungkinan saja memiliki pelindung atau penolong atau pemberi syafa'at yang membela dirinya dari perkara yang seharusnya dite-rimanya, lalu Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa hal tersebut tidaklah ada, ia tidak memiliki pelindung yang membantunya memperoleh apa yang diinginkan dan tidak memiliki penolong yang membela dirinya dari perkara yang ditakutkan kecuali Rabbnya dan Rajanya semata.
#
{124} {ومن يعملْ من الصالحاتِ}: دخل في ذلك سائر الأعمال القلبيَّة والبدنيَّة، ودخل أيضاً كلُّ عامل؛ من إنس أو جنٍّ، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى. ولهذا قال: {من ذكرٍ أو أنثى وهو مؤمنٌ}: وهذا شرطٌ لجميع الأعمال، لا تكون صالحةً ولا تُقبل ولا يترتَّب عليها الثوابُ ولا يندفع بها العقابُ إلاَّ بالإيمان؛ فالأعمال بدون الإيمان كأغصان شجرةٍ قُطع أصلُها، وكبناءٍ بني على موج الماء؛ فالإيمان هو الأصل والأساس والقاعدة التي يُبْنَى عليه كل شيء، وهذا القيد ينبغي التفطُّن له في كلِّ عمل مطلقٍ ؛ فإنه مقيَّدٌ به. {فأولئك}؛ أي: الذين جمعوا بين الإيمان والعمل الصالح، {يدخُلون الجنةَ}: المشتملة على ما تشتهي الأنفس وتلذُّ الأعين، {ولا يُظلمون نقيراً}؛ أي: لا قليلاً ولا كثيراً مما عمِلوه من الخير، بل يجدونَه كاملاً موفَّراً مضاعفاً أضعافاً كثيرة.
(124) ﴾ وَمَن يَعۡمَلۡ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih" termasuk dalam hal tersebut amalan-amalan hati maupun anggota badan, termasuk juga setiap pelaku perbuatan, baik manusia atau jin, kecil maupun besar, laki-laki maupun perem-puan, karena itulah Allah berfirman, ﴾ مِن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ
﴿ "Baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman," ini merupakan syarat bagi seluruh amal perbuatan, tidaklah sah, tidak diterima, tidak diberikan balasan pahala dan tidak diancam dengan siksa kecuali dengan keimanan, karena perbuatan tanpa keimanan adalah seperti ranting-ranting pohon yang hilang akarnya, atau seperti bangunan di atas air, maka iman itu adalah asas, dasar, dan pondasi yang dibangun di atasnya segala sesuatu, syarat ini harus dicermati lebih baik pada setiap perbuatan yang umum, bahwa sesungguhnya semua itu disyaratkan dengannya, ﴾ فَأُوْلَٰٓئِكَ
﴿ "maka mereka itu," yaitu orang-orang yang menyatukan antara keimanan dan amal shalih ﴾ يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ
﴿ "masuk ke dalam surga" yang mengan-dung segala hal yang dikehendaki oleh jiwa dan dinikmati oleh mata, ﴾ وَلَا يُظۡلَمُونَ نَقِيرٗا ﴿ "dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun," maksudnya, tidak sedikit dan tidak pula banyak dari apa yang telah mereka kerjakan berupa kebaikan, akan tetapi mereka akan mendapatkan balasannya secara penuh dan sempurna lagi berlipat-lipat ganda yang banyak sekali.
{وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا (125)}.
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayanganNya."
(An-Nisa`: 125).
#
{125} أي: لا أحد أحسنُ من دين مَن جمع بين الإخلاص للمعبود، وهو إسلامُ الوجه لله الدالُّ على استسلام القلب، وتوجُّهه وإنابته وإخلاصه وتوجُّه الوجه وسائر الأعضاء لله. {وهو}: مع هذا الإخلاص والاستسلام {محسنٌ}؛ أي: متَّبع لشريعة الله التي أرسل الله بها رسله وأنزل كتبه وجعلها طريقاً لخواصِّ خلقه وأتباعهم، {واتَّبع مِلَّةَ إبراهيم}؛ أي: دينه وشرعه {حنيفاً}؛ أي: مائلاً عن الشرك إلى التوحيد وعن التوجُّه للخلق إلى الإقبال على الخالق، {واتَّخذَ الله إبراهيم خليلاً}: والخُلَّةُ أعلى أنواع المحبة، وهذه المرتبة حصلت للخليلين محمد وإبراهيم عليهما الصلاة والسلام، وأما المحبَّة من الله؛ فهي لعموم المؤمنين، وإنَّما اتَّخذ الله إبراهيم خليلاً؛ لأنَّه وفَّى بما أمر به، وقام بما ابتُلِيَ به، فجعله الله إماماً للناس، واتَّخذه خليلاً، ونوَّه بذكرِهِ في العالمين.
(125) Maksudnya, tidaklah ada seorang pun yang paling baik agamanya daripada seorang yang menyatukan antara keikh-lasan kepada Dzat yang disembah yaitu penyerahan diri hanya untuk Allah yang menunjukkan akan penyerahan hati, penghadap-annya, kembalinya, keikhlasannya dan penghadapan wajah serta seluruh anggota tubuh kepada Allah, ﴾ وَهُوَ
﴿ "sedang dia pun" di samping keikhlasan dan penyerahan diri tersebut, ﴾ مُحۡسِنٞ
﴿ "menger-jakan kebaikan" yaitu mengikuti syariat Allah yang telah Allah utus rasul-rasul dengannya dan telah Allah turunkan kitab-kitabNya dan Allah jadikan hal itu sebagai jalan bagi makhluk-makhlukNya yang terpilih dan pengikut-pengikut mereka, ﴾ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ
﴿ "dan ia mengikuti agama Ibrahim" yaitu agama dan syariatnya ﴾ حَنِيفٗاۗ
﴿ "yang lurus" yaitu jauh dari syirik menuju kepada pengesaan dan jauh dari menghadap kepada makhluk menuju kedekatan kepada Sang Pencipta, ﴾ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبۡرَٰهِيمَ خَلِيلٗا ﴿ "dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayanganNya," al-Khullah adalah tingkatan tertinggi dari kecintaan, tingkatan ini diperoleh oleh dua orang kesayangan Allah, yaitu Muhammad ﷺ dan Ibrahim عليه السلام, sedangkan kecintaan dari Allah secara umum adalah kepada seluruh kaum Mukminin, dan sesung-guhnya Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan, karena beliau telah menunaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya, tegar dalam cobaan yang dihadapkan kepadanya hingga Allah menjadikannya sebagai imam bagi seluruh manusia dan mengam-bilnya sebagai kesayangan serta meninggikan sebutannya pada seluruh alam semesta.
{وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطًا (126)}.
"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan
(pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu."
(An-Nisa`: 126).
#
{126} وهذه الآية الكريمة فيها بيانُ إحاطة الله تعالى بجميع الأشياء، فأخبر أنَّه له {ما في السموات وما في الأرض}؛ أي: الجميع ملكُه وعبيدُه؛ فهم المملوكون وهو المالك المتفرِّد بتدبيرهم، وقد أحاط علمُهُ بجميع المعلومات، وبصرُهُ بجميع المبصَرات وسمعُهُ بجميع المسموعات ونفذتْ مشيئتُه وقدرتُه بجميع الموجودات ووَسِعَتْ رحمتُهُ أهل الأرض والسماوات، وقهر بعزِّه وقهرِهِ كلَّ مخلوقٍ، ودانت له جميعُ الأشياء.
(126) Ayat yang mulia ini mengandung penjelasan akan pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu, Allah berfirman bahwasanya Dia memiliki ﴾ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ ﴿ "apa yang di langit dan apa yang di bumi" maksudnya, seluruh hal itu adalah milikNya dan hamba-hambaNya, mereka itu adalah yang dimiliki sedang Allah adalah pemilik mereka, di mana Allah sendirilah yang mengatur mereka, dan ilmuNya telah meliputi segala hal yang diketahui, pandanganNya meliputi segala hal yang dipandang, pendengaranNya meliputi segala hal yang didengar, kehendak-Nya dan kemampuanNya terlaksana pada seluruh hal yang ada, rahmatNya meliputi seluruh penduduk bumi dan langit, Allah me-ngatur dengan keperkasaan dan kekuatanNya atas setiap makhluk, dan segala sesuatu tunduk kepadaNya.
{وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَى بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا (127)}.
"Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur`an
(juga memfatwa-kan) tentang para wanita yatim yang tidak kamu berikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan
(Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerja-kan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya'."
(An-Nisa`: 127).
#
{127} الاستفتاء طلبُ السائل من المسؤول بيان الحكم الشرعيِّ في ذلك المسؤول عنه، فأخبر عن المؤمنين أنَّهم يستفتون الرسول - صلى الله عليه وسلم - في حكم النساء المتعلِّق بهم، فتولَّى الله هذه الفتوى بنفسه، فقال: {قل الله يُفتيكم فيهنَّ}؛ فاعملوا على ما أفتاكم به في جميع شؤون النساء من القيام بحقوقهنَّ وترك ظلمهنَّ عموماً وخصوصاً، وهذا أمرٌ عام يشمل جميع ما شرع الله أمراً ونهياً في حقِّ النساء الزوجات وغيرهنَّ الصغار والكبار، ثم خصَّ بعد التعميم الوصيةَ بالضِّعاف من اليتامى والولدان اهتماماً بهم وزجراً عن التفريط في حقوقهم، فقال: {وما يُتلى عليكم في الكتاب في يتامى النساء}؛ أي: ويُفتيكم أيضاً بما يتلى عليكم في الكتاب في شأن اليتامى من النساء، {اللاَّتي لا تؤتونهنَّ ما كُتِبَ لهنَّ}: وهذا إخبار عن الحالة الموجودة الواقعة في ذلك الوقت؛ فإنَّ اليتيمة إذا كانت تحت ولاية الرجل؛ بَخَسَها حقَّها، وظلمها إمَّا بأكل مالها الذي لها، أو بعضِهِ، أو مَنْعِها من التزوُّج؛ لينتفع بمالها خوفاً من استخراجه من يدِهِ إن زوَّجها، أو يأخذَ من صهرها الذي تتزوَّج به بشرطٍ أو غيره، هذا إذا كان راغباً عنها، أو يرغب فيها وهي ذات جمال ومال ولا يُقْسِطُ في مهرها، بل يعطيها دون ما تستحقُّ؛ فكلُّ هذا ظلمٌ يدخل تحت هذا النصِّ، ولهذا قال: {وترغبون أن تنكِحوهنَّ}؛ أي: ترغبون عن نكاحهنَّ أو في نكاحهنَّ كما ذكرنا تمثيلَه.
{والمستضعفينَ من الوِلدانِ}؛ أي: ويُفتيكم في المستضعفين من الولدان الصغارِ أن تُعطوهم حقَّهم من الميراث وغيرِهِ، وأن لا تستولوا على أموالهم على وجه الظُّلم والاستبداد، {وأن تقوموا لليتامى بالقِسْط}؛ أي: بالعدل التامِّ، وهذا يشمَلُ القيامَ عليهم بإلزامِهم أمرَ الله وما أوجبه على عبادِهِ، فيكونُ الأولياءُ مكلَّفين بذلك يلزمونهم بما أوجبه الله، ويشملُ القيام عليهم في مصالحهم الدنيويَّة بتنمية أموالهم وطلبِ الأحظِّ لهم فيها وأن لا يقربوها إلا بالتي هي أحسن، وكذلك لا يُحابون فيهم صديقاً ولا غيره في تزوُّج وغيره على وجه الهضم لحقوقهم، وهذا من رحمته تعالى بعبادِهِ؛ حيث حثَّ غاية الحثِّ على القيام بمصالح مَن لا يقومُ بمصلحةِ نفسه لضعفِهِ وفقد أبيه.
ثم حثَّ على الإحسان عموماً، فقال: {وما تفعلوا من خيرٍ}: لليتامى ولغيرهم، سواء كان الخير متعدياً أو لازماً، {فإنَّ الله كان به عليماً}؛ أي: قد أحاط علمُهُ بعمل العاملين للخير، قلَّةً وكثرةً، حسناً وضدّه، فيجازي كلًّا بحسب عمله.
(127) Al-Istifta` adalah permintaan fatwa dari seorang penanya kepada seorang alim untuk menjelaskan suatu hukum syariat dalam hal yang ditanyakan tersebut, Allah mengabarkan tentang kaum Mukminin yang meminta fatwa dari Rasulullah ﷺ tentang hukum wanita yang berkaitan dengan mereka, namun Allah sendiri yang mengambil alih untuk menjawab pertanyaan mereka tersebut, seraya berfirman, ﴾ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِيهِنَّ
﴿ "Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka'," maka kerjakanlah pada seluruh aspek kehidupan wanita dengan apa yang telah Allah tetapkan buat kalian dari hukum tersebut berupa pemenuhan hak-hak mereka dan tidak menzhalimi mereka secara umum maupun khusus, hal ini adalah suatu perintah yang bersifat umum yang mencakup seluruh hal yang disyariatkan oleh Allah melalui perin-tah maupun larangan pada hak-hak wanita sebagai istri maupun tidak, baik kecil maupun besar, kemudian setelah mengumumkan hal itu, Allah mengkhususkan wasiat terhadap orang-orang yang lemah dari anak-anak yatim sebagai bentuk perhatian kepada mereka dan ancaman agar jangan sampai lalai dalam memenuhi hak-hak mereka, Allah berfirman, ﴾ وَمَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى ٱلنِّسَآءِ
﴿ "Dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur`an (juga memfatwa-kan) tentang para wanita yatim" maksudnya, Allah memberi fatwa juga dengan apa yang dibacakan kepada kalian dalam kitab tentang wanita-wanita yang yatim, ﴾ ٱلَّٰتِي لَا تُؤۡتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ
﴿ "yang tidak kamu berikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka," hal ini adalah sebuah kabar tentang kondisi riil yang terjadi pada saat itu, sesung-guhnya seorang wanita yatim bila berada dalam kekuasaan seorang laki-laki, ia merugikan hak-hak yatim tersebut dan menzhaliminya dengan memakan harta miliknya atau sebagiannya, atau melarang-nya menikah agar ia dapat memanfaatkan hartanya karena kha-watir hartanya itu akan diambil darinya bila ia menikahkan wanita yatim tersebut, atau ia mengambil dari suami yang dinikahi oleh wanita yatim itu suatu syarat atau hal lainnya, yang demikian itu bila ia tidak menyukainya, atau ia menyukainya (kemudian me-nikahinya) karena ia seorang wanita yang cantik dan berharta namun ia tidak adil dalam memberi mahar kepadanya, akan tetapi ia memberikan mahar kurang dari yang seharusnya, semua kondisi itu adalah kezhaliman yang termasuk dalam ayat ini, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَتَرۡغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ
﴿ "Sedang kamu ingin mengawini mereka" maksudnya, kalian tidak suka menikahi mereka atau kalian ingin menikahi mereka sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam contoh.
﴾ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلۡوِلۡدَٰنِ
﴿ "Dan orang-orang yang lemah berupa anak-anak," maksudnya, Allah juga memberi fatwa kepada kalian agar mengurusi orang-orang yang lemah berupa anak-anak yang masih belia agar kalian memberikan hak-hak mereka kepada me-reka berupa harta warisan ataupun lainnya, dan janganlah kalian menguasai harta mereka dalam bentuk kezhaliman dan kesewe-nang-wenangan, ﴾ وَأَن تَقُومُواْ لِلۡيَتَٰمَىٰ بِٱلۡقِسۡطِۚ
﴿ "dan agar kalian mengurus anak-anak yatim dengan adil," yaitu dengan keadilan yang penuh, termasuk mengurus mereka dengan mengharuskan mereka untuk melaksanakan perintah Allah dan apa yang diwajibkan atas hamba-hambaNya. Dengan demikian, para wali bertanggung jawab akan hal tersebut dengan mewajibkan mereka melaksanakan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah, termasuk juga dalam hal ini adalah mengurus mereka dalam rangka kemaslahatan dunia mereka de-ngan cara menginvestasikan harta mereka dan mengambil bagian keuntungan darinya untuk mereka, dan agar para wali itu tidak mengambilnya kecuali dengan yang patut, demikian juga para wali tidak boleh melakukan pendekatan kepada teman-teman mereka atau selainnya agar mau menikah atau selainnya dengan maksud untuk menghabiskan hak-hak mereka, dan semua ini merupakan rahmat Allah سبحانه وتعالى atas hamba-hambaNya, di mana Allah telah me-nganjurkan dengan sangat agar berusaha mencarikan kemaslahatan bagi orang yang tidak mampu melakukan itu untuk dirinya sendiri, baik karena kelemahannya atau karena kematian ayahnya.
Kemudian Allah menganjurkan agar berbuat baik secara umum dalam FirmanNya, ﴾ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ
﴿ "Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan" untuk anak-anak yatim atau selain mereka, baik itu berupa kebaikan yang sekunder ataupun yang primer,﴾ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِهِۦ عَلِيمٗا ﴿ "maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya," maksudnya, ilmu Allah telah meliputi perbuatan orang-orang yang berbuat kebaikan, sedikit maupun banyak, baik ataupun sebaliknya, kemudian Allah akan membalas setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
{وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (128)}.
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiat-nya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka se-sungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(An-Nisa`: 128).
#
{128} أي: إذا خافت المرأة نشوزَ زوجِها؛ أي: ترفُّعه عنها وعدم رغبته فيها وإعراضه عنها؛ فالأحسن في هذه الحالة أن يُصلحا بينهما صلحاً؛ بأن تسمح المرأة عن بعض حقوقها اللاَّزمة لزوجِها على وجهٍ تبقى مع زوجِها إمّا أن ترضى بأقلَّ من الواجب لها من النفقة أو الكسوة أو المسكن أو القَسْم؛ بأن تُسْقِطَ حقَّها منه أو تَهَبَ يومَها وليلتها لزوجها أو لضرَّتها؛ فإذا اتَّفقا على هذه الحالة؛ فلا جناح ولا بأس عليهما فيها، لا عليها ولا على الزوج، فيجوز حينئذٍ لزوجها البقاء معها على هذه الحال، وهي خير من الفرقة، ولهذا قال: {والصُّلْحُ خيرٌ}.
ويؤخذُ من عموم هذا اللفظ والمعنى أنَّ الصُّلح بين من بينَهما حقٌّ أو منازعة في جميع الأشياء أنه خيرٌ من استقصاء كلٍّ منهما على كلِّ حقِّه لما فيها من الإصلاح وبقاء الألفة والاتِّصاف بصفة السماح، وهو جائزٌ في جميع الأشياء؛ إلاَّ إذا أحلَّ حراماً أو حرَّم حلالاً؛ فإنه لا يكون صلحاً، وإنَّما يكون جوراً، واعلم أنَّ كلَّ حكم من الأحكام لا يتمُّ ولا يكملُ إلا بوجود مقتضيه وانتفاء موانعه؛ فمن ذلك هذا الحكم الكبير الذي هو الصلح، فذكر تعالى المقتضي لذلك، ونبَّه على أنه خيرٌ، والخير كلُّ عاقل يطلُبه ويرغبُ فيه؛ فإنْ كان مع ذلك قد أمر الله به وحثَّ عليه؛ ازداد المؤمن طلباً له ورغبةً فيه، وذكر المانع بقوله: {وأحضِرَتِ الأنفس الشُّحَّ}؛ أي: جُبلت النفوس على الشحِّ، وهو عدم الرغبة في بذل ما على الإنسان، والحرص على الحق الذي له؛ فالنفوس مجبولة على ذلك طبعاً؛ أي: فينبغي لكم أن تحرصوا على قلع هذا الخُلُق الدنيء من نفوسكم، وتستبدلوا به ضدَّه، وهو السماحة، وهو بذل الحقِّ الذي عليك، والاقتناعُ ببعض الحقِّ الذي لك؛ فمتى وُفِّق الإنسان لهذا الخلق الحسن؛ سهل حينئذٍ عليه الصلحُ بينه وبين خصمه ومعامله، وتسهَّلت الطريق للوصول إلى المطلوب؛ بخلاف من لم يجتهدْ في إزالة الشُّحِّ من نفسه؛ فإنه يعسر عليه الصلح والموافقة؛ لأنه لا يرضيه إلاَّ جميع مَا لَهُ، ولا يرضى أن يؤدِّي ما عليه؛ فإن كان خصمُهُ مثله، اشتدَّ الأمر.
ثم قال: {وإن تحسنوا وتتَّقوا}؛ أي: تحسنوا في عبادة الخالق؛ بأن يعبدَ العبدُ ربَّه كأنه يراه؛ فإن لم يكن يراه؛ فإنَّه يراه، وتحسِنوا إلى المخلوقين بجميع طرق الإحسان من نفع بمال أو علم أو جاهٍ أو غير ذلك، وتتَّقوا الله بفعل جميع المأمورات وترك جميع المحظورات ، أو تحسِنوا بفعل المأمور وتتَّقوا بترك المحظور؛ {فإنَّ الله كان بما تعملون خبيراً}: قد أحاطَ به علماً وخبراً بظاهرِهِ وباطنِهِ فيحفظه لكم ويجازيكم عليه أتمَّ الجزاء.
(128) Maksudnya, apabila wanita khawatir akan kedurha-kaan suaminya, yaitu bersikap congkak padanya, tidak suka kepadanya, dan tidak acuh padanya, maka dalam kondisi seperti ini sebaiknya diadakan perbaikan di antara mereka berdua, dengan cara menggugurkan beberapa haknya yang wajib atas suaminya agar ia tetap bersama suaminya tersebut, yaitu rela dengan yang lebih sedikit dari yang seharusnya berupa nafkah atau pakaian atau tempat tinggal atau pembagian hari dengan cara menggugur-kan haknya atau memberikan jatah hari atau malamnya kepada suaminya atau kepada madunya, lalu bila mereka berdua telah se-pakat dengan kondisi seperti itu, maka tidaklah berdosa dan tidak salah mereka berdua melakukan itu, tidak mengapa bagi suami dan tidak mengapa pula bagi istri, karena itu suaminya boleh tetap bersama istrinya tersebut dalam kondisi seperti itu, dan hal itu lebih baik daripada bercerai, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ
﴿ "Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)."
Dapat diambil dari keumuman lafazh dan makna ayat ini bahwa perdamaian antara dua orang yang masing-masing mem-punyai hak atau perselisihan dalam perkara apa pun, adalah lebih baik daripada masing-masing dari mereka berdua itu saling ngotot dalam mempertahankan hak-haknya, karena dengan berdamai akan menjadi tenang dan tetap berada dalam nuansa saling cinta serta sama-sama memakai predikat sifat toleransi dan saling me-maafkan, hal ini boleh dalam segala perkara, kecuali dalam perkara menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, karena sesungguhnya hal itu bukanlah merupakan suatu perdamaian, akan tetapi menjadi sebuah tindakan melampaui batas, dan keta-huilah bahwa setiap hukum dari hukum-hukum yang ada tidaklah akan sempurna dan terpenuhi kecuali dengan adanya tuntutan-tuntutannya dan tidak adanya penghalang-penghalangnya, maka di antara hukum tersebut adalah ketetapan yang besar ini, yaitu perdamaian, Allah سبحانه وتعالى menyebutkan tuntutan akan hal tersebut dan Allah mengingatkan bahwa hal itu adalah baik, dan kebaikan itu akan dicari dan disukai oleh setiap orang yang berakal, di samping itu Allah juga memerintahkan dan sangat menganjurkan-nya, hingga seorang Mukmin akan menambah usahanya dalam mencarinya.
Dan Allah juga menyebutkan penghalangnya dalam Firman-Nya, ﴾ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ
﴿ "Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir," maksudnya, jiwa manusia itu telah diciptakan memiliki watak kikir, yaitu tidak suka mengerahkan apa yang menjadi hak manusia lain, namun sangat berusaha memenuhi hak dirinya, dan jiwa itu telah diarahkan kepada hal seperti itu secara penciptaan-nya, dan seharusnya kalian berusaha untuk menghilangkan akhlak yang hina ini dari jiwa-jiwa kalian, dan menggantikannya dengan sifat yang bertolak belakang dengannya, yaitu berlapang dada, artinya mengerahkan hak yang menjadi kewajiban atas dirinya dan bersikap puas dengan beberapa hak untuk dirinya, dan ketika seorang manusia dapat dibimbing kepada akhlak yang baik ini, niscaya di saat itu mudahlah baginya perdamaian antara dia dengan lawan-lawannya, dan akan mudahlah jalan keluar yang menyam-paikan mereka kepada yang dikehendaki bersama, berbeda dengan orang yang tidak berusaha menghilangkan sifat kikir dari jiwanya, maka pastilah akan terasa susah baginya perdamaian dan persetu-juan tersebut, karena ia tidak akan rela kecuali menerima semua haknya dan ia tidak rela untuk menunaikan semua kewajibannya, apalagi bila musuhnya itu sama seperti dia, maka tambah ruwetlah perkaranya.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ
﴿ "Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh)" yaitu kalian berbuat baik dalam beribadah kepada Allah dengan cara seorang hamba menyembah Rabbnya seolah-olah ia melihatNya, dan bila ia tidak melihatNya sesung-guhnya Rabbnya itu melihatnya, dan berbuat baik kepada makhluk dengan berbagai jalan kebaikan berupa manfaat harta, ilmu, jabatan, atau selainnya, dan kalian bertakwa kepada Allah dengan me-ngerjakan seluruh perkara yang diperintahkan dan meninggalkan seluruh perkara yang dilarang, atau kalian berbuat baik dengan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan kalian bertakwa de-ngan meninggalkan hal-hal yang dilarang, ﴾ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ﴿ "maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan," sesungguhnya pengetahuan dan ilmuNya meliputi segala hal, baik lahir maupun batin lalu Allah menjaganya untuk kalian dan membalasnya dengan balasan yang sempurna.
{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (129)}.
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri
(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demi-kian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 129).
#
{129} يخبر تعالى أن الأزواج لا يستطيعون وليس في قُدرتهم العدل التامُّ بين النساء، وذلك لأن العدل يستلزم وجود المحبَّة على السَّواء، والداعي على السواء، والميل في القلب إليهنَّ على السواء، ثم العمل بمقتضى ذلك، وهذا متعذِّر غير ممكن؛ فلذلك عفا الله عمّا لا يستطاع ونهى عما هو ممكنٌ بقوله: {فلا تميلوا كلَّ الميل فتذروها كالمعلَّقة}؛ أي: لا تميلوا ميلاً كثيراً بحيث لا تؤدُّون حقوقَهن الواجبة، بل افعلوا ما هو باستطاعتكم من العدل؛ فالنفقة والكسوة والقَسْم ونحوها عليكم أن تعدِلوا بينهنَّ فيها؛ بخلاف الحبِّ والوطء ونحو ذلك؛ فإنَّ الزوجة إذا ترك زوجها ما يجب لها؛ صارت كالمعلقة التي لا زوج لها فتستريح وتستعدُّ للتزوج، ولا ذات زوج يقوم بحقوقها. {وإن تُصْلِحوا} ما بينكم وبين زوجاتِكم بإجبار أنفسكم على فعل ما لا تهواه النفس احتساباً وقياماً بحقِّ الزوجة، وتصلحوا أيضاً فيما بينكم وبين الناس، وتصلحوا أيضاً بين الناس فيما تنازعوا فيه، وهذا يستلزم الحثَّ على كلِّ طريق يوصل إلى الصُّلح مطلقاً كما تقدم. {وتَتَّقوا}: الله بفعل المأمور وترك المحظور والصَّبر على المقدور، {فإنَّ الله كان غفوراً رحيماً}: يَغْفِرُ ما صَدَرَ منكم من الذُّنوب والتقصير في الحقِّ الواجب، ويرحمكم كما عطفتم على أزواجكم ورحمتموهنَّ.
(129) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan di atas kuasa mereka untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecenderungan hati kepada mereka yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua, namun hal se-perti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi, karena itulah Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang dari perkara yang mungkin dilakukan dalam FirmanNya, ﴾ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ
﴿ "Janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung" yaitu janganlah kalian condong dengan kecenderungan yang berlebihan di mana kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka, akan tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan itu, maka nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya wajib atas kalian berlaku adil dalam perkara tersebut di antara mereka, berbeda dengan perkara cinta dan berjimak atau semacamnya, karena sesungguhnya seorang istri, bila suaminya meninggalkan apa yang seharusnya ia lakukan untuk istrinya, maka istrinya itu akan menjadi terkatung-katung seperti wanita yang tidak bersuami yang dapat bersantai dan berhias diri agar dapat menikah lagi, seperti tidak memiliki suami yang menunaikan hak-haknya.
﴾ وَإِن تُصۡلِحُواْ
﴿ "Dan jika kamu mengadakan perbaikan" apa yang terjadi antara kalian dengan istri-istri kalian dengan memaksa diri kalian untuk melakukan apa yang tidak diinginkan hati kalian dengan maksud mendapatkan pahala dan menunaikan hak-hak istri, dan kalian juga mengadakan perbaikan antara kalian dengan masyarakat, dan juga perbaikan di antara masyarakat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, hal ini mengharuskan adanya an-juran untuk menapaki jalan apa pun yang menyampaikan kepada perbaikan secara mutlak seperti yang terdahulu, ﴾ وَتَتَّقُواْ
﴿ "dan memelihara diri (dari kecurangan)," maksudnya, takut kepada Allah dengan melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya dan bersabar atas takdirNya, ﴾ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ﴿ "maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," Dia mengampuni apa yang kalian lakukan berupa dosa-dosa dan kelalaian pada hak yang wajib atas kalian, dan Dia merahmati kalian seperti kalian menyayangi istri-istri kalian dan merahmati mereka.
{وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا (130)}.
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukup-an kepada masing-masing dari limpahan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas
(karuniaNya) lagi Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 130).
#
{130} هذه الحالة الثالثةُ بين الزوجين إذا تعذَّر الاتِّفاق؛ فإنه لا بأس بالفراق، فقال: {وإن يتفرَّقا}؛ أي: بطلاق أو فسخ أو خلع أو غير ذلك، {يُغْنِ الله كلاًّ}: من الزوجين {من سَعَتِهِ}؛ أي: من فضله وإحسانه الواسع الشامل، فيغني الزوج بزوجة خيرٍ له منها، ويغنيها من فضله، وإن انقطع نصيبها من زوجها؛ فإن رزقها على المتكفِّل بأرزاق جميع الخَلْق، القائم بمصالحهم، ولعلَّ الله يرزُقها زوجاً خيراً منه. {وكان الله واسعاً}؛ أي: كثير الفضل واسع الرحمة، وصلتْ رحمتُه وإحسانُه إلى حيث وصل إليه علمُه، ولكنَّه مع ذلك {حكيماً}؛ أي: يعطي بحكمته ويمنع لحكمتِهِ؛ فإذا اقتضتْ حكمتُهُ منع بعض عبادِهِ من إحسانه بسبب من العبد لا يستحقُّ معه الإحسان؛ حَرَمَهُ عدلاً وحكمة.
(130) Ini adalah kondisi yang ketiga antara suami istri apa-bila tidak mungkin terjalin kesepakatan, maka dibolehkan untuk bercerai. Allah berfirman, ﴾ وَإِن يَتَفَرَّقَا
﴿ "Jika keduanya bercerai," yaitu dengan talak atau pembatalan (faskh) atau khulu' atau semacamnya, ﴾ يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا
﴿ "maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing" kedua suami istri, ﴾ مِّن سَعَتِهِۦۚ
﴿ "dari limpahan karuniaNya," yaitu, dari karuniaNya dan kebaikanNya yang luas lagi menyelu-ruh. Allah akan mencukupkan bagi suami dengan istri lain yang lebih baik dari istri sebelumnya, dan mencukupkan istri dari karu-niaNya walaupun telah terputus haknya dari suaminya. Karena sesungguhnya rizki sang istri ada pada Allah yang menjamin rizki-rizki seluruh makhluk, Yang mengurusi kemaslahatan mereka, dan bisa saja Allah akan memberikan rizki kepadanya berupa suami yang lebih baik dari suami sebelumnya. ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ وَٰسِعًا
﴿ "Dan Allah Mahaluas (karuniaNya)," karuniaNya banyak, rahmatNya luas, di mana rahmat dan karuniaNya sampai kepada titik di mana ilmu-Nya sampai kepadanya, akan tetapi Allah di samping itu, ﴾ حَكِيمٗا ﴿ "Mahabijaksana," yaitu, Allah memberikan dengan kebijaksanaan-Nya dan menahan karena kebijaksanaanNya, dan bila hikmahNya telah ditentukan bahwa beberapa hambaNya tidak mendapatkan karuniaNya disebabkan karena hamba itu sendiri, maka hamba-hamba itu tidak berhak mendapatkan karuniaNya, Allah mena-hannya karena keadilan dan kebijaksanaan.
{وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا (131) وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا (132)}.
"Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu; bertakwa-lah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka
(ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah, dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara."
(An-Nisa`: 131-132).
#
{131 ـ 132} يخبر تعالى عن عموم ملكه العظيم الواسع المستلزم تدبيره بجميع أنواع التَّدبير وتصرُّفه بأنواع التصريف قدراً وشرعاً؛ فتصرُّفه الشرعي أن وصَّى الأوَّلين والآخرين أهل الكتب السابقة واللاَّحقة بالتَّقوى المتضمِّنة للأمر والنَّهي وتشريع الأحكام والمجازاة لمن قام بهذه الوصيَّة بالثواب والمعاقبة لمن أهملها وضيَّعها بأليم العذاب، ولهذا قال: {وإن تَكْفُروا}: بأن تتركوا تقوى الله وتشركوا بالله ما لم ينزِّل به عليكم سلطاناً؛ فإنكم لا تضرُّون بذلك إلا أنفسكم، ولا تضرُّون الله شيئاً، ولا تنقصون ملكَه، وله عبيدٌ خير منكم وأعظم وأكثر، مطيعون له خاضعون لأمره، ولهذا رتَّب على ذلك قوله: {وإن تَكْفُروا فإنَّ لله ما في السموات وما في الأرض وكان الله غنيًّا حميداً}: له الجود الكامل والإحسان الشامل الصادر من خزائن رحمته التي لا يَنْقُصُها الإنفاق ولا يَغيضها نفقةٌ، سحاء الليل والنهار، لو اجتمع أهل السماوات وأهل الأرض أولهم وآخرهم، فسأل كلُّ واحد منهم ما بلغت أمانيه، ما نَقَصَ من ملكه شيئاً، ذلك بأنه جوادٌ واجدٌ ماجدٌ، عطاؤه كلامٌ، وعذابه كلامٌ، إنما أمره لشيء إذا أراد أن يقولَ له كُن فيكون، ومن تمام غِناه أنَّه كامل الأوصاف؛ إذ لو كان فيه نقصٌ بوجه من الوجوه؛ لكان فيه نوعُ افتقارٍ إلى ذلك الكمال، بل له كلُّ صفة كمال، ومن تلك الصفة كمالها.
ومن تمام غِناه أنَّه لم يتَّخذ صاحبةً ولا ولداً ولا شريكاً في ملكه ولا ظهيراً ولا معاوناً له على شيء من تدابير ملكِهِ، ومن كمال غناه افتقار العالم العلويِّ والسفليِّ في جميع أحوالهم وشؤونهم إليه وسؤالهم إيّاه جميع حوائجهم الدقيقة والجليلة، فقام تعالى بتلك المطالب والأسئلة، وأغناهم وأقناهم ومنَّ عليهم بلطفه وهداهم.
وأما الحميدُ؛ فهو من أسماء الله تعالى الجليلة، الدال على أنه هو المستحقُّ لكلِّ حمدٍ ومحبةٍ وثناء وإكرام، وذلك لما اتَّصف به من صفات الحمد التي هي صفة الجمال والجلال، ولما أنعم به على خلقه من النعم الجزال؛ فهو المحمود على كلِّ حال.
وما أحسن اقتران هذين الاسمين الكريمين: الغنيّ الحميد؛ فإنه غنيٌّ محمودٌ؛ فله كمالٌ من غناه وكمالٌ من حمده وكمالٌ من اقتران أحدهما بالآخر، ثم كرَّر إحاطة ملكه لما في السماوات و [ما في] الأرض، وأنَّه على كلِّ شيء وكيل؛ أي: عالم قائم بتدبير الأشياء على وجه الحكمة؛ فإنَّ ذلك من تمام الوكالة؛ فإنَّ الوكالة تستلزم العلم بما هو وكيلٌ عليه، والقوَّة والقدرة على تنفيذه وتدبيره، وكون ذلك التدبير على وجه الحكمة والمصلحة؛ فما نقص من ذلك؛ فهو لنقص الوكيل، والله تعالى منزَّه عن كلِّ نقص.
(131-132) Allah سبحانه وتعالى memberitakan tentang luasnya kerajaan-Nya yang agung yang menuntut untuk dikelola dengan berbagai bentuk pengelolaan, dan diurusi dengan berbagai macam aturan, baik secara takdir maupun syariat. Pengelolaan Allah menurut syariat yaitu Dia mewasiatkan kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang terakhir, Ahli Kitab terdahulu dan yang akan datang untuk bertakwa, yang mengandung perintah, larangan, dan penga-daan hukum-hukum syariat, dan balasan orang yang menegakkan wasiat tersebut dengan pahala dan hukuman bagi orang yang melalaikannya dan menyia-nyiakannya dengan pedihnya siksa neraka, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَإِن تَكۡفُرُواْ
﴿ "Tetapi jika kamu kafir" dengan meninggalkan takwa kepada Allah dan kalian syirik kepada Allah di mana Allah tidaklah menurunkan suatu keterangan pun akan hal tersebut, sesungguhnya perbuatan kalian itu tidaklah memudharatkan kecuali bagi diri kalian sendiri, dan tidaklah kalian memudharatkan Allah sedikit pun, dan tidak pula kalian mengu-rangi kerajaanNya, Dia memiliki hamba-hamba yang lain dan lebih baik dari kalian, lebih agung dan lebih banyak, yang tunduk dan taat kepadaNya serta patuh terhadap perintahNya, karena itulah Allah menyiapkan balasan akan hal itu dalam FirmanNya,
﴾ وَإِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدٗا ﴿ "Tetapi jika kamu kafir, maka
(ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah, dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji," Dia memiliki kedermawanan yang sempurna, karunia yang menyeluruh yang bersumber dari perbendaharaan rahmat-Nya yang tidak akan berkurang dengan infak dan tidak pula berkurang dengan nafkah. KaruniaNya mengalir terus siang dan malam, dan sekiranya penduduk langit dan penduduk bumi dari orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang ber-kumpul lalu setiap orang dari mereka memohon seluruh hal yang diangan-angankan olehnya,
(maka hal itu) tidaklah akan mengu-rangi sedikit pun dari kerajaanNya, yang demikian itu karena Allah Mahamulia, Maha Pemberi lagi Mahaagung, pemberianNya adalah FirmanNya, siksaNya adalah FirmanNya, sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya, "Jadilah" maka jadilah ia, dan merupakan kesempurna-an KekayaanNya bahwa Dia memiliki sifat yang sempurna, karena bila ada kekurangan sedikit pun dalam sisi apa pun juga, maka masih ada semacam kebutuhan kepada kesempurnaan tersebut, akan tetapi Allah memiliki seluruh sifat kesempurnaan, dan di antara sifat-sifat itu adalah kesempurnaan sifat-sifatNya.
Dan di antara kesempurnaan kekayaanNya bahwa Dia tidak-lah memiliki istri, tidak pula anak, tidak pula sekutu dalam kera-jaanNya, tidak pula penolong, tidak pula pembela untukNya pada perkara apa pun dalam pengelolaan kerajaanNya, dan merupakan kesempurnaan kekayaanNya juga adalah kebutuhan seluruh alam langit maupun bumi dalam segala kondisi dan keadaan mereka kepadaNya, permohonan mereka kepadaNya akan seluruh kebu-tuhan mereka yang tersembunyi maupun yang nampak, lalu Allah menunaikan seluruh kebutuhan-kebutuhan mereka dan permo-honan-permohonan tersebut, Allah mencukupkan mereka dan memberikan kepuasan buat mereka serta memberikan karuniaNya atas mereka dan memberi petunjuk kepada mereka dengan kasih sayangNya.
Sedangkan Yang Maha Terpuji, merupakan salah satu nama Allah di antara nama-namaNya yang mulia, yang menunjukkan bahwa Dia berhak atas segala pujian, kecintaan, sanjungan, dan penghormatan, yang demikian itu adalah saat Allah menyifati DiriNya dengan sifat terpuji yang merupakan sifat yang indah lagi mulia, dan saat Allah سبحانه وتعالى memberi karuniaNya atas makhlukNya berupa kenikmatan-kenikmatan yang banyak, maka Dia adalah Dzat yang
(berhak) dipuji dalam segala kondisi.
Dan betapa sesuainya kedua nama yang mulia ini disatukan, Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji, Allah memiliki kesempurnaan dalam kekayaan-Nya, kesempurnaan dalam PujianNya dan kesempurnaan dalam kondisi bersatunya setiap dari kedua nama Allah tersebut dengan yang lainnya, kemudian Allah mengulangi penyebutan keluasan kerajaanNya pada apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa Allah adalah Maha Pemelihara atas segala sesuatu, artinya Maha Mengetahui lagi Mengelola segala sesuatu menurut hikmahNya, karena sesungguhnya hal itu menjadi kesempurnaan pemeliharaan, dan pemeliharaan itu menuntut adanya ilmu ter-hadap perkara yang dipelihara, kekuatan dan kemampuan atas pelaksanaan dan pengelolaannya, dan pengelolaan tersebut me-nurut hikmahNya dan menurut kemaslahatan, lalu apa pun yang kurang dari hal itu, maka berpulang kepada kekurangan pemeli-hara, sedang Allah سبحانه وتعالى terlepas dari segala kekurangan.
{إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِآخَرِينَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى ذَلِكَ قَدِيرًا (133) مَنْ كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (134)}.
"Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain
(sebagai penggantimu). Dan Allah Mahakuasa berbuat demikian. Barang-siapa yang menghendaki pahala di dunia saja
(maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(An-Nisa`: 133-134).
#
{133} أي: هو الغنيُّ الحميد الذي له القدرة الكاملة والمشيئة النافذة فيكم. {إن يشأ يُذْهِبْكم أيُّها الناس ويأت بآخرين}: غيرِكم هم أطوع لله منكم وخيرٌ منكم. وفي هذا تهديدٌ للناس على إقامتهم على كفرهم وإعراضِهم عن ربِّهم؛ فإنَّ الله لا يعبأ بهم شيئاً إن لم يطيعوه، ولكنَّه يُمْهِلُ ويملي ولا يُهْمِلُ.
(133) Yaitu Allah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji, yang memiliki kekuasaan yang sempurna dan kehendak yang terlaksana pada kalian, ﴾ إِن يَشَأۡ يُذۡهِبۡكُمۡ أَيُّهَا ٱلنَّاسُ وَيَأۡتِ بِـَٔاخَرِينَۚ ﴿ "jika Allah menghen-daki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain
(sebagai penggantimu)," selain kalian yang lebih taat kepada Allah, dan lebih baik daripada kalian. Hal ini merupakan ancaman buat manusia terhadap perbuatan mereka dalam keku-furan dan berpalingnya mereka dari Rabb mereka, sesungguhnya Allah sedikit pun tidaklah lemah dari mereka bila mereka tidak me-naatiNya, akan tetapi Allah menangguhkan mereka dan menunda siksaNya dan tidak melalaikan mereka.
#
{134} ثم أخبر أنَّ مَن كانت هِمَّتُه وإرادتُه دنيَّة غير متجاوزة ثواب الدُّنيا، وليس له إرادةٌ في الآخرة؛ فإنه قد قَصَرَ سعيه ونظره، ومع ذلك؛ فلا يحصلُ له من ثواب الدُّنيا سوى ما كتب الله له منها؛ فإنه تعالى هو المالك لكل شيء، الذي عنده ثواب الدُّنيا والآخرة، فَلْيُطْلَبا منه ويُستعان به عليهما؛ فإنَّه لا يُنال ما عنده إلاَّ بطاعتِهِ، ولا تُدرك الأمور الدينيَّة والدنيويَّة إلاَّ بالاستعانة به والافتقار إليه على الدوام، وله الحكمة تعالى في توفيق من يوفِّقه وخِذلان مَن يخذلُه وفي عطائه ومنعه، ولهذا قال: {وكان الله سميعاً بصيراً}.
(134) Kemudian Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang cita-cita dan keinginannya rendah yang tidak melebihi dari balasan duniawi semata, dan tidak memiliki keinginan sama sekali kepada akhirat, sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan usaha dan pandangannya, di samping itu tidaklah ia memperoleh balasan dunia kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuknya, karena Allah سبحانه وتعالى adalah Pemilik segala sesuatu yang memiliki balasan dunia dan akhirat, maka agar kedua hal itu diharapkan dariNya سبحانه وتعالى dan dimohonkan pertolongan kepadaNya akan keduanya, dan sesungguhnya tidaklah akan diperoleh apa yang ada di sisiNya kecuali dengan menaatiNya, dan tidaklah akan dipenuhi perkara-perkara dunia maupun akhirat kecuali dengan memohon perto-longan kepadaNya dan mengemis kepadaNya secara terus mene-rus. MilikNyalah segala hikmah dalam membimbing orang yang diberi taufikNya dan dalam menghinakan orang yang dihinakan dan dalam pemberian dan laranganNya, karena itulah Allah berfirman, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
ثم قال تعالى: {يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (135)}.
Kemudian Allah تعالى berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kera-batmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemas-lahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalik-kan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."
(An-Nisa`: 135).
#
{135} يأمر تعالى عبادَه المؤمنين أن يكونوا {قوَّامين بالقسطِ شهداء لله}، والقوَّام صيغةُ مبالغةٍ؛ أي: كونوا في كلِّ أحوالكم قائمين بالقسطِ الذي هو العدل في حقوق الله وحقوق عباده؛ فالقِسْطُ في حقوق الله أن لا يُستعان بنعمه على معصيتِهِ، بل تُصرف في طاعته، والقِسْط في حقوق الآدميِّين أن تُؤدِّيَ جميع الحقوق التي عليك كما تَطْلُبُ حقوقك، فتؤدِّي النفقات الواجبة والدُّيون وتعامل الناس بما تحبُّ أن يعاملوك به من الأخلاق والمكافأة وغير ذلك.
ومن أعظم أنواع القِسْط القِسْط في المقالات والقائلين؛ فلا يحكم لأحدِ القولين أو أحد المتنازِعَين لانتسابه أو ميله لأحدهما، بل يَجعل وجهته العدل بينهما، ومن القسط أداء الشهادة التي عندك على أيِّ وجه كان، حتى على الأحباب، بل على النفس، ولهذا قال: {شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين، إن يكنْ غنيًّا أو فقيراً فالله أولى بهما}؛ أي: فلا تُراعوا الغنيَّ لغناه ولا الفقير بزعمكم رحمة له، بل اشهدوا بالحقِّ على مَن كان. والقيام بالقسط من أعظم الأمور وأدل على دين القائم به وورعِهِ ومقامِهِ في الإسلام، فيتعيَّن على مَن نصح نفسه وأراد نجاتَها أن يهتمَّ له غاية الاهتمام، وأن يَجْعَلَهُ نصبَ عينيه ومحلَّ إرادته، وأن يزيل عن نفسِهِ كلَّ مانع وعائق يَعوقه عن إرادة القِسْط أو العمل به، وأعظم عائق لذلك اتِّباع الهوى، ولهذا نبَّه تعالى على إزالة هذا المانع بقوله: {فلا تتَّبِعوا الهوى أن تعدِلوا}؛ أي: فلا تتَّبعوا شهوات أنفسكم المعارضة للحقِّ؛ فإنكم إن اتَّبعتموها؛ عدلتُم عن الصواب ولم توفَّقوا للعدل؛ فإنَّ الهوى إمَّا أن يُعْمِيَ بصيرة صاحبه حتى يرى الحقَّ باطلاً والباطلَ حقًّا، وإما أن يعرفَ الحقَّ ويتركَه لأجل هواه؛ فمن سلم من هوى نفسه؛ وفِّق للحق وهُدِيَ إلى الصراط المستقيم.
ولما بيَّن أنَّ الواجب القيام بالقِسط؛ نهى عن ما يضادُّ ذلك، وهو لَيُّ اللسان عن الحقِّ في الشهادات وغيرها، وتحريف النُّطق عن الصواب المقصود من كلِّ وجه أو من بعض الوجوه، ويدخل في ذلك تحريف الشهادة وعدم تكميلها أو تأويلُ الشاهد على أمرٍ آخر؛ فإنَّ هذا من اللَّيِّ؛ لأنَّه الانحراف عن الحقِّ. {أو تعرِضوا}؛ أي: تتركوا القِسْط المَنوط بكم كترك الشاهد لشهادته وترك الحاكم لحكمه الذي يَجِبُ عليه القيام به.
{فإنَّ الله كان بما تعملون خبيراً}؛ أي: محيط بما فعلتم، يعلم أعمالَكم خفيَّها وجليَّها، وفي هذا تهديدٌ شديدٌ للذي يلوي أو يعرض، ومن باب أولى وأحرى الذي يحكم بالباطل أو يشهد بالزُّور؛ لأنه أعظم جرماً؛ لأن الأوَّلَيْنِ تركا الحقَّ، وهذا ترك الحقَّ، وقام بالباطل.
(135) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman agar mereka menjadi ﴾ قَوَّٰمِينَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ
﴿ "orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah," al-Qawwam (penegak keadilan) adalah sebuah kata yang menunjukkan makna lebih (Sighah mubalaghah), artinya jadilah kalian penegak keadilan dalam segala kondisi terhadap hak-hak Allah dan hak-hak hamba-hambaNya. Adil terhadap hak-hak Allah adalah tidak memakai nikmat-nikmatNya untuk bermaksiat kepadaNya, akan tetapi se-harusnya dipergunakan dalam ketaatan kepadaNya, sedang adil terhadap hak-hak manusia adalah menunaikan segala hak-hak yang menjadi tanggung jawabmu sebagaimana engkau meminta hak-hak dirimu. Maka Anda (seyogyanya) menunaikan nafkah-nafkah yang wajib dan hutang-hutang, dan bermuamalah terhadap manusia dengan akhlak dan tata krama yang Anda sendiri ingin diperlakukan dengannya, juga dengan penghargaan dan sebagainya.
Di antara bentuk-bentuk keadilan yang paling agung adalah adil dalam menilai ucapan (pandangan) dan orang-orang yang memiliki pandangan tersebut, tidak menetapkan untuk salah satu perkataan atau salah satu dari dua orang yang berselisih hanya karena bernisbah kepadanya atau kecondongannya kepada salah satunya, akan tetapi ia harus berlaku adil di antara keduanya, dan di antara keadilan itu adalah menunaikan kesaksian yang ada padamu dalam bentuk apa pun, hingga walaupun atas orang-orang yang dicintai, bahkan atas diri sendiri, karena itulah Allah berfirman,﴾ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ
﴿ "Menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya," maksudnya, janganlah kalian memper-timbangkan seorang yang kaya karena kekayaannya, dan seorang yang miskin dengan prasangka bahwa hal itu adalah sebagai belas kasih baginya, akan tetapi bersaksilah dengan benar atas siapa pun orangnya.
Menegakkan keadilan adalah di antara perkara yang paling agung dan paling menunjukkan akan keberagamaan penegak ke-adilan tersebut dan sikap hati-hatinya serta kedudukannya dalam Islam, maka wajiblah atas orang yang mau menasihati dirinya dan menghendaki keselamatan dirinya agar memperhatikan hal terse-but dengan sebaik-baiknya, dan selalu menjadikannya di hadapan matanya dan tujuan keinginannya, dan agar ia menghilangkan dari jiwanya segala hal yang menghalangi dan merintangi dirinya dari menegakkan keadilan atau mengamalkan keadilan tersebut, dan rintangan yang paling terbesar dalam hal itu adalah mengikuti hawa nafsu, karena itulah Allah سبحانه وتعالى memperingatkan agar meng-hilangkan rintangan tersebut dalam FirmanNya,
﴾ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ
﴿ "Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran," yaitu janganlah kalian mengikuti syahwat diri kalian yang bertentangan dengan kebe-naran, karena bila kalian mengikutinya, niscaya kalian akan menyimpang dari kebenaran dan kalian tidak diberi taufik kepada keadilan, karena sesungguhnya hawa nafsu itu akan membutakan mata hati orang tersebut hingga ia akan melihat kebenaran itu se-bagai sebuah kebatilan dan kebatilan itu sebagai sebuah kebenaran, atau ia mengetahui kebenaran lalu meninggalkannya demi hawa nafsunya, maka barangsiapa yang selamat dari hawa nafsunya, niscaya ia akan diberi taufik kepada kebenaran dan akan diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Dan tatkala Allah menjelaskan bahwa yang wajib adalah menegakkan keadilan, Allah juga melarang dari perkara yang bertentangan dengan hal tersebut, yaitu penyimpangan lisan dari kebenaran dalam persaksian atau selainnya, dan pembelokan kata dari kebenaran yang dimaksudkan dari segala sisinya atau dari beberapa sisinya, dan termasuk dalam hal itu adalah pembelokan kesaksian dan tidak menyempurnakannya atau penakwilan seorang saksi atas suatu hal yang lain, karena sesungguhnya ini adalah di antara bentuk penyimpangan, karena menyimpang dari kebenaran, ﴾ أَوۡ تُعۡرِضُواْ
﴿ "atau enggan menjadi saksi," yaitu kalian me-ninggalkan keadilan yang ditetapkan pada kalian seperti seorang saksi yang meninggalkan kesaksiannya atau seorang hakim yang meninggalkan pengadilannya yang wajib dilakukan olehnya.
﴾ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ﴿ "Maka sesungguhnya Allah Maha Menge-tahui segala apa yang kamu kerjakan," yaitu meliputi apa yang kalian kerjakan, mengetahui perbuatan-perbuatan kalian yang tersem-bunyi maupun yang nampak, hal ini mengandung ancaman yang keras kepada orang yang menyimpang dalam berbicara atau meninggalkan yang seharusnya dikerjakan, dan yang lebih utama dan lebih patut lagi adalah orang yang menetapkan hukum dengan kebatilan atau bersaksi dengan saksi palsu, karena sesungguhnya hal tersebut adalah kejahatan yang paling besar, karena dua orang yang pertama telah meninggalkan kebenaran saja, sedang yang terakhir ini meninggalkan kebenaran dan menegakkan kebatilan.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (136)}.
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada RasulNya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan Hari Kemudian, maka sung-guh orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."
(An-Nisa`: 136).
#
{136} اعلم أن الأمر إمّا أن يوجَّه إلى من لم يدخل في الشيء ولم يتَّصف بشيء منه؛ فهذا يكون أمراً له في الدُّخول فيه، وذلك كأمر من ليس بمؤمن بالإيمان؛ كقوله تعالى: {يا أيُّها الذين أوتوا الكتابَ آمِنوا بما نَزَّلْنا مصدِّقاً لما معكم ... } الآية، وإمّا أن يوجَّه إلى من دخل في الشيء؛ فهذا يكون أمره ليصحِّح ما وُجِدَ منه ويحصِّل ما لم يوجد، ومنه ما ذكره الله في هذه الآية من أمر المؤمنين بالإيمان؛ فإنَّ ذلك يقتضي أمرهم بما يصحِّح إيمانهم من الإخلاص والصدق وتجنُّب المفسدات والتوبة من جميع المنقصات، ويقتضي أيضاً الأمر بما لم يوجد من المؤمن من علوم الإيمان وأعماله؛ فإنَّه كلَّما وصل إليه نصٌّ وفهم معناه واعتقدَه؛ فإنَّ ذلك من الإيمان المأمور به، وكذلك سائر الأعمال الظاهرة والباطنة، كلُّها من الإيمان؛ كما دلَّت على ذلك النصوص الكثيرة وأجمع عليه سلف الأمة، ثم الاستمرار على ذلك والثَّبات عليه إلى الممات؛ كما قال تعالى: {يا أيُّها الذين آمنوا اتَّقوا الله حقَّ تُقاتِهِ ولا تموتنَّ إلاَّ وأنتُم مسلمونَ}، وأمر هنا بالإيمان به وبرسله وبالقرآن وبالكتب المتقدِّمة؛ فهذا كلُّه من الإيمان الواجب الذي لا يكون العبد مؤمناً إلاَّ به، إجمالاً فيما لم يصل إليه تفصيلُه، وتفصيلاً فيما عُلِمَ من ذلك بالتفصيل؛ فمن آمن هذا الإيمان المأمور به؛ فقد اهتدى وأنجح.
ومن كفر {بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر فقد ضلَّ ضلالاً بعيداً}: وأيُّ ضلال أبعد من ضلال من تَرَكَ طريق الهدى المستقيم وسَلَكَ الطريق الموصلةَ له إلى العذاب الأليم؟! واعلم أنَّ الكفر بشيء من هذه الأمور المذكورة كالكُفر بجميعها؛ لتلازُمِها وامتناع وجود الإيمان ببعضِها دون بعض.
(136) Ketahuilah bahwa perintah ini bisa jadi diarahkan kepada orang yang belum masuk dalam sesuatu pun atau belum berjulukan dengan suatu pun darinya, maka perintah ini menjadi perintah untuknya agar masuk ke dalamnya, yang demikian itu adalah seperti perintah kepada orang yang belum beriman untuk beriman, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ ءَامِنُواْ بِمَا نَزَّلۡنَا مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُم. . . .
﴿
"Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu ke-pada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur`an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu ..." (An-Nisa`: 47),
atau diarahkan kepada orang yang telah masuk ke dalam sesuatu, maka perintah ini menjadi perintah untuknya agar memperbaiki apa yang didapatkan darinya atau memperoleh apa yang belum didapatkan, di antara hal itu adalah apa yang telah disebutkan oleh Allah dalam ayat ini berupa perintah untuk kaum Mukminin agar beriman, karena sesungguhnya hal itu menunjukkan suatu perintah kepada mereka dengan perkara yang memperbaiki ke-imanan mereka berupa keikhlasan, kejujuran, menghindari keru-sakan dan bertaubat dari segala bentuk kelalaian, juga menunjuk-kan perintah dengan perkara yang belum ada dari seorang Mukmin berupa ilmu keimanan dan perbuatan-perbuatannya, karena setiap kali suatu nash sampai kepadanya lalu ia paham maksudnya dan meyakininya, maka hal itu adalah keimanan yang diperintahkan kepadanya, demikian juga seluruh perbuatan-perbuatan lahiriyah dan batiniyah, seluruhnya dari keimanan, sebagaimana yang di-tunjukkan oleh banyak nash-nash dan telah disepakati oleh para ulama salaf umat ini, kemudian konsisten terhadap hal tersebut dan tegar di atasnya hingga maut menjemput, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ 102
﴿
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102).
Dalam an-Nisa` ayat ke-136 ini, Allah memerintahkan untuk beriman kepadaNya, kepada Rasul-rasulNya, kepada al-Qur`an dan kitab-kitab sebelumnya. Semua itu adalah di antara keimanan yang wajib di mana seorang hamba tidaklah dikatakan beriman kecuali dengannya; beriman secara global, apabila tidak sampai kepadanya rincian tentangnya, dan beriman secara rinci bila hal bersangkutan diketahui secara rinci. Barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang diperintahkan tersebut, sesungguhnya ia telah mendapat hidayah dan telah selamat.
Barangsiapa yang kafir ﴾ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا ﴿ "kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan Hari Kemudian, maka sungguh orang itu telah sesat sejauh-jauhnya," yaitu, kesesatan apa lagi yang paling jauh dari kesesatan orang yang meninggalkan petunjuk yang lurus dan menempuh jalan yang menyampaikannya kepada siksa yang pedih? Ketahui-lah bahwa kufur kepada sesuatu dari perkara-perkara yang dise-butkan tersebut adalah seperti kufur kepada seluruhnya, karena hal itu saling berkaitan dan tidak mungkinnya keimanan kepada sebagian tanpa kepada sebagian lainnya.
ثم قال: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا (137)}.
Kemudian Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman
(pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertam-bah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak
(pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus."
(An-Nisa`: 137).
#
{137} أي: من تكرَّر منه الكفر بعد الإيمان؛ فاهتدى ثم ضلَّ، وأبصر ثم عمي، وآمن ثم كفر، واستمرَّ على كفره وازداد منه؛ فإنه بعيد من التوفيق والهداية لأقوم الطريق، وبعيدٌ من المغفرة لكونه أتى بأعظم مانع يمنعه من حصولها؛ فإنَّ كفره يكون عقوبةً وطبعاً لا يزول؛ كما قال تعالى: {فلما زاغوا أزاغ الله قلوبَهم}، {ونقلِّب أفئِدَتَهم وأبصارَهم كما لم يؤمنوا به أوَّلَ مرةٍ}.
ودلَّت الآية أنَّهم إن لم يزدادوا كفراً بل رجعوا إلى الإيمان، وتركوا ما هم عليه من الكفران؛ فإن الله يغفر لهم، ولو تكرَّرت منهم الردَّة، وإذا كان هذا الحكم في الكفر؛ فغيرُهُ من المعاصي التي [دونه] من باب أولى؛ أنَّ العبد لو تكررت منه ثم عاد إلى التوبة؛ عاد الله له بالمغفرة.
(137) Maksudnya, barangsiapa yang berulang kali terjadi kekufuran pada dirinya setelah keimanan; di mana dia mendapat petunjuk masuk Islam